(Sekar)
Aku berdiri di depan pintu terminal kedatangan di bandara. Aku memakai kacamata hitam untuk menutupi mataku yang bengkak. Sama halnya dengan Mahesa. Dia berdiri di sebelahku dan membawa karton tebal yang besar bertuliskan “Selamat datang keluarganya Sekar, Salam Kenal.”
“Aku rasa nggak usah terlalu berlebihan seperti itu. Keluargaku masih mengenaliku.”
“First Impression is a must.” ujarnya cuek.
Aku memperhatikan satu per satu orang-orang yang keluar. Awalnya aku melihat Kamila, adikku keluar, disebelahnya ada Reni dan dibelakangnya diikuti oleh kedua orang tuaku.
“Itu mereka?” tanya Mahesa pelan. Dia sudah mulai tersenyum karena semua keluargaku tertuju kepada tulisan karton yang Mahesa buat.
“Iya, tolong jaga sikapmu.” mohonku.
Belum selesai aku berbicara, Mahesa sudah melambaikan tangan pada mereka. Kamila membalas lambaian tangan Mahesa. Aku merangkul Kamila.
“Pasti kamu paling lamban pas mau berangkat.” celetukku ke Kamila.
“Aduh, anak ini jangan diharapin deh. Kalau mau pergi lebih baik dia berangkat sendiri aja biar semua orang nggak tunggu-tungguan.” Reni membalas celetukanku.
Aku mencium tangan Ayah dan Ibuku. Mahesa mengikuti. Dia masih tersenyum. Sepertinya dia menungguku untuk memperkenalkannya pada mereka.
“Mahesa, ini ayah ibuku. Ini Reni kakakku dan ini Kamila adikku.”
“Hai, salam kenal semuanya.” Mahesa masih membentang karton yang dibuatnya.
Keluargaku sangat ramah pada Mahesa. Apalagi Kamila suka sekali dengan Mahesa. Maklum mungkin karena kelakuan Mahesa dan Kamila mirip seperti ABG yang penuh drama, ku rasa mereka cocok.
“Mana Kevin?” tanya Reni waktu perjalanan menuju hotel. Mahesa menyetir. Ayahku duduk di depan. Aku bisa melihat Mahesa otomatis melirikku dari spion tengah ketika Reni menanyakan Kevin.
“Kevin, hmmm… dia sibuk, masih ada beberapa urusan yang harus dikerjakan.”
“Oh iya, Direktur di hotel loh.” Reni mencibir tapi sepertinya dia agak bangga bahwa adiknya menikah dengan laki-laki yang mapan sedangkan dirinya sendiri masih mengejar kariernya yang belum tercapai hingga saat ini. Jadi, untuk menemukan cinta pun sulit.
“Apa yang harus kami bantu, Sekar?” tanya Ibu. Dia memegang tanganku.
“Nggak ada, Bu. Kalian duduk manis saja. Menikah di Bali kan sekalian liburan keluarga. Pernikahannya simple kok.” Tanganku dingin. Semoga Ibu tidak menyadarinya karena aku melepaskan genggamannya dan pura-pura memperbaiki rambutku.
“Orang tua Kevin di hotel yang sama kan?” Sekarang Ayahku yang bertanya.
“Iya.” jawabku sekenanya.
Tolong aku. Teriakku dalam hati sambil melirik ke arah spion tengah. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak akan sanggup kujawab. Aku sudah serileks mungkin untuk menjawab pertanyaan yang tidak seberapa tapi berbohongnya yang membuatku sesak.
“Tante sama Om mau istirahat dulu di hotel atau mau keliling ke pantai sebentar?” Mahesa mengeluarkan suaranya.
“Jalan-jalan.” Kamila menjawab.
Ketika sampai di hotel, semua porter yang ada di lobi hotel menyerbu kami padahal barang-barang kami juga tidak seberapa banyak. Aku sempat heran, porter langsung membawa seluruh koper menuju kamar seolah-olah mereka tahu kamar yang akan ditinggali keluargaku.
“Aku belum kasih tahu kamar berapa mereka menginap.” ujarku. Hendak mengejar porter yang berjalan begitu saja mendorong troli koper. Mahesa mencegahku dan menggenggam tanganku.
“Aku pindahkan mereka ke kamar yang ada bungalow nya untuk satu keluarga.”
“Bungalow? Itu kan mahal!” Aku tidak terima.
“Aku yang bayar. Tenang saja.” Mahesa tersenyum penuh welas asih seperti dibuat-buat. Reni dan Kamila yang mendengar teriakanku langsung menoleh ke arah kami dan melihat tangan Mahesa menggenggam tanganku.
Sore harinya,
Aku tidak mempersiapkan apa-apa. Aku disuruh diam di kamar oleh Mahesa seolah-olah aku sibuk mempersiapkan untuk pernikahanku besok. Sedangkan, Mahesa dan keluargaku berjalan-jalan.
“Mahesa, kenapa nggak angkat-angkat teleponku?”
“Aku lagi sama mereka jalan-jalan kan. Ada apa sih?”
“Kamu bisa fotokan kartu identitasku?”
“Buat apa?” tanyanya bingung.
“Buat pembatalan pernikahan.”
“Loh kan kita mau menikah besok?”
“Kayaknya nggak bisa deh mengurus secepat itu untuk ganti calon mempelai pria.” Aku bimbang.
“Aku sudah urus semuanya. Aku sudah daftar di KUA tadi pagi.” jawabnya datar.
“Tadi pagi kan kamu di kamarku.”
“Ya aku suruh orang, Sekar sayang.”
Aku mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Jadi…” Aku terhenti. Berpikir sesuatu. Aku bisa mendengar suara Kamila terbahak-bahak dan berteriak.
“Jadi apa?”
“Kita menikah besok?” tanyaku lemah. Tidak bersemangat. Tidak bisa berpikir bahwa pernikahanku dengan laki-laki asing yang baru kutemui dua hari ini secepat itu.
“Yaiyalah.”
“Kapan kamu pulang?”
“Hahaha, kita belum menikah saja kamu udah nanya kayak gitu.”
Karena kesal aku menutup sambungan teleponnya.
Tidak berapa lama aku mendapatkan chat masuk dari Mahesa.
Mahesa
15.47 PM
Sebelum jam 5 aku balik.
15.48 PM
Cepat ke kamarku. Byk yg harus dibicarakan
15.48 PM
Oke sayang.
Menggelikan. Tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Tidak ada nama yang muncul hanya sederatan nomor.
“Halo.”
“Sekar?”
Jantungku berhenti berdetak sesaat. Suara ini suara Kevin.
“Kamu memblokir nomorku.”
“Itu urusanku. Aku bebas memblokir nomor siapa saja.”
Suara Kevin terdengar nelangsa.
“Apa bisakah kamu pikir ulang mengenai pembatalan pernikahan kita?”
“Kamu pikir saja sendiri. Aku sudah tidak berurusan denganmu.”
“Ada seluruh keluargaku di Bali.” ujarnya.
Aku tidak peduli.
“Apa kamu ada di Bali?” Dia bertanya. “Aku mengecek hotel kamu sudah check out.”
Memang aku sudah check out dari kamar hotel yang aku pesan jauh-jauh hari dan dipindahkan oleh Mahesa ke bungalow.
“Aku masih di Bali.” jawabku datar. Tegas.
Sepertinya dia sangat takjub denganku. Aku masih berada di sini dan besok adalah hari pernikahan kami seharusnya.
“Aku ingin bertemu denganmu hari ini. Kita bicarakan baik-baik.”
“Nggak usah. Kita bertemu besok. Sesuai jadwal di undangan.”
Lalu aku mematikan sambungannya. Aku lega sekali. Kemudian aku memblokir nomor yang baru saja menelponku. Aku sangat yakin, Kevin pasti akan mengkonfirmasi kepada Mbak Lina. Yakin. Padahal aku juga tidak tahu apakah Mbak Lina pernah bertemu dengan Mahesa atau tidak.
Sempat aku berpikir, apakah benar Mahesa yang memiliki hotel yang aku tinggali ini. Berasal dari keluarga kayakah dia? Kalau iya, kenapa Mahesa harus memilih wanita yang baru ditemuinya untuk menjadi istrinya?
Ketika aku sudah bosan menonton TV, seseorang mengetuk pintu kamarku. Mahesa. Dia terlihat sumringah tetapi wajahnya lelah.
“Sekar, aku suka keluargamu. Apalagi Reni dan Kamila. Mungkin kita akan menikah selama 2 tahun?”
“Jangan bercanda. Aku tidak mau kebebasanku terenggut olehmu.”
Mahesa mengambil botol mineral yang ada di meja dan meneguknya cepat.
“Cepat ceritakan apa rencanamu.” Aku tidak sabaran.
Mahesa duduk di kursi. Mengambil napas dalam-dalam setelah meminum seluruh isi air mineral di botol.
“Pertama, aku sudah mengurus pendaftaran pernikahan di KUA. Pokoknya semua beres.” Mahesa menggaruk kepalanya. “Kedua, kamu kan batalin mini ballroom di hotel ini kan? Uang DP nya belum ditransferkan. Coba cek rekeningmu apa sudah ditransfer? Jadi… aku sewa kolam renang di bawah itu untuk di setting acara pernikahan outdoor kita.”
Mendengarkan suara Mahesa aku tertegun. Aku langsung mengambil ponsel dan mengecek isi saldo di rekeningku.
“Ketiga, kamu diam saja mengenai pernikahan ini. Keluargaku mungkin akan datang. Baru tadi siang aku kabari mereka.”
Oh, benar. Ada sejumlah uang yang masuk ke rekeningku.
“Keluargamu?” Tenggorokanku serasa tercekat. Aku kaget.
“Keluargaku tidak seramah keluargamu. Aku pikir kamu bisa membawa dirimu sendiri ke dalam permainan keluargaku.” Mahesa terlihat serius.
Tiba-tiba ada yang mengetuk kamarku lagi.
“Oh itu makananku. Aku nggak makan banyak tadi. Sekarang malah lapar.” Mahesa berdiri dan membuka pintu kamar.
Reni. Ya, Reni berdiri di depan pintu. Ekpresinya kaget. Pasti. Aku melihat dari balik punggung Mahesa. Hancur sudah hidupku. Reni masuk ke kamarku tanpa dipersilahkan. Mahesa hanya tersenyum salah tingkah. Dia hanya menutup pintu kamar dan berdiri di lorong pojok kamar.
“Kenapa Ren?” Suaraku berusaha sebiasa mungkin.
“Ada yang bisa gue bantu?”
“Nggak ada sih. Karena yang datang sedikit dan nggak ngundang banyak orang jadi nggak seribet yang lo bayangkan.”
“Kenapa Kevin nggak muncul?” Reni sudah mulai terlihat curiga.
Haruskah aku memulai sandiwara ini?
“Gue bahkan nggak ketemu Kevin.” Mulaiku. Kata-kata permulaan sandiwaraku. Aku berjalan menuju jendela balkon dan membukanya lebar Aku butuh oksigen yang banyak.
“Maksud lo? Gue nggak paham.”
“Ren, Kevin itu selingkuh. Gue tahu ini waktu gue samperin dia di kamar hotelnya. Bayangkan aja sendiri.”
Sekarang Reni yang tercekat. Dia tidak banyak berkata-kata.
“Elo udah tau sebelumnya?”
“Gue udah tahu bahkan sebelum kami berdua memutuskan untuk menikah, dia selingkuh dengan wanita yang sama.”
Reni mulai memberikan wajah iba padaku. Mahesa mendengarkan ceritaku juga dengan jelas. Dia masih mematung dipojokan.
“Lalu? Pernikahan lo batal?” Wajah Reni sudah mulai khawatir.
Aku menggeleng. Reni mengernyitkan dahinya.
“Aku akan tetap menikah.”
“Sama Kevin? Lo harus menanggung beban berat dengan tabiatnya.”
Aku mencemooh diri sendiri. Baik dengan Kevin atau dengan Mahesa bebanku sama-sama berat. Aku mengasihani diriku sendiri.
“Bukan.”
“LAH TERUS SAMA SIAPA!?” Reni kaget. Sedikit berteriak.
“Dia.” Aku menunjuk Mahesa. Mahesa tersenyum. Senyuman welas asihnya.
Reni menatap Mahesa dan memegang keningnya. Tidak habis pikir.
“Apa yang kalian berdua pikirkan?” Reni berdiri. Uring-uringan. “Ayah sama Ibu harus tahu ini.”
“Ren, gue rasa nggak perlu deh.” cegahku.
“Aku mencintai Sekar.”
Reni melihat Mahesa kembali. Kemudian melihatku. Aku mengangguk. Membenarkan kata-kata Mahesa. Pada saat Reni tidak melihatku, aku memberikan kode pada Mahesa. Apa maksudnya?? Apakah dia juga ikut bersandiwara??
“Astaga, apa yang kalian berdua pikirkan. Alasan batal menikah karena Kevin selingkuh adalah alasan yang masuk akal, tapi alasan kalian tiba-tiba menikah yang tidak masuk akal. Orang-orang akan bertanya.”
Aku mengambil napas diam-diam tanpa mengeluarkan suara.
“Ren, apa lo pernah merasakan cinta pandangan pertama? Cinta yang lo rasain ini beda. Seolah-olah semua berjalan mengalir saja. Apa pun kekurangan Mahesa. Cinta pandangan pertama beda sama cinta yang gue rasain selama ini sama Kevin. Gue rasa inilah laki-laki yang tepat buat gue. ”
Reni menatapku, memunggungi Mahesa. Aku bisa melihat Mahesa menunjukkan jempol padaku dan berkata tanpa suara “Wow.”
Reni tidak bisa menjawab pernyataanku. Mahesa masih diam memojok dan terdengar seseorang mengetuk pintu. Ya, kali ini makanannya datang.
***
Episode 5 – Pernikahan di Sore Hari (Sekar) Pukul 1 siang. Reni tidak menghubungiku sama sekali setelah tahu aku akan menikah dengan Mahesa. Hari ini. Aku baru saja mulai untuk didandani. Mbak Lina mengatur semua pernikahanku. Sepertinya Mbak Lina mengenal baik Mahesa, karena Mbak Lina berada di kamarku sekarang. Menungguku atas permintaan Mahesa. “Mbak Sekar, saya cuma mau bilang beruntung sekali Mbak Sekar menikah dengan Pak Mahesa.” ujarnya tiba-tiba. “Terima kasih, Mbak.”Mahesa01.06 PMSekar sayang, aku mau bilang sesuatu ke orang tuamu
(Kayshila) Aku selalu bermimpi indah. Sayangnya, setiap aku membuka mata terbangun, aku selalu lupa apa yang sudah kuimpikan. Lucunya, mimpi indahku selalu berbanding terbalik dengan kehidupanku. Miris. Tubuhku tertutup dengan selimut tebal dan udara di dalam kamar sangat dingin sekali. Aku berniat bangun tapi tempat tidur ini nyaman sekali. Tiba-tiba aku ingat, aku telah menjadi seorang istri sekarang. Hanya satu tahun. Aku melihat jari manisku dan terduduk di pinggiran tempat tidur yang agak tinggi. Kepalaku agak pusing. Mungkin aku terlalu banyak menangis setiap hari. Betapa rapuhnya aku. Seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan, hingga aku melamun dan lamunanku buyar ketika seseorang memencet bel dengan membabi buta. Aku berlari menuju pintu dan melihat siapa yang datang melalui lubang pintu. Astaga! Kamila!&nbs
(Sekar) Hampir satu minggu aku tidur satu kamar dengan Mahesa di rumah orang tuaku. Banyak sekali kekacauan dari kehidupanku dengan Mahesa. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Setiap hari Mahesa selalu saja membuatku kesal. Dia selalu membuang waktu jika sedang mandi di pagi hari, tapi mandi di malam hari mungkin hanya lima menit. Kemudian dia selalu menyuruhku untuk mencuci bajunya. Mengesalkan sekali. Seharusnya bisa aku taruh di tempat laundry saja. Alasannya, dia tidak suka menggunakan mesin cuci yang dipakai orang lain yang tidak dikenalnya. Luar biasa ya! “Sekar, kemejaku yang warna biru dimana?” tanya Mahesa pukul 11 malam, sedangkan aku sedang memeriksa beberapa laporan yang selalu aku bawa pulang. Semenjak aku mengambil cuti seminggu lebih, perusahaan dalam keadaan rumit. Aku seorang Finance Execut
(Mahesa) Selama dua minggu kehidupanku dengan Sekar, aku sudah mulai terbiasa bahwa setiap malam aku melihatnya tidur dan setiap pagi aku melihatnya marah-marah. Ini adalah kehidupanku yang luar biasa. Tidak bisa kubayangkan. Mengingat selama 8 tahun ini, aku selalu hidup sendiri di apartemen di New York. Semua yang kulakukan adalah sendiri. Menjelajah dunia pun sendiri. Ada salah satu yang membuat tujuanku harus tercapai. Membuat diriku sendiri sukses dan mencari keberadaan Mama. Hari ini pekerjaanku tidak begitu banyak. Hanya rapat dengan beberapa tim desain dan marketing untuk melakukan beberapa bentuk promo kecil-kecilan untuk tes pasar. Ketika aku pulang ke Indonesia, aku memiliki ide untuk membentuk sendiri perusahaanku dari nol. Sebuah perusahaan games khas Indonesia yang bisa diundu
(Mahesa) Di dalam perjalanan pulang. Sekar langsung terdiam. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Aku bisa menebak, pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakannya. “Minggu ini kita bisa pindah ke apartemen?” Aku membuka pertanyaan. Memecah kesunyian. “Boleh.” “Apa barang-barangmu banyak yang mau kamu bawa?” “Baju saja beberapa. Bukannya di apartemen sudah lengkap semua!? Misalnya peralatan memasak?” “Iya sudah.”&n
(Sekar) Aku menekan ponselku berkali-kali dan mengirimkan chat ke Mahesa. Dia tidak mengangkat bahkan melihat chat-ku. Sepertinya aku akan pulang naik bus. Aku mematikan layar komputerku dan tidak sengaja memandang wallpaper foto pernikahanku. Aku memandang Mahesa sejenak. Aku melihat pulpen di depanku dan ingin kulempar layar komputerku karena ada foto Mahesa di sana. Dengan cepat aku mematikan komputer dan bergegas pulang. “Pulang, Kar?” celetuk Laras yang muncul di lorong melewati ruanganku. Dia adalah Manajer Perencanaan. Tubuhnya gemuk dan wajahnya lucu sekali. “Iya.” “Dijemput? Tumben nggak naik sua
(Mahesa) Aku melempar proposal yang sudah dipersiapkan sejak pagi oleh karyawanku. Kemurkaanku bertambah ketika salah satu game developer yang kutemui kemarin mundur. “Kalian tahu market di Indonesia itu seperti apa?!” Semua karyawanku tertunduk dan sebagian masih berani menatapku. “Di sini nggak akan ada yang mau install game yang terlalu rumit.” Aku menghela napas dan berdiri di hadapan mereka semua. “Proposal game yang kalian berikan ke saya ini sampah. Mungkin a
(Sekar) Aku menatap laptop dan beberapa tumpukan kertas di depanku. Pokoknya tidak bisa fokus. Beberapa hari ini di dalam otakku tergambar jelas adegan aku mabuk dan menarik Mahesa untuk kucium. Sangat memalukan. Untungnya Mahesa sibuk bermain game, jadi aku juga sibuk dengan proyek keduaku. Mahesa tidak pernah menggodaku semenjak itu. Lamunanku buyar ketika ponselku berdering. “Halo.” “Dengan Ibu Sekar Arum?” tanya pria diseberang sana. Suaranya berat sekali dan berwibawa. “Iya saya.” Aku menatap layar ponsel dan menerka nomor yang menelponku.&nbs
(Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.
(Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k
(Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini
(Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan
(Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 
(Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&
(Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be
(Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs
(Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb