(Sekar)
“Halo.” jawabku. Waktu itu aku sibuk memilah-milah baju.
“Ya, halo. Kita pergi ke pasar ya?”
“Pasar?” Aku mengerutkan dahi. Mengecek make up di bawah mataku dan memasang anting-anting. “Emangnya ada yang buka? Kan udah tutup?”
“Ada. Sebetulnya ada beberapa barang yang mau kubeli. Pakai baju santai saja ya!?”
“Ohh…” Aku membulatkan mulutku berbentuk O sambil menggoreskan lipstick ke bibirku. “Oke deh tunggu ya.” Aku menutup sambungannya.
Laki-laki ini benar menungguku di lobi. Dia memakai kaos dan celana pendek. Kaosnya terlihat santai sekali. Semua pelayan di hotel bahkan porter yang menunggu di depan pintu pun tersenyum ramah padanya. Tampilanku juga santai, sesuai permintaannya. Sebelumnya aku terbersit sesuatu ketika hendak turun dan masuk ke lift. Apakah hal yang kulakukan bersama laki-laki asing ini benar atau tidak? Tapi setelah diingat-ingat lagi, kenapa tidak? Kevin saja berani selingkuh beberapa hari sebelum hari pernikahannya dan kenapa aku harus pusing?
“Kamu mau ke klub malam apa ke pasar?” Dia melihatku dari atas sampai bawah.
“Kalau ke pasar harusnya pakainku seperti gembel?” Aku menunjuk ke arahnya.
“WHAT!” Dia kaget. Tidak terima kukatai. Dia berjalan ke arah resepsionis yang sibuk dengan beberapa orang yang hendak check in. “Mbak, tahu kan siapa saya?” tanyanya pada salah satu resepsionis yang cantik. Mbaknya kaget karena laki-laki ini tiba-tiba menanyakan sesuatu padanya.
“Oh iya, Pak. Saya kenal Bapak.” jawabnya malu dan bingung.
“See?” Dia membanggakannya.
“Alaaah, ya dia emang kenal kamu, kan kamu menginap di sini.” Aku berjalan meninggalkannya keluar.
“Aku yang punya hotel ini.” ujarnya masih membela diri.
Aku tidak menggubrisnya kali ini dan menunggunya untuk mengambil motornya.
“Dimana motormu?”
“Tunggu di situ.” Dia menunjuk ke arah lobi yang ada tempat duduknya. Wajahnya kesal. Tidak perlu menunggu lama, aku melihatnya datang menumpangi motor bebek matic berwarna hitam. Lucu sekali. Mungkin karena tubuhnya yang tinggi dan besar jadi motor tersebut terlihat kecil. Aku mengambil helm dari tangannya dan memakainya. Ketika aku mengunci helm di leherku, dia membantuku untuk menguncinya. Lalu aku naik di belakangnya dan hanya memegang kaosnya yang agak longgar. Tidak memeluknya.
Aku tidak banyak bicara ketika di atas motor. Laju motornya tidak terlalu kencang dan tidak terlalu pelan. Dia banyak melihat-lihat di jalanan. Seolah-olah dia ingin mengecek beberapa spot yang dilihatnya. Akhirnya kami sampai di sebuah pasar. Bukan pasar malam nampaknya. Pasarnya ramai sekali dan terlalu terang menurutku.
“Ada pasar yang buka malam-malam begini?” tanyaku sambil melepaskan helmku.
“Kamu kemana aja selama ini? Baru pertama kali ke Bali?” Dia malah balik bertanya. “Ini namanya Pasar Kreneng. Bukanya sampai tengah malam nanti.” sambungnya menjelaskan.
Aku melihat jam tanganku. Baru jam 9 malam.
Laki-laki ini menuntunku ke dalam pasar. Dia benar-benar melihat ke setiap toko yang buka. Sepertinya ada yang dia cari. Aku pun juga sambil melihat-lihat. Siapa tahu ada barang yang bagus, pastinya aku akan beli. Terlintas aku ingat, uangku mungkin akan menipis jika aku berniat berbelanja di sini. Tiba-tiba hatiku miris.
“Keluarkan uangku.” perintahnya.
Aku sadar dari lamunanku.
“Apa?”
“Uangku. Ada uang lima puluh ribu selembar.” Dia menunjuk ke arah tas selempangku. Oh iya. Dompetnya masih aku simpan. Aku mengeluarkan uangnya selembar berwarna biru tanpa mengeluarkan dompetnya karena ini di pasar. Aku hanya takut copet. Dia mengambil uangnya dengan cepat dan ternyata memberikannya kepada tukang minuman. Ada dua minuman yang dibelinya. Salah satunya untukku.
“Tidak ada yang mau kamu beli?” tanyanya. Dia meneguk beberapa tegukan air mineralnya yang dingin.
“Nggak ada.” Aku menunjukkan ketidak-tertarikanku.
“Apa kamu suka belanja di Mall?”
“Bukan. Maksudnya tidak ada yang ingin kubeli.”
Dia mengangguk cepat.
“Masih ada yang ku cari. Mudah-mudahan toko yang diujung itu ada modelnya.”
Aku tidak menanyakan sebetulnya apa yang dia cari. Karena kami selalu keluar masuk toko perak, yang menyediakan beberapa perhiasan dari perak dan aku selalu mencoba beberapa cincin yang dipilihnya. Aku juga tidak menanyakan cincinnya untuk siapa dan kenapa dia membeli cincin.
Di toko terakhir aku mencoba cincin perak berlapis berlian. Toko ini berdiri sendiri. Berupa bangunan daripada toko-toko yang buka di pasar ini. Terlihat mewah walaupun kecil. Memiliki interior yang high class. Aku memakainya di jari manisku. Melihatnya dan terlintas mirip sekali dengan cincin nikahku yang sampai sekarang masih dipegang laki-laki brengsek yang selingkuh beberapa hari sebelum hari pernikahannya.
“Bagus?”
“Ya yang ini bagus.” ujarku.
Dia tersenyum puas.
“Kelihatannya pas ya di jarimu?”
“Iya pas. Apa kamu suka model lain? Biar aku pas kan lagi.” tawarku jenuh.
“Oh ini, menurutmu untuk laki-lakinya bagusan yang mana?” Dia menunjuk ke arah etalase di bagian cincin pria. Aku memandangi seluruh cincin pria dan menunjuk ke arah salah satu cincin. Cincin perak dan memiliki tiga mata berlian saja.
“Yang ini.” tunjukku.
Si penjual langsung mengeluarkan cincin yang kutunjuk dan memberikan kepada laki-laki itu dan mencobanya.
“Oke.” Dia hanya mengangguk.
Kemudian, laki-laki ini menyuruhku untuk memilih beberapa gelang diantara 4 gelang yang dia pilih. Aku memilih gelang berbentuk dolphin terlihat simple tapi mewah. Lagi-lagi, laki-laki ini terlihat senang dan puas atas pilihanku. Aku menunggunya di luar ketika dia membayar barang-barangnya dan melihat-lihat beberapa toko dan sempat jauh sekali berjalan. Tanpa sadar.
Tanpa sadar aku menangis di dalam keramaian. Meneteskan air mata adalah hal yang mudah seharian ini. Aku menjatuhkan botol air minumku dan seseorang telah mengambilnya.
“Kamu memang nggak mau pulang ya?” Laki-laki ini terlihat marah. Tapi ada rasa khawatir di raut wajahnya.
Astaga. Aku melihat ke belakang ternyata sudah jauh sekali aku berjalan meninggalkan toko yang tadi.
“Ya ampun, aku nggak sadar loh. Maaf, maaf.”
Destinasi kedua agak lumayan jauh perjalanannya. Aku sempat tertidur. Kepalaku tergeletak begitu saja di punggungnya. Mungkin karena aku lelah menangis. Aku tidak tahu mungkin laki-laki ini memegang tanganku dan mendekapnya di pinggangnya sendiri agar aku tidak terjatuh. Ketika aku bangun aku tersadar memang betul, laki-laki ini memegang tanganku dan aku langsung menariknya. Dia sempat kaget dan motor yang dikendarainya sempat oleng. Dia menoleh ke belakang sedikit dan mengomeliku.
“Jangan tidur di atas motor.” teriaknya.
“Kita mau ke mana sih? Kok nggak sampe-sampe?”
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Ternyata ya ampun ke Pantai Jimbaran? Aku rasa aku akan masuk angin kena angin pantai malam hari. Dia mencari-cari spot bagus dan terang dan duduk menghadap pantai.
“Apa yang kamu lihat malam-malam begini ke pantai?”
“Mendengar suara ombak.”
Aku melihat ke sekitar dan suasanya ramai sekali. Ada juga beberapa grup pengamen yang menyanyi dengan merdu.
“Mendingan kita ke pantai di mana kamu tidur tadi pagi.” celetukku. “Nggak perlu ke sini jauh-jauh.” Aku terlihat merengut. Aku meraba tasku dan mengeluarkan dompetnya. Dia terlihat berharap.
Baru kuperhatikan dompetnya ternyata sebuah dompet kulit yang kemungkinan mahal. Aku membuka-buka dompetnya dan…
“Mau apa kamu?”
“Oh, Mahesa Elangga Putera.” Aku melihat kartu identitasnya.
Mahesa mengambil cepat dompetnya yang kuletakkan di atas meja. Dia berusaha merebut kartu identitasnya.
“Kamu lebih tua dariku.” celetukku.
“Berapa tahun?” tanyanya penasaran.
“Lima tahun.” asalku sambil tertawa.
“Jangan main-main. Wajahmu lebih tua daripada aku. Cepat balikan.”
Aku melempat kartu identitasnya dan dengan kesal mengeluarkan kartu identitasku.
“Enak saja. Ini lihat.” Aku memperlihatkan kartuku. Mahesa tampak memperhatikan dengan seksama dan tiba-tiba merebutnya.
“Coba aku lihat, Sekar Arum Minati.” Mahesa berdiri menjauh dan aku berusaha meraih kembali kartu identitasku. “Coba mana sih ini tahunnya? Kartunya udah jelek banget.” Dia membolak-balikkan kartuku yang sudah usang.
“Awas kamu main-main sama kartuku nanti hilang!” teriakku. Tapi suaraku tidak sebesar suaranya karena tenggelam oleh angin malam yang kencang.
“Oh, kamu beda empat tahun ya? Tapi kok wajahmu kayak tiga puluh lima sih?” Mahesa menyimpan kartu identitasku di dalam kantong celananya yang agak sempit sampai aku tidak bisa mengambilnya. “Eits, kalau kamu raba-raba tubuhku, ini namanya pelecehan.”
Sialan. Aku kesal sekali.
“Buat apa kamu simpan kartu identitasku sih!?”
“Jaminan.”
“Jaminan apa?”
“Kamu tadi bayar makananmu hampir 300 ribu sendiri pakai kartu kreditku.”
Astaga laki-laki ini. Membuatku naik darah.
Aku mengeluarkan beberapa lembar uang yang ada di dompet beserta receh-recehnya dan kuberikan padanya.
“Lunas!”
“Aku tidak terima receh.”
“Seriously!!!?????” Aku berteriak.
“Sekar. Siapa sih namamu? Sekar? Arum? Cengeng?”
Aku melemparnya dengan papan nomor di meja dan dia hanya nyengir seperti kuda.
“Besok kamu mau kemana?”
“Besok sibuk.”
“Kerjaan?”
“Mind of your business.”
Mahesa bertopang dagu melihatku.
“Pekerjaanku sih banyak, tapi aku terlihat bosan.”
Besok aku harus mengecek beberapa kamar untuk keluargaku yang datang ke Bali dan beberapa teman yang sudah memesan tiket untuk hadir di pernikahanku. Juga, aku harus menyiapkan hati dan kata-kata untuk disampaikan oleh mereka bahwa aku tidak jadi menikah. Kemungkinan besar tidak ada keluarga yang datang dari mantan calon suamiku. Pastinya dia sudah memberitahukan kepada keluarga besarnya. Baiklah, berarti itu aku yang akan menanggungnya. Rasa malu itu. Sebetulnya menikahinya saja tidak akan sulit. Dijalani saja. Walaupun bisa diputuskan untuk cerai dalam waktu dekat.
“Gimana kalau kita menikah saja?” tanya Mahesa tiba-tiba. Suaranya lantang. Lamunanku buyar.
“Kenapa aku harus menikahimu?” Aku malah balik bertanya. Rasa mual datang. Perutku mulas. Aku terlihat seperti dendam dengan kata-kata itu. Menikah.
“Aku akan memberikan sesuatu yang ingin kamu miliki.”
“Tidak ada yang ingin aku miliki.” jawabku datar. “Aku bukan wanita matre’” sambungku.
Mahesa terdiam. Aku terdiam.
Aku tidak tahu siapa laki-laki ini. Dia cukup baik. Bahkan aku belum mengenalnya dengan baik.
“Apa kamu tipikal wanita yang menikah karena cinta?”
“Ya pastinya. Itu kan impian setiap wanita.”
“Tidak bisakah kita menikah karena simbiosis mutualisme?”
“Kamu mau apa dariku?”
“Membantuku.”
Aku terdiam lagi.
Jika aku membalaskan dendamku pada mantan calon suamiku dan membuatnya berlutut dan mengemis cinta padaku. Aku sudah akan cukup puas. Dengan Mahesa aku bisa membalaskan dendamku padanya. Tampang Mahesa tidak jelek. Malah terlalu tampan hanya wajahnya agak melankolis.
“Membantumu apa?” Aku mulai tertarik.
Mahesa mencondongkan tubuhnya padaku. Wajahnya bersinar. Senang karena aku tertarik dengan tawarannya.
“Jadi istriku. Mendukungku. Aku lihat kamu termasuk wanita yang tegar dan keras kepala.”
“Kamu menerka sifatku?” Aku menunjuk diriku sendiri.
“Aku bisa menebak sifat orang.” Mahesa nyengir kuda. Untaian rambutnya jatuh ke dahinya. “Ada yang ingin kamu mau dariku?”
Aku terdiam. Terlihat bimbang. Tidak apa-apakah aku melakukan hal ini?
“Aku ingin balas dendam.”
“Oh, WOW!” Mahesa membelalakkan matanya. “Aku mengajakmu menikah bukan untuk melakukan kejahatan!” Dia terlihat syok.
“Kurasa hidupmu terlalu banyak menonton drama.” Aku mencibir.
Mahesa mengubah wajahnya menjadi serius. Mendengarkanku.
“Sebelum kita buat perjanjian aku harus jelas, kategori balas dendam seperti apa yang harus aku lakukan.” Mahesa mulai menjabarkan.
Aku terasa sedang berbicara dengan anak ABG.
“Aku batal menikah.” ujarku pendek. Mahesa menutup mulutnya dengan tangannya. Terkejut. Lihatkan? Hidupnya memang drama dan seperti anak ABG. “Pernikahanku besok lusa.” Mahesa masih menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Oh, I got it. Being good husband.” Mahesa memperagakan gayanya yang seolah-olah berpikir. “Berarti aku harus tahu apa yang tidak pernah kamu lakukan dengan maaf mantan calon suamimu. Oh, itu perkara yang mudah.”
Mahesa memberikan tangannya. Ingin menjabat tanganku.
“DEAL.” ujarnya keras. “So, will you marry me?”
Aku sempat menyembunyikan telapak tanganku dibalik lipatan tanganku di dada. Kemudian, aku membalas jabatan tangannya.
“Deal. Yes, I do.” ujarku lemah.
Aku sudah gila. Aku benar-benar sudah gila.
****
(Sekar)Seseorang mengetuk pintu kencang sekali dan memencet bel berkali-kali. Padahal ini baru pukul 7 pagi. Akan aku maki-maki jika cleaning service memaksa untuk dibukakan pintu. Aku melihat siapa yang mengetuk pintu dari balik lubang pintu. Wajah Mahesa terpampang lebar tepat di depanku. Aku membukanya dengan malas. Mahesa tersenyum riang. Ketika aku melihat senyumannya, hatiku terasa bahagia. Ada untungnya juga aku mengganggunya tidur di pantai kemarin. Mahesa nyelonong masuk tanpa kusuruh. Dia membawa map warna merah.“Di luar sudah terang sekali, Sekar sayang. Kamarmu gelap seperti di gua penyamun.” Mahesa duduk di pinggiran tempat tidurku yang berantakan. Dia melihat tisu-tisu yang berserakan di lantai. “Kamu masih menangis meratapi laki-laki itu?” Mahesa terlihat mencibir.“Itu urusanku.” Aku sibuk membuka korden yang menutupi pintu balkon hotel.&l
(Sekar) Aku berdiri di depan pintu terminal kedatangan di bandara. Aku memakai kacamata hitam untuk menutupi mataku yang bengkak. Sama halnya dengan Mahesa. Dia berdiri di sebelahku dan membawa karton tebal yang besar bertuliskan “Selamat datang keluarganya Sekar, Salam Kenal.” “Aku rasa nggak usah terlalu berlebihan seperti itu. Keluargaku masih mengenaliku.” “First Impression is a must.” ujarnya cuek. Aku memperhatikan satu per satu orang-orang yang keluar. Awalnya aku melihat Kamila, adikku keluar, disebelahnya ada Reni dan dibelakangnya diikuti oleh kedua orang tuaku. “Itu mereka?” tanya
Episode 5 – Pernikahan di Sore Hari (Sekar) Pukul 1 siang. Reni tidak menghubungiku sama sekali setelah tahu aku akan menikah dengan Mahesa. Hari ini. Aku baru saja mulai untuk didandani. Mbak Lina mengatur semua pernikahanku. Sepertinya Mbak Lina mengenal baik Mahesa, karena Mbak Lina berada di kamarku sekarang. Menungguku atas permintaan Mahesa. “Mbak Sekar, saya cuma mau bilang beruntung sekali Mbak Sekar menikah dengan Pak Mahesa.” ujarnya tiba-tiba. “Terima kasih, Mbak.”Mahesa01.06 PMSekar sayang, aku mau bilang sesuatu ke orang tuamu
(Kayshila) Aku selalu bermimpi indah. Sayangnya, setiap aku membuka mata terbangun, aku selalu lupa apa yang sudah kuimpikan. Lucunya, mimpi indahku selalu berbanding terbalik dengan kehidupanku. Miris. Tubuhku tertutup dengan selimut tebal dan udara di dalam kamar sangat dingin sekali. Aku berniat bangun tapi tempat tidur ini nyaman sekali. Tiba-tiba aku ingat, aku telah menjadi seorang istri sekarang. Hanya satu tahun. Aku melihat jari manisku dan terduduk di pinggiran tempat tidur yang agak tinggi. Kepalaku agak pusing. Mungkin aku terlalu banyak menangis setiap hari. Betapa rapuhnya aku. Seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan, hingga aku melamun dan lamunanku buyar ketika seseorang memencet bel dengan membabi buta. Aku berlari menuju pintu dan melihat siapa yang datang melalui lubang pintu. Astaga! Kamila!&nbs
(Sekar) Hampir satu minggu aku tidur satu kamar dengan Mahesa di rumah orang tuaku. Banyak sekali kekacauan dari kehidupanku dengan Mahesa. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Setiap hari Mahesa selalu saja membuatku kesal. Dia selalu membuang waktu jika sedang mandi di pagi hari, tapi mandi di malam hari mungkin hanya lima menit. Kemudian dia selalu menyuruhku untuk mencuci bajunya. Mengesalkan sekali. Seharusnya bisa aku taruh di tempat laundry saja. Alasannya, dia tidak suka menggunakan mesin cuci yang dipakai orang lain yang tidak dikenalnya. Luar biasa ya! “Sekar, kemejaku yang warna biru dimana?” tanya Mahesa pukul 11 malam, sedangkan aku sedang memeriksa beberapa laporan yang selalu aku bawa pulang. Semenjak aku mengambil cuti seminggu lebih, perusahaan dalam keadaan rumit. Aku seorang Finance Execut
(Mahesa) Selama dua minggu kehidupanku dengan Sekar, aku sudah mulai terbiasa bahwa setiap malam aku melihatnya tidur dan setiap pagi aku melihatnya marah-marah. Ini adalah kehidupanku yang luar biasa. Tidak bisa kubayangkan. Mengingat selama 8 tahun ini, aku selalu hidup sendiri di apartemen di New York. Semua yang kulakukan adalah sendiri. Menjelajah dunia pun sendiri. Ada salah satu yang membuat tujuanku harus tercapai. Membuat diriku sendiri sukses dan mencari keberadaan Mama. Hari ini pekerjaanku tidak begitu banyak. Hanya rapat dengan beberapa tim desain dan marketing untuk melakukan beberapa bentuk promo kecil-kecilan untuk tes pasar. Ketika aku pulang ke Indonesia, aku memiliki ide untuk membentuk sendiri perusahaanku dari nol. Sebuah perusahaan games khas Indonesia yang bisa diundu
(Mahesa) Di dalam perjalanan pulang. Sekar langsung terdiam. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Aku bisa menebak, pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakannya. “Minggu ini kita bisa pindah ke apartemen?” Aku membuka pertanyaan. Memecah kesunyian. “Boleh.” “Apa barang-barangmu banyak yang mau kamu bawa?” “Baju saja beberapa. Bukannya di apartemen sudah lengkap semua!? Misalnya peralatan memasak?” “Iya sudah.”&n
(Sekar) Aku menekan ponselku berkali-kali dan mengirimkan chat ke Mahesa. Dia tidak mengangkat bahkan melihat chat-ku. Sepertinya aku akan pulang naik bus. Aku mematikan layar komputerku dan tidak sengaja memandang wallpaper foto pernikahanku. Aku memandang Mahesa sejenak. Aku melihat pulpen di depanku dan ingin kulempar layar komputerku karena ada foto Mahesa di sana. Dengan cepat aku mematikan komputer dan bergegas pulang. “Pulang, Kar?” celetuk Laras yang muncul di lorong melewati ruanganku. Dia adalah Manajer Perencanaan. Tubuhnya gemuk dan wajahnya lucu sekali. “Iya.” “Dijemput? Tumben nggak naik sua
(Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.
(Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k
(Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini
(Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan
(Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 
(Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&
(Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be
(Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs
(Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb