Taman Bermain.
Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu.
"Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu.
"Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.
'shit' monolognya dalam hati.
"Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di buat menakutkan. Lagi-lagi Hera ingin menarik tangan Dante, namun langsung di tepis.
"Hell ... Apa-apaan ini?! Wahana Rumah Hantu? Kau gila, hah?!" bentak nya saat sadar tengah berdiri di depan apa.
Kim Dante ini lucu sekali, ya, bilangnya tidak percaya hantu, namun main wahana ini saja tidak mau, dan kelihatan seperti trauma? Ya ampun, Hera dibuat gemas ingin mencubit ginjalnya saja kalau seperti ini.
"Heh ... bilang saja kau takut, tidak usah mengelak, aku tahu itu," hardik nya.
"Siapa uang takut? Kalau begitu, ayo kita masuk. Taruhan, jika kau menangis, kau akan belikan aku berbagai macam makanan yang ada di sini, bagaimana?" ucap nya membuat taruhan sebelum bermain.
"Itu namanya tidak adil, aku akan setuju jika, apabila kau menangis atau sampai pipis di celana lagi seperti kemarin, kau akan membelanjakan ku semua barang-barang yang ada di Mall. Tidak menerima protes, bagaimana, deal?" ucap telak Hera.
"Baiklah deal! Ayo masuk sekarang!" Dante langsung menyutujui nya tanpa pikir panjang, karena memang, semua itu tidak akan terjadi. Yang benar saja, pria gentelman seperti Kim Dante akan langsung menangis karena hantu? Omong kosong apa itu? Yang kemarin itu cuma karena Dante terlalu terkejut akan serangan tiba-tiba itu. Tapi kali ini, pasti sudah tidak terkejut lagi.
"Kalau kau benar-benar menangis nanti, jatuh sudah harga diri mu sebagai laki-laki, Kim Dante," sindir Hera lalu kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Kau hanya perlu mengingat, untuk tidak melakukannya pada dirimu sendiri. Jika tidak, runtuh semua kepercayaan diri mu yang terlalu tinggi itu, Kim Hera."
Mungkin Hera belum terbiasa dengan marga baru nya itu, yang membuat lagi-lagi jantungnya seperti terkena sengatan listrik kecil.
"Sudah ku bilang, jangan panggil aku dengan marga itu!"
"Kenapa? Apa karena jantung mu selalu tidak normal debarannya karena aku memanggil mu dengan itu?"
"Lagi-lagi kau sok superior sekali, seakan-akan mengetahui semua apa yang dipikirkan atau pun dirasakan oleh orang lain."
"Berarti benar, kau berdebar karena ku?"
Skak mat.
"No, and never happen to me," dusta nya.
"Apabila kau masih ingat dengan kata mu itu, Istriku. Coba lah untuk tidak mengingkari nya, karena itu akan sangat menganggu mu."
"Cih, sudah lah. Ngomong-ngomong, kapan aku bisa masuk? Dari tadi aku berdiri seperti orang bodoh saja di sini, dengan dirimu lagi."
Tanpa menjawab, Dante langsung menarik Hera memasuki wahana permainan yang mencekam itu.
.
.
.
.
Peluh yang bercucuran membasahi tubuh mereka berdua, sudah cukup menjelaskan kalau pengalaman mereka selama bermain benar-benar menakutkan.
Terlihat, dia kedua mata mereka berdua, terdapat sisa cairan bening yang tidak sempat di hapus. Itu berarti, ke duanya kalah dalam taruhan.
"Hahah ... Kim Dante, kau itu pecundang! Benar dugaan ku kau pasti akan menangis, jadi setelah kita selesai bermain di sini, kau harus membayar taruhan bodoh yang kau buat sendiri itu!" ejek Hera, setelah menghapus sisa air matanya, tidak tahu diri, padahal diri sendiri saja juga menangis, bahkan sampai tersedu-sedu.
"Kau itu sudah tua, dan cepat pikun, ya? mau menipu ku, hah? Tapi sayangnya, tidak bisa. Karena aku juga melihat mu menangis sampai tersedu-sedu, dan kau lupa ... di dalam, kau memelukku erat saat hantu itu muncul di hadapan mu, dasar, mencari kesempatan dalam kesempitan saja," balas Dante, tidak terima di olok-olok seperti tadi, "jadi, kau juga harus membelikan ku semua makanan yang ada di sini," lanjutnya lagi.
"Tidak mau! Di sini kita sama-sama kalah, jadi kenapa harus membayar taruhan lagi?" Sudah tidak ada alasan untuk mengelak dan membela diri, akhirnya Hera pun secara tidak langsung mengakui kebenarannya.
"Kau yang dulu meminta bayaran padaku! Kau ini benar-benar pikun, ya?! Dasar sudah tua!"
"Ya! Enak saja, kau! Aku ini masih muda, bahkan diri ku lebih muda beberapa tahun dari mu! Seharusnya, sadar diri kau!"
"Kau itu juga harus sadar diri! Memangnya berapa umur mu, hah?! Sok muda sekali, padahal aslinya sudah tua!"
"Kau mau mengibarkan bendera perang dengan ku, hah?! Ayo, siapa takut?! Adu jotos di sini pun aku tidak peduli!" tantang nya.
Para pengunjung yang lain hanya menggeleng kepala melihat kelakuan sepasang suami istri ini, tidak berniat melerai keduanya dari adu mulut, hanya menonton dari kejauhan, dan beberapa juga pura-pura tidak melihat dan tidak peduli.
Dante mulai terpancing emosi, namun ia segera menghela napas, untuk kembali menstabilkan emosi nya, "di sini tempat umum, Sayang, perang nya nanti saja, saat pulang, di kamar kita, 'kan empuk. Jangan di sini, nanti tubuh kita sakit-sakit," kata nya sambil memajukan bibirnya--se akan ingin mencium, cium jarak jauh maksudnya.
"Kurang ajar! Menjijikkan!"
Hera lalu pergi begitu saja meninggalkan Dante, dan di ikuti oleh pria itu.
"Kau kenapa mengikuti ku?! Pergi sana! Main sendiri saja, jangan malah mengikuti ku terus!"
"Tidak mau. Mainnya tidak seru jika tidak bersamamu," kata nya, menggoda Hera.
"Kau itu seperti papan catur, ya?" kata nya, mengalih pembicaraan.
"Kok tahu?" Dante pikir, Hera akan menggoda nya juga, jadi ia main iya-iya saja perkataan Hera tadi.
"Pantasan saja, luar dan dalamnya sangat berbeda!"
Dante yang tak paham maksudnya itu hanya bisa blank beberapa menit, "sialan," umpat nya setelah tahu apa maksud dari Hera. "Ku pikir akan di goda juga, dasar tidak bisa romantis!" lanjutnya, memaki-maki Hera, yang tengah membeli ice cream di depan nya itu.
"Sayang, aku juga mau. Beli kan punya ku juga!" teriak nya pada Hera.
"Sinting," jawab nya, "Pak, satu lagi ice cream-nya, rasa cokelat," pinta Hera kepada si tukang jual ice cream, sebenarnya ia tidak tahu apa rasa kesukaan Dante, ia hanya asal sebut saja. Persetan jika Dante tidak suka, ia saja yang akan menghabiskan nya.
"Ini." Hera memberikan ice cream tadi kepada Dante yang tengah duduk di salah satu kursi yang sudah di sediakan di sana.
Dante mengambilnya dan langsung memakannya, "wow, perhatian sekali kau, kau tahu rasa kesukaan ku? Kau sudah mulai kepo dengan diri ku, ya?" ucap nya narsis.
"Owh, kau suka rasa itu? Jangan percaya diri, aku hanya random memilih rasa saja, dan untung lah kau suka," kata nya sambil menjilati ice cream rasa vanilla nya itu yang sudah sedikit cair, "dan ya, ini tidak gratis. Kau ganti uang ku nanti," lanjut nya.
"Pelit."
"Kau itu kaya, seharusnya kau yang membelikan aku sesuatu, lagian juga kau kan suamiku, yang wajib menafkahi istrinya."
"Benar apa kata ku, kau itu sudah tertarik dan jatuh cinta ke dalam pesona ku, buktinya sekarang kau mengakui aku sebagai suamimu." Dante mengedipkan matanya sebelah kepada Hera.
"Untuk saat ini, aku menanggap mu sebagai husband material saja, aku akan menganggapmu sebagai suamiku jika kau mau mengeluarkan uang untuk ku, tapi jika tidak, kita itu tetap musuh," jelas Hera lancar, seperti tidak ada beban.
"Mata duitan."
"Semua manusia juga begitu, lihat diri mu sendiri. Sudah pelit, mata duitan pula," sindir Hera, membalikkan ucapan Dante.
Dante hanya bisa terdiam, karena ia kalah telak dengan ucapan Hera, tidak dapat membantah karena itu memang benar adanya.
"Benar. Aku memang mata duitan, jadi, sebagai istri yang baik, kau harus melakukan sesuatu untuk suami tampan mu ini," ucap tersirat Dante, yang memiliki arti lain. Namun tidak bisa di pahami oleh otak Hera.
"Melakukan apa? Aku kan sudah menjadi istri baik, dengan tidak memoroti semua harta kekayaan mu, lalu apa lagi?"
"Setelah ku pikir, kau masih belum menjadi istri yang baik, karena ...."
"Karena apa?"
"Karena kita belum berhubungan layaknya suami istri lakukan."
Ucapan Dante yang to the poin itu seketika membuat Hera tersedak ice cream nya sendiri, what the hell?! Pria ini benar-benar! Tidak bisa 'kah, ucapannya itu lebih difilter sedikit? Mereka sedang berada di Taman Bermain, yang notabene nya adalah tempat umum, lho. Bagaimana jika ada yang dengar? Betapa malunya Hera sekarang, astaga, Dante ini benar-benar ingin di potong, ya, mulut ember nya itu?!
"Kau gila?!! Dante jaga ucapan mu!" Hera sedikit murka sekarang, "aku tahu itu kewajiban ku sebagai seorang istri, tapi tidak bisa 'kah membicarakan ini di rumah saja?!"
Dante hanya menunjukkan box smiel nya, yang sangat manis itu, "jadi, kalau sedang di rumah, kau ingin kita langsung melakukan itu, ya?"
"T-tidak begitu juga maksud ku, tapi ahh sudah lah!"
"Bahkan kau mendesah, hanya dengan aku mengucapkan itu." Goda nya lagi, yang seketika mendapatkan pukulan di paha berotot nya.
"Brengsek, diam!"
Tidak bisa menahan lagi, akhirnya Dante tertawa sangat keras, entah kenapa ... rasanya sangat menyenangkan menjahili Hera seperti tadi.
.
.
.
.
***
Bersambung~
Aduh, baru aja mau akrab, eh udah berantem lagi. Kapan baikan nya sih, kalian berdua? Gedek saya lama-lama.
Awas aja nanti sampe cinlok, alias cinta lokasi. Ku tonjok juga kalian berdua.
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
DevanTuan, kami sudah menemukan tempat tinggal Park Airin.***Saat sang matahari, telah menyembunyikan diri nya di ufuk barat, dan digantikan oleh bulan dan bintang yang penuh gemerlap menghiasi langit malam, Hera baru lah tersadar dari pingsan nya, ia agak kaget karena Dante membawa nya ke rumah sakit, ia pikir cuma akan di bawa pulang saja. Tapi ternyata ... Dante perhatian dengan nya?Saat bangun, Hera tidak melihat keberadaan Dante di ruangan ini, seperti nya dia sedang keluar, begitu pikir Hera. Tidak mau peduli dengan urusan Dante, Hera pun akhir nya kembali melanjutkan tidur nya, karena sumpah demi apa pun, sekarang ia merasa tubuh nya benar-benar seperti ingin remuk, karena terlalu kelelahan bermain sepanjang hari. Makan pun tak sempat, karena mata nya sudah tidak tahan untuk terjaga lebih lama.***"Kenapa bisa kabur?! Menangkap seorang wanita saja kalian
!! PERHATIAN !!Saya menerima semua kritikan kalian, jika disampaikan secara baik. So, jika ingin mengkritik, ingat juga untuk menjaga sopan santun kalian, ya!Mentalitas tiap orang itu beda-beda. Saya juga menentang keras tentang plagiarisme, bagi kalian yang berniat jahat ingin mengkopas cerita milik orang lain, jauh-jauh kalian dari cerita punya saya!So, happy reading~ hope you enjoy with this story.~~~~"Apapun yang terjadi, kau harus menikah dengannya!" teriak Leera, menatap penuh emosi kepada anaknya, Hera.***Masalah besar, keluarganya tengah dalam masalah, terlilit hutang berjuta-juta won dengan seorang pengusaha kaya raya, keturunan asli Korea, bernama Kim Dante. Pria yang sudah menginjak kepala tiga tahun lalu itu, baru saja
Malam sudah tiba, pukul 19:30 KSL, Leera pulang dari rumah dengan raut wajah kelelahan. Mencari pekerjaan seharian di hari yang panas menyengat, benar-benar menghabiskan seluruh tenaganya. Namun, masih saja belum menemukan tempat kerja yang mau menampung dirinya.Ia masuk ke rumah, dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Mengusap kepalanya menahan pusing yang membuat tubuhnya semakin lemah."Sudah pulang, Bu?" ucap Hera yang baru keluar dari kamarnya, menghampiri sang Ibu dan duduk di sampingnya."Sudah mendapatkan pekerjaan?" tanyanya lagi."Diam. Ibu sedang pusing, jangan banyak bertanya. Lebih baik kau ambil pil pereda pusing dan air putih, Ibu tidak bisa mengambilnya sendiri."Hera menuruti perintah Ibunya, sekesal-kesal dan semarah-marahnya Leera kepadanya, tetap saja Hera khawatir dengan keadaan Leera.Setelah mengambil dua barang tadi, Hera memberika
"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur."Ibu, aku lapar," katanya."Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap.""Baik, Bu."Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera."Memasak makanan kesukaanku?""Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya.""Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja.""Iya."
Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera."Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya."Ayah ... aku takut.""Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut."Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu.""Ta
Pasangan pengantin baru itu sudah kembali dari hotel, dan kini tengah berada di rumah pribadi Dante."Ini rumahmu?" tanya Hera."Lalu, rumah siapa lagi?" balasnya dengan penuh ke angkuhan.Hera tidak menanggapi, dia sedang malas beradu mulut dengan Dante. Ia menghela nafas sedikit lebih panjang."Kau ... benar-benar ingin mengajakku tinggal di sini? Bersama orang tuamu, ya?"Hera baru ingat, jika Dante tidak pernah memperkenalkan orang tuanya kepadanya. Lantas itu membuat Hera takut untuk tinggal bersama orang tua Dante, lebih tepatnya canggung. Ia berpikir, apakah orang tua Dante tahu, kalau anaknya sudah menikah? Entahlah. Hera juga takut, jika nantinya ia akan dijadikan bahan olok-olokan mertuanya."Tidak. Ini rumahku sendiri."Hera ber oh ria, "lalu orang tua mu?""Bukan urusanmu.""Cih. Aku hanya bertanya saja, tidak
Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap bingung melihat mereka."Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya."B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.' Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.Hera pun dengan senang hati menuruti.Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya."Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya.""Ah, i-iya, nanti akan ku buat.""Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
DevanTuan, kami sudah menemukan tempat tinggal Park Airin.***Saat sang matahari, telah menyembunyikan diri nya di ufuk barat, dan digantikan oleh bulan dan bintang yang penuh gemerlap menghiasi langit malam, Hera baru lah tersadar dari pingsan nya, ia agak kaget karena Dante membawa nya ke rumah sakit, ia pikir cuma akan di bawa pulang saja. Tapi ternyata ... Dante perhatian dengan nya?Saat bangun, Hera tidak melihat keberadaan Dante di ruangan ini, seperti nya dia sedang keluar, begitu pikir Hera. Tidak mau peduli dengan urusan Dante, Hera pun akhir nya kembali melanjutkan tidur nya, karena sumpah demi apa pun, sekarang ia merasa tubuh nya benar-benar seperti ingin remuk, karena terlalu kelelahan bermain sepanjang hari. Makan pun tak sempat, karena mata nya sudah tidak tahan untuk terjaga lebih lama.***"Kenapa bisa kabur?! Menangkap seorang wanita saja kalian
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat."Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat."Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap bingung melihat mereka."Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya."B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.' Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.Hera pun dengan senang hati menuruti.Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya."Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya.""Ah, i-iya, nanti akan ku buat.""Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
Pasangan pengantin baru itu sudah kembali dari hotel, dan kini tengah berada di rumah pribadi Dante."Ini rumahmu?" tanya Hera."Lalu, rumah siapa lagi?" balasnya dengan penuh ke angkuhan.Hera tidak menanggapi, dia sedang malas beradu mulut dengan Dante. Ia menghela nafas sedikit lebih panjang."Kau ... benar-benar ingin mengajakku tinggal di sini? Bersama orang tuamu, ya?"Hera baru ingat, jika Dante tidak pernah memperkenalkan orang tuanya kepadanya. Lantas itu membuat Hera takut untuk tinggal bersama orang tua Dante, lebih tepatnya canggung. Ia berpikir, apakah orang tua Dante tahu, kalau anaknya sudah menikah? Entahlah. Hera juga takut, jika nantinya ia akan dijadikan bahan olok-olokan mertuanya."Tidak. Ini rumahku sendiri."Hera ber oh ria, "lalu orang tua mu?""Bukan urusanmu.""Cih. Aku hanya bertanya saja, tidak
Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera."Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya."Ayah ... aku takut.""Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut."Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu.""Ta
"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur."Ibu, aku lapar," katanya."Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap.""Baik, Bu."Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera."Memasak makanan kesukaanku?""Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya.""Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja.""Iya."