"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.
Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat.
"Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.
Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat.
"Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
"Iya, Bu. Aku juga bingung, rumah sebagus itu ternyata ada penunggunya juga. Serem."
"Mungkin, Dante jarang pulang. Dan rumah itu jadi kosong, makanya ada hantu."
"Mungkin saja, Bu. Oh ya, Ibu, aku mau bertanya ... tentang Dante."
"Apa?"
"Aku sedikit heran saja, Ibu tahu, tentang keberadaan orang tuanya, atau tidak? Jangan salah paham, aku cuma penasaran, karena semenjak menikah dengan Dante, aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan mereka, saat ku tanya juga Dante tidak mau bicara," tuturnya.
"Ibu kurang tahu, Ibu cuma dapat informasi sedikit, jika orang tua Dante sudah bercerai saat Dante masih duduk di Sekolah Menengah Atas, sempat dengar juga jika Dante tinggal bersama ayah nya, dan beberapa tahun kemudian, ayahnya meninggal. Kalau tentang ibu Dante, Ibu juga tidak tahu sama sekali. Yang Ibu tahu cuma, setelah mereka berpisah, ibunya sempat menikah lagi," jelasnya.
"Wow, dari mana Ibu tahu semua itu? Tunggu, biar ku tebak. Pasti dari bibi Jane?"
"Seperti yang kau tebak."
Hera menjentikkan jarinya, "sepertinya, kau harus mempertemukan aku dengan bibi Jane lagi, Bu."
"Untuk apa?"
"Cuma ingin bertanya, sebenarnya pekerjaan Kim Dante itu apa."
"Owh, Ibu mengerti. Sekarang kau sudah ingin mengetahui lebih lanjut tentang suami mu, ya? Sudah tumbuh benih-benih cinta, setelah tinggal di atap yang sama?" Leera mulai menggoda anaknya.
"Ah, Ibu. Malas aku kalau sudah begitu. Mana mungkin aku jatuh cinta sama pria brengsek, seperti Kim Dante? Aku cuma penasaran saja, soalnya Dante itu sangat kaya, tapi aku tidak tahu pekerjaannya, siapa tahu saja, aku bisa berguru padanya untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin," jelasnya.
"Ahh, begitu, ya? Ibu kira sudah mulai cinta. Hahah."
"Ibu~"
Leera tertawa.
"Harmonis sekali Anak pertama dan Istriku ini, jadi cemburu," ucap Taesik yang baru pulang dari kerja. Dan berjalan mendekati ke dua wanita kesayangannya.
"Ayah!" Hera menerjang Ayahnya dengan sebuah pelukan hangat. "Aku benar-benar rindu sekali dengan Ayah, rindu serindu-rindu nya."
"Aduh, anakku yang manis. Ayah juga rindu, ngomong-ngomong kenapa kau ke sini?"
"Kenapa apanya? Ayah sudah tidak boleh aku mengunjungi kalian?" sindir Hera, dengan melepaskan pelukan mereka.
"Tidak begitu, Ayah kira kau ada masalah dengan Dante."
"Setiap hari juga aku bermasalah dengan Dante itu," koreksinya.
"Jangan begitu, walaupun Dante brengsek, tetapi dia tetap suami mu, setidaknya hormati dia dengan status itu." Taesik menegur.
"Iya, ya. Makanya cepat lunasi hutang kalian agar kita tidak berurusan lagi dengan Dante."
"Ayah berusaha sekuat yang Ayah bisa, dan syukurlah uangnya hampir terkumpul, mungkin bulan depan, kau bisa minta cerai pada Dante."
"Benar, 'kah? Ayah~~ aku sayang, Ayah." Lagi-lagi, Hera memeluk erat Taesik.
Leera yang melihat itu, tersenyum melihat interaksi anak perempuan dan Ayahnya.
"Ibu, sini. Ayo kita berpelukan~"
Leera semakin tersenyum lebar, dan ikut dalam pelukan hangat tersebut, "pelukan~"
Sedang enak-enak nya berpelukan dengan orang-orang tersayang, tiba-tiba ada yang memencet bel.
"Biar aku yang buka," aju Hera.
Hera membuka pintu, dan tebak siapa tamu tak diundang yang datang? Yup, Kim Dante.
"Sudah ku duga kau pasti di sini," ucapnya setelah melihat Hera yang membukakan pintu.
"Kau? Kenapa ke sini?" ucap Hera, dengan nada tidak ramah.
"Menjemputmu."
"Siapa, Nak?" teriak Taesik.
"Tamu tak diundang, Yah," sindirnya.
Tiba-tiba Dante masuk dan melewati Hera begitu saja, "halo Ibu dan Ayah mertua, apa kabar? Sudah lama tidak bertemu," ucapnya ramah.
"Kami baik, Tuan sendiri?" jawab Leera.
"Astaga, Ibu. Aku ini menantumu, jangan panggil aku seperti itu lagi, canggung rasanya. Anggap saja aku anak kalian."
Leera menghela napas, "Baiklah jika mau kau begitu, Kim Dante," ucapnya.
"Nah, begitu lebih baik."
"Ada apa kau ke sini?" tanya Taesik.
"Aku cuma ingin mengunjungi Ayah dan Ibu mertua, sekaligus menjemput Istri cantikku," jawabnya lalu mengedipkan sebelah matanya ke arah Hera.
"Owh, kalau begitu. Silahkan. Bawa lah istri mu pulang," ucap Taesik lagi.
"Ayah!"
"Baiklah, kalau begitu, kami pulang dulu. Selamat malam, dan selamat tinggal mertua," pamit Dante.
"Ayo, Sayang, kita pulang ke rumah kita," ajak Dante, ia pun menyeret Hera untuk pulang bersamanya. Namun kali ini, Hera tidak memberontak. Hanya diam dan menurut saja.
"Kenapa? Kau takut tidur sendirian?"
Setelah berada di mobil, Hera baru lah membuka mulutnya, menyindir Dante.
"Takut? Untuk apa?"
"Jangan mengelak, apa aku harus menceritakan kembali apa yang terjadi pagi tadi?"
"Tidak usah, dan jangan menyombongkan diri."
Hera hanya terkekeh geli.
"Dasar penakut."
"Dasar sok berani."
"Aku memang berani."
"Iya, saking beraninya, kau sampai mengungsi tidur di rumah orang tuamu."
Hera skakmat.
"Sialan."
***
Sampainya di rumah, Dante melihat ada sebuah mobil BMW yang terparkir di depan rumahnya.
Ia sangat mengenali mobil tersebut.
'Park Jimy?'
Hera juga bingung melihat mobil itu, ingin bertanya kepada Dante. Namun, malas bicara. Jadi, dia lebih memilih diam, dan akan tahu sendiri setelah siapa itu setelah melihatnya langsung.
Mereka masuk ke rumah, dan benar saja dugaan Dante, bahwa Jimy lah yang datang, bersama Devan.
Bagaimana mereka bisa masuk, padahal rumah sudah dikunci, dengan sandi pula? Jawabannya adalah; Devan mengetahui kata sandi rumah Dante, itu karena Devan adalah kaki kanannya, yang berarti Dante benar-benar mempercayai Devan dalam mengurus berbagai hal.
Memang sebelum menikah dengan Hera, Dante sangat jarang pulang ke rumah, dan dia menyuruh Devan untuk mengurus rumahnya--mencari pembantu untuk membersihkan rumah. Tapi setelah menikah, Dante mulai berhenti menyuruh Devan melakukan itu, dan memecat pembantunya. Karena ia dan Hera akan tinggal di sana.
"Yo, Kim Dante. Lihat siapa yang berkunjung?" sapa Jimy menyambut Dante.
"Selamat malam, Tuan," ucap Devin.
"Yo, Park Jimy. Sudah lama tidak bertemu, kau terlihat lebih bahagia saja dari sebelumnya," basa-basi Dante. "Selamat malam juga."
"Wow, siapa wanita cantik, ini?" tanyanya, setelah melihat Hera.
"Lee Hera," ucapnya memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya, yang di balas oleh Jimy.
"Seperti yang kau tahu, aku Park Jimy, pengusaha muda kaya raya yang memiliki beberapa perusahaan elektronik besar di Korea Selatan," ucapnya, dengan penuh kesombongan.
Hera tidak percaya, ternyata masih ada yang lebih angkuh dari Kim Dante, pikirnya.
"Salam kenal," balas Hera.
"Salam kenal juga, cantik."
Hera tersenyum, sedikit risih saat Jimy sedari tadi tidak melepaskan pegangan tangannya. Lalu ia berdehem, untuk mengingatkan.
"Tanganmu halus sekali, aku suka. Kau tipe idealku," ucapnya, namun masih belum melepaskan tangan Hera, ucapannya juga sama sekali tidak di mengerti oleh Hera.
"Hmm ... Jimy, sepertinya ada hal yang sangat penting, untuk kau bicarakan?" ucap Dante, mengalihkan fokus Jimy agar segera melepaskan Hera.
"Ah, benar. Ada yang ku ingin ku bicarakan." Jimy melepas tangan Hera, lalu Hera pun segera pergi secepatnya ke kamar, persetan dengan hantu, sekarang ia lebih takut dengan pria bernama Park Jimy dari pada yang lain.
Setelah Hera pergi berlalu, baru lah mereka memulai pembicaraan.
"Jadi?"
"Seperti yang kau tahu, pelayanan para pekerja mu itu benar-benar bagus dan sangat sexy. Aku benar-benar puas sebelumnya, dan yeah, aku datang lagi untuk itu~" jelas Jimy.
"Terima kasih. Nanti akan ku pilihkan satu di antara mereka yang cocok dengan dirimu," kata Dante.
"Tidak perlu. Aku sudah menemukan pilihanku sendiri, yang benar-benar tipe idealku," kata Jimy, bangga.
"Siapa?" tanya Dante.
"Wanita tadi, siapa namanya? Lee Hera? Iya, benar. Wanita itu, akan ku bayar dua kali lipat, dan jika pelayanannya memuaskan ku, maka akan ku naikkan bayaran menjadi tiga kali lipat, dengan syarat ... hanya aku yang boleh menikmatinya, bagaimana, Dante? Setuju?" jelas Jimy panjang lebar.
"A-apa?"
"Kenapa? Dia wanita yang bekerja denganmu juga, 'kan?"
"Buk--" ucapan Devan terpotong.
"Benar. Nanti aku akan membujuk nya untuk melayani mu, kau tenang saja, Jimy. Ku pastikan kau puas, dan ketagihan jika bermain bersamanya."
"Baik. Deal. Aku akan mengabari mu jika waktu ku sedikit senggang," jawab Jimy. Tetap dengan gaya yang angkuh.
"Siap!"
Jimy pun pamit pergi.
"Tapi, Tuan--"
"Aku tidak butuh pendapatmu," tegas Dante yang seketika membuat Devan terdiam.
Walaupun Devan sudah lama bekerja dengan Dante, ia mengakui jika dirinya juga brengsek, tapi Devan tidak lah se-brengsek Dante, ia masih menghormati wanita sekalipun pekerjaannya adalah tentang hal tersebut. Devan masih punya hati, untuk tidak mencari wanita yang telah bersuami sebagai pekerja barunya, tapi Dante? Dia itu sudah seperti iblis. Bagaimana bisa istrinya sendiri, di jual kepada pria lain? Gila memang pria satu ini!
"Bagaimana? Sudah menemukan informasi tentang Park Airin?" tanya Dante.
"Masih belum, Tuan."
"Bagaimana dengan keluarganya?"
"Sudah menemukan beberapa informasi, dan sekarang, aku menyuruh beberapa orang untuk mengintai kediaman mereka. Namun, katanya, tidak ada tanda-tanda jika Airin ada di sana."
Dante menghela napas, "sebaiknya kau tekan lagi mereka agar lebih giat bekerja, jika tidak mau ku bunuh, jika dalam dua hari ini kalian tidak mendapatkan informasi apapun tentang Airin, maka bawa keluarganya kepada ku, sandra mereka agar memancing Airin keluar dari persembunyiannya."
"Baik, Tuan."
.
.
Hera yang merasa kerongkongannya kering, karena tidak dibasahi dengan air, itu pun keluar dari kamar dan menuju dapur, ingin minum sesuatu.
Setelah meminum beberapa teguk air dan menghilangkan dahaganya, berniat kembali ke kamar, namun terhenti ketika ia tidak sengaja mendengar percakapan Dante dan Devan.
Ia menguping semua pembicaraan mereka, lalu mengerutkan keningnya setelah mendengar kata 'bunuh'
"Astaga, kejam sekali," refleknya.
"Park Airin? Siapa dia? Kenapa Dante terlihat sangat marah saat Airin tidak kunjung di temukan? Ada masalah apa?"
Rentetan pertanyaan yang muncul di otak Hera, membuatnya pusing sendiri.
"Ah, sudahlah. Untuk apa aku peduli?" katanya, lalu pergi dari sana.
.
.
.
Bersambung~~
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
DevanTuan, kami sudah menemukan tempat tinggal Park Airin.***Saat sang matahari, telah menyembunyikan diri nya di ufuk barat, dan digantikan oleh bulan dan bintang yang penuh gemerlap menghiasi langit malam, Hera baru lah tersadar dari pingsan nya, ia agak kaget karena Dante membawa nya ke rumah sakit, ia pikir cuma akan di bawa pulang saja. Tapi ternyata ... Dante perhatian dengan nya?Saat bangun, Hera tidak melihat keberadaan Dante di ruangan ini, seperti nya dia sedang keluar, begitu pikir Hera. Tidak mau peduli dengan urusan Dante, Hera pun akhir nya kembali melanjutkan tidur nya, karena sumpah demi apa pun, sekarang ia merasa tubuh nya benar-benar seperti ingin remuk, karena terlalu kelelahan bermain sepanjang hari. Makan pun tak sempat, karena mata nya sudah tidak tahan untuk terjaga lebih lama.***"Kenapa bisa kabur?! Menangkap seorang wanita saja kalian
!! PERHATIAN !!Saya menerima semua kritikan kalian, jika disampaikan secara baik. So, jika ingin mengkritik, ingat juga untuk menjaga sopan santun kalian, ya!Mentalitas tiap orang itu beda-beda. Saya juga menentang keras tentang plagiarisme, bagi kalian yang berniat jahat ingin mengkopas cerita milik orang lain, jauh-jauh kalian dari cerita punya saya!So, happy reading~ hope you enjoy with this story.~~~~"Apapun yang terjadi, kau harus menikah dengannya!" teriak Leera, menatap penuh emosi kepada anaknya, Hera.***Masalah besar, keluarganya tengah dalam masalah, terlilit hutang berjuta-juta won dengan seorang pengusaha kaya raya, keturunan asli Korea, bernama Kim Dante. Pria yang sudah menginjak kepala tiga tahun lalu itu, baru saja
Malam sudah tiba, pukul 19:30 KSL, Leera pulang dari rumah dengan raut wajah kelelahan. Mencari pekerjaan seharian di hari yang panas menyengat, benar-benar menghabiskan seluruh tenaganya. Namun, masih saja belum menemukan tempat kerja yang mau menampung dirinya.Ia masuk ke rumah, dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Mengusap kepalanya menahan pusing yang membuat tubuhnya semakin lemah."Sudah pulang, Bu?" ucap Hera yang baru keluar dari kamarnya, menghampiri sang Ibu dan duduk di sampingnya."Sudah mendapatkan pekerjaan?" tanyanya lagi."Diam. Ibu sedang pusing, jangan banyak bertanya. Lebih baik kau ambil pil pereda pusing dan air putih, Ibu tidak bisa mengambilnya sendiri."Hera menuruti perintah Ibunya, sekesal-kesal dan semarah-marahnya Leera kepadanya, tetap saja Hera khawatir dengan keadaan Leera.Setelah mengambil dua barang tadi, Hera memberika
"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur."Ibu, aku lapar," katanya."Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap.""Baik, Bu."Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera."Memasak makanan kesukaanku?""Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya.""Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja.""Iya."
Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera."Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya."Ayah ... aku takut.""Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut."Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu.""Ta
DevanTuan, kami sudah menemukan tempat tinggal Park Airin.***Saat sang matahari, telah menyembunyikan diri nya di ufuk barat, dan digantikan oleh bulan dan bintang yang penuh gemerlap menghiasi langit malam, Hera baru lah tersadar dari pingsan nya, ia agak kaget karena Dante membawa nya ke rumah sakit, ia pikir cuma akan di bawa pulang saja. Tapi ternyata ... Dante perhatian dengan nya?Saat bangun, Hera tidak melihat keberadaan Dante di ruangan ini, seperti nya dia sedang keluar, begitu pikir Hera. Tidak mau peduli dengan urusan Dante, Hera pun akhir nya kembali melanjutkan tidur nya, karena sumpah demi apa pun, sekarang ia merasa tubuh nya benar-benar seperti ingin remuk, karena terlalu kelelahan bermain sepanjang hari. Makan pun tak sempat, karena mata nya sudah tidak tahan untuk terjaga lebih lama.***"Kenapa bisa kabur?! Menangkap seorang wanita saja kalian
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat."Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat."Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap bingung melihat mereka."Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya."B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.' Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.Hera pun dengan senang hati menuruti.Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya."Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya.""Ah, i-iya, nanti akan ku buat.""Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
Pasangan pengantin baru itu sudah kembali dari hotel, dan kini tengah berada di rumah pribadi Dante."Ini rumahmu?" tanya Hera."Lalu, rumah siapa lagi?" balasnya dengan penuh ke angkuhan.Hera tidak menanggapi, dia sedang malas beradu mulut dengan Dante. Ia menghela nafas sedikit lebih panjang."Kau ... benar-benar ingin mengajakku tinggal di sini? Bersama orang tuamu, ya?"Hera baru ingat, jika Dante tidak pernah memperkenalkan orang tuanya kepadanya. Lantas itu membuat Hera takut untuk tinggal bersama orang tua Dante, lebih tepatnya canggung. Ia berpikir, apakah orang tua Dante tahu, kalau anaknya sudah menikah? Entahlah. Hera juga takut, jika nantinya ia akan dijadikan bahan olok-olokan mertuanya."Tidak. Ini rumahku sendiri."Hera ber oh ria, "lalu orang tua mu?""Bukan urusanmu.""Cih. Aku hanya bertanya saja, tidak
Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera."Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya."Ayah ... aku takut.""Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut."Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu.""Ta
"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur."Ibu, aku lapar," katanya."Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap.""Baik, Bu."Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera."Memasak makanan kesukaanku?""Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya.""Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja.""Iya."