"Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya.
"B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.
'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.'
Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.
Hera pun dengan senang hati menuruti.
Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya.
"Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya."
"Ah, i-iya, nanti akan ku buat."
"Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
"Iya."
Setelah Devan pergi, Hera pun bergegas ke dekat Dante. Memukul-mukul perutnya sedikit kuat. Balas dendam. Mumpung Dante lagi tidak sadar.
"Dasar sialan! Bisa-bisanya meninggalkan aku sendirian di rumah sebesar ini. Apa kau tahu, hah? Apa yang aku alami semalam? Brengsek sekali kau Dante! Rasanya aku ingin mati semalam, brengsek!"
Hera terus memukulnya, namun Dante tidak memberikan reaksi apapun. Berarti benar, Dante memang sedang mabuk parah dan pingsan. Bukan cuma pura-pura.
Tidak puas hanya dengan memukul menggunakan tangannya, Hera lalu mengambil bantal yang ada di dekat Dante. Lalu, ingin membekap Dante dengan bantal itu.
"Dasar wanita gila, suami mu ini bisa mati jika kau membekap ku dengan itu, kau mau jadi janda di usia muda, hah?!" Dante menahan tangan Hera, seketika si empu nya tangan membelalakkan matanya. Terkejut bukan main.
"Ngomong-ngomong, pukulan mu kuat juga. Perutku rasanya sakit sampai sekarang," sindirnya.
"Sejak kapan kau bangun?" tanya Hera, sedikit cemas jika saja Dante marah dan membalas perbuatannya.
"Hmm, sejak kapan, ya? Kalau tidak salah, sejak kau mulai memukul dan memakiku?" balasanya, lalu memegang perutnya, "di sini ... sakit sekali, kau seperti kerasukan memukul ku tadi," lanjutnya.
"Kau beruntung kondisi ku masih lemah, jika tidak, sudah ku balas perbuatan mu lebih dari ini," ancamnya.
"S-salah kau sendiri! Kenapa membeli rumah yang ada hantunya, kemarin malam aku dijahili, dan kau tahu? Aku sudah seperti patung saja yang membeku di tempat, saking takutnya," celoteh Hera panjang lebar, mencari pembelaan untuk dirinya sendiri.
"Berhantu? Apa kau sedang tidur dan mengigau? Di dunia ini mana ada hantu, sinting. Mungkin ada, dan kau lah hantunya," Bukannya percaya, Dante malah berlagak dan mengatai Hera sebagai hantu? Stres.
"Sok sekali kau, nanti diganggu sepertiku baru kau tahu rasa. Aku yakin, kau akan menangis jika di posisiku semalam, atau jangan-jangan ... sampai pipis di celana? ups," sindir Hera, sambil menutup mulutnya di kalimat terakhir.
"Siapa bilang aku takut? Mana hantunya? jika dia benar-benar ada, maka muncul--" ucapannya terpotong.
Treng ....
Lampu tidur yang ada di nakas samping kasur pun terjatuh dengan sendirinya, dan pecah. Padahal tidak ada angin, ataupun sesuatu yang bisa saja membuat lampu itu terjatuh. Mereka berdua terkejut bukan main.
Dante yang melihat langsung dengan kepala matanya, seketika membulatkan mata, seakan-akan mata itu akan keluar dari tempatnya.
"Arghhhh!!!" Teriak mereka berdua kompak, lalu berlarian menuju keluar kamar.
Setelah berada di luar rumah, mereka pun berhenti. Hera seketika menumbuk pundak Dante sekencang-kencangnya.
"Apa ku bilang?! Kau lihat sendiri, 'kan? Hantu itu memang benar ada dan nyata! Lagian sok nantang sih, jadinya kan kena ganggu. Haduh, jantungku. Ya ampun," makinya sambil mengusap pelan dadanya, menenangkan diri sendiri.
Dante tidak menjawab apa-apa, badannya masih bergetar hebat, mukanya juga sedikit pucat, seketika pusing akibat mabuknya itu hilang seketika, digantikan rasa takut yang benar-benar.
"Hey! Kau kenapa? Mukamu pucat sekali? Ketempelan? Ihh, sana kau, jangan dekat-dekat padaku!" Hera menjaga jarak dari Dante.
"Hera ...," panggilnya, "aku ... pipis di celana," akunya.
Hera yang mendengarkan itu, awalnya hanya bisa blank, namun beberapa detik setelahnya baru lah ia tertawa dengan sangat kencang, sampai-sampai air matanya keluar sedikit.
"Astaga, Dante. Lintenir seperti kau, takut dengan hantu? Bahkan sampai pipis di celana? Kan benar apa kata ku tadi, kau itu payah! Lemah!" hina Hera. Mendengar itu, Dante hanya bisa merengut. Sakit hati saat di kata lemah.
"Penampilan saja seperti tidak takut apa-apa, baru di isengin hantu saja sudah mati ketakutan, itu baru melempar barang, belum lagi jika ditampakin. Bagaimana kira-kira reaksimu saat ia menampakkan wujudnya, ya? Apa kau akan langsung pingsan di tempat, atau ...."
"Berisik. Dasar cerewet," katanya, lalu meninggalkan Hera sendirian di luar, dan masuk ke dalam rumahnya.
"Ya, penakut! Apa kau tidak takut masuk, hah? Bisa saja dia akan menjahili kau lagi--"
Dante berbalik arah dan menarik tangan Hera, "makanya temani aku mengganti celana," ucapnya.
"Ya! Tidak mau!"
"Aku yang mau."
"Shit, ya, Kim Dante! Lepaskan!"
"Temani aku dahulu, Istri. Jika tidak ...."
"Jika tidak, apa, hah?!"
Dante mendekati Hera, dan membisikkan sesuatu.
"Jika tidak ... aku akan menuntut hak ku sebagai suamimu," ucapnya, kemudian smirk.
Hera hanya terdiam, tidak menjawab. Jujur, dalam pernikahan yang paling ia takuti adalah melakukan itu. Ia sangat bersyukur, sampai sekarang Dante tidak menyentuh tubuhnya lebih lanjut, namun mendengar ancaman dari Dante, seketika membuatnya langsung patuh dan tidak memberontak lagi.
"Baiklah, Paduka. Ayo saya temani," ucapnya sambil menunduk hormat.
"Bagus, nanti upah mu akan Paduka tambah," balasnya, masuk dalam permainan.
'damn' batin Lee Hera.
****
Sebenarnya Park Airin itu takut, sangat takut menghadapi Kim Dante. Tapi, demi terbebas darinya, ia terpaksa melakukan hal itu, agar dipecat.
Mau tanya kenapa Airin tidak mengundurkan diri saja? Sudah jelas jawabannya, Dante sialan itu tidak membiarkannya begitu saja.
Memang, berurusan dengan Dante akan lebih rumit, dan membuatnya terlibat masalah lebih dalam. Tapi, Airin sudah siap menerima konsekuensinya.
Airin tahu, beberapa dari wanita yang bekerja untuk Dante, juga sebenarnya ditipu, sama sepertinya. Banyak yang tidak mau melakukan hal itu, tetapi dipaksa. Jika menolak, maka akan mengancam nyawa keluarganya yang tidak tahu apa-apa, mereka kira anak mereka sedang bekerja dengan senang dan nyaman, bukannya menjadi pelacur seperti ini. Jadi, mereka tidak bisa berkutik. Tidak ada yang berani membantah, ataupun mengkhianati Dante.
Awalnya, Airin juga begitu. Tidak berani berhadapan ataupun mencari masalah kepada Kim Dante untuk melindungi keluarganya. Namun, setelah ia pikir-pikir, kenapa mereka tidak melaporkan saja hal ini kepada pihak kepolisian? Di sini, bukan dia saja yang menjadi korban, tapi puluhan gadis yang kehilangan gelar mereka, padahal masih sangat muda, dan masih mempunyai segudang impian yang belum tercapai, namun dipatahkan karena adanya Kim Dante.
Airin mengajak yang lain untuk bekerja sama, namun semuanya menolak, tidak mau mendapatkan konsekuensi. Airin tiap hari membujuk, untuk mengajak mereka menyuarakan keadilan, tetapi hasilnya tetap sama. Tidak ada yang berani selain dirinya sendiri.
Airin juga sempat drop dalam beberapa hari, setelah kembali sehat, dan mulai lah Airin memantapkan hatinya dan menyusun strategi, agar Dante mau mengakui perbuatannya sendiri--yang nantinya akan dijadikan bukti untuk diberikan kepada polisi. Dan, yeah, kemarin dia berhasil mendapatkannya, walaupun harus mendapatkan jambakan dan tamparan keras. Yang rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang. Jujur saja, waktu itu Airin juga sangat takut, namun ia berhasil menyembunyikan ketakutannya sendiri, memakai topeng terbaiknya. Airin bangga dengan dirinya, sudah sangat cocok untuk memasuki dunia per-film-an, dan menjadi aktris terkenal.
Namun, lagi-lagi perasaan ragu dan bimbang untuk melangkah lebih maju, terlintas di benak Airin. Ia kembali khawatir dan cemas terhadap keluarganya, apa 'kah mereka baik-baik saja? Apa mereka tengah di jadikan sandra oleh Dante, supaya ia keluar dari persembunyiannya dan memberikan rekaman bukti tersebut? Entahlah. Airin tidak tahu, ia bimbang, ia juga tidak menceritakan semuanya kepada keluarganya. Ibunya juga sudah dua hari ini tidak memberi kabar, semakin membuatnya khawatir saja. Apa orangtuanya sudah mengetahui jika anaknya ini seorang wanita penghibur? Hal yang sangat Airin takuti.
.
.Sudah tiga hari ini, Airin tidak keluar dari apartemen barunya, yang dilakukannya hanya menangis dan menangis, meratapi nasibnya yang begitu malang. Beruntung, kemarin Ibunya menelpon dan menanyakan kabar Airin, ia juga sempat bertanya apa ada orang asing yang datang ke rumah. Dan jawaban Ibunya, adalah tidak. Airin bernapas lega, ia memperingati keluarganya, untuk tidak kemana-mana dulu, sampai ia mengabarkan kembali. Ibunya sempat bertanya ada apa, Airin cuma bilang, untuk mengikuti saja apa katanya jika masih ingin ia hidup. Mendengar itu, Ibunya langsung mengiyakan saja. Telpon pun terputus, Airin yang mematikannya terlebih dahulu.
"Ibu, Ayah, doa kan yang terbaik untuk anakmu, dan maafkan aku." Airin bermonolog.
Ia kemudian beranjak dari kasur nya, dan menuju ke dapur. Beruntung ada sedikit sisa bahan makanan, dan ia pun membuat sesuatu yang bisa mengisi perutnya yang sudah berbunyi sedari tadi, minta di isi.
"Semangat, Park Airin. Kau tidak boleh menyerah! Demi menegakkan keadilan, dan demi orang tua mu, kau harus menerima semua konsekuensi yang akan datang," monolognya, menyemangati diri sendiri.
"Kim Dante, ku berdoa semoga kau cepat diberi kesadaran oleh Tuhan, dan segera bertobat, jika tidak ingin mati dan menjadi arwah penasaran," ucap Airin, memanjatkan doa.
"Tuhan, tolong selamatkan orang tua ku dari Kim Dante sialan itu, jangan biarkan Dante mengusik keluarga ku, jangan hukum mereka atas perbuatan tidak senonoh ku, hukum saja aku, karena aku memang pantas mendapatkannya," sambungnya lagi.
Lalu, setelah selesai berdoa, ia pun mulai memasak, karena benar-benar sudah tidak tahan.
Ia memasak ramen, setelah matang, lalu memakannya dengan sangat lahap. Sepertinya, Airin memang benar-benar kelaparan. Astaga.
***
Bersambung~
Dante ini bikin saya esmosi aja, main Jambak dan nampar anak orang sembarangan.
Btw, Dante kalo lagi bareng Hera, kok gak pernah akrab, ya? Berantem mulu perasaan:v
"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat."Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat."Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
DevanTuan, kami sudah menemukan tempat tinggal Park Airin.***Saat sang matahari, telah menyembunyikan diri nya di ufuk barat, dan digantikan oleh bulan dan bintang yang penuh gemerlap menghiasi langit malam, Hera baru lah tersadar dari pingsan nya, ia agak kaget karena Dante membawa nya ke rumah sakit, ia pikir cuma akan di bawa pulang saja. Tapi ternyata ... Dante perhatian dengan nya?Saat bangun, Hera tidak melihat keberadaan Dante di ruangan ini, seperti nya dia sedang keluar, begitu pikir Hera. Tidak mau peduli dengan urusan Dante, Hera pun akhir nya kembali melanjutkan tidur nya, karena sumpah demi apa pun, sekarang ia merasa tubuh nya benar-benar seperti ingin remuk, karena terlalu kelelahan bermain sepanjang hari. Makan pun tak sempat, karena mata nya sudah tidak tahan untuk terjaga lebih lama.***"Kenapa bisa kabur?! Menangkap seorang wanita saja kalian
!! PERHATIAN !!Saya menerima semua kritikan kalian, jika disampaikan secara baik. So, jika ingin mengkritik, ingat juga untuk menjaga sopan santun kalian, ya!Mentalitas tiap orang itu beda-beda. Saya juga menentang keras tentang plagiarisme, bagi kalian yang berniat jahat ingin mengkopas cerita milik orang lain, jauh-jauh kalian dari cerita punya saya!So, happy reading~ hope you enjoy with this story.~~~~"Apapun yang terjadi, kau harus menikah dengannya!" teriak Leera, menatap penuh emosi kepada anaknya, Hera.***Masalah besar, keluarganya tengah dalam masalah, terlilit hutang berjuta-juta won dengan seorang pengusaha kaya raya, keturunan asli Korea, bernama Kim Dante. Pria yang sudah menginjak kepala tiga tahun lalu itu, baru saja
Malam sudah tiba, pukul 19:30 KSL, Leera pulang dari rumah dengan raut wajah kelelahan. Mencari pekerjaan seharian di hari yang panas menyengat, benar-benar menghabiskan seluruh tenaganya. Namun, masih saja belum menemukan tempat kerja yang mau menampung dirinya.Ia masuk ke rumah, dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Mengusap kepalanya menahan pusing yang membuat tubuhnya semakin lemah."Sudah pulang, Bu?" ucap Hera yang baru keluar dari kamarnya, menghampiri sang Ibu dan duduk di sampingnya."Sudah mendapatkan pekerjaan?" tanyanya lagi."Diam. Ibu sedang pusing, jangan banyak bertanya. Lebih baik kau ambil pil pereda pusing dan air putih, Ibu tidak bisa mengambilnya sendiri."Hera menuruti perintah Ibunya, sekesal-kesal dan semarah-marahnya Leera kepadanya, tetap saja Hera khawatir dengan keadaan Leera.Setelah mengambil dua barang tadi, Hera memberika
"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur."Ibu, aku lapar," katanya."Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap.""Baik, Bu."Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera."Memasak makanan kesukaanku?""Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya.""Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja.""Iya."
DevanTuan, kami sudah menemukan tempat tinggal Park Airin.***Saat sang matahari, telah menyembunyikan diri nya di ufuk barat, dan digantikan oleh bulan dan bintang yang penuh gemerlap menghiasi langit malam, Hera baru lah tersadar dari pingsan nya, ia agak kaget karena Dante membawa nya ke rumah sakit, ia pikir cuma akan di bawa pulang saja. Tapi ternyata ... Dante perhatian dengan nya?Saat bangun, Hera tidak melihat keberadaan Dante di ruangan ini, seperti nya dia sedang keluar, begitu pikir Hera. Tidak mau peduli dengan urusan Dante, Hera pun akhir nya kembali melanjutkan tidur nya, karena sumpah demi apa pun, sekarang ia merasa tubuh nya benar-benar seperti ingin remuk, karena terlalu kelelahan bermain sepanjang hari. Makan pun tak sempat, karena mata nya sudah tidak tahan untuk terjaga lebih lama.***"Kenapa bisa kabur?! Menangkap seorang wanita saja kalian
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat."Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat."Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap bingung melihat mereka."Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya."B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.' Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.Hera pun dengan senang hati menuruti.Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya."Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya.""Ah, i-iya, nanti akan ku buat.""Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
Pasangan pengantin baru itu sudah kembali dari hotel, dan kini tengah berada di rumah pribadi Dante."Ini rumahmu?" tanya Hera."Lalu, rumah siapa lagi?" balasnya dengan penuh ke angkuhan.Hera tidak menanggapi, dia sedang malas beradu mulut dengan Dante. Ia menghela nafas sedikit lebih panjang."Kau ... benar-benar ingin mengajakku tinggal di sini? Bersama orang tuamu, ya?"Hera baru ingat, jika Dante tidak pernah memperkenalkan orang tuanya kepadanya. Lantas itu membuat Hera takut untuk tinggal bersama orang tua Dante, lebih tepatnya canggung. Ia berpikir, apakah orang tua Dante tahu, kalau anaknya sudah menikah? Entahlah. Hera juga takut, jika nantinya ia akan dijadikan bahan olok-olokan mertuanya."Tidak. Ini rumahku sendiri."Hera ber oh ria, "lalu orang tua mu?""Bukan urusanmu.""Cih. Aku hanya bertanya saja, tidak
Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera."Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya."Ayah ... aku takut.""Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut."Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu.""Ta
"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur."Ibu, aku lapar," katanya."Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap.""Baik, Bu."Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera."Memasak makanan kesukaanku?""Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya.""Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja.""Iya."