"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur.
"Ibu, aku lapar," katanya.
"Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap."
"Baik, Bu."
Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.
Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera.
"Memasak makanan kesukaanku?"
"Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya."
"Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.
Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja."
"Iya."
Hera melakukan perintah Ibunya, menata makanan-makanan kesukaannya yang menggugah selera. Hampir saja liur Hera menetes, saking tidak sabar untuk menyantap sup seafood, dan makanan lainnya.
"Good morning, my beautiful daughter!" sapa Taesik, sambil melambaikan tangannya. Baru saja ingin menjawab, tapi Hera ingat jika ia sedang dalam mode silent dengan Ayahnya. Jadi, dia hanya melanjutkan pekerjaan, dan kemudian langsung makan tanpa mempedulikan yang lain.
"Hera, makannya harus bersama. Tidak baik seperti itu," tegur Leera.
Hera hanya mengedikan bahunya tidak peduli, Leera dan Taesik mengembuskan nafas. Berusaha sabar.
"Lho, kakak. Kenapa main makan-makan saja? Kenapa tidak menunggu yang lain, dan makan-makan bersama?"
Hero si bocah kecil itu, yang baru balik dari toilet dan langsung melangkahkan kakinya sedikit tergesa ke arah Hera.
"Iya, kakakmu sedang ngambek, biarkan saja," jawab Leera.
"Ngambek itu apa?"
"Sedang tidak ingin bicara," balas Taesik.
"Kenapa tidak ingin bicara? Kakak sedang kena sariawan, 'kah? Kalau begitu, kakak harus cepat-cepat minum obat supaya cepat sembuh, dan juga biar nafas kakak tidak bau, heheh," kata Hero, menyerocos panjang lebar sambil menutup hidungnya di akhir kalimat.
Hera hampir saja lepas kendali, dan mencubit pipi gembul adiknya. Hero ini cerewet sekali, bikin Hera gemas saja pengen nyubit dan gigit-gigit.
"Selesai." Hera bangkit dari duduknya, ia berjalan masuk ke kamar.
"Kenapa tidak dihabiskan? Ini sup seafood, lho."
"Tidak selera makan." Walau dalam hati, Hera berteriak-teriak ingin memakan semua sup seafood itu, tapi harga diri lebih penting saat ini.
"Kalau begitu Ayah habiskan saja, ayo Hero kita habiskan bersama!" ucap Taesik bersemangat.
"Cih." Hera pura-pura tidak peduli, dan melanjutkan jalannya.
****
Setelah sarapan, Taesik bersiap untuk pergi bekerja. Taesik bekerja di sebuah Cafe sebagai barista, profesi ini sudah dijalankannya selama hampir setahun.
Hari ini, Leera tidak diizinkan keluar rumah untuk mencari pekerjaan karena Taesik melarangnya. Leera heran, kenapa Taesik bisa tahu kalau dia sedang mencari pekerjaan, padahal dia tidak mengatakannya. Meskipun begitu, Leera tetaplah Leera. Dia tidak mendengarkan perkataan Taesik, jadi setelah Taesik berangkat kerja, ia pun mulai bersiap-siap juga untuk mencari pekerjaan lagi.
"Mau ke mana, Bu?" tanya Hera.
"Mencari pekerjaan, Ibu tidak mau membebani ayahmu terlalu banyak. Kasihan dia, sudah tua. Hahaha."
"Aku ikut!"
"Tidak. Jika kau ikut bersama Ibu siapa yang akan mengurus Hero?"
"Bawa saja dia."
"Mana bisa!"
"Ah, baiklah. Aku tidak akan ikut. Tapi berjanji, jika hari ini Ibu tidak dapat pekerjaan juga. Tidak usah lagi dicari, melelahkan diri saja. Lagian juga Dante akan memberikan kita keringanan."
"Walaupun begitu, kebutuhan sehari-hari kita juga harus dipenuhi. Sudah, Ibu berangkat dulu. Jaga Hero dengan baik."
"Iya, hati-hati di jalan, Bu."
Baru saja Leera mengangkatkan kakinya melangkah ke luar, dan membuka pintu. Tiba-tiba saja, ia terhenti dan terkejut atas kehadiran Dante yang baru saja datang, dan ingin memencet bel. Tapi tidak jadi karena pintu sudah dibukakan oleh Leera. Kali ini dia tidak datang dengan bodyguard, melainkan seorang diri. Hanya dirinya. Hera juga sama terkejutnya dengan Leera.
"Wow, kebetulan macam apa ini? Aku baru saja ingin memencet bel, tapi Ibu mertuaku sudah membuka pintu terlebih dahulu."
"Ada apa?"
"Tenang dulu. Aku datang bukan untuk menagih hutang. Lihat? Tidak ada bodyguard ataupun senjata," ucapnya sambil meraba semua tubuhnya--memastikan tidak ada senjata apapun yang disembunyikan. "Tidak bisa, 'kah calon menantumu ini dipersilakan masuk? Aku ingin menghampiri calon istriku," lanjutnya lagi.
"Silahkan masuk," kata Leera, bergeser sedikit ke samping, memberi akses untuk Dante masuk.
"Mertua yang baik. Hallo, calon istri!" katanya menyapa. Mendekati Hera, dan duduk di sofa--lagi.
"Mau apa kau kemari?!"
"Sudah ku bilang sebelumnya, aku datang untuk menentukan tanggal pernikahan kita berdua."
"Tidak perlu tergesa-gesa, lagian kita harus membicarakannya juga dengan Ayahku," kata Hera.
"Oh, jadi kau sudah menerima lamaranku? Sudah ku bilang, 'kan, bagaimana pun kau pasti akan menjadi istri Kim Dante. Menunggu Ayahmu? Tidak bisa, aku punya banyak jadwal pekerjaan hari ini, namun aku rela mengulurkan waktuku sebentar untuk ke sini."
"Ck. Kapan kau melamar? Memporak-porandakan rumahku seperti kemarin, itu yang kau sebut sebagai melamar? Gila! Dan, oh, tidak mau melibatkan Ayahku? Mending tidak usah saja!" kesal Hera.
"Aku tidak peduli. Jadi, kau ingin aku melamarmu dengan cara lain, begitu? Boleh." Dante bangkit, dan berjongkok di depan Hera.
"Lee Hera, mau 'kah kau menjadi istriku?" kata Dante, belum mendapat jawaban dari Hera, Dante kemudian bangkit, "seperti itu mau mu?"
"Sinting."
"Aku anggap sebagai pujian, terima kasih." Dante kembali duduk, Hera menatap sinis kepadanya. Menyalurkan emosi dengan tatapan yang seakan-akan ingin membunuh Dante.
"Ibu mertua, kenapa hanya berdiri di situ saja? Ayo sini, duduk, dan mulai membicarakan hal yang semestinya."
Leera berjalan mendekat, kemudian duduk di sofa single yang berada di sebelah Dante.
"Semuanya untukmu," kata Leera.
"Tapi, Ibu--"
"Ikuti saja."
"Kau juga duduk, calon istri. Dan ya, tidak baik menatap calon suamimu ini seperti itu. Aku tahu aku tampan dan mempesona, jangan sampai liur mu menetes karena memuja-muja wajah tampanku ini."
Hera memutar bola mata, malas meladeni Dante. "Cih, pede sekali." Kemudian ia duduk.
"Ok, bisa dimulai diskusinya? Baiklah, Hera, kita menikah dua hari lagi," ucap Dante to the point, tanpa basa-basi, ataupun meminta saran dari pihak mempelai wanita.
"Kau gila?!! Dua hari lagi?! Aku bahkan belum siap! Bagaimana bisa kau mengambil keputusan sebelah pihak, tanpa mendiskusikannya dahulu dengan pihak lainnya?! Ini bukan diskusi namanya, tapi pemaksaan dengan gaya pernikahan!"
"Terserah apa katamu, aku tidak butuh pendapatmu. Yang jelas, semuanya sudah mulai dipersiapkan, oh ya, sore nanti aku akan datang lagi dan menjemputmu, kita ke toko gaun pengantin dan cincin pernikahan. Itu saja, aku pergi," katanya lalu berlalu begitu saja.
"Tapi-- Ibu, cobalah memohon kepadanya untuk memberiku sedikit waktu."
"Terima saja, Hera. Kau bilang bahkan berjanji untuk menikahinya, 'kan?"
"Iya, tapi kan tidak terpikirkan akan secepat ini."
"Sudahlah, ikuti alur. Ibu sudah tidak ingin ambil pusing. Jika dia ingin pernikahan dilangsungkan dua hari lagi, maka kita tidak bisa memprotes apalagi menolak. Itu sudah menjadi konsekuensi kita."
"Ibu, sebenarnya anak Ibu aku atau Dante?! Ibu lebih memihak padanya daripada aku?!"
"Tidak. Ibu tidak memihak siapapun, namun ini demi keberlangsungan hidup kita agar lebih baik. Kau harus mengikuti semua perintahnya."
"Arghh, stop! Ini membuatku ingin gila, dasar Kim Dante sialan, brengsek, brengsek, brengsek! Tidak tahu malu, kurang ajar, tidak punya sopan santun, mati saja sana!" makian penuh emosi dari Hera akhirnya keluar juga.
"Iya, Dante memang brengsek. Ibu sedikit menyayangkan hal itu."
"Maksud Ibu?!"
"Tidak ada maksud apa-apa, namun, sayang saja, orang sukses seperti dia yang hidup bergelimang harta, tapi tidak tahu sopan santun."
"Itu yang membuatku semakin benci padanya, Bu."
"Kau harus kuat, pernikahan kalian tidak akan lama. Ibu dan ayah akan berusaha lebih keras, agar bisa melunasi hutang dan membebaskanmu dari pria brengsek itu."
"Buktikan dengan perbuatan, jangan cuma omong kosong belaka, Bu."
"Ibu berjanji."
"Ada apa ini ribut-ribut?" Hero yang sedang berada di kamarnya--belajar dan bermain, lantas langsung keluar saat mendengar keributan di ruang tamu. Jiwa keponya meronta-ronta ingin tahu.
"Tidak ada apa-apa. Hero sudah belajarnya?" jawab Leera, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Sudah."
"Belajar apa saja hari ini? Maafkan Ibu tidak menemani Hero belajar hari ini, kakak juga minta maaf."
"Tidak apa. Aku kan sudah besar, dan tidak manja lagi. Oh ya, Ibu, hari ini aku belajar menggambar, hehehe."
"Menggambar? Benarkah? Coba Ibu lihat gambarmu."
Bocah berusia tiga tahun itu berlari dengan pipi gembulnya yang ke sana kemari, masuk ke kamar dan keluar dengan membawa gambarannya.
"Ini, Ibu," katanya sambil memberikan buku gambar miliknya ke Leera.
"Wah, bagus sekali. Ngomong-ngomong, ini siapa?"
"Ini ... Kakak. Bagus, 'kan, Bu?"
"Hahah. Bagus. Cocok. Kau sangat pintar menggambar. Persis seperti aslinya." Leera terkekeh geli.
"Makasih, Bu," balas Hero dengan tampang songongnya.
"Coba lihat." Hera yang penasaran juga, akhirnya melirik ke arah gambar adiknya.
"Apa-apaan ini?! Hero!!" teriakan menggelegar membuat Hero langsung berlari menyelamatkan diri. Berusaha untuk tidak tertangkap oleh kakaknya.
Kalian mau tahu apa yang di gambar Hero? Ia menggambar kakaknya, dengan sangat tidak berperi-kegambaran. Bagaimana tidak? Hera digambarkan sebagai gadis yang baru bangun tidur, dengan rambut yang berantakan, dan ... mengupil. Melihat itu, Hera dibuat naik pitam.
Leera yang melihat itu, hanya bisa tertawa kencang.
"Dapat!" Hera menangkap tangan adiknya, dan mengurung Hero dalam dekapan, "masih kecil jangan banyak tingkah, dasar gembul!" katanya sambil mengelitiki Hero. Sang adik hanya bisa tertawa, dan berusaha melarikan diri lagi. Namun, kekuatannya tidak lah sebesar kekuatan Hera. Rencana melarikan diri, sudah pasti gagal.
"Ampun, Kak. Ampuni aku," ucapnya seraya tersengal karena lelah habis digelitiki.
"Akan ku ampun kan jika kau menciumku."
Tanpa menunggu lama, Hero langsung bangkit dan menyerang Hera dengan ciuman.
"Sudah tidak marah lagi, Kak?"
"Heheh. Tidak, tapi tolong biarkan aku menyubit pipimu~" Hera langsung menangkup, dan memain-mainkan pipi gembul milik Hero. Seketika si empu pipi, tidak terima.
"Kakak, tidak adil!" katanya.
Leera semakin tertawa melihat interaksi keduanya, tidak berniat menghentikan mereka berdua. Tapi, malah menikmati kejadian.
"Dasar anak-anak," katanya.
.
...Bersambung
Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera."Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya."Ayah ... aku takut.""Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut."Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu.""Ta
Pasangan pengantin baru itu sudah kembali dari hotel, dan kini tengah berada di rumah pribadi Dante."Ini rumahmu?" tanya Hera."Lalu, rumah siapa lagi?" balasnya dengan penuh ke angkuhan.Hera tidak menanggapi, dia sedang malas beradu mulut dengan Dante. Ia menghela nafas sedikit lebih panjang."Kau ... benar-benar ingin mengajakku tinggal di sini? Bersama orang tuamu, ya?"Hera baru ingat, jika Dante tidak pernah memperkenalkan orang tuanya kepadanya. Lantas itu membuat Hera takut untuk tinggal bersama orang tua Dante, lebih tepatnya canggung. Ia berpikir, apakah orang tua Dante tahu, kalau anaknya sudah menikah? Entahlah. Hera juga takut, jika nantinya ia akan dijadikan bahan olok-olokan mertuanya."Tidak. Ini rumahku sendiri."Hera ber oh ria, "lalu orang tua mu?""Bukan urusanmu.""Cih. Aku hanya bertanya saja, tidak
Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap bingung melihat mereka."Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya."B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.' Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.Hera pun dengan senang hati menuruti.Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya."Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya.""Ah, i-iya, nanti akan ku buat.""Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat."Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat."Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
DevanTuan, kami sudah menemukan tempat tinggal Park Airin.***Saat sang matahari, telah menyembunyikan diri nya di ufuk barat, dan digantikan oleh bulan dan bintang yang penuh gemerlap menghiasi langit malam, Hera baru lah tersadar dari pingsan nya, ia agak kaget karena Dante membawa nya ke rumah sakit, ia pikir cuma akan di bawa pulang saja. Tapi ternyata ... Dante perhatian dengan nya?Saat bangun, Hera tidak melihat keberadaan Dante di ruangan ini, seperti nya dia sedang keluar, begitu pikir Hera. Tidak mau peduli dengan urusan Dante, Hera pun akhir nya kembali melanjutkan tidur nya, karena sumpah demi apa pun, sekarang ia merasa tubuh nya benar-benar seperti ingin remuk, karena terlalu kelelahan bermain sepanjang hari. Makan pun tak sempat, karena mata nya sudah tidak tahan untuk terjaga lebih lama.***"Kenapa bisa kabur?! Menangkap seorang wanita saja kalian
DevanTuan, kami sudah menemukan tempat tinggal Park Airin.***Saat sang matahari, telah menyembunyikan diri nya di ufuk barat, dan digantikan oleh bulan dan bintang yang penuh gemerlap menghiasi langit malam, Hera baru lah tersadar dari pingsan nya, ia agak kaget karena Dante membawa nya ke rumah sakit, ia pikir cuma akan di bawa pulang saja. Tapi ternyata ... Dante perhatian dengan nya?Saat bangun, Hera tidak melihat keberadaan Dante di ruangan ini, seperti nya dia sedang keluar, begitu pikir Hera. Tidak mau peduli dengan urusan Dante, Hera pun akhir nya kembali melanjutkan tidur nya, karena sumpah demi apa pun, sekarang ia merasa tubuh nya benar-benar seperti ingin remuk, karena terlalu kelelahan bermain sepanjang hari. Makan pun tak sempat, karena mata nya sudah tidak tahan untuk terjaga lebih lama.***"Kenapa bisa kabur?! Menangkap seorang wanita saja kalian
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat."Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat."Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap bingung melihat mereka."Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya."B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.' Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.Hera pun dengan senang hati menuruti.Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya."Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya.""Ah, i-iya, nanti akan ku buat.""Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
Pasangan pengantin baru itu sudah kembali dari hotel, dan kini tengah berada di rumah pribadi Dante."Ini rumahmu?" tanya Hera."Lalu, rumah siapa lagi?" balasnya dengan penuh ke angkuhan.Hera tidak menanggapi, dia sedang malas beradu mulut dengan Dante. Ia menghela nafas sedikit lebih panjang."Kau ... benar-benar ingin mengajakku tinggal di sini? Bersama orang tuamu, ya?"Hera baru ingat, jika Dante tidak pernah memperkenalkan orang tuanya kepadanya. Lantas itu membuat Hera takut untuk tinggal bersama orang tua Dante, lebih tepatnya canggung. Ia berpikir, apakah orang tua Dante tahu, kalau anaknya sudah menikah? Entahlah. Hera juga takut, jika nantinya ia akan dijadikan bahan olok-olokan mertuanya."Tidak. Ini rumahku sendiri."Hera ber oh ria, "lalu orang tua mu?""Bukan urusanmu.""Cih. Aku hanya bertanya saja, tidak
Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera."Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya."Ayah ... aku takut.""Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut."Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu.""Ta
"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur."Ibu, aku lapar," katanya."Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap.""Baik, Bu."Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera."Memasak makanan kesukaanku?""Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya.""Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja.""Iya."