Malam sudah tiba, pukul 19:30 KSL, Leera pulang dari rumah dengan raut wajah kelelahan. Mencari pekerjaan seharian di hari yang panas menyengat, benar-benar menghabiskan seluruh tenaganya. Namun, masih saja belum menemukan tempat kerja yang mau menampung dirinya.
Ia masuk ke rumah, dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Mengusap kepalanya menahan pusing yang membuat tubuhnya semakin lemah.
"Sudah pulang, Bu?" ucap Hera yang baru keluar dari kamarnya, menghampiri sang Ibu dan duduk di sampingnya.
"Sudah mendapatkan pekerjaan?" tanyanya lagi.
"Diam. Ibu sedang pusing, jangan banyak bertanya. Lebih baik kau ambil pil pereda pusing dan air putih, Ibu tidak bisa mengambilnya sendiri."
Hera menuruti perintah Ibunya, sekesal-kesal dan semarah-marahnya Leera kepadanya, tetap saja Hera khawatir dengan keadaan Leera.
Setelah mengambil dua barang tadi, Hera memberikannya kepada Leera, lalu langsung diteguk dengan sedikit tergesa olehnya.
"Ibu ... aku akan memikirkan kembali tentang rencana pernikahanku dengan Kim Dante," ucapnya setelah menarik nafas dalam-dalam, dan menghembusnya perlahan.
"Baguslah, semoga kau memilih keputusan yang tepat."
"Ibu! Tidak bisakah Ibu sedikit lebih memberiku semangat, begitu? Tapi, apa-apaan itu jawaban Ibu, atas keputusan terbesar yang akan kupilih?!" Hera sedikit membentak, kesal dengan jawaban ibunya. Dia pikir, ibunya akan sangat senang dan mungkin saja memeluk, atau menciumnya? Tapi apa? Realitanya jauh sekali dari ekspektasi.
"Lalu, kau mau Ibu merespon seperti apa? Memeluk mu begitu?"
"Tidak. Tidak usah. Aku benar-benar membenci Ibu!"
"Ibu tahu."
"Ibu, kau tidak waras, hah?! Ah, sudahlah. Lebih baik kau menceritakan semuanya sedetail mungkin, kapan dan bagaimana kau bisa bertemu dan berurusan dengan Kim Dante brengsek itu."
Leera membetulkan posisi duduknya, menarik nafas, dan mulai bercerita. Serius.
"Enam tahun yang lalu, saat kau baru ingin memasuki jenjang Sekolah Menengah Atas, di saat keluarga kita tengah benar-benar terpuruk dalam ekonomi. Kau pasti tidak tahu, 'kan? Karena aku tidak ingin menceritakan masalah itu padamau. Saat itu, kau bilang ingin sekolah di SMA favoritmu, 'kan? Ibu sempat menolak mentah-mentah waktu itu karena biayanya yang lumayan tinggi, tapi beberapa hari setelahnya, Ibu langsung menyutujui bahkan langsung menyuruhmu mendaftar hari itu juga."
Leera memberi jeda, kemudian melanjutkan. "Kau tahu darimana Ibu mendapatkan uang sebanyak, itu?"
"Berhutang di Kim Dante, benar?" jawab Hera.
"Tepat sekali, Ibu berhutang padanya, Ibu meminjam uang sebesar 20 juta won. Dengan bunga 0%, kesepakatan awal, membayar tiap bulan, dalam jangka waktu 20 bulan. Satu juta won perbulan tidak terlalu berat, Ibu dan Ayah berhasil melunasinya tepat waktu."
"Lalu, kalau sudah dilunasi, kenapa ditagih lagi?!"
"Ibu belum selesai bicara. Kau diam dulu!"
Hera tersentak, tidak menjawab lagi dan hanya memperhatikan cerita Ibunya.
"Lalu, dua tahun kemudian, saat kau sudah tamat Menengah Atas, dan memikirkan ke mana lagi kau akan melanjutkan studi mu, dan ... ya, jangan lupakan, Ibu juga melahirkan adikmu, Hero. Butuh banyak biaya untuk sekedar melahirkan, kau tahu? Biaya untuk masuk ke kampus favoritmu juga tidak sedikit. Jadi, Ibu meminjam lagi ke Kim Dante, sebanyak 50 juta won. Masih sama, tidak ada bunga. Ibu meminta jangka selam 5 tahun, pembayarannya 5 juta won setiap 6 bulan sekali, dan tahun ini ... sebenarnya menjadi tahun terkahir kita berurusan dengan Dante, namun, naas. Kemalangan menimpa kita, kita kerampokan."
"Luar biasa. Bravo!" Hera menepuk tangannya keras, ia tidak percaya ibunya akan merahasiakan sesuatu darinya sebesar ini, dan menanggungnya berdua bersama Taesik, ayahnya. Hera jadi semakin merasa bersalah karena sering menghamburkan uang, membeli barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkannya, padahal ibu dan ayahnya banting tulang mencari uang. Tak sadar, matanya mulai berkaca-kaca. Buliran air bening, mungkin saja mengalir deras jika Hera tidak menahannya dengan kuat.
"Seharusnya kau bersyukur memiliki orang tua seperti kami. Tidak membebankan sesuatu yang memang bukan tanggung jawabmu. Tapi, sepertinya kau ti--"
"Ibu!" Hera membentak, sudah tidak kuat, air mata pun mengalir bak air terjun. "Bagaimana ibu bisa setenang ini, bercerita padaku. Setelah menjalani semua ini?! Ibu tidak adil!" Hera menghapus air matanya, mencoba tegar seperti Ibunya, namun ia tidaklah setegar itu. "I-ibu, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengecewakanmu, aku janji akan menikahi Kim Dante itu demi Ibu dan Ayah. Tapi, mohon, tolong tunjukkan jika kau juga sakit, batinmu juga tersisksa, jangan santai saja seperti ini. Itu membuatku frustasi," ucap Hera, melemah. Lalu memeluk Ibunya, erat sekali. Menangis di bawah ketiak Leera.
"Sudahlah, tidak perlu menangis. Ibu mengerti perasaanmu. Yang penting, sekarang kau sudah menyetujui pernikahan kalian." Leera mengusap rambut Hera, lembut. Matanya juga ikut berkaca-kaca, "maaf mengorbankan masa depanmu, Ibu tidak bermaksud untuk menyeretmu ke dalam masalah ini. Tapi, Dante brengsek itu yang menginginkanmu, Ibu dan Ayah tidak bisa menolak."
Hera mendongak, "maksudnya, Bu?"
"Konsekuensi. Kau ingat tentang pembicaraanku dengan Dante siang tadi? Tentang perjanjian atau persyaratan dalam kesepakatan kami, kau tahu tiap 6 bulan sekali, ia akan datang untuk menagih hutang--"
"Tunggu, benar. Jika ia selalu datang setiap 6 bulan, lalu kenapa aku tidak pernah bertemu dengannya? Mungkin, saat kalian sedang berbincang, atau apa membahas tentang hutang. Kenapa aku tidak pernah memergoki kalian? Dan seingat ku, Dante tidak pernah datang menagih ke rumah kita sebelumnya, atau ...," ucapannya terhenti. "Kalian bertransaksi diluar rumah? Wow."
"Itu karena biar kau tidak curiga."
Hera berdecih, "lanjutkan yang tadi, Bu."
"Persyaratannya adalah, untukku; tidak boleh membayar terlambat dari tanggal yang sudah ditentukan, jika terlambat sekali, dapat dimaafkan, namun bulan selanjutnya harus sudah membayar dua kali lipat, yang awalnya cuma 5 juta won, dilipat gandakan menjadi 10 juta won. Atau bisa di sebut denda?"
"Gila. Seperti lintenir saja, dia pikir mencari uang seperti mengambil daun dari pohon, apa?"
"Baginya mungkin begitu, maklum saja. Dia pengusaha sukses, tapi tidak bagi kita, ya, walaupun ekonomi kita termasuk kelas menengah, namun tetap saja mencari uang sebanyak itu tidak mudah. Apalagi setelahnya kita mendapat musibah."
"Ok, aku tahu. Lanjut."
"Persyaratan bagi Dante; tidak boleh menagih dengan jalan kekerasan, hanya datang di tanggal yang ditentukan."
"Lalu, apa hubungannya pernikahanku dengan hutang? Bahkan, perjanjian dan persyaratan kalian saja tidak ada menyinggung tentang pernikahan."
"Awalnya begitu, namun bulan kemarin, saat kami bertemu lagi, dan dia ternyata tahu kalau aku punya anak perempuan. Dia mulai menambah persyaratannya, jika aku tidak bisa melunasi bulan itu juga, maka dia akan menikahimu."
"Sinting! Yang benar saja, Bu? Astaga, pria itu memang gila. Bagaimana bisa aku akan menjadi istrinya? Oh Tuhan, selamatkan hidupku selama menjadi istrinya nanti." Hera menyatukan kedua tangannya--berdoa.
"Jadi, kau sudah mau mengakui sebagai istri Dante, ya?" Leera mulai menggoda anaknya, berniat memecahkan ketegangan.
"Ah, Ibu. Jangan begitu, dan bukan itu maksudku." Hera merengek, dan dibalas tawa ringan dari Leera.
"Ngomong-ngomong, Bu. Kalian kenal Dante dari mana? Setahuku, dia tidak terkenal, bahkan tidak masuk TV. Tapi, di mana Ibu bisa tahu, seluk beluk tentang Dante si pengusaha sukses itu?"
"Kau masih ingat dengan Jane?"
"Teman SMA Ibu dulu, 'kan?"
"Tepat sekali. Ingatanmu boleh juga, padahal kalian baru bertemu sekali. Itupun hampir setahun yang lalu."
"Ok, ok. Aku tahu, ingatanku kuat. Jadi, bisa lanjutkan ceritamu, Bu?"
"Hahaha. Iya, ini mau dilanjutkan. Jadi, Jane yang memperkenalkan Dante padaku, dia merekomendasikan Dante yang saat itu sebagai bosnya, untuk Ibu meminjam uang padanya saja. Awalnya Ibu enggan, namun keadaan terdesak, dan akhirnya Ibu mendatangi Dante."
"Oh, begitu? Aku heran, kenapa bisa bibi Jane betah bekerja dengan pria brengsek seperti Dante."
"Ibu tidak tahu kalau itu, tanya saja padanya."
"Memangnya bibi Jane bekerja sebagai apa?"
"Tidak tahu."
Hera hanya ber oh ria mendengar jawaban Leera. Lalu, mereka sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Sampai sebuah suara menginterupsi mereka berdua.
"Ayah pulang," ucap Taesik sedikit pelan, dengan menggendong Hero yang sudah tertidur lelap.
Tiba-tiba saja, air muka Hera berubah masam. Ia masih kesal dengan Ayahnya. Lalu, ia pergi dari sana dan menghentakkan kakinya keras, membanting pintu sekencangnya. Membuat Hero sedikit tersentak kaget dalam tidurnya, namun tidak sampai membuatnya terjaga.
"Kenapa dengan anak itu?" tanya Taesik, bingung.
"Sudah mengetahui semuanya," jawab Leera.
"Dante datang ke rumah hari ini? Kurang ajar!"
"Sudahlah, lupakan. Yang penting sekarang kau harus mebujuk dan meminta maf padanya, dia pasti sangat marah padamu."
"Dante sudah kelewatan, dan apa itu ... hanya marah denganku saja? tidak adil."
"Tidak. Aku juga. Tapi, sepertinya kami sudah berdamai, sekarang giliranmu," kata Leera, dalam hati ia lega karena Hera tidak marah terlalu lama dengannya, "sebelum itu, tolong bawa Hero ke kamarnya," perintah Leera kepada Taesik.
Tanpa menjawab, Taesik langsung menjalankan perintah Leera. Kemudian, keluar dari kamar Hero, mendekati Leera sebentar di ruang tamu.
"Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Leera, iya, Taesik dan Hero berkunjung ke rumah orang tua Taesik, dikarenakan Ibu beliau sedang sakit.
"Syukurlah sudah mulai membaik," jawab Taesik, sambil menghidupkan TV, dan sibuk mencari saluran TV kesukaannya.
"Kenapa masih ada di sini? Sana hampiri Hera, dan minta maaf."
"Jangan dulu. Besok saja."
"Kenapa menunggu besok? Bagaimana jika dia semakin marah padamu?"
"Sepertinya lima buah coklat kesukaannya, mungkin bisa jadi bahan sogokan?"
"Kau ini, ada-ada saja. Terserah kau, jika dia semakin marah dan tidak dapat disogok. Baru tahu rasa."
"Anakku itu pasti tidak akan menolak pemberian Ayahnya," kata Taesik dengan angkuhnya.
"Sombong."
Diam-diam, Hera menguping pembicaraan kedua orangtuanya, tak sadar, senyuman tipis terbentuk di bibirnya. Hatinya menghangat. Sejenak, bersikap 'bodo amat' tentang pernikahan, yang penting ia harus bisa membalas budi kebaikan orangtuanya, sekalipun mereka tidak meminta.
Seketika, mereka bertiga melupakan dan tidak membahas lagi tentang Dante. Beristirahat dan menidurkan tubuh mereka setelah lelah beraktivitas seharian.
Bersiap-siap untuk menjalani hari esok yang masih menjadi misteri.
.
.
.
Bersambung~
"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur."Ibu, aku lapar," katanya."Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap.""Baik, Bu."Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera."Memasak makanan kesukaanku?""Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya.""Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja.""Iya."
Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera."Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya."Ayah ... aku takut.""Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut."Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu.""Ta
Pasangan pengantin baru itu sudah kembali dari hotel, dan kini tengah berada di rumah pribadi Dante."Ini rumahmu?" tanya Hera."Lalu, rumah siapa lagi?" balasnya dengan penuh ke angkuhan.Hera tidak menanggapi, dia sedang malas beradu mulut dengan Dante. Ia menghela nafas sedikit lebih panjang."Kau ... benar-benar ingin mengajakku tinggal di sini? Bersama orang tuamu, ya?"Hera baru ingat, jika Dante tidak pernah memperkenalkan orang tuanya kepadanya. Lantas itu membuat Hera takut untuk tinggal bersama orang tua Dante, lebih tepatnya canggung. Ia berpikir, apakah orang tua Dante tahu, kalau anaknya sudah menikah? Entahlah. Hera juga takut, jika nantinya ia akan dijadikan bahan olok-olokan mertuanya."Tidak. Ini rumahku sendiri."Hera ber oh ria, "lalu orang tua mu?""Bukan urusanmu.""Cih. Aku hanya bertanya saja, tidak
Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap bingung melihat mereka."Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya."B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.' Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.Hera pun dengan senang hati menuruti.Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya."Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya.""Ah, i-iya, nanti akan ku buat.""Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat."Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat."Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
DevanTuan, kami sudah menemukan tempat tinggal Park Airin.***Saat sang matahari, telah menyembunyikan diri nya di ufuk barat, dan digantikan oleh bulan dan bintang yang penuh gemerlap menghiasi langit malam, Hera baru lah tersadar dari pingsan nya, ia agak kaget karena Dante membawa nya ke rumah sakit, ia pikir cuma akan di bawa pulang saja. Tapi ternyata ... Dante perhatian dengan nya?Saat bangun, Hera tidak melihat keberadaan Dante di ruangan ini, seperti nya dia sedang keluar, begitu pikir Hera. Tidak mau peduli dengan urusan Dante, Hera pun akhir nya kembali melanjutkan tidur nya, karena sumpah demi apa pun, sekarang ia merasa tubuh nya benar-benar seperti ingin remuk, karena terlalu kelelahan bermain sepanjang hari. Makan pun tak sempat, karena mata nya sudah tidak tahan untuk terjaga lebih lama.***"Kenapa bisa kabur?! Menangkap seorang wanita saja kalian
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat."Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat."Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap bingung melihat mereka."Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya."B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.' Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.Hera pun dengan senang hati menuruti.Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya."Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya.""Ah, i-iya, nanti akan ku buat.""Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
Pasangan pengantin baru itu sudah kembali dari hotel, dan kini tengah berada di rumah pribadi Dante."Ini rumahmu?" tanya Hera."Lalu, rumah siapa lagi?" balasnya dengan penuh ke angkuhan.Hera tidak menanggapi, dia sedang malas beradu mulut dengan Dante. Ia menghela nafas sedikit lebih panjang."Kau ... benar-benar ingin mengajakku tinggal di sini? Bersama orang tuamu, ya?"Hera baru ingat, jika Dante tidak pernah memperkenalkan orang tuanya kepadanya. Lantas itu membuat Hera takut untuk tinggal bersama orang tua Dante, lebih tepatnya canggung. Ia berpikir, apakah orang tua Dante tahu, kalau anaknya sudah menikah? Entahlah. Hera juga takut, jika nantinya ia akan dijadikan bahan olok-olokan mertuanya."Tidak. Ini rumahku sendiri."Hera ber oh ria, "lalu orang tua mu?""Bukan urusanmu.""Cih. Aku hanya bertanya saja, tidak
Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera."Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya."Ayah ... aku takut.""Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut."Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu.""Ta
"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur."Ibu, aku lapar," katanya."Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap.""Baik, Bu."Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera."Memasak makanan kesukaanku?""Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya.""Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja.""Iya."