!! PERHATIAN !!
Saya menerima semua kritikan kalian, jika disampaikan secara baik. So, jika ingin mengkritik, ingat juga untuk menjaga sopan santun kalian, ya!
Mentalitas tiap orang itu beda-beda.
Saya juga menentang keras tentang plagiarisme, bagi kalian yang berniat jahat ingin mengkopas cerita milik orang lain, jauh-jauh kalian dari cerita punya saya!
So, happy reading~ hope you enjoy with this story.
~~~~
"Apapun yang terjadi, kau harus menikah dengannya!" teriak Leera, menatap penuh emosi kepada anaknya, Hera.
***
Masalah besar, keluarganya tengah dalam masalah, terlilit hutang berjuta-juta won dengan seorang pengusaha kaya raya, keturunan asli Korea, bernama Kim Dante. Pria yang sudah menginjak kepala tiga tahun lalu itu, baru saja mendatangi kediaman keluarga Leera, menagih hutang. Dengan ditemani sepuluh bodyguard berbadan kekar, menagih dengan tidak ada sopan santun, memporak-porandakan isi rumah keluarganya.
Hera yang waktu itu tengah menonton TV, tentu saja terkejut bukan main, tiba-tiba saja ada orang asing yang masuk ke rumah tanpa izin, dan merusak rumahnya? Tidak sopan sekali.
Melihat para orang-orang tidak dikenal, dan berbadan kekar, Hera dapat menduga kalau mereka adalah seorang bodyguard.
Tunggu, bodyguard? Pasti akan ada bosnya juga, pikirnya.
"Berhenti!" ucap suara bariton itu dengan tegas, dan lantang. Lalu muncullah sesosok pria bertubuh tinggi, memakai kacamata hitam, kemeja yang rapi bewarna abu-abu, dan dalaman putih, dasi yang bergantung manja di kera bajunya, sepatu hitam mengkilap, dan jangan lupakan rambut yang sedikit gondrong dan ikal, namun tidak mengurangi kemahalan auranya.
Pria itu--Dante--berjalan mendekati Hera, lalu duduk di sofa dan mengangkatkan kakinya ke meja. Tangannya diletakkan di tepi sofa.
'kurang ajar' Hera membatin.
"Gadis cantik, ayo duduk. Mau duduk di sofa, atau dipangkuanku saja?" tanyanya, sambil membuka kacamata hitamnya itu, lalu membuangnya ke sembarang arah, untung para bodyguard sangat terlatih, kacamata itu mendarat dengan aman tanpa harus jatuh ke lantai, dan pecah.
"Kau siapa?!" Tidak ingin bersikap ramah, Hera langsung bertanya dan merubah raut terkejutnya tadi menjadi tatapan tidak suka. "Tidak sopan sekali masuk ke rumah orang lain, dan memporak-porandakan rumahku, hah?! Mana sopan santunmu itu?!" Hera mencoba menahan amarahnya, menenangkan diri agar tidak lepas kendali dan malah mencekik Dante. "Apa maumu?" lanjutnya lagi, dengan sedikit lebih tenang.
"Woah, woah, kau berani juga ternyata. Mau ku? Hmm ... menikahimu?"
"Tidak usah bicara omong kosong, cepat katakan apa maumu, dan setelahnya pergi."
"Oh, tunggu. Kau sungguh tidak tahu aku? Brengsek sekali orangtuamu, tidak memperkenalkan calon suamimu sendiri? Jahat," ucapnya mendramatisir. Lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, "menarik," lanjutnya.
Hera memutar mata malas, pria di depannya ini terlalu banyak berbicara omong kosong, "siapa namamu?"
"Jadi, kau penasaran dengan nama calon suamimu ini, ya. Hmm, kasih tahu, tidak? Oh, bagaimana jika aku kasih kau tantangan saja? Untuk mencari namaku, begitu?"
"Kuno sekali," sindir Hera. "Hanya kasih tahu nama, apa salahnya, sih?!"
"Salah. Kau bertanya dengan tidak sopan."
Oh Bung, coba lihat siapa yang berlagak sok memiliki sopan santun? Bravo! Hera lantas tertawa terbahak-bahak, lebih tepatnya tawa mengejek.
"What, dude? Sopan? Kau butuh kaca? Sini ku ambilkan," balasnya dan berlalu untuk mengambil kaca rias yang ada di kamarnya. "Ini. Silahkan kau lihat dirimu itu, jangan sok suci."
Dante mengambil alih kaca dari tangan Hera, "Tampan sekali," katanya narsis.
Hera sudah mulai kehilangan kesabarannya lagi, ingin melampiaskan namun tertahan karena suara ibunya yang baru pulang dari pasar.
"T-tuan?" ucap Leera, lalu mendekati mereka berdua. Meletakkan barang belanjaannya tadi di meja--di samping kaki Dante.
"Oh, nyonya Leera. Senang bertemu denganmu lagi, kau terlihat semakin sexy saja." Pria itu mengedipkan sebelah matanya ke Leera, yang dibalas dengan kekehan kecil.
'Selain kurang ajar dan tidak sopan, pria ini juga gila dan sinting' tidak bisa melampiaskan amarah secara langsung, Hera memaki dalam diam. Mungkin jika makian berupa bongkahan batu, maka sudah dipastikan Dante sudah babak belur.
"Senang juga bertemu dengan, Tuan," katanya, cuma untuk basa-basi.
"Benarkah? Kalau begitu, kenapa aku tidak mengunjungimu setiap bulan saja, ya?"
Leera hanya tersenyum tipis, "tidak bisa begitu, perjanjian kita dulu adalah Tuan akan datang setiap enam bulan sekali, dan menagih dengan damai, tanpa ada kekerasan, tapi Tuan sudah mengingkari poin yang kedua. Bagaimana? Menerima konsekuensinya?" sindir Leera, sarkastik dengan gaya.
"Ngomong-ngomong soal perjanjian, kau juga tidak menepati janjimu untuk membayar bulan kemarin, telat dua bulan, sungguh menjengkelkan. Apa kau bersedia menerima konsekuensinya?" Dante smirk, dan mengangkat alis kanannya.
Leera menahan ludah, senjata makan tuan.
"Tunggu, janji? Membayar? Maksudnya, Bu?! Ibu punya hutang dengan pria kurang ajar ini?!" Hera yang sejak tadi menyimak, akhirnya angkat bicara.
"Beri saya waktu lagi, suami saya sudah bekerja keras untuk membayar hutang-hutang, namun terkadang, tidak ada yang tahu kedepannya seperti apa. Bulan kemarin rumah kami dirampok di malam hari saat kami tertidur pulas, dan mengambil semua uangnya. Beruntung kami tidak kenapa-napa."
Bukannya menjawab pertanyaan Hera, ibunya malah mengabaikannya. Hera tentunya kesal dan merenggut.
"Alasan yang klasik. Kenapa tidak disimpan di bank saja? Jaman sudah modern, Nyonya Leera yang terhormat."
"Tidak bisa. Aku tidak mempercayai orang-orang bank, prinsip hidup, tidak menitipkan uang kepada orang tidak dikenal."
Leera tidak berbohong soal itu, perampokan dan prinsip hidupnya memang benar adanya.
"Alasan diterima. Tapi kau juga harus menerima konsekuensinya, ingat perjanjian bonus yang ku katakan dua bulan yang lalu?"
"T-tapi ...."
"Dia calon istriku, 'kan?" potongnya sambil melirik ke arah Hera, "cantik seperti dirimu, namun mulutnya tidak bisa dibungkam, ya?" Dante balik menatap Leera.
"Ibu, apa-apaan ini?! Calon istri apanya?! Mohon, Tuan yang sangat terhormat, silahkan keluar dari rumah kami, dan pulanglah."
"Wow, lihat betapa beraninya dia? Mendapatkan gen itu darimu juga, hm?"
"Maafkan Hera, Tuan. Dia memang seperti itu."
"Jadi, namamu Hera? Indah." Dante menatap Hera, dan tersenyum, tidak bisa diartikan senyumannya itu adalah ekspresi apa. Apakah akan ada rencana licik di balik senyum itu?
"Bullshit." Hera memutar bola matanya, malas.
"Jadi, kembali ke pembicaraan awal. Nyonya Leera, aku akan memberi keringanan jika kau memenuhi syarat bonus dariku, atau bisa saja aku menganggap hutangmu sudah lunas, jika Hera menikah denganku," ucap
Dante sambil melirik jam tangan rolex miliknya, "oh, cepat sekali. Waktunya sudah habis, ayo pulang." Ia bangkit dari sofa, dan berlalu keluar begitu saja, diikuti para bodyguardnya."Mungkin, pertemuan kita selanjutnya akan membahas tentang tanggal pernikahan? Benar, Hera Sayang?" Dante mengerlingkan matanya, genit.
"Sialan, Tidak Sudi! Jangan berharap kau!"
"Tunggu saja. Kau pasti akan menikah denganku bagaimanapun caranya. Ayo kita pulang~"
"Ya! Siapa yang akan membersihkan kekacauan ini, brengsek?!" Hera kembali terpancing emosi.
"Selamat tinggal, calon istri dan mertua."
"Sialan!" umpatnya.
Leera bernafas lega setelah Dante meninggalkan pelataran rumahnya, ia menatap Hera dan juga ditatap balik olehnya.
"Lihat kekacauan semua ini, Bu? And ... What?! Menikah? Calon istri? Bahkan aku baru selesai S1 dan belum bekerja. Impianku saja belum tercapai, apa-apaan semua omong kosong ini?!" bentak Hera, dia benar-benar kesal dengan ibunya, bahkan seluruh anggota keluarganya karena merahasiakan rahasia besar darinya.
"Kau turuti saja apa katanya, menikah dan berumah tangga. Tidak akan lama, sampai Ibu bisa melunasi semua hutang."
"Jadi, aku dibuat jaminan untuk meringankan hutang-hutang Ibu, begitu?! Jahat!" Hera meraung frustasi, "Ibu berhutang cerita yang panjang terhadapku!" Ia berlalu, meninggalkan Ibunya, menghentakkan kakinya, kasar.
"Jika bukan karena aku meminjam uang padanya, kau tidak akan bisa kuliah! Kau tidak bisa sarjana, membeli barang-barang bagus! Aku dan suamiku berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita! Adikmu butuh makanan yang bergizi untuk tumbuh kembangnya, apa kau mau jadi anak tidak tahu diuntung, hah?! Masih bersyukur aku tidak menyuruhmu bekerja dan membayar semua hutang, bahkan aku merahasiakannya darimu selama ini. Ayahmu berjuang mati-matian, kerja sana sini demi kalian! Kalau tidak bisa membantu, setidaknya hargai perjuangan orang tua! Sekali ini saja kau menuruti perintahku! Apapun yang terjadi, kau harus menikah dengannya!" teriak Leera, menatap penuh emosi kepada anaknya.
Hera berhenti di tempat, tidak berbalik, dan malah menatap lurus ke depan, hatinya sakit, bukan, bukan karena dimarahi, tetapi ia merasa menjadi anak yang paling tidak berguna di dunia, beban keluarga. Matanya mulai mengalirkan butiran-butiran kecil air asin.
Terdengar isakan dan teriakan frustasi juga dari ibunya.
"Kenapa tidak bilang sedari dulu?" lirih Hera, masih belum berbalik menghadap ibunya. "Kenapa? Kalau ibu mengatakannya dari dulu, aku pasti bisa membantu! Jika mencari pekerjaan terlalu sulit, apa salahnya memanfaatkan tubuhku?!"
"Ya! Aku menyekolahkanmu dan menjagamu selama ini, dan apa balasannya darimu? Ingin menjadi jalang?! Kau benar-benar tidak menghargai orang tuamu, ya?!"
"Lantas, membayar hutang dengan mempertaruhkan masa depanku, begitu?"
"Menikahi Kim Dante bukanlah masalah besar, dia banyak uang, kau bisa bahagia dengan itu."
"Bagaimana dengan perasaanku? Ibu tega melukaiku?"
"Kau saja sudah melukai Ibu, apa salahnya Ibu melakukan hal yang sama?"
"Egois."
"Ralat, imbas."
"Semua serba salah sekarang, terima tidak terima, kau pastinya akan tetap menjadi istri Dante, jadi, biarlah alurnya berjalan seperti ini dulu. Aku tidak peduli jika itu membuatmu tertekan, kita sama, kau tertekan karena pernikahan, dan aku tertekan karena hutang."
"Semuanya salah karena kita berurusan dengan Kim Dante itu!"
"Jangan melawan. Apa yang kau tangisi? Semua sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Aku mau keluar sebentar, mencari pekerjaan untuk melunasi semuanya. Kau bereskan kekacauan ini."
Hera berbalik, "ingat, Bu. Hutang cerita panjangmu masih belum kau lunasi!"
Leera tidak menjawab, dan pergi. Hera menghempaskan tubuhnya kasar ke sofa, kenapa hidupnya terasa begitu berat setelah tahu semua rahasia keluarganya? Dan itu membuatnya semakin kesal, dan menjambak rambutnya.
"Hera, masa depanmu diambang kehancuran," racaunya, "dilema. Benar-benar pusing, mau tenggelam saja ke lautan dan menjadi karang bagi ikan, daripada jadi istri Kim Dante sialan itu."
Sekali lagi, Hera berteriak kencang, melampiaskan amarah. Lalu bangkit, dan membersihkan kekacauan yang disebabkan oleh bodyguard Dante.
****
Bersambung~
Malam sudah tiba, pukul 19:30 KSL, Leera pulang dari rumah dengan raut wajah kelelahan. Mencari pekerjaan seharian di hari yang panas menyengat, benar-benar menghabiskan seluruh tenaganya. Namun, masih saja belum menemukan tempat kerja yang mau menampung dirinya.Ia masuk ke rumah, dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Mengusap kepalanya menahan pusing yang membuat tubuhnya semakin lemah."Sudah pulang, Bu?" ucap Hera yang baru keluar dari kamarnya, menghampiri sang Ibu dan duduk di sampingnya."Sudah mendapatkan pekerjaan?" tanyanya lagi."Diam. Ibu sedang pusing, jangan banyak bertanya. Lebih baik kau ambil pil pereda pusing dan air putih, Ibu tidak bisa mengambilnya sendiri."Hera menuruti perintah Ibunya, sekesal-kesal dan semarah-marahnya Leera kepadanya, tetap saja Hera khawatir dengan keadaan Leera.Setelah mengambil dua barang tadi, Hera memberika
"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur."Ibu, aku lapar," katanya."Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap.""Baik, Bu."Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera."Memasak makanan kesukaanku?""Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya.""Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja.""Iya."
Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera."Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya."Ayah ... aku takut.""Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut."Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu.""Ta
Pasangan pengantin baru itu sudah kembali dari hotel, dan kini tengah berada di rumah pribadi Dante."Ini rumahmu?" tanya Hera."Lalu, rumah siapa lagi?" balasnya dengan penuh ke angkuhan.Hera tidak menanggapi, dia sedang malas beradu mulut dengan Dante. Ia menghela nafas sedikit lebih panjang."Kau ... benar-benar ingin mengajakku tinggal di sini? Bersama orang tuamu, ya?"Hera baru ingat, jika Dante tidak pernah memperkenalkan orang tuanya kepadanya. Lantas itu membuat Hera takut untuk tinggal bersama orang tua Dante, lebih tepatnya canggung. Ia berpikir, apakah orang tua Dante tahu, kalau anaknya sudah menikah? Entahlah. Hera juga takut, jika nantinya ia akan dijadikan bahan olok-olokan mertuanya."Tidak. Ini rumahku sendiri."Hera ber oh ria, "lalu orang tua mu?""Bukan urusanmu.""Cih. Aku hanya bertanya saja, tidak
Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap bingung melihat mereka."Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya."B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.' Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.Hera pun dengan senang hati menuruti.Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya."Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya.""Ah, i-iya, nanti akan ku buat.""Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat."Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat."Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
DevanTuan, kami sudah menemukan tempat tinggal Park Airin.***Saat sang matahari, telah menyembunyikan diri nya di ufuk barat, dan digantikan oleh bulan dan bintang yang penuh gemerlap menghiasi langit malam, Hera baru lah tersadar dari pingsan nya, ia agak kaget karena Dante membawa nya ke rumah sakit, ia pikir cuma akan di bawa pulang saja. Tapi ternyata ... Dante perhatian dengan nya?Saat bangun, Hera tidak melihat keberadaan Dante di ruangan ini, seperti nya dia sedang keluar, begitu pikir Hera. Tidak mau peduli dengan urusan Dante, Hera pun akhir nya kembali melanjutkan tidur nya, karena sumpah demi apa pun, sekarang ia merasa tubuh nya benar-benar seperti ingin remuk, karena terlalu kelelahan bermain sepanjang hari. Makan pun tak sempat, karena mata nya sudah tidak tahan untuk terjaga lebih lama.***"Kenapa bisa kabur?! Menangkap seorang wanita saja kalian
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat."Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat."Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap bingung melihat mereka."Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya."B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.' Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.Hera pun dengan senang hati menuruti.Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya."Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya.""Ah, i-iya, nanti akan ku buat.""Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
Pasangan pengantin baru itu sudah kembali dari hotel, dan kini tengah berada di rumah pribadi Dante."Ini rumahmu?" tanya Hera."Lalu, rumah siapa lagi?" balasnya dengan penuh ke angkuhan.Hera tidak menanggapi, dia sedang malas beradu mulut dengan Dante. Ia menghela nafas sedikit lebih panjang."Kau ... benar-benar ingin mengajakku tinggal di sini? Bersama orang tuamu, ya?"Hera baru ingat, jika Dante tidak pernah memperkenalkan orang tuanya kepadanya. Lantas itu membuat Hera takut untuk tinggal bersama orang tua Dante, lebih tepatnya canggung. Ia berpikir, apakah orang tua Dante tahu, kalau anaknya sudah menikah? Entahlah. Hera juga takut, jika nantinya ia akan dijadikan bahan olok-olokan mertuanya."Tidak. Ini rumahku sendiri."Hera ber oh ria, "lalu orang tua mu?""Bukan urusanmu.""Cih. Aku hanya bertanya saja, tidak
Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera."Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya."Ayah ... aku takut.""Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut."Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu.""Ta
"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur."Ibu, aku lapar," katanya."Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap.""Baik, Bu."Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera."Memasak makanan kesukaanku?""Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya.""Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja.""Iya."