Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.
Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera.
"Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya.
"Ayah ... aku takut."
"Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."
Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut.
"Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu."
"Tapi, Ayah--"
"Jangan menunda waktu, nanti waktu baik akan terlewat. Dan itu tidak baik."
"B-baiklah."
"Sini Ayah bantu pegangkan gaunmu."
Mereka berdua keluar dari ruangan, menuju altar pernikahan, yang mempelai pria nya sudah menunggu, berdiri dengan tegap, kemeja hitam yang terpasang rapi di tubuhnya, rambut ikalnya yang sudah diluruskan, dan di tata semenarik mungkin, sudah seperti pangeran saja. Hera sampai terkesima untuk seperkian detik, setelahnya Hera langsung mengalihkan pandangan ke Ayahnya, dan memperkencang pegangan tangan mereka, menahan gugup.
Mereka berjalan di tengah altar, para tamu menyiramkan bunga kepada keduanya, Dante tersenyum tipis melihat mempelai wanitanya sudah mulai mendekat, dan senyumnya semakin lebar, di saat Hera sudah berada di sampingnya, sudah selesai dengan tugasnya, Taesik mundur dan mendekati Leera dan Hero.
Janji suci di ucapkan, Segal rangkaian acara juga sudah dilaksanakan. Akhirnya, Hera dan Dante resmi menjadi suami istri. Semua tamu bersorak-sorai, Leera sampai berkaca-kaca, tidak menyangka anaknya akan menikah secepat ini, ada terbesit rasa bersalah di lubuk hatinya, melihat raut wajah Hera yang tidak kelihatan bahagia dengan pernikahannya. 'maafkan, Ibu ' batin Leera.
***
Sudah sore, acara berlangsung dengan lancar, dan selesai tanpa hambatan, tidak ada halangan sama sekali, pengantin baru kini tengah berada di hotel yang tidak jauh dari gereja tempat mereka melangsungkan acara.
Memang, pernikahan ini digelar dengan sangat tertutup, makanya acaranya cepat selesai, tamu yang di undang juga beberapa kerabat dekat. Bukan karena apa, Dante bilang ... dia tidak suka mengundang orang terlalu banyak, dan tidak mau juga menarik atensi publik.
Hera merasa sedikit aneh dengan pernyataan Dante, melihat dari sifatnya yang sombong itu, aneh saja rasanya jika ia tidak memamerkan seluruh kekayaannya--biaya yang dihabiskan untuk keberlangsungan acara. Memang keluarga Hera tidak mengeluarkan sepersen pun untuk ini.
Di sini lah mereka, berdiam diri di salah satu kamar hotel VVIP. Hera tengah duduk di kasur, tidak ada karangan bunga berbentuk hati, ataupun lilin aroma terapi, bahkan persiapan menyambut pengantin baru dari pihak hotel juga tidak ada, karena Dante benar-benar tidak mengatakan untuk menginap di hotel, jadi, saat mereka berdua datang dengan pakaian pernikahan, pihak hotel tentu langsung menyambut mereka apa adanya, tanpa persiapan. Merasa tidak enak. Pihak hotel menyarankan untuk mereka menunggu sebentar di lobi, dan akan mempersiapkan semuanya dahulu. Namun Dante menolak, "tidak usah repot-repot," katanya. Hera pun juga tidak keberatan.
Dante tengah mandi, dan Hera menunggu gilirannya. Jujur, degup jantung Hera sedang tidak karuan, memikirkan jika saja ... mereka akan melakukan kewajiban sebagai suami istri malam ini. Dengan Dante? Yang benar saja.
Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Dante yang tengah bertelanjang dada, dan bawahan yang ditutupi oleh handuk putih.
Keluar dari kamar mandi, dan menuju lemari untuk mengambil pakaian--yang sempat ia bawa, sebelum ke hotel.
Hera terkejut, mengalihkan pandangannya ke segala arah, yang penting tidak melihat ke arah Dante. Canggung sekali rasanya.
"Ya! Pasang bajumu cepat, tidak sopan sekali, brengsek!" maki Hera. Dante yang di sindir itu pun, melirik ke Hera. Dan tersenyum tipis menanggapinya.
"Kenapa, Sayang? Kau malu?"
"Kenapa aku harus malu?!"
"Lalu? Kagum dengan perut sixpack ku ini, hmm?" Dante mendekati Hera, mendengar suara telapak kaki mendekat, naluri menyelamatkan diri dari buaya pun seketika on Hera langsung pergi dari tempatnya, Dante yang melihat reaksi Hera, tertawa geli, ada niat licik untuk menjahili istrinya ini. Ia pun mendekat lagi, Hera mundur, menuju pintu keluar.
"Kau mau ke mana, Istri?"
Dante semakin mendekat, dan Hera malah terpojok ke pintu, tangannya gelisah mencari gagang pintu, matanya waspada melihat gerak-gerik Dante.
"Jangan mendekat, sialan!"
Dante jadi semakin semangat saja menjahili Hera, kalau begini. Lucu juga ekspresinya saat ketakutan.
Brak!
Dante mengunci pergerakan Hera dengan ke dua tangannya, mendekatkan diri lebih jauh ke istrinya, menghapus jarak di antara mereka. Dante memulai memejamkan matanya, ingin merekatkan ke dua bibir mereka. Namun, belum saja sempat menciumi sang istri, Hera dengan sigap langsung membekap mulut Dante dengan tangannya, lalu menariknya sekuat tenaga.
"Jangan mimpi, Dante sialan! Bibir kotormu itu tidak pantas menyiumi manusia baik sepertiku! Minggir kau!"
Dante berusaha melepaskan diri dari bekapan Hera, tapi istrinya itu malah memperkuat bekapannya.
"Lepaskan, sialan!" maki Dante.
Hera mendorong Dante sekuat yang ia bisa, namun pria itu malah tidak bergerak sama sekali. Ide jahat muncul di otaknya, langsung saja Hera menginjak kaki Dante berkali-kali, dan tidak melepaskan bekapannya.
"Ya! Lee Hera!" Dante mengusap kaki yang diinjak tadi,
Melihat ada celah untuk lari, saat itu juga Hera langsung melarikan diri dan bersembunyi di kamar mandi.
"Cih, dasar wanita tidak tahu malu." Dante mengusap kakinya yang kena injak, meringis kesakitan, karena injakan Hera benar-benar tidak main-main. Ngilu nya terasa sampai ke atas, tepatnya ke bagian bawah perutnya. "Awas saja kau, tunggu pembalasanku," ucapnya bermonolog sendiri.
Kemudian, Dante memasangkan bajunya, baru saja ingin berbaring dan mengistirahatkan tubuh nya, tiba-tiba saja ponselnya yang berada di balas bergetar. Dan notifikasi pesan masuk dari bawahannya, terdapat di layar ponsel.
Isi pesan:
Tuan, klien Anda yang bernama Jimy ingin bertemu denganmu sekarang juga. Di tempat biasa.
Dante berdecak sebal membaca pesan tersebut, tidak ingat 'kah Devan--bawahannya, kalau Dante sangat kelelahan hari ini, dan ingin cepat-cepat tidur. Tapi, Dante tidak dapat menolak bertemu, mengingat klien tersebut adalah orang dari kalangan orang-orang terhormat. Bisa-bisa Dante mengalami masalah besar jika sampai Jimy marah karena ia tidak datang.
Ia pun bangkit, dan langsung bergegas keluar. Menutup pintu dengan kencang--meluapkan amarah.
Hera yang masih bersembunyi di kamar mandi, dan hanya terbengong saja pun lantas langsung terperanjat kaget mendengar dentuman pintu. Ia mengintip keluar, dan tidak menemukan Dante.
"Mau ke mana dia? Ah, apa peduli ku? Syukurlah, akhirnya aku bisa aman di sini, eneg juga melihat muka Dante," ucapnya dan keluar dari kamar mandi.
"Eh, iya? Aku belum mandi, mandi saja ah, biar segar," lanjutnya, dan masuk lagi ke kamar mandi, tapi belum sempat masuk, ia teringat kalau ia tidak membawa pakaian sehelai pun. Ia merutuki dirinya yang terlalu bodoh, dan lupa membawa pakaian.
Ingin menelpon Ibu atau Ayah nya, ia tidak tega, karena hari sudah malam, pasti orang tua nya sangat kelelahan. Ia tidak ingin merepotkan. Biarkan saja mereka berdua beristirahat.
Akhirnya, ia tidak jadi mandi. Dan memilih tidur saja dengan gaun pengantin yang lumayan berat itu. Tapi sebelumnya, ia membersihkan make up nya terlebih dahulu. Baru kemudian tidur.
****
Pukul 22:37
Dante kembali, dan mendapati Hera yang tengah tertidur pulas dengan pakaian yang sama. Ia terkekeh, "wanita bodoh," sindirnya. Lalu, meletakkan dua paper bag berisi beberapa helai baju untuk Hera dan dirinya sendiri.
Kemudian, pria itu membersihkan tubuhnya terlebih dahulu, dan kemudian ikut tertidur di samping Hera.
****
Hera terbangun pada pagi harinya, dengan tubuh yang pegal-pegal di karenakan memakai gaun pernikahan semalaman. Ia melirik ke samping dan mendapati Dante masih tertidur pulas, dan membelakanginya.
Hera terlonjak, 'Apa-apaan, beraninya tidur di samping ku?!' ucapnya membatin.
Tidak ingin membangunkan Dante, ia kemudian beranjak dari ranjang dengan perlahan. Di lihatnya ada paper bag di nakas, ingin tidak peduli, namun jiwa penasarannya mendominasi. Di bukanya paper bag itu, dan mendapatkan beberapa kaos wanita beserta celana training.
"Jadi, dia keluar ingin membelikan ku ini? Dasar, tidak jelas." Hera meletakkan kembali paper bag itu di tempatnya.
"Dasar tidak tahu terima kasih, sudah dibelikan baju, bukannya berterima kasih, malah di maki."
Dante bangkit dari ranjang, Hera yang mendengar sindiran itu seketika merasakan sedikit sengatan di lubuk hatinya. Tersinggung.
"Terserah."
"Cepat mandi, dan ayo makan. Aku lapar," katanya.
"Tidak lapar, dan tidak tertarik makan bersama orang gila. Terima kasih."
Bohong, sebenarnya Hera sangat lapar, karena semalaman ia tidak mengisi perutnya dengan makanan satu pun. Perutnya juga sakit pagi ini.
Lalu, Hera pergi menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri, ia merasa tubuhnya sangat lengket karena tidak mandi kemarin malam.
Dante tidak menjawab, hanya pergi keluar. Dan mungkin menuju Restoran Hotel. Hera menghela nafas, ia berpikir kembali, apa 'kah ucapannya tadi membuat Dante tersinggung dan sakit hati?
Ternyata Dante juga punya hati, ya? Namun, Hera menghilangkan pikiran itu jauh-jauh. Tidak mungkin pria brengsek seperti Dante mempunyai hati, mungkin ada, tapi tidak di gunakan untuk memikirkan orang lain.
"Shit," umpatnya setelah melihat noda darah di celana dalamnya.
Pantasan saja perutnya sakit, ternyata ia sedang dalam periode wanitanya. Hera lupa jika sekarang adalah tanggal 17, di mana itu adalah tanggal menstruasinya.
"Astaga, aku tidak punya pembalut," ucapnya cemas. "Aku harus bagaimana?" Hera bingung, mau meminta tolong pada siapa.
Akhirnya ia memutuskan untuk menelpon pelayan hotel, untuk membelikannya pembalut. Dan mereka mengiyakan.
Hera menunggu beberapa saat.
Sepuluh menit.
Lima belas menit.
Tujuh belas menit.
Tidak ada tanda-tanda pelayan hotel yang diperintahkannya datang, atau pun mengetuk pintu. Ia mulai kesal, sudah lama menunggu tapi malah tidak di antar, baru saja Hera ingin menelpon dan memprotes.
Pintu kamar terbuka, dan menampilkan Dante dengan membawa sebuah kantong plastik.
Hera punya firasat buruk. Jangan bilang kalau ...
"Ini pembalutmu. Menyusahkan." Dante melemparkan kantong plastik itu ke Hera dan berhasil ditangkap. Sumpah demi apapun, Hera sangat malu sekarang. Mau di taruh di mana wajahnya, setelah ini? Bagi Hera, dibelikan pembalut oleh seorang laki-laki, adalah hal yang paling memalukan. Mungkin, sekarang Hera sudah merasa tidak ada muka lagi untuk menghadapi Dante, ataupun memaki-makinya.
.
.
.
.
Bersambung.
Kalau tidak ada muka lagi, mendingan kamu Hera, ambil aja satu muka para manusia-manusia tukang caper. UPS:v
Pasangan pengantin baru itu sudah kembali dari hotel, dan kini tengah berada di rumah pribadi Dante."Ini rumahmu?" tanya Hera."Lalu, rumah siapa lagi?" balasnya dengan penuh ke angkuhan.Hera tidak menanggapi, dia sedang malas beradu mulut dengan Dante. Ia menghela nafas sedikit lebih panjang."Kau ... benar-benar ingin mengajakku tinggal di sini? Bersama orang tuamu, ya?"Hera baru ingat, jika Dante tidak pernah memperkenalkan orang tuanya kepadanya. Lantas itu membuat Hera takut untuk tinggal bersama orang tua Dante, lebih tepatnya canggung. Ia berpikir, apakah orang tua Dante tahu, kalau anaknya sudah menikah? Entahlah. Hera juga takut, jika nantinya ia akan dijadikan bahan olok-olokan mertuanya."Tidak. Ini rumahku sendiri."Hera ber oh ria, "lalu orang tua mu?""Bukan urusanmu.""Cih. Aku hanya bertanya saja, tidak
Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap bingung melihat mereka."Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya."B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.' Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.Hera pun dengan senang hati menuruti.Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya."Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya.""Ah, i-iya, nanti akan ku buat.""Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat."Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat."Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
DevanTuan, kami sudah menemukan tempat tinggal Park Airin.***Saat sang matahari, telah menyembunyikan diri nya di ufuk barat, dan digantikan oleh bulan dan bintang yang penuh gemerlap menghiasi langit malam, Hera baru lah tersadar dari pingsan nya, ia agak kaget karena Dante membawa nya ke rumah sakit, ia pikir cuma akan di bawa pulang saja. Tapi ternyata ... Dante perhatian dengan nya?Saat bangun, Hera tidak melihat keberadaan Dante di ruangan ini, seperti nya dia sedang keluar, begitu pikir Hera. Tidak mau peduli dengan urusan Dante, Hera pun akhir nya kembali melanjutkan tidur nya, karena sumpah demi apa pun, sekarang ia merasa tubuh nya benar-benar seperti ingin remuk, karena terlalu kelelahan bermain sepanjang hari. Makan pun tak sempat, karena mata nya sudah tidak tahan untuk terjaga lebih lama.***"Kenapa bisa kabur?! Menangkap seorang wanita saja kalian
!! PERHATIAN !!Saya menerima semua kritikan kalian, jika disampaikan secara baik. So, jika ingin mengkritik, ingat juga untuk menjaga sopan santun kalian, ya!Mentalitas tiap orang itu beda-beda. Saya juga menentang keras tentang plagiarisme, bagi kalian yang berniat jahat ingin mengkopas cerita milik orang lain, jauh-jauh kalian dari cerita punya saya!So, happy reading~ hope you enjoy with this story.~~~~"Apapun yang terjadi, kau harus menikah dengannya!" teriak Leera, menatap penuh emosi kepada anaknya, Hera.***Masalah besar, keluarganya tengah dalam masalah, terlilit hutang berjuta-juta won dengan seorang pengusaha kaya raya, keturunan asli Korea, bernama Kim Dante. Pria yang sudah menginjak kepala tiga tahun lalu itu, baru saja
DevanTuan, kami sudah menemukan tempat tinggal Park Airin.***Saat sang matahari, telah menyembunyikan diri nya di ufuk barat, dan digantikan oleh bulan dan bintang yang penuh gemerlap menghiasi langit malam, Hera baru lah tersadar dari pingsan nya, ia agak kaget karena Dante membawa nya ke rumah sakit, ia pikir cuma akan di bawa pulang saja. Tapi ternyata ... Dante perhatian dengan nya?Saat bangun, Hera tidak melihat keberadaan Dante di ruangan ini, seperti nya dia sedang keluar, begitu pikir Hera. Tidak mau peduli dengan urusan Dante, Hera pun akhir nya kembali melanjutkan tidur nya, karena sumpah demi apa pun, sekarang ia merasa tubuh nya benar-benar seperti ingin remuk, karena terlalu kelelahan bermain sepanjang hari. Makan pun tak sempat, karena mata nya sudah tidak tahan untuk terjaga lebih lama.***"Kenapa bisa kabur?! Menangkap seorang wanita saja kalian
Setelah mereka selesai makan ice cream, dan beristirahat sebentar. Akhirnya, mereka melanjutkan lagi pertualangan menjelajahi Taman Bermain ini.Semua wahana menyenangkan yang ada di sini, kiranya sudah hampir semua wahana telah mereka main kan, ralat, ada satu permainan lagi yang belum di coba. Yaitu ... roller coaster.Hera yang hanya melihat roller coaster itu saja sudah mau muntah rasa nya, apalagi jika naik, sudah dipastikan pasti akan langsung pingsan di tempat. Soalnya, dia punya phobia ketinggian.Sangat jauh berbeda dengan Dante, pria itu bahkan mata nya sampai berbinar-binar karena terpesona dengan roller coaster tertinggi di kota Seoul ini, iya, Dante ini tidak takut pada apa-apa, terkecuali cuma satu ... yaitu, hantu alias makhluk astral.Kalau yang satu itu, jangan tanya lagi, amit-amit jabang bayi, Dante tidak ingin macam-macam dan sok nantangin makhluk itu lagi, traum
Taman Bermain.Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu."Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu."Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.'shit' monolognya dalam hati."Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di bua
Pada pagi harinya, Hera sangat terkejut melihat Dante yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sampingnya, dan yang lebih membuat Hera kaget adalah ... Dante yang tidur sambil memeluknya, iya, Hera terbangun dipelukan seorang Dante.Padahal semalam, Dante bilang akan tidur di kamar yang lain, dan Hera merasa sangat tidak keberatan akan itu, ia malah merasa bersyukur. Persetan dengan makhluk tak kasat mata di rumah ini, yang penting tidak tidur di ranjang yang sama lagi dengan Kim Dante.Tapi faktanya? Dante malah mengingkari ucapannya, bikin Hera ingin memaki-maki saja di pagi hari yang cerah ini."Brengsek, sudah tidak punya sopan santun, ternyata juga tidak bisa dipercaya, tukang ingkar janji," sindirnya, lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan erat Dante."Ya, Kim Dante. Lepaskan aku!" ucapnya lalu memukul pelan pundak Dante.Dante hanya membalas dengan mempoutkan bibirnya, ta
"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat."Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat."Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.
Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya menatap bingung melihat mereka."Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya."B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.' Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.Hera pun dengan senang hati menuruti.Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya."Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya.""Ah, i-iya, nanti akan ku buat.""Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."
Pasangan pengantin baru itu sudah kembali dari hotel, dan kini tengah berada di rumah pribadi Dante."Ini rumahmu?" tanya Hera."Lalu, rumah siapa lagi?" balasnya dengan penuh ke angkuhan.Hera tidak menanggapi, dia sedang malas beradu mulut dengan Dante. Ia menghela nafas sedikit lebih panjang."Kau ... benar-benar ingin mengajakku tinggal di sini? Bersama orang tuamu, ya?"Hera baru ingat, jika Dante tidak pernah memperkenalkan orang tuanya kepadanya. Lantas itu membuat Hera takut untuk tinggal bersama orang tua Dante, lebih tepatnya canggung. Ia berpikir, apakah orang tua Dante tahu, kalau anaknya sudah menikah? Entahlah. Hera juga takut, jika nantinya ia akan dijadikan bahan olok-olokan mertuanya."Tidak. Ini rumahku sendiri."Hera ber oh ria, "lalu orang tua mu?""Bukan urusanmu.""Cih. Aku hanya bertanya saja, tidak
Tibalah hari pernikahan, Hera tengah berada di ruang mempelai wanita, dan menunggu untuk dijemput ayahnya. Ia sudah siap, dengan balutan make up yang tidak terlalu tebal--natural make up--dan gaun pengantin pilihan Dante--iya, bukan Hera yang memilih gaun itu, mengajak Hera ke toko gaun pengantin pada saat itu hanyalah formalitas saja, yang memilih semuanya adalah Dante.Hera tentunya cemas, dirinya bergetar khawatir. Menatap dirinya di cermin dengan keadaan tidak tenang. Tak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah siap menjemput Hera."Anakku, apakah kau sudah siap?" tanyanya."Ayah ... aku takut.""Tidak apa-apa, ada Ayah di sampingmu. Genggam dengan kuat tangan Ayah jika kau merasa ketakutan."Hera hanya mengangguk, masih cemas dan takut."Ayo kita keluar sekarang, mempelai pria mu sudah menunggu.""Ta
"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur."Ibu, aku lapar," katanya."Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap.""Baik, Bu."Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera."Memasak makanan kesukaanku?""Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya.""Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja.""Iya."