“Aahh….”
Lenguhan panjang mengisi ruangan dengan kasur berukuran king size.
Entah berapa kali, suara itu kembali lolos dari bibir mungil Seraphina Estella–membuat suasana kamar president suite itu terasa panas.
“Hentikan. Ada yang aneh….” ucap Sera kala merasakan sesuatu yang lebih aneh terasa di pusat tubuhnya.
Seperti buang air kecil?
Mata Sera juga terpejam sambil menggigit bibir bawahnya ketika bagian inti tubuhnya merasakan kedutan luar biasa yang tak pernah ia rasakan selama dua puluh dua tahun hidupnya. Tetapi, itu justru menambah gairah pria bertubuh atletis yang kini berada di atasnya.
Pria itu tidak lagi bisa menahan dirinya–menambah tempo permainan. Aroma mawar yang menguar di leher Sera juga membuat pria dengan dada bidang itu mencium bertubi-tubi hingga meninggalkan jejak kemerahan yang kentara.
“Akh….” Sera menjerit.
Lagi-lagi, ia tak mengerti dengan tubuhnya sendiri yang bahkan menyerah pada gelombang kenikmatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Terus begitu, hingga dirinya lelah dan tertidur lelap dalam dalam pelukan hangat pria itu.
“Thanks.”
Samar, Sera mendengar suara bariton itu di telinganya membuatnya tersenyum.
Tapi, Sera pikir itu hanyalah mimpi liar semata!
Faktor biologis dari seorang wanita dewasa… yang sering ia baca di jurnal penelitian.
Siapa sangka kala terbangun, Sera menemukan sebuah tangan besar melingkar di pinggangnya?
Bahkan, embusan pelan nafas pria di belakangnya mengenai tengkuknya membuat tubuh Sera bergetar.
“Astaga!” batinnya tak menyangka.
Dada Sera sontak berdegup begitu kencang.
Dicobanya memberanikan diri untuk menoleh ke arah pria di belakangnya.
Namun, matanya seketika membelakak kala menyadari pemilik tubuh atletis di sampingnya
“Om Kai?”
Gadis itu menelan ludahnya kasar.
Kai Allister Adnan adalah paman sang sahabat dan juga pria yang selama ini diam-diam ia kagumi.
Gadis itu sontak merutuki kebodohannya.
“Bodoh! Semalem gak mimpi. Ini nyata!” gumam Sera dengan hati yang begitu gelisah.
Kakinya bergerak cepat untuk menuruni ranjang dan tentu saja itu membuat pria di sampingnya terbangun dengan mengerjap.
Bayangan seseorang yang seolah tergesa di sudut matanya membuat Kai Alister Adnan membuka matanya dengan sempurna.
“Sera?” lirih Kai yang kini tampaknya juga terkejut dengan keadaan yang ada.
Namun, Sera tak menjawab.
Malu, panik, dan kecewa membuatnya buru-buru memakai sepatunya dan segera meninggalkan kamar dengan membuka pintu kasar, sehingga menyebabkan debuman yang memekakkan telinga.
Langkah kaki Sera setengah berlari menuju lobi.
Bagaimana bisa ini terjadi?
Sera hanya mengingat ia pergi bersama teman-teman kuliahnya yang baru saja menyelesaikan sidang hari itu.
Temannya yang bernama Roland menyodorkan minuman bening yang ia kira adalah air mineral.
Tapi siapa sangka, jika minuman itu adalah alkohol?
“Sialan emang si Rolland! Sial, tapi kok bisa–Om Kai!” gerutu Sera yang tak mampu menyusun kalimat dengan jelas.
Diacak-acak rambutnya yang memang sudah berantakan.
Ia baru berhenti kala tahu ada taksi melintas di hadapannya.
“Jalan Cendana, Pak.”
Setelah kalimat singkat itu, Sera tidak mengatakan apapun.
Ia bahkan tak sadar sang sopir taksi daritadi melirik ke arah Sera yang terlihat berantakan. Bekas-bekas kemerahan itu mengatakan segalanya.
Satu hal yang pasti.
Perjalanan yang memakan waktu empat puluh lima menit itu terasa menyiksa Sera.
Sayangnya sesampainya di rumah, Sera tak tahu bahwa ada sepasang mata yang mengamati gerak-gerik wanita muda itu.
"Sera, dari mana kamu?!" seru Fara yang kini bisa melihat dengan jelas putrinya.
Matanya bahkan membelalak ketika menemukan beberapa tanda merah di leher anaknya. “Sera! Jawab mama! Kamu dari mana dan apa yang kamu lakukan semalam? Jawab, Ra!” tanya Fara dengan debaran kencang di dalam dadanya.
“Aku….” Mata Sera berlarian tak bisa menjawab. Anak baik-baik itu kini bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan sang Ibu.
"Kamu masih belum mau mengaku siapa orang yang melakukan itu, Sera? Bilang sama Mama Sera! Bilang kalau kamu dipaksa! Kamu gak dengan sukarela menjadi wanita murahan kan?!" suara Fara menggelegar untuk terus mendesak sang anak untuk jujur kepadanya.
Sera terkesiap dan segera memutar. Badannya mundur saat tahu bahwa Fara sudah sangat dekat dengan dirinya.
"Kamu tahu kan kalau mama lebih suka ucapan dari mulut kamu dari pada mendengar laporan orang suruhan mama."
Tekanan itu membuat Sera terdiam.
Rasanya ia tak mampu mengatakan hal memalukan yang bisa membuat ibunya itu mungkin terkena serangan jantung,
Sayangnya, suara ponsel Fara menggema.
Membuat keheningan itu semakin mencekam.
Napas Fara memburu saat melihat potongan video dari lorong bar ternama yang bisa ia dapatkan dengan mudah.
Mata Fara memerah, tanda murka sudah mendidih di atas kepalanya. "Kamu jawab siapa dia atau mama penjarakan dia!" teriak Fara yang tak lagi bisa mengontrol emosinya.
"Kai.." ujar Sera pada akhirnya. “Namanya, Kai.. Ma.”
“Kai siapa maksud kamu?! Yang jelas Seraphina!”
“Kai Allister Adnan.”
Ponsel Fara langsung terjatuh.
Matanya menatap nanar kepada putri kebanggannya itu.
Bagaimana bisa Sera melakukannya dengan Kai–pria yang berusia lebih dari 10 tahun dan pertunangannya baru saja kandas?
Hanya saja, Ibu Sera memiliki berbagai macam cara untuk “melindungi” sang putri.Jadi di sinilah Sera sekarang. Dalam balutan gaun bertabur swarovski, ia semakin berkilau dan paling mencolok di antara seluruh tamu yang datang di gedung mewah bernuansa putih itu.Beberapa orang menatapnya dan Kai, kagum. Bahkan, ada yang menganggap ini adalah pernikahan impian. Sayangnya tak ada yang tahu, bahwa Sera dan Kai menikah dalam keadaan hati yang kacau."Kepada pengantin yang baru saja resmi menjadi suami istri, dipersilahkan untuk memasangkan cincin satu sama lain."Intonasi dan nada bicara khas seorang pewara memberikan instruksi pada Sera dan Kai. Dapat Sera rasakan tangan Kai begitu dingin saat memasangkannya.Hanya saja, ada yang aneh kala Sera gantian memasangkan cincin itu di jari Kai."Kok longgar gini, Om. Perasaan kemarin udah pas," bisik Sera. Namun, pria tampan itu hanya mendongak sedikit dan menatapnya tajam, tanpa menjawab apapun.Sera terkesiap.Mungkinkah Kai membencinya?
"Ini urusan kerja, Sera. Bahkan, sudah terjadwal sebelum adanya rencana pernikahan kita," jawab Kai, “Saya harap kamu mengerti.”"Tapi–”“Visa kamu sudah diurus. Jadi, kamu bisa menyusul. Gak masalah, kan?" jelas Kai yang begitu tenang. Sera membuang nafas panjang.Jiwa mudanya tidak bisa menelan mentah-mentah alasan Kai yang mendadak baginya. Bukankah dia bisa mengabarkan sebelumnya?Tapi, apa yang bisa Sera lakukan selain menerima itu semua?“Om mau aku bantuin siap-siap gak?” tanya Sera yang tiba-tiba memiliki ide acak untuk bisa menyiapkan pakaian Kai selama di Amerika. Entah dari mana munculnya perasaan ingin melayani Kai itu.“Gak perlu. Aku akan beli semua di sana.”Muka Sera kembali masam. Bibirnya kini bahkan mengerucut sempurna karena niat baiknya ditolak mentah-mentah.Apa perannya sebagai istri hanya sebatas di ranjang untuk Kai?Namun, Sera hanya menahan semua dalam hati.Dia tak ingin jadi istri yang merepotkan untuk Kai.Sudah cukup dengan pernikahan mendadak mereka
"Sayang, sini," panggilnya pada Sera, "Kenalin, temannya Kai. Lana, she is Sera. My cute in-law.” Ya. Diani yang menjawab siapa Sera.Bukan Kai.Saat Sera berjabat tangan dengan wanita yang lebih tinggi darinya itu, ia hanya bisa tersenyum kikuk. Jujur, ia masih terkejut dengan interaksi Diani dan Lana yang tak sungkan mempertontonkan kedekatan mereka. "Lana.”Sera mengangguk. Keduanya tampak kikuk dan tak bisa merespon banyak.“Ya udah, kita sambil jalan aja yuk,” ucap Kai yang kini sudah mengambil alih trolly dengan tumpukan koper itu.“Ayo,” ucap Diani yang kemudian kini berganti menggandeng Lana. ketiganya pun berjalan beriringan meninggalkan Sera yang mematung untuk kedua kalinya."Lana, Tante rindu denganmu." Diani memeluk Lana berulang-ulang kali. "Tante menyesal karena tidak tahu kamu akan kemari. Jika tahu, Tante sudah masak ayam kesukaanmu. Waktu kalian berkuliah di Chicago, apa kamu ingat? Kamu membawa banyak kotak makanan supaya bisa menyimpan ayam yang Tante masak.
“Jangan terlalu banyak mikirin hal-hal yang gak penting. Kalau penasaran tentang Lana, tanya ibu saja,” ucap Kai tiba-tiba, “saya keluar dulu.”Tanpa basa-basi, pria itu pun beranjak keluar begitu saja meninggalkan Sera yang diam memantung.Sebenarnya, apa yang salah? “Kira-kira kalau hamil, Mas Kai akan berubah gak ya?” monolog Sera dengan tangan yang mengusap perutnya lembut. Beberapa hari ini ia merasa mual. Jadwal menstruasinya pun mundur jauh dari tanggal seharusnya. Jadi, akhir-akhir ini ia terus mencari di internet; apakah dirinya hamil? Tapi ketika satu fakta dia temukan, fakta yang lain mengatakan berlawanan.Banyak harapan yang selalu ia rapalkan, namun nyatanya, tidak ada satu pun yang terkabul dalam pernikahan yang seumur jagung ini. Mungkinkah pernikahannya ini benar-benar sebuah kesalahan?Sayangnya, Sera tahu jika Kai demikian karena menahan nafsunya yang mendadak tinggi setelah melihat tingkah sang istri yang sungguh menggemaskan.Kai takut tak bisa mengontrol dir
“Lana, cepat panggil pelayan, aku lapar!” keluh Kai yang kembali membuka buku menu dan tidak menghiraukan Lana.Wanita itu tidak bisa menyembunyikan rasa aneh yang dirasakan dalam dadanya. Hanya saja, pertanyaan yang dijawab seadanya oleh Kai itu ditangkap lain oleh Lana yang merasa tahu sekali tentang Kai.Menurutnya, Kai akan terang-terangan bila tidak suka sesuatu, tapi dia menahannya?Diam-diam Lana tersenyum. 'Tampaknya, aku masih punya harapan,' batinnya puas, "sorry little Sera. He is mine."Dan begitulah....Lana berusaha menahan pembicaraan dengan Kai agar berlangsung cukup lama.Untuk membangkitkan nostalgia dan juga membuat Sera kesal, mungkin?Dia tersenyum membayangkan itu semua!*** Sementara itu, Kai baru tiba di apartemen mewah milik keluarganya, tepat tengah malam. Semua ruangan sudah sunyi di sana. Hal itu membuat Kai pun melangkahkan kakinya ke kamar dengan perlahan. Ia mendapati wanita yang sudah dinikahinya beberapa minggu ini tengah memunggungi tempatnya
"Apakah tidak ada restoran yang menjual ayam di sini atau kamu terlalu pelit untuk membelinya dengan uangmu," sinis Sera pada akhirnya.Sayangnya, itu semua hanya ada dalam angan-angan gadis itu....“Ra, ayo makan. Kamu mau apa, sayang?” Ucapan sang ibu mertua menyadarkan Sera dari lamunan.Tak hanya itu, tiba-tiba saja sepotong paha ayam sudah mendarat di atas nasi Sera.Dari Samudra, sang papa mertua....Pria yang kebetulan duduk di samping Sera, memang hangat kepada menantunya.Tentu saja di hadapan mereka, ada Lana yang perasaannya menjadi tak baik melihat interaksi Sera dan Samudera yang begitu dekat.“Lana, kamu masih akan pergi menemui client hari ini?” tanya Diani.Lana mengangguk dengan senyum lebar. “Client meminta beberapa contoh dan rencananya Saya dan Kai akan mampir ke kantor Kai.”Diani mengangguk mengerti, bola matanya kemudian beradu dengan Sera. “Kalau begitu hari ini kita bisa pergi keliling New York, Sera. Mama akan membawamu berjalan-jalan.”Berbeda dengan Diani,
“Tapi–”"Ibu ngerasa gak punya muka kalau harus ketemu keluarga Haryadi! Ini semua gara-gara kamu, Kai!” ungkap Diani dengan wajah merah padam. Amarahnya belum padam sepenuhnya.“Gak perlu menjelaskan apapun, Kai.” Samudera yang geram, mengatakannya dengan amarah yang tertahan dalam relung jiwa. Diani juga tak akan membela Kai, dia menyadari kesalahan putra bungsunya. "Ayo, Bu. Kita susul Sera," ajak Samudera. Pasangan suami istri itu bergegas untuk bersiap-siap. Selembar tisu digunakan untuk menghapus jejak air mata yang menganak sungai di pipi Diani dan Samudera. Setelahnya, barulah kunci mobil yang digantung, disambar oleh Samudera yang kali ini menyetir sendiri. Selama perjalanan, Diani sesekali meneteskan air matanya walau dia telah berusaha untuk menahan agar tak berlarut-larut. Sedangkan Samudera, pedal gas diinjak terlalu dalam karena dia ingin segera sampai. "Ibu gak usah khawatir, Papa akan bikin Kai perbaiki semua kesalahan yang udah dia lakuin kali ini," kata Samudera
Di sisi lain, sambil mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi Samudera, Kai sadar jika Ayah dan Ibunya semestinya sudah tiba dua jam yang lalu.Hatinya cemas karena ada pemberitaan kecelakaan beruntun.Ia berharap orang tuanya tidak ada dalam daftar korban dalam kejadian tersebut. Itu kenapa Kai menyusul ke rumah sakit di mana Sera berada.Saat Kai tiba, dia baru menyadari bahwa rumah sakit tempat Sera di rawat dan lokasi rumah sakit rujukan kecelakaan itu berada di tempat yang sama.Suasana rumah sakit yang ramai membuat Kai sulit bergerak masuk.“Permisi, apa anda juga korban?” tanya seorang perawat yang menghampiri karena menyadari luka lebam di wajah Kai.“Ah, bukan–”Tepat saat ponselnya ditempelkan ke telinga, saat itu pula Kai melewati bankar yang didorong oleh banyak petugas medis yang terburu-buru. Namun, saat itu juga Kai mendengar dering yang sangat familiar di telinganya. Tring ... ting, ting ... Tring!Kai terhenyak, dia berhenti dan berbalik. Telinganya mendengar deng
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama