"Apakah tidak ada restoran yang menjual ayam di sini atau kamu terlalu pelit untuk membelinya dengan uangmu," sinis Sera pada akhirnya.Sayangnya, itu semua hanya ada dalam angan-angan gadis itu....“Ra, ayo makan. Kamu mau apa, sayang?” Ucapan sang ibu mertua menyadarkan Sera dari lamunan.Tak hanya itu, tiba-tiba saja sepotong paha ayam sudah mendarat di atas nasi Sera.Dari Samudra, sang papa mertua....Pria yang kebetulan duduk di samping Sera, memang hangat kepada menantunya.Tentu saja di hadapan mereka, ada Lana yang perasaannya menjadi tak baik melihat interaksi Sera dan Samudera yang begitu dekat.“Lana, kamu masih akan pergi menemui client hari ini?” tanya Diani.Lana mengangguk dengan senyum lebar. “Client meminta beberapa contoh dan rencananya Saya dan Kai akan mampir ke kantor Kai.”Diani mengangguk mengerti, bola matanya kemudian beradu dengan Sera. “Kalau begitu hari ini kita bisa pergi keliling New York, Sera. Mama akan membawamu berjalan-jalan.”Berbeda dengan Diani,
“Tapi–”"Ibu ngerasa gak punya muka kalau harus ketemu keluarga Haryadi! Ini semua gara-gara kamu, Kai!” ungkap Diani dengan wajah merah padam. Amarahnya belum padam sepenuhnya.“Gak perlu menjelaskan apapun, Kai.” Samudera yang geram, mengatakannya dengan amarah yang tertahan dalam relung jiwa. Diani juga tak akan membela Kai, dia menyadari kesalahan putra bungsunya. "Ayo, Bu. Kita susul Sera," ajak Samudera. Pasangan suami istri itu bergegas untuk bersiap-siap. Selembar tisu digunakan untuk menghapus jejak air mata yang menganak sungai di pipi Diani dan Samudera. Setelahnya, barulah kunci mobil yang digantung, disambar oleh Samudera yang kali ini menyetir sendiri. Selama perjalanan, Diani sesekali meneteskan air matanya walau dia telah berusaha untuk menahan agar tak berlarut-larut. Sedangkan Samudera, pedal gas diinjak terlalu dalam karena dia ingin segera sampai. "Ibu gak usah khawatir, Papa akan bikin Kai perbaiki semua kesalahan yang udah dia lakuin kali ini," kata Samudera
Di sisi lain, sambil mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi Samudera, Kai sadar jika Ayah dan Ibunya semestinya sudah tiba dua jam yang lalu.Hatinya cemas karena ada pemberitaan kecelakaan beruntun.Ia berharap orang tuanya tidak ada dalam daftar korban dalam kejadian tersebut. Itu kenapa Kai menyusul ke rumah sakit di mana Sera berada.Saat Kai tiba, dia baru menyadari bahwa rumah sakit tempat Sera di rawat dan lokasi rumah sakit rujukan kecelakaan itu berada di tempat yang sama.Suasana rumah sakit yang ramai membuat Kai sulit bergerak masuk.“Permisi, apa anda juga korban?” tanya seorang perawat yang menghampiri karena menyadari luka lebam di wajah Kai.“Ah, bukan–”Tepat saat ponselnya ditempelkan ke telinga, saat itu pula Kai melewati bankar yang didorong oleh banyak petugas medis yang terburu-buru. Namun, saat itu juga Kai mendengar dering yang sangat familiar di telinganya. Tring ... ting, ting ... Tring!Kai terhenyak, dia berhenti dan berbalik. Telinganya mendengar deng
Wanita itu duduk termenung, melamun dengan jantung yang berdebar tak karuan.Fara merasa tekanan darahnya membuncah hingga ke ubun-ubun dan membuat kepalanya berdenyut nyeri. Terlebih lagi, rasa bersalah itu seolah meraup habis kewarasan Fara."Astaga, kenapa semuanya harus kejadian bersamaan?" Fara menggeleng tak percaya. Suaminya masih berada dalam perawatan setelah terserang penyakit yang sudah lama bersemayam di dalam raganya. Apa dia terlalu gegabah menikahkan Sera? Penyesalan. Itulah yang berada di benak Fara. Seandainya sang anak tidak menikah dengan pria brengsek seperti Kai. Mungkinkah semuanya tidak akan terjadi. Kekacauan ini mungkin tidak pernah terjadi.“Nyonya Fara?” tanya seorang perawat.“Ya? Saya.”“Maaf, Tuan Dani Haryadi–”Suara dengungan panjang mendadak keluar di telinganya. Baru dua langkah dia berjalan tubuhnya mendadak limbung kedepan dan terbentur dengan ujung kursi berbahan besi. Fara kehilangan kesadarannya. Suaminya juga meninggal?Para Perawat dan Dok
Duduk termenung di samping tubuh Ibunya yang terlihat tak sempurna lagi, lantas membuat hati Sera berdenyut nyeri. Bagaimana tidak, dia harus melalui hari yang pelik setelah ayahnya yang baru saja terkena serangan jantung dan Ibunya yang tidak bisa lagi seperti dulu.Kaki dan tangannya yang membengkok serta takkan bisa digunakan karena enggan untuk lurus, membuat Sera menaruh iba paling dalam terhadap Ibunya.Sera hanya termenung, membayangkan penderitaan seperti apa yang akan dihadapi oleh Ibunya selama beberapa waktu kedepan.Saat sendiri seperti ini, Sera tak sadar ketika pintu ruangan terbuka dan terdengar sedikit derit yang tidak mampu didengar oleh Sera yang sedang termenung. “Sera,” sapa seseorang dari dekat pintu.Sera terhenyak, dia mengusap air mata yang sempat menetes banyak. Sera bergeser, memberikan ruang pada para ipar yang menjenguk Ibunya.“Kamu tidak pulang sama sekali, Sera. Pulanglah, Mbak Lila akan bergantian menjaga ibu kamu.”Sera menggeleng atas tawaran Lila.
“Aahh….” Lenguhan panjang mengisi ruangan dengan kasur berukuran king size.Entah berapa kali, suara itu kembali lolos dari bibir mungil Seraphina Estella–membuat suasana kamar president suite itu terasa panas.“Hentikan. Ada yang aneh….” ucap Sera kala merasakan sesuatu yang lebih aneh terasa di pusat tubuhnya. Seperti buang air kecil?Mata Sera juga terpejam sambil menggigit bibir bawahnya ketika bagian inti tubuhnya merasakan kedutan luar biasa yang tak pernah ia rasakan selama dua puluh dua tahun hidupnya. Tetapi, itu justru menambah gairah pria bertubuh atletis yang kini berada di atasnya.Pria itu tidak lagi bisa menahan dirinya–menambah tempo permainan. Aroma mawar yang menguar di leher Sera juga membuat pria dengan dada bidang itu mencium bertubi-tubi hingga meninggalkan jejak kemerahan yang kentara.“Akh….” Sera menjerit.Lagi-lagi, ia tak mengerti dengan tubuhnya sendiri yang bahkan menyerah pada gelombang kenikmatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Terus begitu, hi
Hanya saja, Ibu Sera memiliki berbagai macam cara untuk “melindungi” sang putri.Jadi di sinilah Sera sekarang. Dalam balutan gaun bertabur swarovski, ia semakin berkilau dan paling mencolok di antara seluruh tamu yang datang di gedung mewah bernuansa putih itu.Beberapa orang menatapnya dan Kai, kagum. Bahkan, ada yang menganggap ini adalah pernikahan impian. Sayangnya tak ada yang tahu, bahwa Sera dan Kai menikah dalam keadaan hati yang kacau."Kepada pengantin yang baru saja resmi menjadi suami istri, dipersilahkan untuk memasangkan cincin satu sama lain."Intonasi dan nada bicara khas seorang pewara memberikan instruksi pada Sera dan Kai. Dapat Sera rasakan tangan Kai begitu dingin saat memasangkannya.Hanya saja, ada yang aneh kala Sera gantian memasangkan cincin itu di jari Kai."Kok longgar gini, Om. Perasaan kemarin udah pas," bisik Sera. Namun, pria tampan itu hanya mendongak sedikit dan menatapnya tajam, tanpa menjawab apapun.Sera terkesiap.Mungkinkah Kai membencinya?
"Ini urusan kerja, Sera. Bahkan, sudah terjadwal sebelum adanya rencana pernikahan kita," jawab Kai, “Saya harap kamu mengerti.”"Tapi–”“Visa kamu sudah diurus. Jadi, kamu bisa menyusul. Gak masalah, kan?" jelas Kai yang begitu tenang. Sera membuang nafas panjang.Jiwa mudanya tidak bisa menelan mentah-mentah alasan Kai yang mendadak baginya. Bukankah dia bisa mengabarkan sebelumnya?Tapi, apa yang bisa Sera lakukan selain menerima itu semua?“Om mau aku bantuin siap-siap gak?” tanya Sera yang tiba-tiba memiliki ide acak untuk bisa menyiapkan pakaian Kai selama di Amerika. Entah dari mana munculnya perasaan ingin melayani Kai itu.“Gak perlu. Aku akan beli semua di sana.”Muka Sera kembali masam. Bibirnya kini bahkan mengerucut sempurna karena niat baiknya ditolak mentah-mentah.Apa perannya sebagai istri hanya sebatas di ranjang untuk Kai?Namun, Sera hanya menahan semua dalam hati.Dia tak ingin jadi istri yang merepotkan untuk Kai.Sudah cukup dengan pernikahan mendadak mereka