"Sayang, sini," panggilnya pada Sera, "Kenalin, temannya Kai. Lana, she is Sera. My cute in-law.” Ya. Diani yang menjawab siapa Sera.
Bukan Kai.
Saat Sera berjabat tangan dengan wanita yang lebih tinggi darinya itu, ia hanya bisa tersenyum kikuk.
Jujur, ia masih terkejut dengan interaksi Diani dan Lana yang tak sungkan mempertontonkan kedekatan mereka.
"Lana.”
Sera mengangguk. Keduanya tampak kikuk dan tak bisa merespon banyak.
“Ya udah, kita sambil jalan aja yuk,” ucap Kai yang kini sudah mengambil alih trolly dengan tumpukan koper itu.
“Ayo,” ucap Diani yang kemudian kini berganti menggandeng Lana. ketiganya pun berjalan beriringan meninggalkan Sera yang mematung untuk kedua kalinya.
"Lana, Tante rindu denganmu." Diani memeluk Lana berulang-ulang kali. "Tante menyesal karena tidak tahu kamu akan kemari. Jika tahu, Tante sudah masak ayam kesukaanmu. Waktu kalian berkuliah di Chicago, apa kamu ingat? Kamu membawa banyak kotak makanan supaya bisa menyimpan ayam yang Tante masak. Kalau ingat itu, aku jadi bertanya-tanya, apakah kamu bosan dengan masakan itu Lana?"
“Tentu saja tidak! Mana mungkin aku bosan. Itu adalah makanan penyelamatku. Aku akan menunggu masakan Tante yang satu itu. Boleh tidak kalau kita masak berdua seperti dulu, Tante?"
"Tentu! Nanti kita masak berdua jika kamu ada waktu senggang."
Sera kembali mendengar potongan perbincangan hangat itu.
Rasanya, ia tak punya tempat di sana.
Apakah pilihannya ke sini adalah sesuatu yang salah?
“Ayo jalan,” ucap Kai yang tanpa di sadari kini sudah berada di samping Sera.
Kerumitan di otak gadis itu sontak menghilang.
Langkah pendeknya segera mengikuti pria yang langkahnya lebih lebar darinya itu.
“Semoga ini hanya prasangka burukku saja,” batin Sera.
***
"Wajah kamu pucet? Kamu gak apa-apa?"
Sayangnya, pikiran itu tak hilang begitu saja meski akhirnya Sera tahu bahwa Lana adalah teman Kai saat di universitas yang juga jadi teman baik Lila.
Begitu di kamar, Kai pun langsung bertanya pada Sera.
"Gak apa-apa kok, Mas,” jawab Sera menahan apa yang ingin ditanyakannya dan memilih menggoda Kai. “Mas, mulai sayang ya sama aku? Khawatir banget kayanya.”
Ya, Sera harus bersikap lebih tenang agar Kai tidak membencinya.
Namun, godaan Sera tidak berpengaruh apapun pada Kai.
Wajah Kai tetap datar? Tak ada senyuman atau apapun di sana.
“Kamu capek kan habis perjalanan jauh?” ucap Kai yang kemudian berdiri, “istirahat aja.”
Deg!
“Kamu mau ke mana, Mas?” bingung Sera.
Di luar sana, ada perempuan yang begitu akrab dengan Ibu Mertua dan Kakak Iparnya. Tentu saja Sera merasa terintimidasi dan tak ingin prianya ikut di luar sana.
“Mas kok gak cerita kalau di New York ketemu sama si pelana kuda itu! Ngapain aja? Ketemuan terus ya?” sembur gadis itu pada akhirnya.
Kai sontak berhenti dan menatapnya tajam. “Lana. Namanya Lana. Yang sopan, Sera. Kalau dia denger, kan gak enak.”
"Lana aja ceritanya excited, masa gak ada yang penting?" Rasa cemburu Sera sedang meronta-ronta, rasa ingin tahunya lebih besar dari pada apapun saat ini.
Cukup sudah!
Dia memang belum dewasa. Sera akui itu.
"Lana itu siapa sih, Om? Kenapa semuanya deket sama Lana?" ucapnya lagi.
"Tadi kan udah di jelasin, Ra. Dia temanku di Universitas. Kebetulan temen Mbak Lila juga di sekolah sebelumnya. Kamu kenapa sih?" ungkap Kai berusaha mengingatkan Sera. “Oh iya, besok saya pergi sama Sera. Ada customer yang mau dikenalin Lana.”
"Ikut!" Sera tak akan membiarkan mereka berdua-duaan, walaupun dirinya harus merasa sakit hati jika melihat tawa Kai yang begitu lepas bersama dengan Lana.
"Kamu di rumah aja.”
Singkat, padat, dan nyelekit.
"Aku gak boleh ikut, Mas?” Sera bertanya kembali, memastikan pendengarannya.
Mungkin, ia salah, kan? Meski, ia sanksi pendengarannya mendadak memburuk.
Hanya saja, Kai tampak mengangguk. “Ibu bilang beberapa hari ini kamu sering muntah di kamar mandi,” ucapnya, “jadi, istirahat saja.”Ibu?
Entah mengapa rasa penasaran Sera meningkat.
Ditatapnya Kai ingin tahu. “Ibu sering kasih tahu tentang aku?”
Selama ini, semua pesan Sera dijawab seadanya oleh Kai, bahkan tidak digubris.
Jadi, rasanya sulit percaya pria itu ingin tahu tentang dirinya.
Apa jangan-jangan, Kai terpaksa mendengar cerita tentang Sera dari Diani?
Memikirkan itu, Sera seketika merasa pedih....
Atau mungkin, Kai sebenarnya memendam rasa pada Lana?
“Jangan terlalu banyak mikirin hal-hal yang gak penting. Kalau penasaran tentang Lana, tanya ibu saja,” ucap Kai tiba-tiba, “saya keluar dulu.”Tanpa basa-basi, pria itu pun beranjak keluar begitu saja meninggalkan Sera yang diam memantung.Sebenarnya, apa yang salah? “Kira-kira kalau hamil, Mas Kai akan berubah gak ya?” monolog Sera dengan tangan yang mengusap perutnya lembut. Beberapa hari ini ia merasa mual. Jadwal menstruasinya pun mundur jauh dari tanggal seharusnya. Jadi, akhir-akhir ini ia terus mencari di internet; apakah dirinya hamil? Tapi ketika satu fakta dia temukan, fakta yang lain mengatakan berlawanan.Banyak harapan yang selalu ia rapalkan, namun nyatanya, tidak ada satu pun yang terkabul dalam pernikahan yang seumur jagung ini. Mungkinkah pernikahannya ini benar-benar sebuah kesalahan?Sayangnya, Sera tahu jika Kai demikian karena menahan nafsunya yang mendadak tinggi setelah melihat tingkah sang istri yang sungguh menggemaskan.Kai takut tak bisa mengontrol dir
“Lana, cepat panggil pelayan, aku lapar!” keluh Kai yang kembali membuka buku menu dan tidak menghiraukan Lana.Wanita itu tidak bisa menyembunyikan rasa aneh yang dirasakan dalam dadanya. Hanya saja, pertanyaan yang dijawab seadanya oleh Kai itu ditangkap lain oleh Lana yang merasa tahu sekali tentang Kai.Menurutnya, Kai akan terang-terangan bila tidak suka sesuatu, tapi dia menahannya?Diam-diam Lana tersenyum. 'Tampaknya, aku masih punya harapan,' batinnya puas, "sorry little Sera. He is mine."Dan begitulah....Lana berusaha menahan pembicaraan dengan Kai agar berlangsung cukup lama.Untuk membangkitkan nostalgia dan juga membuat Sera kesal, mungkin?Dia tersenyum membayangkan itu semua!*** Sementara itu, Kai baru tiba di apartemen mewah milik keluarganya, tepat tengah malam. Semua ruangan sudah sunyi di sana. Hal itu membuat Kai pun melangkahkan kakinya ke kamar dengan perlahan. Ia mendapati wanita yang sudah dinikahinya beberapa minggu ini tengah memunggungi tempatnya
"Apakah tidak ada restoran yang menjual ayam di sini atau kamu terlalu pelit untuk membelinya dengan uangmu," sinis Sera pada akhirnya.Sayangnya, itu semua hanya ada dalam angan-angan gadis itu....“Ra, ayo makan. Kamu mau apa, sayang?” Ucapan sang ibu mertua menyadarkan Sera dari lamunan.Tak hanya itu, tiba-tiba saja sepotong paha ayam sudah mendarat di atas nasi Sera.Dari Samudra, sang papa mertua....Pria yang kebetulan duduk di samping Sera, memang hangat kepada menantunya.Tentu saja di hadapan mereka, ada Lana yang perasaannya menjadi tak baik melihat interaksi Sera dan Samudera yang begitu dekat.“Lana, kamu masih akan pergi menemui client hari ini?” tanya Diani.Lana mengangguk dengan senyum lebar. “Client meminta beberapa contoh dan rencananya Saya dan Kai akan mampir ke kantor Kai.”Diani mengangguk mengerti, bola matanya kemudian beradu dengan Sera. “Kalau begitu hari ini kita bisa pergi keliling New York, Sera. Mama akan membawamu berjalan-jalan.”Berbeda dengan Diani,
“Tapi–”"Ibu ngerasa gak punya muka kalau harus ketemu keluarga Haryadi! Ini semua gara-gara kamu, Kai!” ungkap Diani dengan wajah merah padam. Amarahnya belum padam sepenuhnya.“Gak perlu menjelaskan apapun, Kai.” Samudera yang geram, mengatakannya dengan amarah yang tertahan dalam relung jiwa. Diani juga tak akan membela Kai, dia menyadari kesalahan putra bungsunya. "Ayo, Bu. Kita susul Sera," ajak Samudera. Pasangan suami istri itu bergegas untuk bersiap-siap. Selembar tisu digunakan untuk menghapus jejak air mata yang menganak sungai di pipi Diani dan Samudera. Setelahnya, barulah kunci mobil yang digantung, disambar oleh Samudera yang kali ini menyetir sendiri. Selama perjalanan, Diani sesekali meneteskan air matanya walau dia telah berusaha untuk menahan agar tak berlarut-larut. Sedangkan Samudera, pedal gas diinjak terlalu dalam karena dia ingin segera sampai. "Ibu gak usah khawatir, Papa akan bikin Kai perbaiki semua kesalahan yang udah dia lakuin kali ini," kata Samudera
Di sisi lain, sambil mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi Samudera, Kai sadar jika Ayah dan Ibunya semestinya sudah tiba dua jam yang lalu.Hatinya cemas karena ada pemberitaan kecelakaan beruntun.Ia berharap orang tuanya tidak ada dalam daftar korban dalam kejadian tersebut. Itu kenapa Kai menyusul ke rumah sakit di mana Sera berada.Saat Kai tiba, dia baru menyadari bahwa rumah sakit tempat Sera di rawat dan lokasi rumah sakit rujukan kecelakaan itu berada di tempat yang sama.Suasana rumah sakit yang ramai membuat Kai sulit bergerak masuk.“Permisi, apa anda juga korban?” tanya seorang perawat yang menghampiri karena menyadari luka lebam di wajah Kai.“Ah, bukan–”Tepat saat ponselnya ditempelkan ke telinga, saat itu pula Kai melewati bankar yang didorong oleh banyak petugas medis yang terburu-buru. Namun, saat itu juga Kai mendengar dering yang sangat familiar di telinganya. Tring ... ting, ting ... Tring!Kai terhenyak, dia berhenti dan berbalik. Telinganya mendengar deng
Wanita itu duduk termenung, melamun dengan jantung yang berdebar tak karuan.Fara merasa tekanan darahnya membuncah hingga ke ubun-ubun dan membuat kepalanya berdenyut nyeri. Terlebih lagi, rasa bersalah itu seolah meraup habis kewarasan Fara."Astaga, kenapa semuanya harus kejadian bersamaan?" Fara menggeleng tak percaya. Suaminya masih berada dalam perawatan setelah terserang penyakit yang sudah lama bersemayam di dalam raganya. Apa dia terlalu gegabah menikahkan Sera? Penyesalan. Itulah yang berada di benak Fara. Seandainya sang anak tidak menikah dengan pria brengsek seperti Kai. Mungkinkah semuanya tidak akan terjadi. Kekacauan ini mungkin tidak pernah terjadi.“Nyonya Fara?” tanya seorang perawat.“Ya? Saya.”“Maaf, Tuan Dani Haryadi–”Suara dengungan panjang mendadak keluar di telinganya. Baru dua langkah dia berjalan tubuhnya mendadak limbung kedepan dan terbentur dengan ujung kursi berbahan besi. Fara kehilangan kesadarannya. Suaminya juga meninggal?Para Perawat dan Dok
Duduk termenung di samping tubuh Ibunya yang terlihat tak sempurna lagi, lantas membuat hati Sera berdenyut nyeri. Bagaimana tidak, dia harus melalui hari yang pelik setelah ayahnya yang baru saja terkena serangan jantung dan Ibunya yang tidak bisa lagi seperti dulu.Kaki dan tangannya yang membengkok serta takkan bisa digunakan karena enggan untuk lurus, membuat Sera menaruh iba paling dalam terhadap Ibunya.Sera hanya termenung, membayangkan penderitaan seperti apa yang akan dihadapi oleh Ibunya selama beberapa waktu kedepan.Saat sendiri seperti ini, Sera tak sadar ketika pintu ruangan terbuka dan terdengar sedikit derit yang tidak mampu didengar oleh Sera yang sedang termenung. “Sera,” sapa seseorang dari dekat pintu.Sera terhenyak, dia mengusap air mata yang sempat menetes banyak. Sera bergeser, memberikan ruang pada para ipar yang menjenguk Ibunya.“Kamu tidak pulang sama sekali, Sera. Pulanglah, Mbak Lila akan bergantian menjaga ibu kamu.”Sera menggeleng atas tawaran Lila.
“Aahh….” Lenguhan panjang mengisi ruangan dengan kasur berukuran king size.Entah berapa kali, suara itu kembali lolos dari bibir mungil Seraphina Estella–membuat suasana kamar president suite itu terasa panas.“Hentikan. Ada yang aneh….” ucap Sera kala merasakan sesuatu yang lebih aneh terasa di pusat tubuhnya. Seperti buang air kecil?Mata Sera juga terpejam sambil menggigit bibir bawahnya ketika bagian inti tubuhnya merasakan kedutan luar biasa yang tak pernah ia rasakan selama dua puluh dua tahun hidupnya. Tetapi, itu justru menambah gairah pria bertubuh atletis yang kini berada di atasnya.Pria itu tidak lagi bisa menahan dirinya–menambah tempo permainan. Aroma mawar yang menguar di leher Sera juga membuat pria dengan dada bidang itu mencium bertubi-tubi hingga meninggalkan jejak kemerahan yang kentara.“Akh….” Sera menjerit.Lagi-lagi, ia tak mengerti dengan tubuhnya sendiri yang bahkan menyerah pada gelombang kenikmatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Terus begitu, hi