“Ikan?”
Dalam gendongan ibunya, Mulan yang belum genap berumur 12 bulan meronta-meronta ke arah air mancur di lobi hotel. Putri kecilnya itu sangat menyukai ikan yang berwarna-warni. Arina duduk di tepi kolam menanti suaminya yang sedang berbicara dengan seorang pegawai kantor WH Organization. Suaminya terlihat berbicara serius atau mungkin itu memang kebiasaannya. Arina diminta menunggu di mobil tetapi putri kecilnya mengisyaratkan untuk pergi ke air mancur yang berisi ikan.
“Ayo kita hitung ikannya. Satu... dua... tiga... empat... lima... Lihat itu, ikannya berwarna merah. Cantik bukan?”
“Sudah selesai menghitung ikannya?” tiba-tiba Jillian sudah berada di belakangnya.
“Kamu sudah selesai berbicara dengan orang tadi?”
Jillian mengangguk, “Ada berapa ikannya?” Jillian berusaha mengajak bicara Mulan. Tetapi intonasi datar dan dingin sangat sulit Jillian rubah.
“Ada lima, Daddy...” bisik Arina untuk membantu Mulan menjawab. Putri kecil mereka hanya bisa membalas dengan senyum lucu bayi.
“Selamat tinggal ikan...” Arina menggerakkan lengan kecil Mulan untuk melambaikan tangan.
Setelah satu setengah jam penerbangan, mereka tiba di Surabaya. Arina mulai penasaran seperti apa keluarga suaminya. Dia hanya memiliki seorang ibu dan kakak perempuan di Indonesia. Terakhir menghubungi keluarganya yaitu dua tahun yang lalu sebelum pernikahan. Itu sangat buruk untuk hubungan keluarga. Tetapi Arina tidak memungkiri bahwa Jillian memiliki sifat yang dingin dan sangat gila bekerja sebagai hunter. Beruntung sifatnya perlahan berubah sejak ia mengandung buah hati mereka, sejak itu pula Jillian menjadi suami yang penuh perhatian.
“Jillian!” sapa laki-laki yang menunggu pada rombongan kedatangan penumpang bandara. Semua mata berfokus ke laki-laki itu dan dia baru merasa tidak harus berteriak. Orang-orang di bandara pun mulai berdecap kagum saat tahu seorang hunter paling terkenal di dekat mereka. Dua cewek remaja berlari untuk meminta foto bersama.
“Maaf, istriku harus segera istirahat,” jawab Jillian dalam bahasa Indonesia. Arina hanya tahu dua kata yang diucapkan suaminya, maaf dan istriku. Dua remaja itu terlihat kecewa tetapi sedetik kemudian mereka seperti kagum.
Laki-laki yang menyapanya tadi kini berjabat tangan dengan Jillian. Mereka saling bertukar senyum, pertanda yang baik. Ia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke Arina.
“Aditya, suami kakaknya Jillian,” sapa Aditya.
Arina mencoba mengingat pembelajaran bahasa Indonesia yang ia pelajari kurang dari satu bulan. Jillian menerjemahkan dalam bahasa Inggris, “Aditya, He is my brother in law.”
Arina mengangguk, membalas jabat tangan dan mencoba menjawab dalam bahasa Indonesia yang dia mengerti, “Aku Arina, istri Jillian.”
“Dia belum begitu bisa berbahasa Indonesia,” ucap Jillian.
“Tidak apa-apa. Cantik sekali putrimu. Siapa namanya?” Aditya mencubit lembut pipi Mulan.
“What’s her name?” terjemah Jillian.
“Mulan. Dia berumur dua belas bulan.” Arina menjawab dengan logat bahasa Indonesia yang masih belajar.
“Ayo kita segera pulang,” ajak Aditya yang membantu menarik koper mereka. Decap suara dan pandangan terkadang mengarah ke mereka. Arina tidak mempermasalahkan karena semua orang pasti mengenal wajah suaminya. Tetapi itu berarti rencana Jillian gagal agar tidak ada yang mengetahui kedatangannya ke Surabaya.
***
Setelah satu jam perjalanan, mereka tiba di deretan rumah yang cukup rapat sama seperti perumahan di Tokyo ataupun blok di London. Mobil terus masuk ke dalam pedesaan dengan rumah-rumah yang tidak tersusun rapi. Beberapa orang di jalan sangat sering dijumpai dan Aditya menebarkan senyum dengan ramah.
Mobil berhenti di halaman rumah yang sangat bersih, sebuah pohon membuat teduh dari teriknya panas matahari dan di depan rumah tertulis papan besar Catering Bu Milati. Tak ada sambutan sedikit pun persis seperti rencana suaminya. Arina sedikit gugup karena tidak bisa menebak seperti apa orang tua Jillian — ibunya.
Arina mengikuti suaminya yang begitu saja masuk ke dalam rumah. Pintu sedikit terbuka dan di baliknya terdapat sebuah ruang tamu kosong beralaskan tikar. Jillian terus berjalan masuk tanpa kata-kata. Rumah itu cukup besar, berbelok dan dinding rumah berwarna putih kusam. Dinding berisi beberapa foto lama, seorang wanita muda dan dua anaknya. Foto pernikahan Aditya dengan seorang wanita cantik — kakak Jillian. Seorang wanita tua yang mengendong cucu perempuan. Foto terakhir membuat Arina kaget yaitu sebuah foto pernikahannya yang diambil dari internet.
“Ibu masak apa?” suara Jillian terdengar pelan.
“Jillian!” suara wanita terdengar berteriak.
Arina datang saat Jillian dipeluk ibunya. Ia menangis bahagia. Saat membuka mata wanita itu melihat Arina, ia tersenyum lebih bahagia.
“Itu istrimu? Arina Katsuko?” Milati, Ibu Jillian melepas pelukan. Arina mengangguk. Mereka berpelukan dengan lembut.
“Siapa namanya?” Milati menyentuh jemari Mulan yang tertidur.
“Mulan, Ibu,” jawab Arina.
“Dia bisa berbahasa Indonesia?”
“Sedikit,” jawab Jillian.
Milati, Ibu Jillian terlihat lebih berkeriput dibandingkan terakhir saat mereka bertemu. Hampir dua tahun atau sejak pernikahan, Jillian tidak pernah mengunjungi ibunya. Terkadang dia merasa rindu tetapi masalah gates selalu menimbun di pikirannya. Tetapi saat ini ia ingin cuti beberapa minggu untuk keluarga, ibunya, Arina dan putri kecilnya.“Ibu sedang apa?” ucap Jillian saat Milati datang membawa teh hangat dan beberapa kue.“Ada pesanan dari Bu Lina, lima puluh kue lumpur untuk arisan. Jadi Aditya itu pergi menjemput kalian? Mengapa tidak bilang pada Ibu?”Jillian hanya tersenyum.“Adit, mengapa kamu tidak bilang menjemput Jillian? Ibu kan bisa siapkan makanan buat mereka.”“Itu minta Jillian biar tetangga tidak ada yang tahu. Kalau tetangga tahu mungkin di sini sudah ada wali kota. Hahaha...” canda Aditya membuat tawa di ruangan.“Apa istrimu tahu?”“Ya, tetapi dia
“Bagaimana kabarmu, Nira? Lama kita tidak bertemu,” sapa Jillian.“Sangat lama.” Mata Nira berkaca-kaca.“Dia istriku, Arina Katsuko. Masih belajar bahasa Indonesia.”Pertemuan terakhir Jillian dengan Nira adalah 10 tahun yang lalu, hari di mana dia pergi bersama ayahnya menuju Australia. Kini perasaan malu, bersalah dan cinta bercampur menjadi kekacauan. Ia mengira Nira akan ada di Jakarta untuk memenuhi undangan para korban keluarga hunter. Dugaannya salah dan Jillian harus menghadapi hal yang tidak pernah ia ingin jumpai.Nira berlari untuk memeluk teman masa kecil dengan penuh rindu.“Kenapa baru pulang?” tangis haru Nira.“Banyak gates yang harus aku urus. Aku sendiri tidak mengira akan bisa pulang.” Itu jawaban yang sudah Jillian siapkan bertahun-tahun. Jillian membalas pelukan Nira dengan satu tangan karena tangan yang lain memegang sepiring buah kersen. Jantungnya berdegup l
Kabar tentang kemunculan puluhan gates tingkat A dan S yang muncul mendadak di benua Australia menggemparkan seluruh dunia. Dalam beberapa hari gelombang monster telah memorak-porandakan setiap kota di sana. Dengan sigap Samuel Manrov, pemimpin WH Organization kala itu menyampaikan dalam konferensi pres meminta bantuan seluruh hunter di dunia untuk menutup gates di sana. Bahkan Samuel Manrov tidak segan-segan menyebutnya sebagai perang, perang antara umat manusia dan monster.Surabaya kala itu menjadi salah satu kota tempat transit sebelum para hunter menuju Australia. Setelah menemui ibu dan kakaknya, Jillian langsung kembali ke bandara untuk persiapan keberangkatannya dalam beberapa jam. Sekembalinya di sana, ia berpapasan dengan teman satu SMP-nya, Nira.Jantung Jillian berdegup kencang kala itu, Nira selalu saja menjadi gadis manis yang dia cintai. Alasan dia ingin menjadi kuat, alasan dia ingin menjadi hunter, dan alasan dia harus berperang di Austarlia. Jik
“Jadi bagaimana rencana selanjutnya?”Mereka berdua mengambil makanan kaleng di rumah itu sebagai bekal, mengisi botol air mereka hingga penuh, dan memasukkan beberapa material mana yang didapat ke dalam tas. Perlengkapan armor atau baju hunter yang di rancang untuk mengurangi dampak dari serangan telah rusak, banyak retakan dan beberapa sisi telah hancur. Jadi Jillian dan Paman Nakti melepaskan armor mereka, meski dampak serangan bisa jadi fatal tetapi setidaknya mereka dapat bergerak lebih cepat dan gesit. Rencana mereka sederhana yaitu bertahan hidup untuk bertarung hari esok, mereka harus kembali setidaknya dapat berkumpul dengan sisa hunter lain untuk membentuk kekuatan lagi.Mereka di pinggir kota Tilpa kala itu, tak lagi mampu bergerak menuju kota Wilcannia di mana seharusnya tim Jillian dan guild Bumisakti menutup gates tingkat S di sana. Jadi mereka akan bergerak ke arah utara, menuju Port Douglas, sekitar sebelah utara Queensland di mana salah sat
Pukul 2 pagi Jillian terbangun dari tidurnya. Suatu perasaan yang susah dijelaskan muncul, gates tingkat tinggi mungkin akan muncul. Ia berjalan ke jendela memandang langit malam yang tertutup awan tetapi dengan jelas ada setitik bintang yang bersinar.Jika itu cuma para elf akan kubunuh mereka, ucap Jillian dalam hati. Kemudian ponsel Jillian berdering dengan layar berubah menjadi nama William.Sialan. Jillian tahu mengapa sekretarisnya menelepon selarut ini.[Bos, ada gates tingkat S yang muncul di Indonesia.]“Dimana?”[Pulau Bali... Kota Denpasar... Sekitar pantai.]“Carikan aku tiket pesawat,” Jillian menutup telepon. Tidak banyak gates tingkat S yang bisa ditangani oleh setiap negara. Bahkan Indonesia, gate tingkat ini biasanya di tangani oleh Jillian dan timnya. Tetapi jika pemerintah Indonesia bersikap egois untuk mendapatkan material mana, WH Organization hanya bisa menunggu hingga para hunter berjatuhan.
Jillian mematikan ponsel. Ia kecewa pada sikap pemerintah Indonesia yang tidak segera menyelesaikan keputusan guild untuk menangani gate di depannya. Di bandingkan dengan Inggris dan Jepang, kurang dari satu jam setelah gates muncul mereka sudah siap dengan para hunternya.“Jillian. Kamu sepertinya tidak sabar untuk masuk,” seorang menyapanya dengan aksen bahasa Inggris yang berbeda.“Prikodov. Sedang apa kau disini?” Jillian berbalik.“Berlibur seperti kamu. Sepertinya liburanmu akan mengasyikkan karena ada gate tingkat S yang muncul. Apa adikku akan datang juga?”“Anatasia Prikodov? Tidak. Aku tidak memanggil squad utama.”“Sungguh sayang, Harusnya kamu lebih banyak memasukkannya ke makam. Satu hunter Rusia lagi mati di negara lain maka akan aku pastikan Rusia keluar dari organisasi sucimu.” Perkataan Prikodov yang lembut perlahan-lahan semakin tajam. Jillian tahu bahwa pemerintah Rusia
Jillian masuk ke dunia yang berbeda, langit telah berbuah menjadi malam, pasir pantai berubah menjadi tanah tandus. Aroma busuk menyebar ke seluruh hutan disebabkan ratusan monster telah mati terbantai. Hanya ada sebuah kastel yang masih berdiri dengan gerbang hancur. Seharusnya monster pembuka gerbang berada di sana dan ratusan monster yang tewas seharusnya menjadi pasukan yang sedang bersiap. Jillian merasa beruntung timnya tidak perlu berperang dengan monster sebanyak ini. Tetapi kecurigaan mulai tumbuh tentang siapa pelaku sebenarnya.Gerbang kastel terbelah dengan tebasan melintang. Seekor monster bertubuh besar berjalan sempoyongan dengan satu lengan terpotong. Monster tersebut berwajah mirip kelelawar dengan mulut bersilang tiga.Khaaa... monster tersebut mengerang marah.Whuss... Kepala monster itu dipenggal oleh seorang kesatria berkuda dengan tombak panjang. Ia menunggangi kuda yang telah mati, tangan kanannya memegang tombak sabit berwarna
Ya Tuhan, Bos Jillian benar, ucap William dalam hati. “Pak William, mana dalam gates turun sangat cepat. Mungkin kurang dari dua jam gate akan tertutup sepenuhnya.” Seorang pegawai WH Organization mengkonfirmasi kondisi gate. Truk terakhir dari guild pengangkut keluar dengan mayat-mayat monster. Petugas dari guild pengangkut mengkonfirmasi tugas terakhirnya kepada petugas militer. Kolonel Haris pun memerintahkan pasukannya tetap berjaga hingga gate tertutup sepenuhnya. “Bos... ” William menahan kata-kata. “Aku akan pulang besok. Ya, aku juga...” Jillian mematikan ponselnya. “Aku harus menulis apa dalam laporan nanti?” “Kita bahas besok, aku lelah. Oh ya, carikan aku tiket untuk kembali ke Surabaya.” Jillian melemparkan tubuhnya ke ranjang hotel. Esok paginya William mendapat berita bahwa menteri pertahanan Indonesia telah menyampaikan konferensi pres tentang gate di kota Denpasar. Secara resmi mereka mengucapkan terima kasih te