Home / Fantasi / Manusia Penakluk Dunia / 7. Sepuluh Tahun Yang Lalu

Share

7. Sepuluh Tahun Yang Lalu

Kabar tentang kemunculan puluhan gates tingkat A dan S yang muncul mendadak di benua Australia menggemparkan seluruh dunia. Dalam beberapa hari gelombang monster telah memorak-porandakan setiap kota di sana. Dengan sigap Samuel Manrov, pemimpin WH Organization kala itu menyampaikan dalam konferensi pres meminta bantuan seluruh hunter di dunia untuk menutup gates di sana. Bahkan Samuel Manrov tidak segan-segan menyebutnya sebagai perang, perang antara umat manusia dan monster.

Surabaya kala itu menjadi salah satu kota tempat transit sebelum para hunter menuju Australia.  Setelah menemui ibu dan kakaknya, Jillian langsung kembali ke bandara untuk persiapan keberangkatannya dalam beberapa jam. Sekembalinya di sana, ia berpapasan dengan teman satu SMP-nya, Nira.

Jantung Jillian berdegup kencang kala itu, Nira selalu saja menjadi gadis manis yang dia cintai. Alasan dia ingin menjadi kuat, alasan dia ingin menjadi hunter, dan alasan dia harus berperang di Austarlia. Jika gates di Australia gagal ditutup ada kemungkinan besar, negara Indonesia yang sangat dekat dengan Australia ikut dalam bahaya.

“Apakah kamu akan berangkat dengan Ayah?”

Jillian tidak mengelak, “Kami akan beroperasi di tempat yang sama.”

“Maukah kamu berjanji akan kembali bersama?”

“Y... ya,” Jillian ragu.

Nira melangkah makin dekat hingga memeluk Jillian, “Aku mencintaimu Jillian.”

Tapi ungkapan cinta Nira kala itu tidak tepat, alih-alih membuat Jillian menjadi semangat malah membuat dirinya semakin mengacaukan perasaannya dan membebani batinya. Gates tingkat S tidaklah mudah bagi Jillian, di kala itu dia masih menjadi hunter rank A, ia pernah mencoba sekali dan rasa-rasanya pertaruhan hidup dan mati itu nyata. Jillian memendam perasaannya, ditinggal seorang yang dicintai itu menyakitkan tapi yang paling menyakitkan adalah ditinggal seorang yang dicintai sekaligus mencintainya. Jadi Jillian diam, setidaknya Nira bisa segera melupakan dirinya jika hal buruk terjadi.

Jillian melepas pelukan itu, “Aku berjanji akan menjaga ayahmu. Kami akan pulang bersama. Aku janji.”

***

Tujuh hari berlalu di benua Australia, satu persatu anggota tim yang bersama Jillian tumbang, Kapten Samuel, Lina, Nolan, Kamal, Tom, Justin.... dan anggota lainnya. Tak hanya itu, anggota tim dari guild Bumisakti yang dipimpin oleh ayahnya Nira pun sebagian besar telah tewas. Kedua tim itu bahkan telah terpisah, tak saling dapat menghubungi padahal mereka mempertahankan kota yang sama.

Setelah Lina dan Kamal, hanya tersisa Jillian dan Steve. Itu pun Steve telah kehilangan kaki kirinya gara-gara serangan salah satu monster. Sungguh monster-monster di sana tidak hanya sekadar troll, goblin, atau orc, lebih banyak monster yang tidak dikenali dan bahkan banyak monster tingkat A yang sangat menyulitkan.

Jillian mengendong rekan terakhirnya yang sekarat di tengah kota yang luluh-lantak. Ia tak tahu harus ke mana, hanya satu tempat yang memungkinkan dalam benaknya. Kembali ke sebuah reruntuhan gedung yang sempat menjadi markas sementara mereka, setidaknya ada sedikit persediaan makanan dan obat-obatan di sana. Tapi tenaganya tak cukup untuk ke sana, pandangan telah pudar, tubuh penuh rasa sakit dan kelelahan setelah berhari-hari terkepung oleh monster. Akhirnya dia jatuh dan pingsan, terbaring bersama rekannya yang berwajah pucat dan diam.

“Steve!” teriak Jillian dari bangunnya.

“Tenanglah, Jillian,” suara laki-laki tua tak asing didengar Jillian.

“Paman Nakti?” Jillian bangun, melihat ayah Nira yang duduk mengawasi dekat jendela. Saat itu sore dan langit berwarna kemerahan, Jillian terbaring di sebuah ranjang, tepatnya sebuah kamar yang entah milik siapa.

“Beristirahatlah Jillian, malam ini kita mengumpulkan tenaga untuk pergi esok pagi. Ada makanan dan air di sampingmu. Kemudian beristirahatlah.”

“Di mana Steve?”

“Apa dia adalah pemuda yang kamu bawa?”

Jillian mengangguk, ia mengambil botol air yang diletakkan di sebuah meja dekatnya.

“Hanya tersisa kita, Nak.” Ucap Paman Nakti.

Raut wajah laki-laki tua itu mulai terlihat kelelahan, tak ada senyum cerah dan semangat yang Jillian pernah kenal. Bahkan beberapa hari yang lalu sebelum tim mereka kehilangan kontak, Paman Nakti masih menunjukkan tekad perjuangannya. Tapi kini yang ada hanya seorang yang terakhir berdiri di medan perang, seorang yang telah melihat semua kawan perjuangannya satu per satu berguguran. Jillian merasakan itu juga, rasanya lebih buruk dari kematian karena dia harus tetap hidup dari pengorbanan rekan-rekannya. Kemudian Jillian terpejam dalam tidurnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status