Share

Mantanku Kembali
Mantanku Kembali
Author: Akina

1

Author: Akina
last update Last Updated: 2024-12-29 13:42:52

POV Livia

“Livia, nanti malam ada waktu?”  

Adrian menatapku dengan ekspresi santai, tapi matanya yang tajam itu menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar tanya biasa. Aku tersentak sejenak, lalu berusaha mempertahankan sikap profesional yang selama ini kujaga.  

“Hmm… Kalau Bapak butuh bantuan tambahan untuk pekerjaan, saya bisa mengatur jadwal,” jawabku sambil berpura-pura sibuk dengan layar laptop di hadapanku. Aku menyebutnya ‘Bapak’ di kantor, meskipun hanya kami berdua. Itu semacam tameng, pengingat batasan yang pernah kuletakkan sendiri.  

Adrian terkekeh kecil. Suaranya rendah, seperti bisikan yang hanya untukku. 

“Livia, santai saja. Kita sedang di rumahku, bukan di kantor. Dan kali ini, bukan soal pekerjaan.”  

Aku mencoba menyembunyikan kegugupanku. Tidak mudah bekerja begitu dekat dengan Adrian, apalagi setelah setahun penuh menjadi sekretaris pribadinya. 

Pria ini, dengan segala karisma dan kecerdasannya, sudah sejak lama membuat hatiku goyah. Tapi aku tahu, aku harus tetap tenang. Rencanaku berjalan sesuai jalur, dan aku tak boleh merusaknya dengan emosi sesaat.  

“Ada apa, Pak?” Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan kembali menyebutnya ‘Pak’, meskipun aku tahu dia tidak akan begitu saja membiarkan percakapan ini selesai.  

Adrian mendekatkan kursinya. Aromanya—campuran kayu cedar dan mint—tercium jelas. 

“Makan malam di mall. Aku tahu kamu suka restoran Italia, kan?”  

Dia benar. Aku suka. Dia mengingat detail kecil itu dari percakapan beberapa bulan lalu. Aku terkejut, tapi segera menguasai diri. 

“Kalau itu perintah bos, saya tidak punya alasan menolak.”  

Dia tertawa lagi, kali ini lebih lepas. 

“Livia, kamu terlalu formal. Aku mengajakmu, bukan memerintahmu.”  

***

Restoran itu terletak di sudut paling mewah dari mall yang gemerlap, menyajikan suasana yang memikat sejak langkah pertama di pintu masuk. Lantainya dihiasi marmer mengilap, mencerminkan cahaya hangat dari lampu-lampu gantung berdesain vintage. Musik lembut mengalun di udara, melengkapi suara riuh rendah obrolan para tamu yang memenuhi ruangan. Tempat itu penuh dengan pasangan, duduk berdekatan di bawah cahaya temaram, membangun suasana yang intim dan romantis.  

Adrian memilih meja di balkon, tempat yang paling diincar karena pemandangannya. Balkon itu dikelilingi pagar rendah dari besi tempa, dihiasi tanaman merambat yang dipenuhi bunga-bunga kecil. Dari sana, seluruh pemandangan malam kota terlihat jelas, lampu-lampu gedung bersinar seperti kunang-kunang di kejauhan. Di atas kepala, lampu-lampu kecil berbentuk bola transparan bergelantungan di sepanjang tali, memancarkan cahaya hangat seperti bintang-bintang yang diturunkan ke bumi.  

Angin malam bertiup lembut, mengangkat ujung-ujung napkin di meja. Lilin di tengah meja Adrian berkedip-kedip seiring embusan angin, menambahkan sentuhan romantis yang sulit dilewatkan. Aroma makanan yang baru dimasak menguar dari dapur terbuka di pojok restoran, bercampur dengan wangi mawar segar yang menghiasi setiap meja.  

Saat aku tiba di restoran, dia sudah duduk di balkon, tampak santai tetapi tetap berwibawa. Adrian mengenakan setelan kasual—kemeja putih dengan lengan digulung hingga siku, memperlihatkan garis-garis tegas otot lengannya, dan celana hitam yang rapi. Penampilannya sederhana, jauh dari formalitas kantor yang biasa kutemui, tetapi tetap memancarkan aura yang tak pernah bisa diabaikan.  

Cahaya lampu kecil yang bergelantungan di atasnya membuat wajahnya terlihat lebih hangat. Rambutnya yang hitam rapi berkilauan lembut di bawah cahaya temaram, dan senyum tipis menghiasi bibirnya ketika dia melihatku mendekat. Seperti biasa, ada sesuatu yang membuatnya berbeda dari pria lain. Bukan hanya soal tampang atau pakaiannya, tapi caranya membawa diri, caranya menatap—seolah dunia di sekitarnya hanya sekadar latar.  

“Kamu cantik sekali malam ini,” katanya begitu aku duduk di depannya.  

Aku menunduk, berpura-pura memeriksa menu. 

“Terima kasih. Tapi saya biasa saja, kok.”  

Dia menatapku lama, seolah ingin menembus pikiranku. 

“Kamu selalu merendah, tapi itu salah satu hal yang kusuka darimu.”  

Kata-katanya membuatku terpaku. Suka? Benarkah dia baru saja mengatakan itu? Aku mencoba menenangkan hati yang mulai berdebar.  

Kami menghabiskan makan malam dengan obrolan ringan. Adrian bercerita tentang perjalanan bisnis terakhirnya ke Singapura, sementara aku membalas dengan cerita kecil tentang keponakanku yang baru bisa berjalan. 

Dia tertawa mendengar ceritaku, sebuah tawa yang tulus, sesuatu yang jarang kulihat darinya di kantor.  

Setelah makan, dia mengajakku berjalan-jalan di sekitar mall. Tangannya sesekali menyentuh punggungku, gerakan kecil yang terasa lebih intim dari yang seharusnya. Aku menikmati momen itu, meskipun di dalam hati, aku tahu ini hanya bagian dari permainan.  

Saat kembali ke rumah Adrian, pekerjaan menumpuk seperti biasa. Kami duduk di ruang kerjanya, meja besar di antara kami penuh dengan dokumen dan laptop. Tapi suasananya berbeda dari biasanya. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan, sesuatu yang mengisi celah-celah sunyi di antara kami.  

“Livia,” panggilnya tiba-tiba.  

Aku mengangkat kepala dari layar laptop. “Ya?”  

Dia menatapku dengan serius, matanya menembus mataku. 

“Aku ingin jujur.”  

Aku merasakan dadaku berdebar kencang. Adrian tidak pernah berbicara dengan nada seperti ini. Aku mencoba tersenyum, meskipun ada kecemasan yang mulai merayap. 

“Tentu. Apa ada yang salah?”  

Dia menggeleng pelan. “Bukan soal pekerjaan. Ini soal kita.”  

Aku terdiam. Kata-katanya membuat semua rencana yang telah kususun selama ini terasa lebih nyata, lebih dekat. Tapi bersamaan dengan itu, ketakutan juga muncul. Aku tahu apa yang akan dia katakan.  

“Livia, aku menyukaimu,” katanya pelan, tapi jelas. “Bukan sebagai sekretarisku, tapi sebagai dirimu. Aku sudah merasa ini sejak lama, tapi aku terlalu takut untuk mengungkapkannya. Aku tidak tahu apakah kamu merasakan hal yang sama, tapi aku harus jujur.”  

Aku menatapnya, berusaha menyembunyikan kekacauan yang terjadi di dalam diriku. Adrian, pria yang selama ini kuincar diam-diam, akhirnya mengungkapkan perasaannya. Tapi aku tahu, aku tidak bisa membalasnya dengan jujur. Aku tak bisa mengungkapkan apa yang kurasakan sebenarnya. Itu akan mengacaukan semuanya. 

Aku tersenyum kecil, meskipun itu terasa seperti pukulan di dada. 

“Terima kasih sudah jujur. Aku menghargai perasaanmu.”  

Matanya berbinar, penuh harapan. “Jadi, kamu juga…?”  

Aku menunduk, menghindari tatapannya. Aku harus berbohong. Aku harus melindungi diriku sendiri. 

“Aku… Aku belum yakin, Adrian. Ini terlalu cepat. Mungkin kita bisa pelan-pelan saja.”  

Wajahnya sedikit berubah, tapi dia segera tersenyum lagi. 

“Aku mengerti. Aku akan menunggu. Tapi setidaknya, aku lega sudah mengatakannya.”

Related chapters

  • Mantanku Kembali   2

    POV Livia“Kau percaya kita bisa seperti ini selamanya?” Suara Adrian yang lembut menghentikan langkahku. Kami sedang duduk di teras rumahnya, menikmati angin malam. Langit cerah bertabur bintang, tetapi keheningan di antara kami jauh lebih kuat daripada gemerlap di atas sana. Aku menoleh, mencoba mencari sesuatu di balik tatapan matanya yang penuh harap. “Selamanya?” tanyaku, berpura-pura tidak paham. Dia tersenyum kecil, ekspresi yang selalu membuatnya tampak lebih muda dari usianya. “Ya. Aku tidak tahu kapan tepatnya ini semua berubah, tapi aku merasa nyaman denganmu. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa kehadiranmu sekarang.” Aku tertawa kecil, meskipun jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. “Adrian, kamu terlalu serius malam ini.” Dia menatapku lebih lama, membuatku ingin lari dari keheningan itu. “Kadang, aku ingin memastikan kamu tahu seberapa besar artinya dirimu untukku.” Aku memalingkan pandangan, menatap lampu-lampu kota dari kejauhan. Sejak ka

    Last Updated : 2024-12-29
  • Mantanku Kembali   3

    POV LiviaAku berusaha menenangkan diri ketika tatapan tajam Adrian terus menancap di wajahku, seolah mencoba mencari retakan dalam setiap penjelasanku. Aku tahu, setiap kata yang kuucapkan harus disusun dengan hati-hati. Satu kesalahan saja, dan dia akan pergi—mungkin untuk selamanya. “Adrian, tolong dengarkan aku,” kataku, suaraku terdengar lebih tegas daripada yang kurasakan di dalam hati. Aku menggenggam tanganku erat di bawah meja, mencoba mengalihkan gemetar yang tidak mau berhenti. “Apa yang kau dengar tadi… itu bukan tentangmu.” Alisnya berkerut, keraguan jelas tergambar di wajahnya. Dia tidak memotongku, tetapi matanya masih penuh dengan kecurigaan. Aku melanjutkan, berusaha terdengar sejujur mungkin. “Aku tahu kedengarannya buruk, tapi aku tidak sedang berbicara tentangmu. Aku berbicara tentang sepupuku, Adrian. Namanya sama denganmu, dan dia… dia sedang melalui masa yang sulit.” Aku berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Tidak ada jalan lain kecuali terus ma

    Last Updated : 2024-12-29
  • Mantanku Kembali   4

    POV LiviaAku terbangun dengan rasa berat di dadaku. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar Adrian yang luas. Tubuhku masih terasa hangat, tetapi ada dingin yang menjalar di hatiku. Aku menoleh perlahan, melihat Adrian masih tertidur di sisiku, wajahnya terlihat damai, seolah semua masalah menguap begitu saja dari hidupnya.Namun, tidak begitu untukku.Malam itu terus terulang dalam pikiranku, seperti sebuah film yang diputar tanpa henti. Setiap sentuhan, setiap desahan, setiap kata yang tak terucap—semuanya terasa begitu nyata. Tetapi kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Ada jurang besar di antara kami, jurang yang kuciptakan sendiri dengan kebohongan.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungku yang masih kacau. Dengan hati-hati, aku melepaskan diri dari pelukannya dan turun dari tempat tidur. Langkahku pelan saat menuju kamar mandi, berharap tidak membangunkannya.Di depan cermin, aku menatap bayanganku sendiri. Rambutku be

    Last Updated : 2024-12-29
  • Mantanku Kembali   5

    POV LiviaAdrian menatapku, matanya dipenuhi rasa sakit dan amarah. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang jelas membuncah di dalam dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang menggila, namun tubuhku terasa seperti membeku."Livia, aku ingin kau jujur denganku," katanya, suaranya datar, tetapi setiap kata penuh tekanan.Aku menghindari tatapannya, mataku menatap lantai, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan?Adrian melangkah mendekat, tubuhnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dariku. Dia menatapku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya."Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Jika kau peduli padaku—jika hubungan ini berarti sesuatu bagimu—tolong, katakan yang sebenarnya."Aku membuka mulutku, mencoba bicara, tetapi lidahku terasa ke

    Last Updated : 2024-12-29
  • Mantanku Kembali   6

    POV LiviaKetika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. "Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan

    Last Updated : 2025-01-17

Latest chapter

  • Mantanku Kembali   6

    POV LiviaKetika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. "Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan

  • Mantanku Kembali   5

    POV LiviaAdrian menatapku, matanya dipenuhi rasa sakit dan amarah. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang jelas membuncah di dalam dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang menggila, namun tubuhku terasa seperti membeku."Livia, aku ingin kau jujur denganku," katanya, suaranya datar, tetapi setiap kata penuh tekanan.Aku menghindari tatapannya, mataku menatap lantai, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan?Adrian melangkah mendekat, tubuhnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dariku. Dia menatapku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya."Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Jika kau peduli padaku—jika hubungan ini berarti sesuatu bagimu—tolong, katakan yang sebenarnya."Aku membuka mulutku, mencoba bicara, tetapi lidahku terasa ke

  • Mantanku Kembali   4

    POV LiviaAku terbangun dengan rasa berat di dadaku. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar Adrian yang luas. Tubuhku masih terasa hangat, tetapi ada dingin yang menjalar di hatiku. Aku menoleh perlahan, melihat Adrian masih tertidur di sisiku, wajahnya terlihat damai, seolah semua masalah menguap begitu saja dari hidupnya.Namun, tidak begitu untukku.Malam itu terus terulang dalam pikiranku, seperti sebuah film yang diputar tanpa henti. Setiap sentuhan, setiap desahan, setiap kata yang tak terucap—semuanya terasa begitu nyata. Tetapi kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Ada jurang besar di antara kami, jurang yang kuciptakan sendiri dengan kebohongan.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungku yang masih kacau. Dengan hati-hati, aku melepaskan diri dari pelukannya dan turun dari tempat tidur. Langkahku pelan saat menuju kamar mandi, berharap tidak membangunkannya.Di depan cermin, aku menatap bayanganku sendiri. Rambutku be

  • Mantanku Kembali   3

    POV LiviaAku berusaha menenangkan diri ketika tatapan tajam Adrian terus menancap di wajahku, seolah mencoba mencari retakan dalam setiap penjelasanku. Aku tahu, setiap kata yang kuucapkan harus disusun dengan hati-hati. Satu kesalahan saja, dan dia akan pergi—mungkin untuk selamanya. “Adrian, tolong dengarkan aku,” kataku, suaraku terdengar lebih tegas daripada yang kurasakan di dalam hati. Aku menggenggam tanganku erat di bawah meja, mencoba mengalihkan gemetar yang tidak mau berhenti. “Apa yang kau dengar tadi… itu bukan tentangmu.” Alisnya berkerut, keraguan jelas tergambar di wajahnya. Dia tidak memotongku, tetapi matanya masih penuh dengan kecurigaan. Aku melanjutkan, berusaha terdengar sejujur mungkin. “Aku tahu kedengarannya buruk, tapi aku tidak sedang berbicara tentangmu. Aku berbicara tentang sepupuku, Adrian. Namanya sama denganmu, dan dia… dia sedang melalui masa yang sulit.” Aku berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Tidak ada jalan lain kecuali terus ma

  • Mantanku Kembali   2

    POV Livia“Kau percaya kita bisa seperti ini selamanya?” Suara Adrian yang lembut menghentikan langkahku. Kami sedang duduk di teras rumahnya, menikmati angin malam. Langit cerah bertabur bintang, tetapi keheningan di antara kami jauh lebih kuat daripada gemerlap di atas sana. Aku menoleh, mencoba mencari sesuatu di balik tatapan matanya yang penuh harap. “Selamanya?” tanyaku, berpura-pura tidak paham. Dia tersenyum kecil, ekspresi yang selalu membuatnya tampak lebih muda dari usianya. “Ya. Aku tidak tahu kapan tepatnya ini semua berubah, tapi aku merasa nyaman denganmu. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa kehadiranmu sekarang.” Aku tertawa kecil, meskipun jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. “Adrian, kamu terlalu serius malam ini.” Dia menatapku lebih lama, membuatku ingin lari dari keheningan itu. “Kadang, aku ingin memastikan kamu tahu seberapa besar artinya dirimu untukku.” Aku memalingkan pandangan, menatap lampu-lampu kota dari kejauhan. Sejak ka

  • Mantanku Kembali   1

    POV Livia“Livia, nanti malam ada waktu?” Adrian menatapku dengan ekspresi santai, tapi matanya yang tajam itu menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar tanya biasa. Aku tersentak sejenak, lalu berusaha mempertahankan sikap profesional yang selama ini kujaga. “Hmm… Kalau Bapak butuh bantuan tambahan untuk pekerjaan, saya bisa mengatur jadwal,” jawabku sambil berpura-pura sibuk dengan layar laptop di hadapanku. Aku menyebutnya ‘Bapak’ di kantor, meskipun hanya kami berdua. Itu semacam tameng, pengingat batasan yang pernah kuletakkan sendiri. Adrian terkekeh kecil. Suaranya rendah, seperti bisikan yang hanya untukku. “Livia, santai saja. Kita sedang di rumahku, bukan di kantor. Dan kali ini, bukan soal pekerjaan.” Aku mencoba menyembunyikan kegugupanku. Tidak mudah bekerja begitu dekat dengan Adrian, apalagi setelah setahun penuh menjadi sekretaris pribadinya. Pria ini, dengan segala karisma dan kecerdasannya, sudah sejak lama membuat hatiku goyah. Tapi aku tahu, aku harus t

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status