POV Livia
“Livia, nanti malam ada waktu?”
Adrian menatapku dengan ekspresi santai, tapi matanya yang tajam itu menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar tanya biasa. Aku tersentak sejenak, lalu berusaha mempertahankan sikap profesional yang selama ini kujaga.
“Hmm… Kalau Bapak butuh bantuan tambahan untuk pekerjaan, saya bisa mengatur jadwal,” jawabku sambil berpura-pura sibuk dengan layar laptop di hadapanku. Aku menyebutnya ‘Bapak’ di kantor, meskipun hanya kami berdua. Itu semacam tameng, pengingat batasan yang pernah kuletakkan sendiri.
Adrian terkekeh kecil. Suaranya rendah, seperti bisikan yang hanya untukku.
“Livia, santai saja. Kita sedang di rumahku, bukan di kantor. Dan kali ini, bukan soal pekerjaan.”
Aku mencoba menyembunyikan kegugupanku. Tidak mudah bekerja begitu dekat dengan Adrian, apalagi setelah setahun penuh menjadi sekretaris pribadinya.
Pria ini, dengan segala karisma dan kecerdasannya, sudah sejak lama membuat hatiku goyah. Tapi aku tahu, aku harus tetap tenang. Rencanaku berjalan sesuai jalur, dan aku tak boleh merusaknya dengan emosi sesaat.
“Ada apa, Pak?” Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan kembali menyebutnya ‘Pak’, meskipun aku tahu dia tidak akan begitu saja membiarkan percakapan ini selesai.
Adrian mendekatkan kursinya. Aromanya—campuran kayu cedar dan mint—tercium jelas.
“Makan malam di mall. Aku tahu kamu suka restoran Italia, kan?”
Dia benar. Aku suka. Dia mengingat detail kecil itu dari percakapan beberapa bulan lalu. Aku terkejut, tapi segera menguasai diri.
“Kalau itu perintah bos, saya tidak punya alasan menolak.”
Dia tertawa lagi, kali ini lebih lepas.
“Livia, kamu terlalu formal. Aku mengajakmu, bukan memerintahmu.”
***
Restoran itu terletak di sudut paling mewah dari mall yang gemerlap, menyajikan suasana yang memikat sejak langkah pertama di pintu masuk. Lantainya dihiasi marmer mengilap, mencerminkan cahaya hangat dari lampu-lampu gantung berdesain vintage. Musik lembut mengalun di udara, melengkapi suara riuh rendah obrolan para tamu yang memenuhi ruangan. Tempat itu penuh dengan pasangan, duduk berdekatan di bawah cahaya temaram, membangun suasana yang intim dan romantis.
Adrian memilih meja di balkon, tempat yang paling diincar karena pemandangannya. Balkon itu dikelilingi pagar rendah dari besi tempa, dihiasi tanaman merambat yang dipenuhi bunga-bunga kecil. Dari sana, seluruh pemandangan malam kota terlihat jelas, lampu-lampu gedung bersinar seperti kunang-kunang di kejauhan. Di atas kepala, lampu-lampu kecil berbentuk bola transparan bergelantungan di sepanjang tali, memancarkan cahaya hangat seperti bintang-bintang yang diturunkan ke bumi.
Angin malam bertiup lembut, mengangkat ujung-ujung napkin di meja. Lilin di tengah meja Adrian berkedip-kedip seiring embusan angin, menambahkan sentuhan romantis yang sulit dilewatkan. Aroma makanan yang baru dimasak menguar dari dapur terbuka di pojok restoran, bercampur dengan wangi mawar segar yang menghiasi setiap meja.
Saat aku tiba di restoran, dia sudah duduk di balkon, tampak santai tetapi tetap berwibawa. Adrian mengenakan setelan kasual—kemeja putih dengan lengan digulung hingga siku, memperlihatkan garis-garis tegas otot lengannya, dan celana hitam yang rapi. Penampilannya sederhana, jauh dari formalitas kantor yang biasa kutemui, tetapi tetap memancarkan aura yang tak pernah bisa diabaikan.
Cahaya lampu kecil yang bergelantungan di atasnya membuat wajahnya terlihat lebih hangat. Rambutnya yang hitam rapi berkilauan lembut di bawah cahaya temaram, dan senyum tipis menghiasi bibirnya ketika dia melihatku mendekat. Seperti biasa, ada sesuatu yang membuatnya berbeda dari pria lain. Bukan hanya soal tampang atau pakaiannya, tapi caranya membawa diri, caranya menatap—seolah dunia di sekitarnya hanya sekadar latar.
“Kamu cantik sekali malam ini,” katanya begitu aku duduk di depannya.
Aku menunduk, berpura-pura memeriksa menu.
“Terima kasih. Tapi saya biasa saja, kok.”
Dia menatapku lama, seolah ingin menembus pikiranku.
“Kamu selalu merendah, tapi itu salah satu hal yang kusuka darimu.”
Kata-katanya membuatku terpaku. Suka? Benarkah dia baru saja mengatakan itu? Aku mencoba menenangkan hati yang mulai berdebar.
Kami menghabiskan makan malam dengan obrolan ringan. Adrian bercerita tentang perjalanan bisnis terakhirnya ke Singapura, sementara aku membalas dengan cerita kecil tentang keponakanku yang baru bisa berjalan.
Dia tertawa mendengar ceritaku, sebuah tawa yang tulus, sesuatu yang jarang kulihat darinya di kantor.
Setelah makan, dia mengajakku berjalan-jalan di sekitar mall. Tangannya sesekali menyentuh punggungku, gerakan kecil yang terasa lebih intim dari yang seharusnya. Aku menikmati momen itu, meskipun di dalam hati, aku tahu ini hanya bagian dari permainan.
Saat kembali ke rumah Adrian, pekerjaan menumpuk seperti biasa. Kami duduk di ruang kerjanya, meja besar di antara kami penuh dengan dokumen dan laptop. Tapi suasananya berbeda dari biasanya. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan, sesuatu yang mengisi celah-celah sunyi di antara kami.
“Livia,” panggilnya tiba-tiba.
Aku mengangkat kepala dari layar laptop. “Ya?”
Dia menatapku dengan serius, matanya menembus mataku.
“Aku ingin jujur.”
Aku merasakan dadaku berdebar kencang. Adrian tidak pernah berbicara dengan nada seperti ini. Aku mencoba tersenyum, meskipun ada kecemasan yang mulai merayap.
“Tentu. Apa ada yang salah?”
Dia menggeleng pelan. “Bukan soal pekerjaan. Ini soal kita.”
Aku terdiam. Kata-katanya membuat semua rencana yang telah kususun selama ini terasa lebih nyata, lebih dekat. Tapi bersamaan dengan itu, ketakutan juga muncul. Aku tahu apa yang akan dia katakan.
“Livia, aku menyukaimu,” katanya pelan, tapi jelas. “Bukan sebagai sekretarisku, tapi sebagai dirimu. Aku sudah merasa ini sejak lama, tapi aku terlalu takut untuk mengungkapkannya. Aku tidak tahu apakah kamu merasakan hal yang sama, tapi aku harus jujur.”
Aku menatapnya, berusaha menyembunyikan kekacauan yang terjadi di dalam diriku. Adrian, pria yang selama ini kuincar diam-diam, akhirnya mengungkapkan perasaannya. Tapi aku tahu, aku tidak bisa membalasnya dengan jujur. Aku tak bisa mengungkapkan apa yang kurasakan sebenarnya. Itu akan mengacaukan semuanya.
Aku tersenyum kecil, meskipun itu terasa seperti pukulan di dada.
“Terima kasih sudah jujur. Aku menghargai perasaanmu.”
Matanya berbinar, penuh harapan. “Jadi, kamu juga…?”
Aku menunduk, menghindari tatapannya. Aku harus berbohong. Aku harus melindungi diriku sendiri.
“Aku… Aku belum yakin, Adrian. Ini terlalu cepat. Mungkin kita bisa pelan-pelan saja.”
Wajahnya sedikit berubah, tapi dia segera tersenyum lagi.
“Aku mengerti. Aku akan menunggu. Tapi setidaknya, aku lega sudah mengatakannya.”
POV Livia“Kau percaya kita bisa seperti ini selamanya?” Suara Adrian yang lembut menghentikan langkahku. Kami sedang duduk di teras rumahnya, menikmati angin malam. Langit cerah bertabur bintang, tetapi keheningan di antara kami jauh lebih kuat daripada gemerlap di atas sana. Aku menoleh, mencoba mencari sesuatu di balik tatapan matanya yang penuh harap. “Selamanya?” tanyaku, berpura-pura tidak paham. Dia tersenyum kecil, ekspresi yang selalu membuatnya tampak lebih muda dari usianya. “Ya. Aku tidak tahu kapan tepatnya ini semua berubah, tapi aku merasa nyaman denganmu. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa kehadiranmu sekarang.” Aku tertawa kecil, meskipun jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. “Adrian, kamu terlalu serius malam ini.” Dia menatapku lebih lama, membuatku ingin lari dari keheningan itu. “Kadang, aku ingin memastikan kamu tahu seberapa besar artinya dirimu untukku.” Aku memalingkan pandangan, menatap lampu-lampu kota dari kejauhan. Sejak ka
POV LiviaAku berusaha menenangkan diri ketika tatapan tajam Adrian terus menancap di wajahku, seolah mencoba mencari retakan dalam setiap penjelasanku. Aku tahu, setiap kata yang kuucapkan harus disusun dengan hati-hati. Satu kesalahan saja, dan dia akan pergi—mungkin untuk selamanya. “Adrian, tolong dengarkan aku,” kataku, suaraku terdengar lebih tegas daripada yang kurasakan di dalam hati. Aku menggenggam tanganku erat di bawah meja, mencoba mengalihkan gemetar yang tidak mau berhenti. “Apa yang kau dengar tadi… itu bukan tentangmu.” Alisnya berkerut, keraguan jelas tergambar di wajahnya. Dia tidak memotongku, tetapi matanya masih penuh dengan kecurigaan. Aku melanjutkan, berusaha terdengar sejujur mungkin. “Aku tahu kedengarannya buruk, tapi aku tidak sedang berbicara tentangmu. Aku berbicara tentang sepupuku, Adrian. Namanya sama denganmu, dan dia… dia sedang melalui masa yang sulit.” Aku berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Tidak ada jalan lain kecuali terus ma
POV LiviaAku terbangun dengan rasa berat di dadaku. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar Adrian yang luas. Tubuhku masih terasa hangat, tetapi ada dingin yang menjalar di hatiku. Aku menoleh perlahan, melihat Adrian masih tertidur di sisiku, wajahnya terlihat damai, seolah semua masalah menguap begitu saja dari hidupnya.Namun, tidak begitu untukku.Malam itu terus terulang dalam pikiranku, seperti sebuah film yang diputar tanpa henti. Setiap sentuhan, setiap desahan, setiap kata yang tak terucap—semuanya terasa begitu nyata. Tetapi kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Ada jurang besar di antara kami, jurang yang kuciptakan sendiri dengan kebohongan.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungku yang masih kacau. Dengan hati-hati, aku melepaskan diri dari pelukannya dan turun dari tempat tidur. Langkahku pelan saat menuju kamar mandi, berharap tidak membangunkannya.Di depan cermin, aku menatap bayanganku sendiri. Rambutku be
POV LiviaAdrian menatapku, matanya dipenuhi rasa sakit dan amarah. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang jelas membuncah di dalam dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang menggila, namun tubuhku terasa seperti membeku."Livia, aku ingin kau jujur denganku," katanya, suaranya datar, tetapi setiap kata penuh tekanan.Aku menghindari tatapannya, mataku menatap lantai, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan?Adrian melangkah mendekat, tubuhnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dariku. Dia menatapku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya."Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Jika kau peduli padaku—jika hubungan ini berarti sesuatu bagimu—tolong, katakan yang sebenarnya."Aku membuka mulutku, mencoba bicara, tetapi lidahku terasa ke
POV LiviaKetika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. "Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan
POV LiviaHari berlalu dengan cepat. Ketika jam kerja berakhir, aku berusaha menenangkan diri sebelum berbicara dengannya. Aku ingin memastikan bahwa perbincangan kami akan berjalan lancar dan tidak terjebak dalam ketegangan yang sama.Kami memilih untuk duduk di taman kecil dekat kantor. Udara sore itu terasa segar, dan suasana tenang membuatku lebih nyaman.“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Adrian,” kataku, mencoba membuka pembicaraan.“Tidak masalah. Aku senang bisa berbicara denganmu,” jawabnya, wajahnya menunjukkan ketulusan.“Aku ingin klarifikasi tentang apa yang kita bicarakan sebelumnya. Tentang kita,” lanjutku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.Dia mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan. “Ya, aku ingin kita bisa saling mendukung tanpa merasa tertekan. Tapi aku juga ingin tahu apa yang kau
POV AdrianDalam kegelapan malam, aku duduk sendiri di kamarku, merenungkan perasaanku. Rasa sakit dan kekecewaan mengalir dalam diriku setelah mengetahui bahwa Livia mungkin mendekatiku hanya sebagai bagian dari rencana. “Aku menyesal telah mengetahui semua ini,” bisikku pada diri sendiri.Aku merasa marah dan bingung. Di satu sisi, ada keinginan untuk memperjuangkan hubungan ini, tetapi di sisi lain, hatiku merasa dikhianati. “Baiklah, jika itu yang dia mau, maka aku tak akan mengambil pusing,” pikirku.Namun, benih balas dendam mulai tumbuh dalam pikiranku. “Aku akan memperdayanya dan membuatnya merasa percaya bahwa aku telah benar-benar menerimanya,” ujarku dalam hati, rencana mulai terbentuk.Aku memutuskan untuk bermain peran. Aku akan menunjukkan kepada Livia bahwa aku tidak terpengaruh oleh kekecewaanku. Dengan senyum yang tampak tulus dan perhatian yang dalam, aku beren
POV LiviaSaat aku bangun tidur, tiba-tiba kepala terasa pusing. “Aduh, kenapa dengan aku?” Rasanya tubuhku tidak enak, seolah ada yang tidak beres. Bagaimana ini? Aku harus kerja. Aku memegang kepala ku sambil memijitnya.Tepat saat itu, ibuku mengetuk pintu kamarku sambil teriak, “Livia, apa kamu nggak berangkat kerja? Ini sudah jam berapa!” Suara ibuku membuatku semakin merasa cemas. Terlepas dari rasa tidak enak badan ini, aku tahu tanggung jawabku menunggu di luar sana.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, tetapi kepala ini semakin berputar. “Mungkin aku hanya butuh sedikit waktu,” pikirku, sambil meraih ponsel untuk mengecek pesan yang mungkin masuk dari kantor.Berharap bisa menemukan alasan untuk tidak pergi, aku menelusuri pesan-pesan di aplikasi chat. Namun, semua pesan itu mengingatkanku pada pekerjaan yang harus dikerjakan. Rasa bersalah mulai menyergapku.&n
POV Livia“Livia! Livia! Bangun!”Suara Adrian menggema lembut di telingaku. Perlahan, aku membuka mata dan melihat wajahnya tersenyum di samping tempat tidur. Keceriaan di wajahnya membuat hatiku berbunga-bunga.“Adrian!” seruku dengan suara serak.“Kau sudah pulang?” Rasanya seperti mimpi ketika melihatnya di depan mataku. Dia baru saja kembali dari perjalanan dinas yang terasa seperti selamanya.“Ya, aku pulang lebih awal. Pekerjaanku sudah selesai lebih cepat dari yang diperkirakan,” jawabnya dengan senyum lebar. Dia duduk di tepi tempat tidur, dan aku bisa merasakan kehangatan kehadirannya.Aku merasa senang dan bersyukur. “Aku tidak sabar untuk melihat apa yang kau bawa! Ada oleh-oleh?” tanyaku, mataku berbinar-binar penuh harapan.Adrian tertawa kecil, lalu
POV LiviaSetelah semuanya siap, aku duduk di meja dan menunggu. Rasanya aneh, menunggu seseorang yang tidak ada di sampingku, tetapi aku tahu bahwa dia akan segera kembali. Dengan setiap detik yang berlalu, aku merasakan harapan baru tumbuh di dalam diriku. Mungkin, dengan sedikit usaha dan kejujuran, aku bisa membawa kembali kebahagiaan yang hilang.Saat aku menunggu, aku kembali memikirkan percakapan kami sebelumnya. Adrian selalu bisa membuatku merasa tenang, dan aku tahu bahwa jika aku bisa membuka diri padanya, segalanya akan terasa lebih baik. Rasa takut dan keraguan yang selama ini menghalangiku harus kuhadapi.Ketika ponselku berdering lagi, aku langsung mengambilnya. Itu adalah pesan dari Adrian.[Aku tidak sabar untuk pulang dan menikmati masakanmu. Semangat ya, sayang!]Senyumku mengembang saat membaca pesannya. Mungkin, dengan sedikit keberanian dan kejujuran, ak
POV LiviaAdrian mengangguk, tetapi aku bisa melihat keraguan di matanya. "Kau terlihat sedikit murung, Livia. Ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya dengan nada khawatir."Aku tidak apa-apa, sungguh," kataku, berusaha meyakinkan. "Hanya sedikit lelah, mungkin." Namun, meskipun kata-kata itu keluar dari mulutku, aku tahu bahwa Adrian bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.Dia menghela napas. "Aku baru saja menyelesaikan satu pekerjaan besar dan sedang istirahat di hotel. Aku pikir bisa menghubungimu sebelum kembali bekerja. Tapi… apa kau yakin tidak ada yang salah? Kau bisa bercerita padaku, kamu tahu itu."Hatiku bergetar mendengar ungkapannya. Adrian selalu menjadi pendengar yang baik, dan dia selalu membangkitkan rasa aman di dalam diriku. Namun, saat ini, aku merasa tidak siap untuk berbagi. Rasa sakit yang masih menggerogoti hatiku terasa terlalu berat untuk diungkapkan. Mungkin jika
POV LiviaSetelah beberapa jam berbincang dan tertawa, aku merasa lebih ringan. Maya memberikan dukungan yang aku butuhkan, dan aku berterima kasih padanya."Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik," kataku, merasa bersyukur memiliki sahabat sepertinya."Selalu, Livia. Aku di sini untukmu," jawabnya tulus.Aku melangkah pulang, bertekad untuk menunjukkan pada Adrian bahwa aku bisa menjadi istri yang lebih baik. Kesedihan dan rasa sakit yang sempat menguasai diriku kini mulai pudar, tergantikan oleh harapan dan semangat untuk memperbaiki hubungan kami.Ketika aku sampai di rumah, aku membuka lemari dan mulai mencari resep-resep masakan yang ingin kucoba. Aku ingin memasak sesuatu yang spesial untuk Adrian, sesuatu yang menunjukkan betapa aku mencintainya. Namun, saat aku mulai mencari, salah satu acara di televisi menarik perhatianku. Acara itu adalah program khusus u
POV LiviaAku beranjak dari sofa dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Suasana di luar tampak cerah, tetapi hatiku gelap. Aku mengingat kembali saat-saat ketika kami berdua merencanakan masa depan. Semua impian yang kami bangun bersama kini terasa seperti ilusi.“Bagaimana bisa semuanya berubah secepat ini?” pikirku, merasakan kesedihan yang mendalam.Saat itu, aku berusaha mengingat kembali semua momen indah yang kami lewati. Tawa, pelukan, dan janji-janji yang pernah kami buat. Namun, semua itu terasa samar sekarang, tertutupi oleh bayang-bayang kekecewaan dan rasa sakit.“Apakah semua itu hanya sebuah kebohongan?” tanyaku pada diriku sendiri.Air mata kembali mengalir saat aku teringat bagaimana Adrian selalu berjanji untuk mencintainya tanpa syarat. Tetapi kini, seolah-olah janji itu sudah terlupakan. Aku merasa seolah-olah Adrian lebih memilih
POV LiviaSetelah Adrian pergi, rumah kami terasa sepi dan hampa. Meskipun baru beberapa hari, rasa kesepian ini sudah menyelinap ke dalam hati.Pagi menjelang, dan aku baru saja terbangun dari tidur yang tidak nyenyak. Suara detakan jam dinding mengingatkanku bahwa hari baru telah dimulai, tetapi semangatku masih tertinggal di malam sebelumnya.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, mencuci muka untuk menghilangkan rasa kantuk. Saat aku melihat bayanganku di cermin, aku menyadari betapa lelah dan cemasnya aku. Rasa khawatir akan Adrian dan ketidakpastian yang menyelimuti pikiranku membuatku merasa tidak tenang.Tiba-tiba, suara ketukan keras terdengar dari pintu rumah. Awalnya, aku mengira itu hanya imajinasiku, tetapi ketukan itu semakin menjadi. Dengan cepat, aku bergegas menuju pintu, berharap bisa mengusir rasa sepi yang melanda.Saat aku membuka pintu, aku terk
POV Adrian"Ini luar biasa," ujar Livia sambil menikmati pemandangan di depan kami. "Aku suka saat-saat seperti ini."Aku tersenyum, merasa bahagia melihatnya menikmati momen itu."Aku juga. Ini adalah bagian dari kehidupan yang ingin aku jalani bersamamu."Kami duduk berhadapan, menikmati sarapan dengan penuh kehangatan. Setiap suapan terasa lebih nikmat karena kami berbagi momen ini bersama. Aku memperhatikan Livia, rambutnya yang basah mengkilap terkena sinar matahari, dan senyumnya yang cerah membuatku merasa seolah kami adalah satu-satunya orang di dunia ini."Adrian," Livia memanggilku, membuatku menatapnya. "Aku ingin kita membuat lebih banyak kenangan seperti ini.""Aku setuju," kataku, meraih tangannya. "Setiap hari adalah kesempatan baru untuk kita berdua."Setelah sarapan, kami membersihkan meja dan menikmati sisa waktu pagi deng
POV AdrianAku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui pikiranku. Aku ingat saat aku membuat keputusan yang salah, saat aku membiarkan egoku menguasai diriku. Sekarang, setiap kali melihat Livia, aku selalu teringat akan kesalahanku dan betapa beruntungnya aku masih bisa memiliki dia di sisiku.“Tidak akan aku sia-siakan kesempatan kedua ini,” pikirku, tekad menguat dalam hati. Aku berjanji untuk menjadi lebih baik, untuk tidak hanya mencintainya tetapi juga menghargai setiap momen yang kami miliki bersama. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.Malam itu, saat Livia terlelap, aku menyaksikan suasana rumah kami. Setiap sudutnya mengingatkanku akan perjalanan yang telah kami lalui. Dari ruang tamu yang baru saja kami tata hingga dapur tempat kami memasak bersama, semuanya dipenuhi dengan kenangan indah. Aku merasa betapa hidupnya rumah ini menjadi berkat kehad
POV AdrianSetelah mencuci tangan, aku membantu Livia menyelesaikan masakan. Kami berbicara tentang hari-hari kami, tentang semua hal kecil yang kami kerjakan selama aku pergi. Rasanya seperti kami sudah lama tidak bertemu, padahal baru beberapa jam yang lalu.Saat makan malam, kami berbagi tawa dan cerita. Setiap suapan terasa lebih nikmat karena kami melakukannya bersama. Rumah yang kami bangun terasa semakin hidup dengan kehadiran kami.“Terima kasih telah membuatkan makan malam yang luar biasa,” kataku setelah menyelesaikan makan. “Aku merasa sangat beruntung bisa berbagi ini denganmu.”Livia tersenyum, matanya berbinar. “Aku juga merasa beruntung. Meskipun kamu harus pergi ke kantor, aku tahu kita masih bisa saling mendukung.”Setelah makan, kami berdua membersihkan meja dan mencuci piring. Aku melihat ke sekeliling dan merasakan betapa bera