POV Livia
Aku terbangun dengan rasa berat di dadaku. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar Adrian yang luas. Tubuhku masih terasa hangat, tetapi ada dingin yang menjalar di hatiku. Aku menoleh perlahan, melihat Adrian masih tertidur di sisiku, wajahnya terlihat damai, seolah semua masalah menguap begitu saja dari hidupnya.
Namun, tidak begitu untukku.
Malam itu terus terulang dalam pikiranku, seperti sebuah film yang diputar tanpa henti. Setiap sentuhan, setiap desahan, setiap kata yang tak terucap—semuanya terasa begitu nyata. Tetapi kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Ada jurang besar di antara kami, jurang yang kuciptakan sendiri dengan kebohongan.
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungku yang masih kacau. Dengan hati-hati, aku melepaskan diri dari pelukannya dan turun dari tempat tidur. Langkahku pelan saat menuju kamar mandi, berharap tidak membangunkannya.
Di depan cermin, aku menatap bayanganku sendiri. Rambutku berantakan, wajahku terlihat lelah, tetapi yang paling menyakitkan adalah mataku. Ada sesuatu di sana yang tidak bisa kusembunyikan—rasa bersalah yang terus menghantuiku.
“Apa yang sedang kau lakukan, Livia?” bisikku pada bayangan itu.
Aku tidak punya jawaban.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, Adrian sudah bangun. Dia sedang duduk di tepi tempat tidur, dengan rambut yang masih berantakan tetapi senyumnya tetap mempesona.
“Pagi,” katanya, suaranya berat tetapi hangat.
Aku membalas senyumnya, meskipun tidak sepenuhnya tulus. “Pagi. Tidurmu nyenyak?”
Dia tertawa kecil, lalu mengulurkan tangan untuk menarikku mendekat. Aku menurut, membiarkan diriku tenggelam dalam pelukannya. Ada rasa nyaman di sana, tetapi juga ada ketakutan yang menjalar pelan.
“Aku merasa lebih dari sekadar nyenyak,” katanya sambil mengecup keningku. “Malam tadi… terima kasih, Livia.”
Aku hanya tersenyum, tidak tahu harus menjawab apa.
Beberapa jam kemudian, aku kembali ke apartemenku. Baru saja aku membuka pintu, teleponku berdering. Nama ibu muncul di layar, dan aku tahu aku tidak bisa mengabaikannya lagi.
“Ya, Bu?” sapaku, mencoba terdengar normal meskipun hatiku berdegup kencang.
“Apa yang sedang kau lakukan? Kau tahu waktu kita tidak banyak lagi, kan?” Suaranya terdengar tajam, seperti biasa.
Aku menghela napas, mencoba menahan emosi. “Aku tahu, Bu. Aku sedang mengusahakannya.”
“Usahamu terlalu lambat, Livia. Adrian harus segera merasa bahwa kau adalah satu-satunya pilihan baginya. Jangan beri dia ruang untuk meragukanmu.”
Aku mengepalkan tangan, merasa marah tetapi tidak bisa mengungkapkannya. “Aku tahu, Bu. Tolong jangan mendesakku seperti ini.”
“Tapi kenyataannya memang seperti itu, Livia. Jika kau tidak segera bertindak, jangan harap kami bisa menanggung semua utang ini lebih lama lagi.”
Ucapan itu menusukku lebih dalam daripada yang kubayangkan. Aku menutup telepon tanpa berkata apa-apa lagi, lalu melemparkan ponselku ke sofa. Air mataku menggenang, tetapi aku menolaknya untuk jatuh. Aku sudah terlalu lelah menangis.
Beberapa hari kemudian, Adrian mengajakku menghadiri acara perusahaan. Aku mencoba menolak dengan alasan sibuk, tetapi dia tidak menerima penolakan itu.
“Livia, ini penting bagiku. Aku ingin kau ada di sisiku malam itu.”
Akhirnya, aku setuju. Malam itu, aku mengenakan gaun elegan yang Adrian kirimkan ke apartemenku—gaun hitam dengan potongan sederhana tetapi anggun. Ketika aku tiba di apartemennya, dia sudah menungguku di ruang tamu dengan setelan jas yang membuatnya terlihat lebih memukau dari biasanya.
“Kau cantik sekali,” katanya dengan senyum hangat.
Aku hanya tersenyum, meskipun hatiku tidak sejalan dengan penampilanku.
Di acara itu, Adrian memperkenalkanku kepada beberapa rekan bisnisnya. Aku merasa gugup, tetapi dia selalu ada di sisiku, membantuku merasa lebih nyaman. Semua orang tampak terpesona oleh kami sebagai pasangan, dan aku mulai merasa berat dengan semua perhatian itu.
“Aku bangga denganmu,” katanya ketika kami sedang berdiri di sudut ruangan. “Aku tahu acara seperti ini mungkin tidak nyaman bagimu, tetapi kau melakukannya dengan sangat baik.”
Aku tersenyum, mencoba mengabaikan rasa bersalah yang terus membesar.
Namun, sesuatu terjadi malam itu yang membuatku semakin gugup. Ketika Adrian sedang berbicara dengan salah satu mitranya, aku melihat seseorang di kerumunan yang membuat darahku membeku. Itu adalah sepupuku, orang yang selama ini menjadi alasan kebohonganku.
Dia tidak mendekat, tetapi hanya melihatku dari kejauhan dengan ekspresi yang sulit diartikan. Aku merasa seperti sedang diawasi, dan itu membuatku semakin sulit bernapas.
Setelah acara, Adrian mengajakku makan malam. Di tengah obrolan santai, dia tiba-tiba berkata, “Livia, apa kau pernah memikirkan masa depan kita?”
Pertanyaan itu membuatku terdiam. “Maksudmu?”
“Aku ingin tahu apa kau pernah membayangkan dirimu di sisiku… selamanya.”
Aku mencoba tersenyum, tetapi bibirku terasa kaku. “Adrian, ini terlalu cepat…”
Dia mengangguk pelan, tetapi aku bisa melihat rasa kecewa di matanya. “Aku mengerti. Aku hanya ingin tahu.”
Aku merasa seperti sedang menenggelamkan diri lebih dalam ke dalam kebohongan ini.
Ketika aku tiba di rumah, aku mendapati bibi Maria sedang menungguku di ruang tamu. Dia adalah satu-satunya anggota keluargaku yang tidak terlalu banyak menekan, tetapi malam itu, ada sesuatu yang berbeda darinya.
“Kau baik-baik saja, Livia?” tanyanya lembut.
Aku hanya mengangguk, tidak ingin membahas apapun. Tetapi dia tidak menyerah.
“Livia, aku tahu ada sesuatu yang salah. Kau tidak perlu memberitahuku sekarang, tetapi aku ingin kau tahu bahwa apa pun yang kau sembunyikan, lebih baik kau jujur sebelum terlambat.”
Aku memandangnya, mencoba mencari tanda bahwa dia tahu lebih dari yang dia ungkapkan, tetapi ekspresinya tetap tenang.
“Kau tahu, cinta tidak pernah bisa bertahan jika dibangun di atas kebohongan,” katanya sebelum pergi.
Kata-katanya terus terngiang-ngiang di kepalaku.
Keesokan harinya, Adrian meneleponku. Suaranya terdengar serius, tidak seperti biasanya.
“Kita perlu bicara, Livia. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan.”
Aku merasa jantungku melompat. “Apa itu?”
“Aku tidak bisa membicarakannya di telepon. Bisakah kita bertemu malam ini?”
Aku setuju, meskipun hatiku dipenuhi dengan kecemasan. Ketika aku tiba di apartemennya malam itu, dia menyambutku dengan senyum tipis.
“Kau ingin minum sesuatu?” tanyanya sambil berjalan menuju dapur.
Aku menggeleng. “Tidak, terima kasih. Apa yang ingin kau bicarakan?”
Dia tidak langsung menjawab, tetapi berjalan ke ruang tamu dan duduk di sofa. Aku mengikutinya, merasa semakin tidak nyaman.
“Livia,” katanya akhirnya, menatapku dengan serius. “Aku menemukan sesuatu.”
Jantungku serasa berhenti. “Apa maksudmu?”
Dia mengeluarkan ponselnya, membuka pesan yang kuterima dari ibuku beberapa hari lalu. Aku lupa menghapusnya, dan rupanya Adrian melihatnya ketika aku meninggalkan ponselku di mejanya.
“Apa ini?” tanyanya, suaranya tetap tenang tetapi penuh dengan emosi yang terpendam.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Bibirku terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar.
“Livia,” katanya lagi, lebih tegas kali ini. “Apa yang sedang terjadi? Apa hubungan kita hanyalah bagian dari rencana?”
Aku menunduk, air mataku mulai mengalir tanpa bisa kuhentikan. Aku tahu ini adalah akhirnya. Kebohonganku tidak bisa kusembunyikan lagi.
POV LiviaAdrian menatapku, matanya dipenuhi rasa sakit dan amarah. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang jelas membuncah di dalam dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang menggila, namun tubuhku terasa seperti membeku."Livia, aku ingin kau jujur denganku," katanya, suaranya datar, tetapi setiap kata penuh tekanan.Aku menghindari tatapannya, mataku menatap lantai, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan?Adrian melangkah mendekat, tubuhnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dariku. Dia menatapku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya."Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Jika kau peduli padaku—jika hubungan ini berarti sesuatu bagimu—tolong, katakan yang sebenarnya."Aku membuka mulutku, mencoba bicara, tetapi lidahku terasa ke
POV LiviaKetika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. "Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan
POV LiviaHari berlalu dengan cepat. Ketika jam kerja berakhir, aku berusaha menenangkan diri sebelum berbicara dengannya. Aku ingin memastikan bahwa perbincangan kami akan berjalan lancar dan tidak terjebak dalam ketegangan yang sama.Kami memilih untuk duduk di taman kecil dekat kantor. Udara sore itu terasa segar, dan suasana tenang membuatku lebih nyaman.“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Adrian,” kataku, mencoba membuka pembicaraan.“Tidak masalah. Aku senang bisa berbicara denganmu,” jawabnya, wajahnya menunjukkan ketulusan.“Aku ingin klarifikasi tentang apa yang kita bicarakan sebelumnya. Tentang kita,” lanjutku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.Dia mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan. “Ya, aku ingin kita bisa saling mendukung tanpa merasa tertekan. Tapi aku juga ingin tahu apa yang kau
POV AdrianDalam kegelapan malam, aku duduk sendiri di kamarku, merenungkan perasaanku. Rasa sakit dan kekecewaan mengalir dalam diriku setelah mengetahui bahwa Livia mungkin mendekatiku hanya sebagai bagian dari rencana. “Aku menyesal telah mengetahui semua ini,” bisikku pada diri sendiri.Aku merasa marah dan bingung. Di satu sisi, ada keinginan untuk memperjuangkan hubungan ini, tetapi di sisi lain, hatiku merasa dikhianati. “Baiklah, jika itu yang dia mau, maka aku tak akan mengambil pusing,” pikirku.Namun, benih balas dendam mulai tumbuh dalam pikiranku. “Aku akan memperdayanya dan membuatnya merasa percaya bahwa aku telah benar-benar menerimanya,” ujarku dalam hati, rencana mulai terbentuk.Aku memutuskan untuk bermain peran. Aku akan menunjukkan kepada Livia bahwa aku tidak terpengaruh oleh kekecewaanku. Dengan senyum yang tampak tulus dan perhatian yang dalam, aku beren
POV LiviaSaat aku bangun tidur, tiba-tiba kepala terasa pusing. “Aduh, kenapa dengan aku?” Rasanya tubuhku tidak enak, seolah ada yang tidak beres. Bagaimana ini? Aku harus kerja. Aku memegang kepala ku sambil memijitnya.Tepat saat itu, ibuku mengetuk pintu kamarku sambil teriak, “Livia, apa kamu nggak berangkat kerja? Ini sudah jam berapa!” Suara ibuku membuatku semakin merasa cemas. Terlepas dari rasa tidak enak badan ini, aku tahu tanggung jawabku menunggu di luar sana.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, tetapi kepala ini semakin berputar. “Mungkin aku hanya butuh sedikit waktu,” pikirku, sambil meraih ponsel untuk mengecek pesan yang mungkin masuk dari kantor.Berharap bisa menemukan alasan untuk tidak pergi, aku menelusuri pesan-pesan di aplikasi chat. Namun, semua pesan itu mengingatkanku pada pekerjaan yang harus dikerjakan. Rasa bersalah mulai menyergapku.&n
POV LiviaKetika aku sadar, aku merasa terbaring di sofa di dalam ruangan Adrian. Suara bising dari luar terdengar samar. Aku membuka mata dan melihat Adrian duduk di sampingku, wajahnya tampak cemas.“Livia, kamu sudah sadar?” tanyanya dengan nada lembut, tetapi jelas terlihat bahwa dia khawatir.“Adrian… apa yang terjadi?” tanyaku, berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi.“Kamu pingsan. Aku segera memanggil tim medis,” jawabnya, memperhatikan setiap detail di wajahku. “Kamu tidak terlihat baik sejak pagi. Apa kamu merasa lebih baik sekarang?”Rasa pusing masih ada, tetapi aku mencoba untuk duduk. “Aku… aku tidak tahu. Mungkin aku hanya kelelahan,” jawabku, merasa malu karena situasi ini.“Kelelahan? Kamu hampir tidak bisa berdiri. Kita perlu memeriksamu lebih lanjut.
POV LiviaDadaku berdebar kencang dan keringat dingin mengalir di dahiku. Kenapa dokter bilang aku hamil? Ini sangat tidak masuk akal. Aku hanya pernah melakukannya sekali, dan itu pun bersama Adrian malam itu.Saat dokter itu masih menyiapkan tes kehamilan, pikiranku melayang. Semua kemungkinan berputar di kepalaku, dan rasa panik mulai menyelimuti.“Kurasa kita pulang saja!” ajakku, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan cemas yang semakin mendalam.Adrian menatapku, ragu sejenak. “Livia, kita sudah di sini. Mungkin lebih baik jika kita tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawabnya, suaranya mengandung nada ketegasan.“Tapi aku merasa baik-baik saja. Mungkin ini hanya stres,” bantahku, berusaha meyakinkan diriku sendiri.“Stres bisa memengaruhi tubuhmu, tapi kita tidak bisa mengambil risiko. Jika ada yang sa
POV LiviaAku terdiam, merasakan kehangatan dari kata-katanya. Mungkin dia benar. Meskipun semuanya terasa menakutkan, ada sesuatu yang menenangkan dalam pikiranku bahwa aku tidak akan menghadapi ini sendirian.“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku, mulai merasakan harapan tumbuh di dalam diriku.Adrian tersenyum, menghapus kekhawatiran di wajahku.“Mari kita mulai dengan berbicara dengan ibumu. Aku akan melamarmu hari ini dan segera menikahimu.”Aku masih tak percaya, rasa terkejut dan bahagia bercampur aduk dalam diriku.“Hari ini? Adrian, itu sangat mendadak! Kamu yakin?” tanyaku, suaraku hampir bergetar karena emosi.“Setiap detik yang kita tunggu hanya akan menambah ketidakpastian. Aku ingin memastikan kamu tahu betapa seriusnya aku tentang kita. Ini adalah langkah yang tepat,&r
POV LiviaMaya merangkulku sebelum pergi. "Ingat, Livia. Kau tidak sendirian. Aku di sini jika kau butuh sesuatu," ujarnya, menatapku dengan penuh perhatian.Setelah Maya pergi, rumah terasa sepi. Suara televisi yang sebelumnya ramai kini hanya menjadi latar belakang yang membosankan. Aku kembali duduk di sofa, berusaha untuk tidak berpikir tentang rasa sakit di lututku dan kesepian yang tiba-tiba menyelimuti.Malam semakin larut, dan aku merasa sendirian. Aku meraih ponselku, berharap ada pesan dari Adrian yang bisa menghiburku. Namun, tidak ada yang masuk. Rasa hampa mulai menyelimuti hatiku. Mengapa rasanya sulit sekali untuk menghadapi keadaan ini?Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton film, tetapi tidak ada yang bisa menarik perhatianku. Setiap kali aku melihat jam, harapanku untuk melihat Adrian pulang semakin pudar. Akhirnya, aku memutuskan untuk berbaring di tempat tidur, mencoba meredaka
POV LiviaSetelah beberapa saat, Adrian tiba di rumah. Wajahnya tampak cemas saat melihatku duduk di sofa dengan kaki terangkat.Setelah beberapa saat, Adrian tiba di rumah. Wajahnya tampak cemas saat melihatku duduk di sofa dengan kaki terangkat. "Livia! Maafkan aku karena aku gak bisa mengantarkan mu ke rumah sakit.”"Aku baik-baik saja, Adrian. Kaki ku hanya butuh dikompres saja, dan tidak ada yang perlu dicemaskan," kataku, berusaha menenangkan suasana. Meskipun ada rasa sakit, aku tidak ingin membuatnya merasa bersalah atau khawatir lebih dari yang diperlukan.Adrian masih tampak gelisah, tetapi aku bisa melihat bahwa dia berusaha untuk tenang. "Tapi aku tidak ingin kau mengalami ini sendirian. Aku seharusnya ada di sini untukmu," ujarnya, berusaha mencari alasan untuk mengurangi rasa bersalahnya."Ini bukan kesalahanmu, Adrian. Kau sedang sibuk dengan peke
POV LiviaSetelah beberapa lama, aku mulai merasa lelah. Rasa sakit di lututku membuatku ingin segera beristirahat."Adrian, aku mulai merasa mengantuk. Apa kita bisa istirahat sebentar?" tanyaku, menguap kecil."Ya, tentu saja. Mari kita istirahat," jawabnya sambil mematikan film. Dia membantuku bangkit, dan kami menuju ke kamar.Ketika kami sampai di kamar, aku duduk di tepi tempat tidur dan mencoba mengangkat kaki yang sakit. Adrian melihatku dengan penuh perhatian. "Kau ingin aku membantu merawat lututmu?" tanyanya, nada suaranya lembut."Kalau bisa, aku akan sangat menghargainya," kataku, merasa sedikit canggung.Rasa sakitnya cukup mengganggu, tetapi aku tidak ingin merasa merepotkan.Dia mengambil kotak P3K dan mulai merawat lukaku. Sentuhan lembutnya membuatku merasa nyaman. "Ini mungkin akan sedikit terasa, tetapi aku akan be
POV Livia Saat aku berjalan pincang menuju Toko Buku, pikiranku masih dipenuhi dengan perdebatan yang baru saja terjadi. Aku sangat ingin mendukung Adrian, tetapi aku juga khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Tekanan dari ibunya dan Marlina sangat besar, dan aku tidak ingin dia merasa terjebak.Ketika aku tiba di Toko Buku, Rina, atasanku, segera melihatku. "Livia! Apa yang terjadi? Kenapa kau pincang?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran."Aku jatuh di kantor Adrian. Lututku sedikit terluka," jawabku, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang sebenarnya.Rina mengernyitkan dahi, mendekatiku. "Kau tidak terlihat baik. Mari, aku akan membantumu. Kita bisa mencari obat untuk mengurangi rasa sakitmu."Aku mengangguk, merasa bersyukur dengan perhatian Rina. Saat kami menuju ruang belakang untuk mencari obat, hatiku masih bergejolak dengan perasaan campur aduk. Semua yang terjadi di kantor Adrian masih terbayang jelas di pikiranku."Apakah semuanya baik-baik saja di ka
POV LiviaRasa cemas mulai menggelayuti pikiranku."Apa yang mereka lakukan di sini?" gumamku dalam hati. Aku merasa terjebak antara ingin tahu dan takut akan apa yang akan kutemui.Tanpa berpikir panjang, aku mengikuti mereka dari jauh, berusaha mendengarkan percakapan mereka saat memasuki kantor Adrian. Suara mereka samar, tetapi aku bisa merasakan ketegangan di udara. Ada sesuatu yang besar sedang direncanakan di balik pertemuan ini.Kutatap pintu kaca yang memisahkan aku dari ruang kerja Adrian. Di dalam, aku melihat Adrian duduk di mejanya, tampak lelah dan tertekan. Ibu dan Marlina berdiri di depannya, berbicara dengan nada yang mendesak. Hatiku bergetar melihatnya berada dalam situasi seperti itu.Aku memaksa diriku untuk mendekat, berusaha menangkap setiap kata yang mereka ucapkan."Adrian, kau harus mempertimbangkan ini dengan serius. Ini adalah
POV AdrianIbuku adalah sosok yang kuat, dan tekadnya untuk menyelamatkan perusahaan tidak akan surut hanya karena penolakanku. Namun, aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Livia. Dia adalah bagian terpenting dari hidupku, dan aku bersumpah untuk melindungi hubungan kami."Adrian, bagaimana jika kita mencari solusi lain untuk perusahaan?" Livia tiba-tiba bertanya, membangkitkan semangat dalam diriku. "Mungkin kita bisa melakukan presentasi kepada investor baru, menunjukkan visi kita yang sebenarnya.""Itu ide yang bagus," jawabku. "Kita bisa merancang proposal yang menunjukkan potensi pasar dan keunggulan produk kita. Mungkin kita juga bisa mendekati investor yang lebih fleksibel dan memahami nilai-nilai kita."Livia tersenyum, matanya berbinar penuh semangat. "Aku bisa membantumu membuat presentasi itu. Kita bisa bekerja sama untuk merumuskan strategi yang tepat."Kami mulai berdiskus
POV Adrian"Ada apa, Adrian? Kenapa wajahmu terlihat tegang?" tanyanya, mendekat."Aku baru saja berbicara dengan ibuku dan Marlina," kataku, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Mereka ingin aku menikah dengan Marlina minggu depan."Mata Livia membelalak. "Apa? Kenapa mereka melakukan itu?" dia tampak bingung dan marah."Mereka bilang itu untuk kerja sama perusahaan. Tapi aku menolak. Aku tidak bisa melakukannya, Livia. Aku mencintaimu, dan aku tidak akan mengorbankan hubungan kita," jelasku, berusaha menenangkan dirinya.Livia terlihat terharu, tetapi juga sedikit kecewa. "Adrian, aku tidak ingin kau berada di posisi sulit seperti ini. Aku tidak ingin kau merasa tertekan karena aku.""Tidak, Livia. Ini semua tentang kita. Aku berkomitmen padamu, dan tidak ada yang bisa mengubah itu," kataku dengan tegas.Dia tersenyum, tetapi aku bisa meliha
POV Adrian “Bagus sekali. Selain itu, penting untuk memantau ovulasi. Menggunakan aplikasi atau kalender untuk mencatat siklus menstruasi dapat membantu kalian mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mencoba hamil.” “Itu ide yang bagus. Kami akan mengatur itu,” jawab Livia “Setelah semua ini, kita akan menjadwalkan pertemuan rutin untuk memantau kesehatan Livia dan perkembangan program hamil. Ingat, komunikasi yang baik di antara kalian berdua sangat penting.” “Kami berkomitmen untuk saling mendukung. Terima kasih, Dokter, atas semua informasinya,” kata ku. “Sama-sama. Saya senang bisa membantu kalian. Ingatlah, perjalanan ini memerlukan waktu, jadi bersabarlah dan nikmati setiap langkahnya.”Aku merasakan beban di pundakku sedikit menghilang. Aku tahu b
POV LiviaAdrian ikut tertawa. “Itu lucu! Mungkin dia juga butuh sedikit hiburan selain pengembangan diri,” katanya, menatapku dengan senyum hangat.“Sepertinya kau sudah menemukan tempat yang tepat,” kata Adrian, menatapku dengan penuh perhatian.“Aku merasa begitu! Ini adalah langkah yang tepat untukku,” kataku, merasakan keyakinan mengalir dalam diriku. “Setiap buku di toko itu bercerita, dan aku ingin menjadi bagian dari cerita-cerita itu. Aku ingin membantu orang menemukan buku yang tepat untuk mereka.”Adrian mengangguk, tampak mengerti betapa pentingnya hal ini bagiku. “Itu luar biasa, Livia. Kau memang selalu punya passion untuk buku dan literatur. Ini adalah kesempatan yang sempurna untuk mengejar impianmu.”Saat kami sampai di rumah, aku merasakan kehangatan yang menyelimuti. Hari pertama di toko buku telah membe