Share

4

Author: Akina
last update Last Updated: 2024-12-29 13:44:27

POV Livia

Aku terbangun dengan rasa berat di dadaku. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar Adrian yang luas. Tubuhku masih terasa hangat, tetapi ada dingin yang menjalar di hatiku. Aku menoleh perlahan, melihat Adrian masih tertidur di sisiku, wajahnya terlihat damai, seolah semua masalah menguap begitu saja dari hidupnya.

Namun, tidak begitu untukku.

Malam itu terus terulang dalam pikiranku, seperti sebuah film yang diputar tanpa henti. Setiap sentuhan, setiap desahan, setiap kata yang tak terucap—semuanya terasa begitu nyata. Tetapi kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Ada jurang besar di antara kami, jurang yang kuciptakan sendiri dengan kebohongan.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungku yang masih kacau. Dengan hati-hati, aku melepaskan diri dari pelukannya dan turun dari tempat tidur. Langkahku pelan saat menuju kamar mandi, berharap tidak membangunkannya.

Di depan cermin, aku menatap bayanganku sendiri. Rambutku berantakan, wajahku terlihat lelah, tetapi yang paling menyakitkan adalah mataku. Ada sesuatu di sana yang tidak bisa kusembunyikan—rasa bersalah yang terus menghantuiku.

“Apa yang sedang kau lakukan, Livia?” bisikku pada bayangan itu.

Aku tidak punya jawaban.

Ketika aku keluar dari kamar mandi, Adrian sudah bangun. Dia sedang duduk di tepi tempat tidur, dengan rambut yang masih berantakan tetapi senyumnya tetap mempesona.

“Pagi,” katanya, suaranya berat tetapi hangat.

Aku membalas senyumnya, meskipun tidak sepenuhnya tulus. “Pagi. Tidurmu nyenyak?”

Dia tertawa kecil, lalu mengulurkan tangan untuk menarikku mendekat. Aku menurut, membiarkan diriku tenggelam dalam pelukannya. Ada rasa nyaman di sana, tetapi juga ada ketakutan yang menjalar pelan.

“Aku merasa lebih dari sekadar nyenyak,” katanya sambil mengecup keningku. “Malam tadi… terima kasih, Livia.”

Aku hanya tersenyum, tidak tahu harus menjawab apa.

Beberapa jam kemudian, aku kembali ke apartemenku. Baru saja aku membuka pintu, teleponku berdering. Nama ibu muncul di layar, dan aku tahu aku tidak bisa mengabaikannya lagi.

“Ya, Bu?” sapaku, mencoba terdengar normal meskipun hatiku berdegup kencang.

“Apa yang sedang kau lakukan? Kau tahu waktu kita tidak banyak lagi, kan?” Suaranya terdengar tajam, seperti biasa.

Aku menghela napas, mencoba menahan emosi. “Aku tahu, Bu. Aku sedang mengusahakannya.”

“Usahamu terlalu lambat, Livia. Adrian harus segera merasa bahwa kau adalah satu-satunya pilihan baginya. Jangan beri dia ruang untuk meragukanmu.”

Aku mengepalkan tangan, merasa marah tetapi tidak bisa mengungkapkannya. “Aku tahu, Bu. Tolong jangan mendesakku seperti ini.”

“Tapi kenyataannya memang seperti itu, Livia. Jika kau tidak segera bertindak, jangan harap kami bisa menanggung semua utang ini lebih lama lagi.”

Ucapan itu menusukku lebih dalam daripada yang kubayangkan. Aku menutup telepon tanpa berkata apa-apa lagi, lalu melemparkan ponselku ke sofa. Air mataku menggenang, tetapi aku menolaknya untuk jatuh. Aku sudah terlalu lelah menangis.

Beberapa hari kemudian, Adrian mengajakku menghadiri acara perusahaan. Aku mencoba menolak dengan alasan sibuk, tetapi dia tidak menerima penolakan itu.

“Livia, ini penting bagiku. Aku ingin kau ada di sisiku malam itu.”

Akhirnya, aku setuju. Malam itu, aku mengenakan gaun elegan yang Adrian kirimkan ke apartemenku—gaun hitam dengan potongan sederhana tetapi anggun. Ketika aku tiba di apartemennya, dia sudah menungguku di ruang tamu dengan setelan jas yang membuatnya terlihat lebih memukau dari biasanya.

“Kau cantik sekali,” katanya dengan senyum hangat.

Aku hanya tersenyum, meskipun hatiku tidak sejalan dengan penampilanku.

Di acara itu, Adrian memperkenalkanku kepada beberapa rekan bisnisnya. Aku merasa gugup, tetapi dia selalu ada di sisiku, membantuku merasa lebih nyaman. Semua orang tampak terpesona oleh kami sebagai pasangan, dan aku mulai merasa berat dengan semua perhatian itu.

“Aku bangga denganmu,” katanya ketika kami sedang berdiri di sudut ruangan. “Aku tahu acara seperti ini mungkin tidak nyaman bagimu, tetapi kau melakukannya dengan sangat baik.”

Aku tersenyum, mencoba mengabaikan rasa bersalah yang terus membesar.

Namun, sesuatu terjadi malam itu yang membuatku semakin gugup. Ketika Adrian sedang berbicara dengan salah satu mitranya, aku melihat seseorang di kerumunan yang membuat darahku membeku. Itu adalah sepupuku, orang yang selama ini menjadi alasan kebohonganku.

Dia tidak mendekat, tetapi hanya melihatku dari kejauhan dengan ekspresi yang sulit diartikan. Aku merasa seperti sedang diawasi, dan itu membuatku semakin sulit bernapas.

Setelah acara, Adrian mengajakku makan malam. Di tengah obrolan santai, dia tiba-tiba berkata, “Livia, apa kau pernah memikirkan masa depan kita?”

Pertanyaan itu membuatku terdiam. “Maksudmu?”

“Aku ingin tahu apa kau pernah membayangkan dirimu di sisiku… selamanya.”

Aku mencoba tersenyum, tetapi bibirku terasa kaku. “Adrian, ini terlalu cepat…”

Dia mengangguk pelan, tetapi aku bisa melihat rasa kecewa di matanya. “Aku mengerti. Aku hanya ingin tahu.”

Aku merasa seperti sedang menenggelamkan diri lebih dalam ke dalam kebohongan ini.

Ketika aku tiba di rumah, aku mendapati bibi Maria sedang menungguku di ruang tamu. Dia adalah satu-satunya anggota keluargaku yang tidak terlalu banyak menekan, tetapi malam itu, ada sesuatu yang berbeda darinya.

“Kau baik-baik saja, Livia?” tanyanya lembut.

Aku hanya mengangguk, tidak ingin membahas apapun. Tetapi dia tidak menyerah.

“Livia, aku tahu ada sesuatu yang salah. Kau tidak perlu memberitahuku sekarang, tetapi aku ingin kau tahu bahwa apa pun yang kau sembunyikan, lebih baik kau jujur sebelum terlambat.”

Aku memandangnya, mencoba mencari tanda bahwa dia tahu lebih dari yang dia ungkapkan, tetapi ekspresinya tetap tenang.

“Kau tahu, cinta tidak pernah bisa bertahan jika dibangun di atas kebohongan,” katanya sebelum pergi.

Kata-katanya terus terngiang-ngiang di kepalaku.

Keesokan harinya, Adrian meneleponku. Suaranya terdengar serius, tidak seperti biasanya.

“Kita perlu bicara, Livia. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan.”

Aku merasa jantungku melompat. “Apa itu?”

“Aku tidak bisa membicarakannya di telepon. Bisakah kita bertemu malam ini?”

Aku setuju, meskipun hatiku dipenuhi dengan kecemasan. Ketika aku tiba di apartemennya malam itu, dia menyambutku dengan senyum tipis.

“Kau ingin minum sesuatu?” tanyanya sambil berjalan menuju dapur.

Aku menggeleng. “Tidak, terima kasih. Apa yang ingin kau bicarakan?”

Dia tidak langsung menjawab, tetapi berjalan ke ruang tamu dan duduk di sofa. Aku mengikutinya, merasa semakin tidak nyaman.

“Livia,” katanya akhirnya, menatapku dengan serius. “Aku menemukan sesuatu.”

Jantungku serasa berhenti. “Apa maksudmu?”

Dia mengeluarkan ponselnya, membuka pesan yang kuterima dari ibuku beberapa hari lalu. Aku lupa menghapusnya, dan rupanya Adrian melihatnya ketika aku meninggalkan ponselku di mejanya.

“Apa ini?” tanyanya, suaranya tetap tenang tetapi penuh dengan emosi yang terpendam.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Bibirku terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar.

“Livia,” katanya lagi, lebih tegas kali ini. “Apa yang sedang terjadi? Apa hubungan kita hanyalah bagian dari rencana?”

Aku menunduk, air mataku mulai mengalir tanpa bisa kuhentikan. Aku tahu ini adalah akhirnya. Kebohonganku tidak bisa kusembunyikan lagi.

Related chapters

  • Mantanku Kembali   5

    POV LiviaAdrian menatapku, matanya dipenuhi rasa sakit dan amarah. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang jelas membuncah di dalam dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang menggila, namun tubuhku terasa seperti membeku."Livia, aku ingin kau jujur denganku," katanya, suaranya datar, tetapi setiap kata penuh tekanan.Aku menghindari tatapannya, mataku menatap lantai, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan?Adrian melangkah mendekat, tubuhnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dariku. Dia menatapku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya."Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Jika kau peduli padaku—jika hubungan ini berarti sesuatu bagimu—tolong, katakan yang sebenarnya."Aku membuka mulutku, mencoba bicara, tetapi lidahku terasa ke

    Last Updated : 2024-12-29
  • Mantanku Kembali   6

    POV LiviaKetika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. "Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan

    Last Updated : 2025-01-17
  • Mantanku Kembali   7

    POV LiviaHari berlalu dengan cepat. Ketika jam kerja berakhir, aku berusaha menenangkan diri sebelum berbicara dengannya. Aku ingin memastikan bahwa perbincangan kami akan berjalan lancar dan tidak terjebak dalam ketegangan yang sama.Kami memilih untuk duduk di taman kecil dekat kantor. Udara sore itu terasa segar, dan suasana tenang membuatku lebih nyaman.“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Adrian,” kataku, mencoba membuka pembicaraan.“Tidak masalah. Aku senang bisa berbicara denganmu,” jawabnya, wajahnya menunjukkan ketulusan.“Aku ingin klarifikasi tentang apa yang kita bicarakan sebelumnya. Tentang kita,” lanjutku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.Dia mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan. “Ya, aku ingin kita bisa saling mendukung tanpa merasa tertekan. Tapi aku juga ingin tahu apa yang kau

    Last Updated : 2025-01-18
  • Mantanku Kembali   8

    POV AdrianDalam kegelapan malam, aku duduk sendiri di kamarku, merenungkan perasaanku. Rasa sakit dan kekecewaan mengalir dalam diriku setelah mengetahui bahwa Livia mungkin mendekatiku hanya sebagai bagian dari rencana. “Aku menyesal telah mengetahui semua ini,” bisikku pada diri sendiri.Aku merasa marah dan bingung. Di satu sisi, ada keinginan untuk memperjuangkan hubungan ini, tetapi di sisi lain, hatiku merasa dikhianati. “Baiklah, jika itu yang dia mau, maka aku tak akan mengambil pusing,” pikirku.Namun, benih balas dendam mulai tumbuh dalam pikiranku. “Aku akan memperdayanya dan membuatnya merasa percaya bahwa aku telah benar-benar menerimanya,” ujarku dalam hati, rencana mulai terbentuk.Aku memutuskan untuk bermain peran. Aku akan menunjukkan kepada Livia bahwa aku tidak terpengaruh oleh kekecewaanku. Dengan senyum yang tampak tulus dan perhatian yang dalam, aku beren

    Last Updated : 2025-01-19
  • Mantanku Kembali   9

    POV LiviaSaat aku bangun tidur, tiba-tiba kepala terasa pusing. “Aduh, kenapa dengan aku?” Rasanya tubuhku tidak enak, seolah ada yang tidak beres. Bagaimana ini? Aku harus kerja. Aku memegang kepala ku sambil memijitnya.Tepat saat itu, ibuku mengetuk pintu kamarku sambil teriak, “Livia, apa kamu nggak berangkat kerja? Ini sudah jam berapa!” Suara ibuku membuatku semakin merasa cemas. Terlepas dari rasa tidak enak badan ini, aku tahu tanggung jawabku menunggu di luar sana.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, tetapi kepala ini semakin berputar. “Mungkin aku hanya butuh sedikit waktu,” pikirku, sambil meraih ponsel untuk mengecek pesan yang mungkin masuk dari kantor.Berharap bisa menemukan alasan untuk tidak pergi, aku menelusuri pesan-pesan di aplikasi chat. Namun, semua pesan itu mengingatkanku pada pekerjaan yang harus dikerjakan. Rasa bersalah mulai menyergapku.&n

    Last Updated : 2025-01-20
  • Mantanku Kembali   10

    POV LiviaKetika aku sadar, aku merasa terbaring di sofa di dalam ruangan Adrian. Suara bising dari luar terdengar samar. Aku membuka mata dan melihat Adrian duduk di sampingku, wajahnya tampak cemas.“Livia, kamu sudah sadar?” tanyanya dengan nada lembut, tetapi jelas terlihat bahwa dia khawatir.“Adrian… apa yang terjadi?” tanyaku, berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi.“Kamu pingsan. Aku segera memanggil tim medis,” jawabnya, memperhatikan setiap detail di wajahku. “Kamu tidak terlihat baik sejak pagi. Apa kamu merasa lebih baik sekarang?”Rasa pusing masih ada, tetapi aku mencoba untuk duduk. “Aku… aku tidak tahu. Mungkin aku hanya kelelahan,” jawabku, merasa malu karena situasi ini.“Kelelahan? Kamu hampir tidak bisa berdiri. Kita perlu memeriksamu lebih lanjut.

    Last Updated : 2025-01-21
  • Mantanku Kembali   11

    POV LiviaDadaku berdebar kencang dan keringat dingin mengalir di dahiku. Kenapa dokter bilang aku hamil? Ini sangat tidak masuk akal. Aku hanya pernah melakukannya sekali, dan itu pun bersama Adrian malam itu.Saat dokter itu masih menyiapkan tes kehamilan, pikiranku melayang. Semua kemungkinan berputar di kepalaku, dan rasa panik mulai menyelimuti.“Kurasa kita pulang saja!” ajakku, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan cemas yang semakin mendalam.Adrian menatapku, ragu sejenak. “Livia, kita sudah di sini. Mungkin lebih baik jika kita tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawabnya, suaranya mengandung nada ketegasan.“Tapi aku merasa baik-baik saja. Mungkin ini hanya stres,” bantahku, berusaha meyakinkan diriku sendiri.“Stres bisa memengaruhi tubuhmu, tapi kita tidak bisa mengambil risiko. Jika ada yang sa

    Last Updated : 2025-01-22
  • Mantanku Kembali   12

    POV LiviaAku terdiam, merasakan kehangatan dari kata-katanya. Mungkin dia benar. Meskipun semuanya terasa menakutkan, ada sesuatu yang menenangkan dalam pikiranku bahwa aku tidak akan menghadapi ini sendirian.“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku, mulai merasakan harapan tumbuh di dalam diriku.Adrian tersenyum, menghapus kekhawatiran di wajahku.“Mari kita mulai dengan berbicara dengan ibumu. Aku akan melamarmu hari ini dan segera menikahimu.”Aku masih tak percaya, rasa terkejut dan bahagia bercampur aduk dalam diriku.“Hari ini? Adrian, itu sangat mendadak! Kamu yakin?” tanyaku, suaraku hampir bergetar karena emosi.“Setiap detik yang kita tunggu hanya akan menambah ketidakpastian. Aku ingin memastikan kamu tahu betapa seriusnya aku tentang kita. Ini adalah langkah yang tepat,&r

    Last Updated : 2025-01-23

Latest chapter

  • Mantanku Kembali   20

    POV AdrianDalam keheningan itu, pikiranku kembali ke saat Livia pertama kali memberitahuku bahwa dia hamil. Rasa bahagia yang mengalir dalam diriku saat itu tidak dapat digambarkan. Kami merayakannya dengan harapan dan impian yang besar. Sekarang, harapan itu telah sirna, dan yang tersisa hanyalah kesedihan yang mendalam.Aku memperhatikan Livia yang terlelap, wajahnya tampak damai meskipun hatinya masih penuh kesedihan. Aku ingin melindunginya dari semua rasa sakit ini, tetapi aku tahu bahwa tidak ada yang bisa menghilangkan rasa sakitnya dengan cepat. Proses penyembuhan ini akan memakan waktu, dan kami harus siap untuk menjalani setiap langkahnya.Satu hal yang pasti, aku akan terus ada di sampingnya. Meskipun rasa sakit ini terasa sangat berat, aku bertekad untuk menjadi pendukungnya, menjadi tempatnya bersandar saat semuanya terasa terlalu sulit.Saat malam semakin larut, keheningan ruangan membua

  • Mantanku Kembali   19

    POV AdrianAku melihat Livia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya penuh kesedihan setelah mengalami keguguran. Hatiku terasa hancur melihatnya dalam keadaan seperti itu. Rasa kasihan mengalir dalam diriku, tetapi aku tahu bahwa yang dibutuhkan Livia saat ini adalah dukunganku.“Livia,” kataku lembut, meraih tangannya. “Aku di sini untukmu. Apa pun yang kamu rasakan, itu adalah hal yang wajar. Kamu tidak sendirian dalam ini.”Dia menatapku dengan mata yang penuh air mata. “Aku merasa sangat hancur, Adrian. Seharusnya aku bisa melindungi bayi kita.”“Tidak ada yang bisa kamu lakukan untuk mencegah apa yang terjadi. Ini bukan kesalahanmu,” jawabku, berusaha menerangkan dengan lembut.“Kadang-kadang, hal-hal seperti ini terjadi tanpa alasan yang jelas. Yang terpenting sekarang adalah kamu bisa memulihkan diri.”

  • Mantanku Kembali   18

    POV LiviaNamun, saat dokter mulai melakukan pemeriksaan, ekspresi wajahnya berubah. Aku merasakan ketegangan di udara, dan jantungku berdebar kencang.“Ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan,” katanya, wajahnya serius.Ketika hasil pemeriksaan keluar, aku dapat merasakan sesuatu yang tidak beres.“Ada masalah dengan perkembangan janin. Kami khawatir ini bisa jadi tanda-tanda keguguran,” katanya dengan lembut, tetapi kata-katanya menghantamku seperti petir.“Apa?” suaraku hampir tak terdengar. Rasa sakit di perutku terasa semakin parah, tetapi kali ini bukan hanya fisik. Hati ini seolah diremas-remas oleh kenyataan yang menyakitkan.Adrian terdiam, tetapi aku bisa melihat betapa hancurnya ia mendengar berita ini.“Apa ada cara untuk menyelamatkan bayi kami?” tanyaku, berharap

  • Mantanku Kembali   17

    POV Livia “Hasil akan keluar seminggu lagi. Jadi kalian bisa pulang sekarang,” kata dokter, mencoba memberikan kepastian di tengah ketidakpastian yang kami rasakan.Setelah beberapa saat, kami akhirnya keluar dari rumah sakit. Meskipun hasil belum keluar, ada rasa lega saat melihat matahari bersinar di luar, seolah memberikan harapan baru. Adrian menggenggam tanganku erat, dan aku bisa merasakan kehangatan di dalam hatinya.“Bagaimana kalau kita makan sesuatu yang enak?” tawar Adrian, ingin mengalihkan perhatianku dari kekhawatiran yang masih membayangi.“Ide yang bagus,” jawabku, meskipun perutku terasa mual. “Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa makan banyak.”“Tidak apa-apa, kita bisa cari sesuatu yang ringan. Yang penting, kamu perlu makan,” katanya sambil tersenyum, dan aku merasa sedikit lebih tenang.Kami berjalan menuju kafe terdekat, tempat yang biasanya ramai dengan orang-orang yang menikmati waktu bersama. Suasana ceria itu sedikit mengingatkanku akan betapa indahnya hidup,

  • Mantanku Kembali   16

    POV LiviaPertanyaan itu membuatku terdiam sejenak. “Kadang aku merasa cemas, terutama ketika di kantor. Aku tidak ingin orang lain berpikir aku mendapatkan posisi ini karena hubungan kami. Tapi di sisi lain, aku juga merasa bersyukur bisa bekerja sama dengannya.”Maya mengangguk. “Itu wajar. Tapi ingat, kamu punya kemampuan dan kompetensi sendiri. Jangan biarkan orang lain meragukannya hanya karena hubungan pribadi.”Aku merasa lebih baik mendengar kata-katanya. “Terima kasih, Maya. Itu sangat berarti.”Kalau gitu aku pamit dulu ya? Aku mau ke rumah sakit setelah ini karena mau periksa kandungan. Aku pamit pada MayaAdrian sudah menunggu ku di dalam mobil.Setelah aku masuk ke dalam mobil Adrian pun bertanya. “Sudah selesai kalau ngobrol?”“Iya, sudah kok. Ya sudah kita ke rumah sakit sekarang!&rdquo

  • Mantanku Kembali   15

    POV LiviaSetelah selesai memasak, aku pun masuk ke kamar untuk bersiap berangkat ke kantor bersama Adrian. Hari itu terasa cerah, dan meskipun tidak ada yang istimewa di agenda, aku merasa bersemangat. Sejak malam romantis itu, suasana hatiku jauh lebih baik.Aku mengenakan gaun sederhana yang membuatku merasa percaya diri, berharap bisa menambah sedikit warna pada hari-hari yang kadang monoton di kantor.Adrian sudah siap ketika aku keluar dari kamar. Dia mengenakan setelan jas yang membuatnya tampak semakin menawan. “Kamu terlihat cantik,” katanya, tersenyum lebar.“Terima kasih. Kamu juga, seperti biasa,” balasku, merasakan jantungku berdebar saat dia meraih tanganku.Kami berangkat ke kantor dengan suasana hati yang baik. Namun, begitu kami tiba, suasana di dalam kantor tampak tegang. Beberapa karyawan berbisik, dan wajah mereka menunjukka

  • Mantanku Kembali   14

    Livia's POV“Keluargamu tampak... berbeda,” kataku, sedikit ragu.Adrian mendekat, menatapku dengan penuh perhatian. “Maksudmu?”“Entahlah. Sepertinya mereka tidak begitu senang dengan kehadiranku. Terutama ibumu,” jawabku, jujur tentang ketidaknyamananku.Dia menghela napas, tampak berpikir sejenak. “Ibu ku memang memiliki harapan tersendiri. Dia ingin aku menikah dengan seseorang dari latar belakang yang lebih mapan. Mungkin dia butuh waktu untuk menerima keputusan ini,” jelas Adrian.“Apakah kamu khawatir tentang itu?” tanyaku, merasa sedikit khawatir.“Tidak, aku mencintaimu, Livia. Itu yang terpenting. Kita akan melalui ini bersama,” katanya, menggenggam tanganku erat.Aku merasa sedikit lega mendengar kata-katanya. Namun, saat malam beranjak larut, rasa cemas masi

  • Mantanku Kembali   13

    POV LiviaRasa cemas menyelimuti diriku. Bagaimana hidup ku akan berjalan? Apakah aku akan bisa menjadi ibu yang baik? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benakku, dan aku merasa seolah berada dalam labirin tanpa jalan keluar.Aku menatap langit-langit, berusaha menenangkan pikiran. “Apa yang harus aku lakukan?” bisikku pada diri sendiri. Ada begitu banyak ketidakpastian di depan, dan aku merasakan beban tanggung jawab yang berat.Adrian sudah berjanji untuk ada di sampingku, tetapi aku juga tahu bahwa ini tidak akan mudah. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk anak ini, tetapi apakah aku sudah siap?Dengan perasaan campur aduk, aku meraih bantal dan memeluknya erat-erat. Mungkin aku perlu waktu untuk merenungkan semuanya. Harapan dan ketakutan bercampur, tetapi satu hal yang pasti—aku tidak bisa melarikan diri dari kenyataan ini.*Har

  • Mantanku Kembali   12

    POV LiviaAku terdiam, merasakan kehangatan dari kata-katanya. Mungkin dia benar. Meskipun semuanya terasa menakutkan, ada sesuatu yang menenangkan dalam pikiranku bahwa aku tidak akan menghadapi ini sendirian.“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku, mulai merasakan harapan tumbuh di dalam diriku.Adrian tersenyum, menghapus kekhawatiran di wajahku.“Mari kita mulai dengan berbicara dengan ibumu. Aku akan melamarmu hari ini dan segera menikahimu.”Aku masih tak percaya, rasa terkejut dan bahagia bercampur aduk dalam diriku.“Hari ini? Adrian, itu sangat mendadak! Kamu yakin?” tanyaku, suaraku hampir bergetar karena emosi.“Setiap detik yang kita tunggu hanya akan menambah ketidakpastian. Aku ingin memastikan kamu tahu betapa seriusnya aku tentang kita. Ini adalah langkah yang tepat,&r

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status