POV Livia
Aku berusaha menenangkan diri ketika tatapan tajam Adrian terus menancap di wajahku, seolah mencoba mencari retakan dalam setiap penjelasanku. Aku tahu, setiap kata yang kuucapkan harus disusun dengan hati-hati. Satu kesalahan saja, dan dia akan pergi—mungkin untuk selamanya.
“Adrian, tolong dengarkan aku,” kataku, suaraku terdengar lebih tegas daripada yang kurasakan di dalam hati. Aku menggenggam tanganku erat di bawah meja, mencoba mengalihkan gemetar yang tidak mau berhenti. “Apa yang kau dengar tadi… itu bukan tentangmu.”
Alisnya berkerut, keraguan jelas tergambar di wajahnya. Dia tidak memotongku, tetapi matanya masih penuh dengan kecurigaan. Aku melanjutkan, berusaha terdengar sejujur mungkin.
“Aku tahu kedengarannya buruk, tapi aku tidak sedang berbicara tentangmu. Aku berbicara tentang sepupuku, Adrian. Namanya sama denganmu, dan dia… dia sedang melalui masa yang sulit.”
Aku berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Tidak ada jalan lain kecuali terus maju.
“Dia sudah lama berjuang dengan gangguan psikis, dan beberapa bulan terakhir menjadi semakin buruk. Aku diminta keluargaku untuk lebih dekat dengannya, untuk mencoba menghibur dan mendukungnya. Itu sebabnya aku mengatakan semua itu di telepon tadi. Aku berbicara tentang bagaimana dia mulai membuka diri, tentang bagaimana aku berusaha membuatnya merasa lebih baik.”
Adrian menatapku dalam-dalam, matanya mencari kepastian. Aku bisa merasakan jantungku berdetak kencang di dada, menunggu apakah dia akan mempercayai cerita yang kubuat ini.
“Beberapa hari terakhir, aku berhasil membujuknya untuk keluar rumah. Dia mulai berubah, menjadi lebih lembut. Bahkan, dia setuju untuk jalan-jalan denganku dan membelikan apa pun untukku—itu adalah langkah besar baginya.” Aku berhenti, membiarkan kalimat terakhir menggantung di udara, memberi bobot pada apa yang kukatakan.
Adrian tidak langsung menjawab. Aku bisa melihat pikirannya bekerja, mencerna setiap kata yang baru saja kukatakan. Aku menatapnya dengan sorot mata yang kuusahakan terlihat tulus, penuh harapan bahwa dia akan menerima penjelasanku.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya menghela napas panjang dan menutup matanya sejenak. Ketika dia membukanya kembali, tatapannya melunak, meskipun masih ada sisa keraguan.
“Maaf, Livia. Aku terlalu cepat menyimpulkan. Aku seharusnya memberimu kesempatan untuk menjelaskan.”
Aku tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa lega yang menjalar di dadaku.
“Tidak apa-apa. Aku mengerti mengapa kau berpikir seperti itu. Tapi, aku harap kau percaya padaku.”
Dia mengangguk pelan, lalu menarik napas panjang.
“Ayo kita selesaikan makan malam ini,” katanya dengan senyum kecil yang kembali muncul di wajahnya.
Kami kembali ke meja makan. Adrian tampak lebih santai sekarang. Dia menuangkan segelas anggur merah untuk kami berdua, meskipun aku bisa melihat dia sedikit berusaha untuk menutupi rasa canggungnya. Aku mengikuti suasana itu, berbicara tentang hal-hal ringan—pekerjaan, rencana akhir pekan, bahkan cerita lucu dari rekan kerja kami.
Seiring malam berlalu, Adrian mulai membuka diri kembali. Dia tertawa ketika aku menceritakan anekdot konyol tentang kucingku yang jatuh dari meja dapur pagi ini, dan untuk pertama kalinya malam itu, aku merasa hubungan kami kembali normal.
Tapi dia juga minum lebih banyak dari biasanya. Gelas anggurnya terus diisi ulang, dan aku bisa melihat pipinya mulai memerah. Saat hidangan penutup datang, langkah bicaranya melambat, dan matanya mulai terlihat sedikit berat.
“Aku senang kita bisa melalui ini. Aku sungguh... sangat menghargai keberadaanmu dalam hidupku.”
Aku tidak bisa membalas kata-katanya dengan jujur, tetapi aku tersenyum, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
“Aku juga merasa beruntung,” jawabku sambil meraih tangannya di atas meja.
Ketika malam semakin larut, aku menyadari bahwa Adrian terlalu mabuk untuk pulang sendiri. Aku membantu menopangnya ketika dia bangkit dari kursinya, tangannya melingkar di pundakku untuk menjaga keseimbangan.
“Kau benar-benar tidak bisa minum terlalu banyak,” godaku dengan suara ringan, mencoba menghilangkan kecanggungan.
Dia tertawa kecil, tapi tidak berkata apa-apa. Langkah kami pelan saat meninggalkan restoran, dan aku harus membantunya masuk ke mobil. Saat kami tiba di apartemennya, aku kembali membantunya keluar, merasakan berat tubuhnya yang bersandar padaku dengan setiap langkah.
Aku menuntunnya ke kamar tidur. Adrian duduk di tepi ranjang, wajahnya terlihat lelah tetapi puas. Aku melepaskan sepatu dan jasnya, memastikan dia nyaman sebelum membaringkannya di tempat tidur.
Aku menyelimutinya dengan hati-hati, memastikan dia merasa nyaman. Wajahnya terlihat tenang, meskipun masih ada rona kemerahan akibat alkohol yang diminumnya. Aku berbalik untuk pergi, namun tiba-tiba tangannya terulur, menggenggam pergelangan tanganku dengan lembut tetapi cukup kuat untuk menghentikanku.
"Livia," gumamnya pelan, suara beratnya terdengar serak, seperti memanggil namaku dari tempat yang jauh.
Aku menoleh, berniat membebaskan tanganku dengan halus, tetapi mata kami bertemu. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatku terpaku. Mata itu tidak lagi dipenuhi keraguan atau rasa sakit seperti sebelumnya, melainkan ketulusan yang dalam, penuh keinginan yang sulit diabaikan. Sebelum aku sempat memproses apa yang terjadi, dia menarikku dengan lembut, membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh di atasnya.
“Adrian, kau terlalu mabuk,” kataku lemah, tanpa upaya yang sungguh-sungguh untuk melepaskan diri.
Namun, dia tidak menjawab, hanya memandangku dengan intensitas yang memabukkan. Tangannya bergerak perlahan ke wajahku, menyentuh pipiku dengan jemari hangatnya. Aku bisa merasakan detak jantungku meningkat, denyut yang terasa di seluruh tubuhku.
Dia menarik wajahku mendekat, dan sebelum aku sempat memprotes, bibirnya sudah menyentuh bibirku. Ciumannya lembut pada awalnya, penuh keraguan, tetapi seiring waktu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam dan lebih menuntut. Aku tidak menolak. Sebaliknya, aku membiarkan diriku larut dalam kehangatan itu, dalam perasaan yang selama ini kutepis.
Tanganku secara refleks melingkar di lehernya, dan aku membalas ciumannya dengan gairah yang mengejutkanku sendiri. Sentuhannya terasa nyata, penuh rasa, dan aku mulai kehilangan akal sehatku. Adrian menarikku lebih dekat, tubuh kami bersatu dalam keintiman yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku tahu aku seharusnya berhenti. Aku tahu aku seharusnya menjaga jarak, mengingat kebohongan besar yang ada di antara kami. Tapi pada saat itu, semua logika dan rasa bersalah tenggelam dalam panasnya malam. Dia menciumku dengan lebih dalam, tangannya menjelajahi punggungku, menarikku ke arahnya seolah aku adalah satu-satunya hal yang dia butuhkan.
Waktu seolah berhenti. Hanya ada kami berdua, saling mencari kehangatan dan kenyamanan di tengah kekacauan perasaan yang tak terucapkan. Setiap sentuhan, setiap desahan, terasa seperti pengakuan yang tidak pernah kami ungkapkan dengan kata-kata. Aku tidak tahu apakah ini adalah bentuk pelarian, ataukah sesuatu yang lebih dari itu. Yang kutahu, malam itu aku tidak ingin melepaskannya.
Kami bercinta dengan intensitas yang hampir primal, tetapi tetap ada kelembutan dalam setiap gerakannya. Adrian memperlakukanku seolah aku adalah sesuatu yang rapuh, sesuatu yang harus dijaga dengan hati-hati. Di antara panasnya malam, ada momen-momen kecil di mana dia memandangku dengan sorot mata yang seolah ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi dia tidak mengatakannya.
Setelahnya, aku terbaring di sisinya, napasku masih belum sepenuhnya teratur. Kamar itu terasa sunyi, hanya terdengar suara napas kami yang saling bersahutan. Aku memandang langit-langit, pikiranku berputar-putar mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Adrian menarikku lebih dekat, lengannya melingkar di pinggangku dengan posesif yang hangat.
“Jangan pergi,” bisiknya, hampir tidak terdengar, sebelum akhirnya dia terlelap.
Aku tidak menjawab. Aku hanya terdiam di sampingnya, membiarkan tubuhku menikmati kehangatan pelukannya, tetapi di dalam pikiranku ada pertanyaan-pertanyaan yang terus mengganggu. Apa yang baru saja kulakukan? Apakah ini benar-benar hanya bagian dari rencana, ataukah aku telah melewati batas yang seharusnya tidak kulanggar?
POV LiviaAku terbangun dengan rasa berat di dadaku. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar Adrian yang luas. Tubuhku masih terasa hangat, tetapi ada dingin yang menjalar di hatiku. Aku menoleh perlahan, melihat Adrian masih tertidur di sisiku, wajahnya terlihat damai, seolah semua masalah menguap begitu saja dari hidupnya.Namun, tidak begitu untukku.Malam itu terus terulang dalam pikiranku, seperti sebuah film yang diputar tanpa henti. Setiap sentuhan, setiap desahan, setiap kata yang tak terucap—semuanya terasa begitu nyata. Tetapi kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Ada jurang besar di antara kami, jurang yang kuciptakan sendiri dengan kebohongan.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungku yang masih kacau. Dengan hati-hati, aku melepaskan diri dari pelukannya dan turun dari tempat tidur. Langkahku pelan saat menuju kamar mandi, berharap tidak membangunkannya.Di depan cermin, aku menatap bayanganku sendiri. Rambutku be
POV LiviaAdrian menatapku, matanya dipenuhi rasa sakit dan amarah. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang jelas membuncah di dalam dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang menggila, namun tubuhku terasa seperti membeku."Livia, aku ingin kau jujur denganku," katanya, suaranya datar, tetapi setiap kata penuh tekanan.Aku menghindari tatapannya, mataku menatap lantai, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan?Adrian melangkah mendekat, tubuhnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dariku. Dia menatapku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya."Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Jika kau peduli padaku—jika hubungan ini berarti sesuatu bagimu—tolong, katakan yang sebenarnya."Aku membuka mulutku, mencoba bicara, tetapi lidahku terasa ke
POV LiviaKetika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. "Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan
POV LiviaHari berlalu dengan cepat. Ketika jam kerja berakhir, aku berusaha menenangkan diri sebelum berbicara dengannya. Aku ingin memastikan bahwa perbincangan kami akan berjalan lancar dan tidak terjebak dalam ketegangan yang sama.Kami memilih untuk duduk di taman kecil dekat kantor. Udara sore itu terasa segar, dan suasana tenang membuatku lebih nyaman.“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Adrian,” kataku, mencoba membuka pembicaraan.“Tidak masalah. Aku senang bisa berbicara denganmu,” jawabnya, wajahnya menunjukkan ketulusan.“Aku ingin klarifikasi tentang apa yang kita bicarakan sebelumnya. Tentang kita,” lanjutku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.Dia mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan. “Ya, aku ingin kita bisa saling mendukung tanpa merasa tertekan. Tapi aku juga ingin tahu apa yang kau
POV AdrianDalam kegelapan malam, aku duduk sendiri di kamarku, merenungkan perasaanku. Rasa sakit dan kekecewaan mengalir dalam diriku setelah mengetahui bahwa Livia mungkin mendekatiku hanya sebagai bagian dari rencana. “Aku menyesal telah mengetahui semua ini,” bisikku pada diri sendiri.Aku merasa marah dan bingung. Di satu sisi, ada keinginan untuk memperjuangkan hubungan ini, tetapi di sisi lain, hatiku merasa dikhianati. “Baiklah, jika itu yang dia mau, maka aku tak akan mengambil pusing,” pikirku.Namun, benih balas dendam mulai tumbuh dalam pikiranku. “Aku akan memperdayanya dan membuatnya merasa percaya bahwa aku telah benar-benar menerimanya,” ujarku dalam hati, rencana mulai terbentuk.Aku memutuskan untuk bermain peran. Aku akan menunjukkan kepada Livia bahwa aku tidak terpengaruh oleh kekecewaanku. Dengan senyum yang tampak tulus dan perhatian yang dalam, aku beren
POV LiviaSaat aku bangun tidur, tiba-tiba kepala terasa pusing. “Aduh, kenapa dengan aku?” Rasanya tubuhku tidak enak, seolah ada yang tidak beres. Bagaimana ini? Aku harus kerja. Aku memegang kepala ku sambil memijitnya.Tepat saat itu, ibuku mengetuk pintu kamarku sambil teriak, “Livia, apa kamu nggak berangkat kerja? Ini sudah jam berapa!” Suara ibuku membuatku semakin merasa cemas. Terlepas dari rasa tidak enak badan ini, aku tahu tanggung jawabku menunggu di luar sana.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, tetapi kepala ini semakin berputar. “Mungkin aku hanya butuh sedikit waktu,” pikirku, sambil meraih ponsel untuk mengecek pesan yang mungkin masuk dari kantor.Berharap bisa menemukan alasan untuk tidak pergi, aku menelusuri pesan-pesan di aplikasi chat. Namun, semua pesan itu mengingatkanku pada pekerjaan yang harus dikerjakan. Rasa bersalah mulai menyergapku.&n
POV LiviaKetika aku sadar, aku merasa terbaring di sofa di dalam ruangan Adrian. Suara bising dari luar terdengar samar. Aku membuka mata dan melihat Adrian duduk di sampingku, wajahnya tampak cemas.“Livia, kamu sudah sadar?” tanyanya dengan nada lembut, tetapi jelas terlihat bahwa dia khawatir.“Adrian… apa yang terjadi?” tanyaku, berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi.“Kamu pingsan. Aku segera memanggil tim medis,” jawabnya, memperhatikan setiap detail di wajahku. “Kamu tidak terlihat baik sejak pagi. Apa kamu merasa lebih baik sekarang?”Rasa pusing masih ada, tetapi aku mencoba untuk duduk. “Aku… aku tidak tahu. Mungkin aku hanya kelelahan,” jawabku, merasa malu karena situasi ini.“Kelelahan? Kamu hampir tidak bisa berdiri. Kita perlu memeriksamu lebih lanjut.
POV LiviaDadaku berdebar kencang dan keringat dingin mengalir di dahiku. Kenapa dokter bilang aku hamil? Ini sangat tidak masuk akal. Aku hanya pernah melakukannya sekali, dan itu pun bersama Adrian malam itu.Saat dokter itu masih menyiapkan tes kehamilan, pikiranku melayang. Semua kemungkinan berputar di kepalaku, dan rasa panik mulai menyelimuti.“Kurasa kita pulang saja!” ajakku, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan cemas yang semakin mendalam.Adrian menatapku, ragu sejenak. “Livia, kita sudah di sini. Mungkin lebih baik jika kita tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawabnya, suaranya mengandung nada ketegasan.“Tapi aku merasa baik-baik saja. Mungkin ini hanya stres,” bantahku, berusaha meyakinkan diriku sendiri.“Stres bisa memengaruhi tubuhmu, tapi kita tidak bisa mengambil risiko. Jika ada yang sa
POV Livia“Livia! Livia! Bangun!”Suara Adrian menggema lembut di telingaku. Perlahan, aku membuka mata dan melihat wajahnya tersenyum di samping tempat tidur. Keceriaan di wajahnya membuat hatiku berbunga-bunga.“Adrian!” seruku dengan suara serak.“Kau sudah pulang?” Rasanya seperti mimpi ketika melihatnya di depan mataku. Dia baru saja kembali dari perjalanan dinas yang terasa seperti selamanya.“Ya, aku pulang lebih awal. Pekerjaanku sudah selesai lebih cepat dari yang diperkirakan,” jawabnya dengan senyum lebar. Dia duduk di tepi tempat tidur, dan aku bisa merasakan kehangatan kehadirannya.Aku merasa senang dan bersyukur. “Aku tidak sabar untuk melihat apa yang kau bawa! Ada oleh-oleh?” tanyaku, mataku berbinar-binar penuh harapan.Adrian tertawa kecil, lalu
POV LiviaSetelah semuanya siap, aku duduk di meja dan menunggu. Rasanya aneh, menunggu seseorang yang tidak ada di sampingku, tetapi aku tahu bahwa dia akan segera kembali. Dengan setiap detik yang berlalu, aku merasakan harapan baru tumbuh di dalam diriku. Mungkin, dengan sedikit usaha dan kejujuran, aku bisa membawa kembali kebahagiaan yang hilang.Saat aku menunggu, aku kembali memikirkan percakapan kami sebelumnya. Adrian selalu bisa membuatku merasa tenang, dan aku tahu bahwa jika aku bisa membuka diri padanya, segalanya akan terasa lebih baik. Rasa takut dan keraguan yang selama ini menghalangiku harus kuhadapi.Ketika ponselku berdering lagi, aku langsung mengambilnya. Itu adalah pesan dari Adrian.[Aku tidak sabar untuk pulang dan menikmati masakanmu. Semangat ya, sayang!]Senyumku mengembang saat membaca pesannya. Mungkin, dengan sedikit keberanian dan kejujuran, ak
POV LiviaAdrian mengangguk, tetapi aku bisa melihat keraguan di matanya. "Kau terlihat sedikit murung, Livia. Ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya dengan nada khawatir."Aku tidak apa-apa, sungguh," kataku, berusaha meyakinkan. "Hanya sedikit lelah, mungkin." Namun, meskipun kata-kata itu keluar dari mulutku, aku tahu bahwa Adrian bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.Dia menghela napas. "Aku baru saja menyelesaikan satu pekerjaan besar dan sedang istirahat di hotel. Aku pikir bisa menghubungimu sebelum kembali bekerja. Tapi… apa kau yakin tidak ada yang salah? Kau bisa bercerita padaku, kamu tahu itu."Hatiku bergetar mendengar ungkapannya. Adrian selalu menjadi pendengar yang baik, dan dia selalu membangkitkan rasa aman di dalam diriku. Namun, saat ini, aku merasa tidak siap untuk berbagi. Rasa sakit yang masih menggerogoti hatiku terasa terlalu berat untuk diungkapkan. Mungkin jika
POV LiviaSetelah beberapa jam berbincang dan tertawa, aku merasa lebih ringan. Maya memberikan dukungan yang aku butuhkan, dan aku berterima kasih padanya."Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik," kataku, merasa bersyukur memiliki sahabat sepertinya."Selalu, Livia. Aku di sini untukmu," jawabnya tulus.Aku melangkah pulang, bertekad untuk menunjukkan pada Adrian bahwa aku bisa menjadi istri yang lebih baik. Kesedihan dan rasa sakit yang sempat menguasai diriku kini mulai pudar, tergantikan oleh harapan dan semangat untuk memperbaiki hubungan kami.Ketika aku sampai di rumah, aku membuka lemari dan mulai mencari resep-resep masakan yang ingin kucoba. Aku ingin memasak sesuatu yang spesial untuk Adrian, sesuatu yang menunjukkan betapa aku mencintainya. Namun, saat aku mulai mencari, salah satu acara di televisi menarik perhatianku. Acara itu adalah program khusus u
POV LiviaAku beranjak dari sofa dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Suasana di luar tampak cerah, tetapi hatiku gelap. Aku mengingat kembali saat-saat ketika kami berdua merencanakan masa depan. Semua impian yang kami bangun bersama kini terasa seperti ilusi.“Bagaimana bisa semuanya berubah secepat ini?” pikirku, merasakan kesedihan yang mendalam.Saat itu, aku berusaha mengingat kembali semua momen indah yang kami lewati. Tawa, pelukan, dan janji-janji yang pernah kami buat. Namun, semua itu terasa samar sekarang, tertutupi oleh bayang-bayang kekecewaan dan rasa sakit.“Apakah semua itu hanya sebuah kebohongan?” tanyaku pada diriku sendiri.Air mata kembali mengalir saat aku teringat bagaimana Adrian selalu berjanji untuk mencintainya tanpa syarat. Tetapi kini, seolah-olah janji itu sudah terlupakan. Aku merasa seolah-olah Adrian lebih memilih
POV LiviaSetelah Adrian pergi, rumah kami terasa sepi dan hampa. Meskipun baru beberapa hari, rasa kesepian ini sudah menyelinap ke dalam hati.Pagi menjelang, dan aku baru saja terbangun dari tidur yang tidak nyenyak. Suara detakan jam dinding mengingatkanku bahwa hari baru telah dimulai, tetapi semangatku masih tertinggal di malam sebelumnya.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, mencuci muka untuk menghilangkan rasa kantuk. Saat aku melihat bayanganku di cermin, aku menyadari betapa lelah dan cemasnya aku. Rasa khawatir akan Adrian dan ketidakpastian yang menyelimuti pikiranku membuatku merasa tidak tenang.Tiba-tiba, suara ketukan keras terdengar dari pintu rumah. Awalnya, aku mengira itu hanya imajinasiku, tetapi ketukan itu semakin menjadi. Dengan cepat, aku bergegas menuju pintu, berharap bisa mengusir rasa sepi yang melanda.Saat aku membuka pintu, aku terk
POV Adrian"Ini luar biasa," ujar Livia sambil menikmati pemandangan di depan kami. "Aku suka saat-saat seperti ini."Aku tersenyum, merasa bahagia melihatnya menikmati momen itu."Aku juga. Ini adalah bagian dari kehidupan yang ingin aku jalani bersamamu."Kami duduk berhadapan, menikmati sarapan dengan penuh kehangatan. Setiap suapan terasa lebih nikmat karena kami berbagi momen ini bersama. Aku memperhatikan Livia, rambutnya yang basah mengkilap terkena sinar matahari, dan senyumnya yang cerah membuatku merasa seolah kami adalah satu-satunya orang di dunia ini."Adrian," Livia memanggilku, membuatku menatapnya. "Aku ingin kita membuat lebih banyak kenangan seperti ini.""Aku setuju," kataku, meraih tangannya. "Setiap hari adalah kesempatan baru untuk kita berdua."Setelah sarapan, kami membersihkan meja dan menikmati sisa waktu pagi deng
POV AdrianAku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui pikiranku. Aku ingat saat aku membuat keputusan yang salah, saat aku membiarkan egoku menguasai diriku. Sekarang, setiap kali melihat Livia, aku selalu teringat akan kesalahanku dan betapa beruntungnya aku masih bisa memiliki dia di sisiku.“Tidak akan aku sia-siakan kesempatan kedua ini,” pikirku, tekad menguat dalam hati. Aku berjanji untuk menjadi lebih baik, untuk tidak hanya mencintainya tetapi juga menghargai setiap momen yang kami miliki bersama. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.Malam itu, saat Livia terlelap, aku menyaksikan suasana rumah kami. Setiap sudutnya mengingatkanku akan perjalanan yang telah kami lalui. Dari ruang tamu yang baru saja kami tata hingga dapur tempat kami memasak bersama, semuanya dipenuhi dengan kenangan indah. Aku merasa betapa hidupnya rumah ini menjadi berkat kehad
POV AdrianSetelah mencuci tangan, aku membantu Livia menyelesaikan masakan. Kami berbicara tentang hari-hari kami, tentang semua hal kecil yang kami kerjakan selama aku pergi. Rasanya seperti kami sudah lama tidak bertemu, padahal baru beberapa jam yang lalu.Saat makan malam, kami berbagi tawa dan cerita. Setiap suapan terasa lebih nikmat karena kami melakukannya bersama. Rumah yang kami bangun terasa semakin hidup dengan kehadiran kami.“Terima kasih telah membuatkan makan malam yang luar biasa,” kataku setelah menyelesaikan makan. “Aku merasa sangat beruntung bisa berbagi ini denganmu.”Livia tersenyum, matanya berbinar. “Aku juga merasa beruntung. Meskipun kamu harus pergi ke kantor, aku tahu kita masih bisa saling mendukung.”Setelah makan, kami berdua membersihkan meja dan mencuci piring. Aku melihat ke sekeliling dan merasakan betapa bera