Share

3

Penulis: Akina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-29 13:43:58

POV Livia

Aku berusaha menenangkan diri ketika tatapan tajam Adrian terus menancap di wajahku, seolah mencoba mencari retakan dalam setiap penjelasanku. Aku tahu, setiap kata yang kuucapkan harus disusun dengan hati-hati. Satu kesalahan saja, dan dia akan pergi—mungkin untuk selamanya.  

“Adrian, tolong dengarkan aku,” kataku, suaraku terdengar lebih tegas daripada yang kurasakan di dalam hati. Aku menggenggam tanganku erat di bawah meja, mencoba mengalihkan gemetar yang tidak mau berhenti. “Apa yang kau dengar tadi… itu bukan tentangmu.”  

Alisnya berkerut, keraguan jelas tergambar di wajahnya. Dia tidak memotongku, tetapi matanya masih penuh dengan kecurigaan. Aku melanjutkan, berusaha terdengar sejujur mungkin.  

“Aku tahu kedengarannya buruk, tapi aku tidak sedang berbicara tentangmu. Aku berbicara tentang sepupuku, Adrian. Namanya sama denganmu, dan dia… dia sedang melalui masa yang sulit.”  

Aku berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Tidak ada jalan lain kecuali terus maju.  

“Dia sudah lama berjuang dengan gangguan psikis, dan beberapa bulan terakhir menjadi semakin buruk. Aku diminta keluargaku untuk lebih dekat dengannya, untuk mencoba menghibur dan mendukungnya. Itu sebabnya aku mengatakan semua itu di telepon tadi. Aku berbicara tentang bagaimana dia mulai membuka diri, tentang bagaimana aku berusaha membuatnya merasa lebih baik.”  

Adrian menatapku dalam-dalam, matanya mencari kepastian. Aku bisa merasakan jantungku berdetak kencang di dada, menunggu apakah dia akan mempercayai cerita yang kubuat ini.  

“Beberapa hari terakhir, aku berhasil membujuknya untuk keluar rumah. Dia mulai berubah, menjadi lebih lembut. Bahkan, dia setuju untuk jalan-jalan denganku dan membelikan apa pun untukku—itu adalah langkah besar baginya.” Aku berhenti, membiarkan kalimat terakhir menggantung di udara, memberi bobot pada apa yang kukatakan.  

Adrian tidak langsung menjawab. Aku bisa melihat pikirannya bekerja, mencerna setiap kata yang baru saja kukatakan. Aku menatapnya dengan sorot mata yang kuusahakan terlihat tulus, penuh harapan bahwa dia akan menerima penjelasanku.  

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya menghela napas panjang dan menutup matanya sejenak. Ketika dia membukanya kembali, tatapannya melunak, meskipun masih ada sisa keraguan.  

“Maaf, Livia. Aku terlalu cepat menyimpulkan. Aku seharusnya memberimu kesempatan untuk menjelaskan.”  

Aku tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa lega yang menjalar di dadaku. 

“Tidak apa-apa. Aku mengerti mengapa kau berpikir seperti itu. Tapi, aku harap kau percaya padaku.”  

Dia mengangguk pelan, lalu menarik napas panjang. 

“Ayo kita selesaikan makan malam ini,” katanya dengan senyum kecil yang kembali muncul di wajahnya.  

Kami kembali ke meja makan. Adrian tampak lebih santai sekarang. Dia menuangkan segelas anggur merah untuk kami berdua, meskipun aku bisa melihat dia sedikit berusaha untuk menutupi rasa canggungnya. Aku mengikuti suasana itu, berbicara tentang hal-hal ringan—pekerjaan, rencana akhir pekan, bahkan cerita lucu dari rekan kerja kami.  

Seiring malam berlalu, Adrian mulai membuka diri kembali. Dia tertawa ketika aku menceritakan anekdot konyol tentang kucingku yang jatuh dari meja dapur pagi ini, dan untuk pertama kalinya malam itu, aku merasa hubungan kami kembali normal.  

Tapi dia juga minum lebih banyak dari biasanya. Gelas anggurnya terus diisi ulang, dan aku bisa melihat pipinya mulai memerah. Saat hidangan penutup datang, langkah bicaranya melambat, dan matanya mulai terlihat sedikit berat.  

“Aku senang kita bisa melalui ini. Aku sungguh... sangat menghargai keberadaanmu dalam hidupku.”  

Aku tidak bisa membalas kata-katanya dengan jujur, tetapi aku tersenyum, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. 

“Aku juga merasa beruntung,” jawabku sambil meraih tangannya di atas meja.  

Ketika malam semakin larut, aku menyadari bahwa Adrian terlalu mabuk untuk pulang sendiri. Aku membantu menopangnya ketika dia bangkit dari kursinya, tangannya melingkar di pundakku untuk menjaga keseimbangan.  

“Kau benar-benar tidak bisa minum terlalu banyak,” godaku dengan suara ringan, mencoba menghilangkan kecanggungan.  

Dia tertawa kecil, tapi tidak berkata apa-apa. Langkah kami pelan saat meninggalkan restoran, dan aku harus membantunya masuk ke mobil. Saat kami tiba di apartemennya, aku kembali membantunya keluar, merasakan berat tubuhnya yang bersandar padaku dengan setiap langkah.  

Aku menuntunnya ke kamar tidur. Adrian duduk di tepi ranjang, wajahnya terlihat lelah tetapi puas. Aku melepaskan sepatu dan jasnya, memastikan dia nyaman sebelum membaringkannya di tempat tidur.  

Aku menyelimutinya dengan hati-hati, memastikan dia merasa nyaman. Wajahnya terlihat tenang, meskipun masih ada rona kemerahan akibat alkohol yang diminumnya. Aku berbalik untuk pergi, namun tiba-tiba tangannya terulur, menggenggam pergelangan tanganku dengan lembut tetapi cukup kuat untuk menghentikanku.  

"Livia," gumamnya pelan, suara beratnya terdengar serak, seperti memanggil namaku dari tempat yang jauh.  

Aku menoleh, berniat membebaskan tanganku dengan halus, tetapi mata kami bertemu. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatku terpaku. Mata itu tidak lagi dipenuhi keraguan atau rasa sakit seperti sebelumnya, melainkan ketulusan yang dalam, penuh keinginan yang sulit diabaikan. Sebelum aku sempat memproses apa yang terjadi, dia menarikku dengan lembut, membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh di atasnya.  

“Adrian, kau terlalu mabuk,” kataku lemah, tanpa upaya yang sungguh-sungguh untuk melepaskan diri.  

Namun, dia tidak menjawab, hanya memandangku dengan intensitas yang memabukkan. Tangannya bergerak perlahan ke wajahku, menyentuh pipiku dengan jemari hangatnya. Aku bisa merasakan detak jantungku meningkat, denyut yang terasa di seluruh tubuhku.  

Dia menarik wajahku mendekat, dan sebelum aku sempat memprotes, bibirnya sudah menyentuh bibirku. Ciumannya lembut pada awalnya, penuh keraguan, tetapi seiring waktu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam dan lebih menuntut. Aku tidak menolak. Sebaliknya, aku membiarkan diriku larut dalam kehangatan itu, dalam perasaan yang selama ini kutepis.  

Tanganku secara refleks melingkar di lehernya, dan aku membalas ciumannya dengan gairah yang mengejutkanku sendiri. Sentuhannya terasa nyata, penuh rasa, dan aku mulai kehilangan akal sehatku. Adrian menarikku lebih dekat, tubuh kami bersatu dalam keintiman yang belum pernah kurasakan sebelumnya.  

Aku tahu aku seharusnya berhenti. Aku tahu aku seharusnya menjaga jarak, mengingat kebohongan besar yang ada di antara kami. Tapi pada saat itu, semua logika dan rasa bersalah tenggelam dalam panasnya malam. Dia menciumku dengan lebih dalam, tangannya menjelajahi punggungku, menarikku ke arahnya seolah aku adalah satu-satunya hal yang dia butuhkan.  

Waktu seolah berhenti. Hanya ada kami berdua, saling mencari kehangatan dan kenyamanan di tengah kekacauan perasaan yang tak terucapkan. Setiap sentuhan, setiap desahan, terasa seperti pengakuan yang tidak pernah kami ungkapkan dengan kata-kata. Aku tidak tahu apakah ini adalah bentuk pelarian, ataukah sesuatu yang lebih dari itu. Yang kutahu, malam itu aku tidak ingin melepaskannya.  

Kami bercinta dengan intensitas yang hampir primal, tetapi tetap ada kelembutan dalam setiap gerakannya. Adrian memperlakukanku seolah aku adalah sesuatu yang rapuh, sesuatu yang harus dijaga dengan hati-hati. Di antara panasnya malam, ada momen-momen kecil di mana dia memandangku dengan sorot mata yang seolah ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi dia tidak mengatakannya.  

Setelahnya, aku terbaring di sisinya, napasku masih belum sepenuhnya teratur. Kamar itu terasa sunyi, hanya terdengar suara napas kami yang saling bersahutan. Aku memandang langit-langit, pikiranku berputar-putar mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.  

Adrian menarikku lebih dekat, lengannya melingkar di pinggangku dengan posesif yang hangat. 

“Jangan pergi,” bisiknya, hampir tidak terdengar, sebelum akhirnya dia terlelap.  

Aku tidak menjawab. Aku hanya terdiam di sampingnya, membiarkan tubuhku menikmati kehangatan pelukannya, tetapi di dalam pikiranku ada pertanyaan-pertanyaan yang terus mengganggu. Apa yang baru saja kulakukan? Apakah ini benar-benar hanya bagian dari rencana, ataukah aku telah melewati batas yang seharusnya tidak kulanggar?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Mantanku Kembali   4

    POV LiviaAku terbangun dengan rasa berat di dadaku. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar Adrian yang luas. Tubuhku masih terasa hangat, tetapi ada dingin yang menjalar di hatiku. Aku menoleh perlahan, melihat Adrian masih tertidur di sisiku, wajahnya terlihat damai, seolah semua masalah menguap begitu saja dari hidupnya.Namun, tidak begitu untukku.Malam itu terus terulang dalam pikiranku, seperti sebuah film yang diputar tanpa henti. Setiap sentuhan, setiap desahan, setiap kata yang tak terucap—semuanya terasa begitu nyata. Tetapi kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Ada jurang besar di antara kami, jurang yang kuciptakan sendiri dengan kebohongan.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungku yang masih kacau. Dengan hati-hati, aku melepaskan diri dari pelukannya dan turun dari tempat tidur. Langkahku pelan saat menuju kamar mandi, berharap tidak membangunkannya.Di depan cermin, aku menatap bayanganku sendiri. Rambutku be

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-29
  • Mantanku Kembali   5

    POV LiviaAdrian menatapku, matanya dipenuhi rasa sakit dan amarah. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang jelas membuncah di dalam dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang menggila, namun tubuhku terasa seperti membeku."Livia, aku ingin kau jujur denganku," katanya, suaranya datar, tetapi setiap kata penuh tekanan.Aku menghindari tatapannya, mataku menatap lantai, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan?Adrian melangkah mendekat, tubuhnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dariku. Dia menatapku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya."Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Jika kau peduli padaku—jika hubungan ini berarti sesuatu bagimu—tolong, katakan yang sebenarnya."Aku membuka mulutku, mencoba bicara, tetapi lidahku terasa ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-29
  • Mantanku Kembali   6

    POV LiviaKetika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. "Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Mantanku Kembali   7

    POV LiviaHari berlalu dengan cepat. Ketika jam kerja berakhir, aku berusaha menenangkan diri sebelum berbicara dengannya. Aku ingin memastikan bahwa perbincangan kami akan berjalan lancar dan tidak terjebak dalam ketegangan yang sama.Kami memilih untuk duduk di taman kecil dekat kantor. Udara sore itu terasa segar, dan suasana tenang membuatku lebih nyaman.“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Adrian,” kataku, mencoba membuka pembicaraan.“Tidak masalah. Aku senang bisa berbicara denganmu,” jawabnya, wajahnya menunjukkan ketulusan.“Aku ingin klarifikasi tentang apa yang kita bicarakan sebelumnya. Tentang kita,” lanjutku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.Dia mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan. “Ya, aku ingin kita bisa saling mendukung tanpa merasa tertekan. Tapi aku juga ingin tahu apa yang kau

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Mantanku Kembali   8

    POV AdrianDalam kegelapan malam, aku duduk sendiri di kamarku, merenungkan perasaanku. Rasa sakit dan kekecewaan mengalir dalam diriku setelah mengetahui bahwa Livia mungkin mendekatiku hanya sebagai bagian dari rencana. “Aku menyesal telah mengetahui semua ini,” bisikku pada diri sendiri.Aku merasa marah dan bingung. Di satu sisi, ada keinginan untuk memperjuangkan hubungan ini, tetapi di sisi lain, hatiku merasa dikhianati. “Baiklah, jika itu yang dia mau, maka aku tak akan mengambil pusing,” pikirku.Namun, benih balas dendam mulai tumbuh dalam pikiranku. “Aku akan memperdayanya dan membuatnya merasa percaya bahwa aku telah benar-benar menerimanya,” ujarku dalam hati, rencana mulai terbentuk.Aku memutuskan untuk bermain peran. Aku akan menunjukkan kepada Livia bahwa aku tidak terpengaruh oleh kekecewaanku. Dengan senyum yang tampak tulus dan perhatian yang dalam, aku beren

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Mantanku Kembali   9

    POV LiviaSaat aku bangun tidur, tiba-tiba kepala terasa pusing. “Aduh, kenapa dengan aku?” Rasanya tubuhku tidak enak, seolah ada yang tidak beres. Bagaimana ini? Aku harus kerja. Aku memegang kepala ku sambil memijitnya.Tepat saat itu, ibuku mengetuk pintu kamarku sambil teriak, “Livia, apa kamu nggak berangkat kerja? Ini sudah jam berapa!” Suara ibuku membuatku semakin merasa cemas. Terlepas dari rasa tidak enak badan ini, aku tahu tanggung jawabku menunggu di luar sana.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, tetapi kepala ini semakin berputar. “Mungkin aku hanya butuh sedikit waktu,” pikirku, sambil meraih ponsel untuk mengecek pesan yang mungkin masuk dari kantor.Berharap bisa menemukan alasan untuk tidak pergi, aku menelusuri pesan-pesan di aplikasi chat. Namun, semua pesan itu mengingatkanku pada pekerjaan yang harus dikerjakan. Rasa bersalah mulai menyergapku.&n

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Mantanku Kembali   10

    POV LiviaKetika aku sadar, aku merasa terbaring di sofa di dalam ruangan Adrian. Suara bising dari luar terdengar samar. Aku membuka mata dan melihat Adrian duduk di sampingku, wajahnya tampak cemas.“Livia, kamu sudah sadar?” tanyanya dengan nada lembut, tetapi jelas terlihat bahwa dia khawatir.“Adrian… apa yang terjadi?” tanyaku, berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi.“Kamu pingsan. Aku segera memanggil tim medis,” jawabnya, memperhatikan setiap detail di wajahku. “Kamu tidak terlihat baik sejak pagi. Apa kamu merasa lebih baik sekarang?”Rasa pusing masih ada, tetapi aku mencoba untuk duduk. “Aku… aku tidak tahu. Mungkin aku hanya kelelahan,” jawabku, merasa malu karena situasi ini.“Kelelahan? Kamu hampir tidak bisa berdiri. Kita perlu memeriksamu lebih lanjut.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21
  • Mantanku Kembali   11

    POV LiviaDadaku berdebar kencang dan keringat dingin mengalir di dahiku. Kenapa dokter bilang aku hamil? Ini sangat tidak masuk akal. Aku hanya pernah melakukannya sekali, dan itu pun bersama Adrian malam itu.Saat dokter itu masih menyiapkan tes kehamilan, pikiranku melayang. Semua kemungkinan berputar di kepalaku, dan rasa panik mulai menyelimuti.“Kurasa kita pulang saja!” ajakku, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan cemas yang semakin mendalam.Adrian menatapku, ragu sejenak. “Livia, kita sudah di sini. Mungkin lebih baik jika kita tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawabnya, suaranya mengandung nada ketegasan.“Tapi aku merasa baik-baik saja. Mungkin ini hanya stres,” bantahku, berusaha meyakinkan diriku sendiri.“Stres bisa memengaruhi tubuhmu, tapi kita tidak bisa mengambil risiko. Jika ada yang sa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22

Bab terbaru

  • Mantanku Kembali   67

    POV LiviaMaya merangkulku sebelum pergi. "Ingat, Livia. Kau tidak sendirian. Aku di sini jika kau butuh sesuatu," ujarnya, menatapku dengan penuh perhatian.Setelah Maya pergi, rumah terasa sepi. Suara televisi yang sebelumnya ramai kini hanya menjadi latar belakang yang membosankan. Aku kembali duduk di sofa, berusaha untuk tidak berpikir tentang rasa sakit di lututku dan kesepian yang tiba-tiba menyelimuti.Malam semakin larut, dan aku merasa sendirian. Aku meraih ponselku, berharap ada pesan dari Adrian yang bisa menghiburku. Namun, tidak ada yang masuk. Rasa hampa mulai menyelimuti hatiku. Mengapa rasanya sulit sekali untuk menghadapi keadaan ini?Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton film, tetapi tidak ada yang bisa menarik perhatianku. Setiap kali aku melihat jam, harapanku untuk melihat Adrian pulang semakin pudar. Akhirnya, aku memutuskan untuk berbaring di tempat tidur, mencoba meredaka

  • Mantanku Kembali   66

    POV LiviaSetelah beberapa saat, Adrian tiba di rumah. Wajahnya tampak cemas saat melihatku duduk di sofa dengan kaki terangkat.Setelah beberapa saat, Adrian tiba di rumah. Wajahnya tampak cemas saat melihatku duduk di sofa dengan kaki terangkat. "Livia! Maafkan aku karena aku gak bisa mengantarkan mu ke rumah sakit.”"Aku baik-baik saja, Adrian. Kaki ku hanya butuh dikompres saja, dan tidak ada yang perlu dicemaskan," kataku, berusaha menenangkan suasana. Meskipun ada rasa sakit, aku tidak ingin membuatnya merasa bersalah atau khawatir lebih dari yang diperlukan.Adrian masih tampak gelisah, tetapi aku bisa melihat bahwa dia berusaha untuk tenang. "Tapi aku tidak ingin kau mengalami ini sendirian. Aku seharusnya ada di sini untukmu," ujarnya, berusaha mencari alasan untuk mengurangi rasa bersalahnya."Ini bukan kesalahanmu, Adrian. Kau sedang sibuk dengan peke

  • Mantanku Kembali   65

    POV LiviaSetelah beberapa lama, aku mulai merasa lelah. Rasa sakit di lututku membuatku ingin segera beristirahat."Adrian, aku mulai merasa mengantuk. Apa kita bisa istirahat sebentar?" tanyaku, menguap kecil."Ya, tentu saja. Mari kita istirahat," jawabnya sambil mematikan film. Dia membantuku bangkit, dan kami menuju ke kamar.Ketika kami sampai di kamar, aku duduk di tepi tempat tidur dan mencoba mengangkat kaki yang sakit. Adrian melihatku dengan penuh perhatian. "Kau ingin aku membantu merawat lututmu?" tanyanya, nada suaranya lembut."Kalau bisa, aku akan sangat menghargainya," kataku, merasa sedikit canggung.Rasa sakitnya cukup mengganggu, tetapi aku tidak ingin merasa merepotkan.Dia mengambil kotak P3K dan mulai merawat lukaku. Sentuhan lembutnya membuatku merasa nyaman. "Ini mungkin akan sedikit terasa, tetapi aku akan be

  • Mantanku Kembali   64

    POV Livia Saat aku berjalan pincang menuju Toko Buku, pikiranku masih dipenuhi dengan perdebatan yang baru saja terjadi. Aku sangat ingin mendukung Adrian, tetapi aku juga khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Tekanan dari ibunya dan Marlina sangat besar, dan aku tidak ingin dia merasa terjebak.Ketika aku tiba di Toko Buku, Rina, atasanku, segera melihatku. "Livia! Apa yang terjadi? Kenapa kau pincang?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran."Aku jatuh di kantor Adrian. Lututku sedikit terluka," jawabku, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang sebenarnya.Rina mengernyitkan dahi, mendekatiku. "Kau tidak terlihat baik. Mari, aku akan membantumu. Kita bisa mencari obat untuk mengurangi rasa sakitmu."Aku mengangguk, merasa bersyukur dengan perhatian Rina. Saat kami menuju ruang belakang untuk mencari obat, hatiku masih bergejolak dengan perasaan campur aduk. Semua yang terjadi di kantor Adrian masih terbayang jelas di pikiranku."Apakah semuanya baik-baik saja di ka

  • Mantanku Kembali   63

    POV LiviaRasa cemas mulai menggelayuti pikiranku."Apa yang mereka lakukan di sini?" gumamku dalam hati. Aku merasa terjebak antara ingin tahu dan takut akan apa yang akan kutemui.Tanpa berpikir panjang, aku mengikuti mereka dari jauh, berusaha mendengarkan percakapan mereka saat memasuki kantor Adrian. Suara mereka samar, tetapi aku bisa merasakan ketegangan di udara. Ada sesuatu yang besar sedang direncanakan di balik pertemuan ini.Kutatap pintu kaca yang memisahkan aku dari ruang kerja Adrian. Di dalam, aku melihat Adrian duduk di mejanya, tampak lelah dan tertekan. Ibu dan Marlina berdiri di depannya, berbicara dengan nada yang mendesak. Hatiku bergetar melihatnya berada dalam situasi seperti itu.Aku memaksa diriku untuk mendekat, berusaha menangkap setiap kata yang mereka ucapkan."Adrian, kau harus mempertimbangkan ini dengan serius. Ini adalah

  • Mantanku Kembali   62

    POV AdrianIbuku adalah sosok yang kuat, dan tekadnya untuk menyelamatkan perusahaan tidak akan surut hanya karena penolakanku. Namun, aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Livia. Dia adalah bagian terpenting dari hidupku, dan aku bersumpah untuk melindungi hubungan kami."Adrian, bagaimana jika kita mencari solusi lain untuk perusahaan?" Livia tiba-tiba bertanya, membangkitkan semangat dalam diriku. "Mungkin kita bisa melakukan presentasi kepada investor baru, menunjukkan visi kita yang sebenarnya.""Itu ide yang bagus," jawabku. "Kita bisa merancang proposal yang menunjukkan potensi pasar dan keunggulan produk kita. Mungkin kita juga bisa mendekati investor yang lebih fleksibel dan memahami nilai-nilai kita."Livia tersenyum, matanya berbinar penuh semangat. "Aku bisa membantumu membuat presentasi itu. Kita bisa bekerja sama untuk merumuskan strategi yang tepat."Kami mulai berdiskus

  • Mantanku Kembali   61

    POV Adrian"Ada apa, Adrian? Kenapa wajahmu terlihat tegang?" tanyanya, mendekat."Aku baru saja berbicara dengan ibuku dan Marlina," kataku, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Mereka ingin aku menikah dengan Marlina minggu depan."Mata Livia membelalak. "Apa? Kenapa mereka melakukan itu?" dia tampak bingung dan marah."Mereka bilang itu untuk kerja sama perusahaan. Tapi aku menolak. Aku tidak bisa melakukannya, Livia. Aku mencintaimu, dan aku tidak akan mengorbankan hubungan kita," jelasku, berusaha menenangkan dirinya.Livia terlihat terharu, tetapi juga sedikit kecewa. "Adrian, aku tidak ingin kau berada di posisi sulit seperti ini. Aku tidak ingin kau merasa tertekan karena aku.""Tidak, Livia. Ini semua tentang kita. Aku berkomitmen padamu, dan tidak ada yang bisa mengubah itu," kataku dengan tegas.Dia tersenyum, tetapi aku bisa meliha

  • Mantanku Kembali   60

    POV Adrian “Bagus sekali. Selain itu, penting untuk memantau ovulasi. Menggunakan aplikasi atau kalender untuk mencatat siklus menstruasi dapat membantu kalian mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mencoba hamil.” “Itu ide yang bagus. Kami akan mengatur itu,” jawab Livia “Setelah semua ini, kita akan menjadwalkan pertemuan rutin untuk memantau kesehatan Livia dan perkembangan program hamil. Ingat, komunikasi yang baik di antara kalian berdua sangat penting.” “Kami berkomitmen untuk saling mendukung. Terima kasih, Dokter, atas semua informasinya,” kata ku. “Sama-sama. Saya senang bisa membantu kalian. Ingatlah, perjalanan ini memerlukan waktu, jadi bersabarlah dan nikmati setiap langkahnya.”Aku merasakan beban di pundakku sedikit menghilang. Aku tahu b

  • Mantanku Kembali   59

    POV LiviaAdrian ikut tertawa. “Itu lucu! Mungkin dia juga butuh sedikit hiburan selain pengembangan diri,” katanya, menatapku dengan senyum hangat.“Sepertinya kau sudah menemukan tempat yang tepat,” kata Adrian, menatapku dengan penuh perhatian.“Aku merasa begitu! Ini adalah langkah yang tepat untukku,” kataku, merasakan keyakinan mengalir dalam diriku. “Setiap buku di toko itu bercerita, dan aku ingin menjadi bagian dari cerita-cerita itu. Aku ingin membantu orang menemukan buku yang tepat untuk mereka.”Adrian mengangguk, tampak mengerti betapa pentingnya hal ini bagiku. “Itu luar biasa, Livia. Kau memang selalu punya passion untuk buku dan literatur. Ini adalah kesempatan yang sempurna untuk mengejar impianmu.”Saat kami sampai di rumah, aku merasakan kehangatan yang menyelimuti. Hari pertama di toko buku telah membe

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status