POV Livia
“Kau percaya kita bisa seperti ini selamanya?”
Suara Adrian yang lembut menghentikan langkahku. Kami sedang duduk di teras rumahnya, menikmati angin malam. Langit cerah bertabur bintang, tetapi keheningan di antara kami jauh lebih kuat daripada gemerlap di atas sana.
Aku menoleh, mencoba mencari sesuatu di balik tatapan matanya yang penuh harap.
“Selamanya?” tanyaku, berpura-pura tidak paham.
Dia tersenyum kecil, ekspresi yang selalu membuatnya tampak lebih muda dari usianya.
“Ya. Aku tidak tahu kapan tepatnya ini semua berubah, tapi aku merasa nyaman denganmu. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa kehadiranmu sekarang.”
Aku tertawa kecil, meskipun jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya.
“Adrian, kamu terlalu serius malam ini.”
Dia menatapku lebih lama, membuatku ingin lari dari keheningan itu.
“Kadang, aku ingin memastikan kamu tahu seberapa besar artinya dirimu untukku.”
Aku memalingkan pandangan, menatap lampu-lampu kota dari kejauhan. Sejak kapan ini menjadi lebih sulit dari yang seharusnya? Rencana yang kurancang dengan hati-hati kini terasa seperti tali yang perlahan menjerat leherku.
Aku mulai melihat sisi lain Adrian dalam beberapa bulan terakhir. Di balik sosoknya sebagai CEO yang berwibawa, ada seorang pria yang pernah jatuh dan bangkit berkali-kali. Di suatu malam yang panjang, dia bercerita tentang masa kecilnya yang sulit, bagaimana dia tumbuh tanpa sosok ayah, bagaimana ibunya bekerja siang malam untuk menyekolahkannya, dan bagaimana dia berjuang membangun perusahaannya dari nol.
“Aku tidak pernah membayangkan akan berada di titik ini,” katanya suatu malam, dengan secangkir kopi di tangannya. “Dulu, aku hanya ingin membuat hidup ibuku lebih baik. Tapi sekarang… aku punya semua ini, dan aku masih merasa ada yang kurang.”
“Apa itu?” tanyaku, meskipun aku tahu jawabannya akan membawaku ke tempat yang tidak nyaman.
Dia menatapku, lama, seolah mencari jawaban di mataku.
“Seseorang yang bisa berbagi semua ini denganku. Dan aku pikir, mungkin itu kamu.”
Kata-katanya seperti pedang yang menusuk. Aku tersenyum, berpura-pura tidak terlalu memikirkannya. Tetapi semakin aku mengenal ketulusannya, semakin sulit bagiku untuk menjaga jarak.
***
Tekanan dari keluargaku semakin besar. Ibuku, yang selalu berusaha tampak tenang di luar, mulai kehilangan kesabarannya.
“Ini sudah terlalu lama. Apa lagi yang kamu tunggu?” katanya suatu pagi di telepon.
“Aku butuh waktu, Bu. Aku tidak bisa terburu-buru,” jawabku sambil menahan napas.
“Waktu?” Suaranya meninggi. “Dia sudah memberimu segalanya. Seperti rencana kita. Rumah, perhiasan, barang-barang mewah. Kamu pikir semua pria seperti itu? Kalau kamu tidak bisa mempercepat ini, jangan harap kami bisa terus mendukungmu.”
Aku menahan diri untuk tidak menangis. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya berada di posisiku, terjebak di antara kewajiban keluarga dan perasaan yang mulai tumbuh tanpa kusadari.
“Kami butuh kepastian. Adrian itu peluang terbesar yang kita punya. Jangan sia-siakan semuanya hanya karena kamu tidak bisa membuat keputusan.”
Aku tidak menjawab. Di satu sisi, aku ingin berteriak bahwa aku juga butuh waktu untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Di sisi lain, aku tahu aku tidak punya pilihan.
Malam itu, aku berusaha melupakan percakapan dengan ibuku. Adrian mengajakku makan malam di rumahnya, sesuatu yang mulai menjadi kebiasaan. Aku membawa segelas anggur ke balkon, mencari ketenangan di bawah langit malam.
Teleponku berdering. Nama ibuku muncul di layar. Aku menghela napas dan menjawabnya, tahu bahwa aku tidak bisa terus menghindar.
“Ada apa lagi, Bu?” tanyaku dengan nada lelah.
“Aku hanya ingin memastikan kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Jangan sampai semuanya sia-sia.”
Aku menutup mata, mencoba menenangkan diriku.
“Aku tahu, Bu. Aku tahu apa yang harus kulakukan.”
“Kamu harus memastikan dia tidak berubah pikiran, Livia. Kamu tahu Adrian itu sangat loyal, tapi dia juga pintar. Jangan sampai dia menyadari bahwa semua ini hanya rencana.”
Aku terdiam. Kata-kata ibuku terdengar begitu dingin, begitu menghancurkan. Aku tahu Adrian tidak pantas diperlakukan seperti ini, tetapi aku tidak bisa mengatakan apa-apa.
“Livia, dengar aku. Kita tidak punya banyak waktu. Pastikan dia tetap percaya bahwa hubungan kalian nyata. Dia sudah memberikan segalanya untukmu. Jangan sampai semua itu lepas begitu saja.”
Aku hendak menjawab ketika suara di belakangku membuat darahku membeku.
“Livia?”
Aku berbalik, dan di sana Adrian berdiri. Tubuhnya tegap, tetapi ada sesuatu yang rapuh dalam caranya memandangku. Matanya penuh dengan rasa tak percaya, seperti mencoba memahami bagaimana semua ini bisa terjadi.
Namun, yang paling menusukku adalah luka yang perlahan tampak di balik topeng ketenangannya—sebuah rasa sakit yang begitu dalam, yang bahkan dia coba sembunyikan dengan sia-sia.
"Adrian..." Aku mencoba mengatakan sesuatu, tetapi suaraku terdengar hampa, seolah terhenti oleh tatapannya yang tajam.
Dia tidak langsung bicara. Dia hanya berdiri di sana, memandangku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Di bawah sorotan lampu balkon yang redup, wajahnya tampak lebih gelap, bayang-bayang kesedihan menyelimuti garis rahangnya yang tegas.
“Aku tidak ingin percaya,” katanya akhirnya, suaranya datar, tapi setiap kata terasa seperti pukulan keras. “Aku tidak ingin percaya bahwa kau bisa melakukan ini, Livia. Tapi sekarang… aku mendengar semuanya.”
Aku menelan ludah, mencoba mencari kata-kata, tetapi lidahku terasa kelu.
"Adrian, biarkan aku menjelaskan," kataku, nyaris berbisik.
Dia mengangkat tangannya, menghentikanku.
"Jelaskan apa? Bahwa semua ini adalah rencana? Bahwa setiap senyum, setiap kata, setiap momen kita hanyalah kebohongan?"
Aku menggeleng cepat, mataku mulai memanas.
"Tidak semuanya seperti itu. Tidak semuanya..."
Dia terkekeh pelan, getir, hampir tanpa emosi. "Benarkah? Lalu mana yang nyata, Livia? Katakan padaku, mana yang nyata?"
“Adrian… aku…” Suaraku hilang begitu saja.
Dia mengangkat tangan, menghentikanku sebelum aku bisa berkata lebih jauh.
“Jadi, ini semua hanya rencana?”
Aku mencoba menjelaskan, tetapi kata-kataku terdengar hampa bahkan di telingaku sendiri.
“Adrian, dengarkan aku. Aku tidak—”
“Tolong,” potongnya, suaranya lebih dingin dari yang pernah kudengar sebelumnya. “Jangan membuatku terlihat lebih bodoh daripada yang sudah kulakukan.”
Aku menatapnya, berharap dia bisa melihat bahwa meskipun ada kebenaran dalam kata-kata ibuku, perasaanku terhadapnya tidak sepenuhnya palsu. Tetapi bagaimana aku bisa mengatakan itu ketika aku sendiri tidak yakin apa yang benar dan apa yang tidak?
POV LiviaAku berusaha menenangkan diri ketika tatapan tajam Adrian terus menancap di wajahku, seolah mencoba mencari retakan dalam setiap penjelasanku. Aku tahu, setiap kata yang kuucapkan harus disusun dengan hati-hati. Satu kesalahan saja, dan dia akan pergi—mungkin untuk selamanya. “Adrian, tolong dengarkan aku,” kataku, suaraku terdengar lebih tegas daripada yang kurasakan di dalam hati. Aku menggenggam tanganku erat di bawah meja, mencoba mengalihkan gemetar yang tidak mau berhenti. “Apa yang kau dengar tadi… itu bukan tentangmu.” Alisnya berkerut, keraguan jelas tergambar di wajahnya. Dia tidak memotongku, tetapi matanya masih penuh dengan kecurigaan. Aku melanjutkan, berusaha terdengar sejujur mungkin. “Aku tahu kedengarannya buruk, tapi aku tidak sedang berbicara tentangmu. Aku berbicara tentang sepupuku, Adrian. Namanya sama denganmu, dan dia… dia sedang melalui masa yang sulit.” Aku berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Tidak ada jalan lain kecuali terus ma
POV LiviaAku terbangun dengan rasa berat di dadaku. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar Adrian yang luas. Tubuhku masih terasa hangat, tetapi ada dingin yang menjalar di hatiku. Aku menoleh perlahan, melihat Adrian masih tertidur di sisiku, wajahnya terlihat damai, seolah semua masalah menguap begitu saja dari hidupnya.Namun, tidak begitu untukku.Malam itu terus terulang dalam pikiranku, seperti sebuah film yang diputar tanpa henti. Setiap sentuhan, setiap desahan, setiap kata yang tak terucap—semuanya terasa begitu nyata. Tetapi kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Ada jurang besar di antara kami, jurang yang kuciptakan sendiri dengan kebohongan.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungku yang masih kacau. Dengan hati-hati, aku melepaskan diri dari pelukannya dan turun dari tempat tidur. Langkahku pelan saat menuju kamar mandi, berharap tidak membangunkannya.Di depan cermin, aku menatap bayanganku sendiri. Rambutku be
POV LiviaAdrian menatapku, matanya dipenuhi rasa sakit dan amarah. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang jelas membuncah di dalam dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang menggila, namun tubuhku terasa seperti membeku."Livia, aku ingin kau jujur denganku," katanya, suaranya datar, tetapi setiap kata penuh tekanan.Aku menghindari tatapannya, mataku menatap lantai, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan?Adrian melangkah mendekat, tubuhnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dariku. Dia menatapku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya."Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Jika kau peduli padaku—jika hubungan ini berarti sesuatu bagimu—tolong, katakan yang sebenarnya."Aku membuka mulutku, mencoba bicara, tetapi lidahku terasa ke
POV LiviaKetika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. "Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan
POV Livia“Livia, nanti malam ada waktu?” Adrian menatapku dengan ekspresi santai, tapi matanya yang tajam itu menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar tanya biasa. Aku tersentak sejenak, lalu berusaha mempertahankan sikap profesional yang selama ini kujaga. “Hmm… Kalau Bapak butuh bantuan tambahan untuk pekerjaan, saya bisa mengatur jadwal,” jawabku sambil berpura-pura sibuk dengan layar laptop di hadapanku. Aku menyebutnya ‘Bapak’ di kantor, meskipun hanya kami berdua. Itu semacam tameng, pengingat batasan yang pernah kuletakkan sendiri. Adrian terkekeh kecil. Suaranya rendah, seperti bisikan yang hanya untukku. “Livia, santai saja. Kita sedang di rumahku, bukan di kantor. Dan kali ini, bukan soal pekerjaan.” Aku mencoba menyembunyikan kegugupanku. Tidak mudah bekerja begitu dekat dengan Adrian, apalagi setelah setahun penuh menjadi sekretaris pribadinya. Pria ini, dengan segala karisma dan kecerdasannya, sudah sejak lama membuat hatiku goyah. Tapi aku tahu, aku harus t
POV LiviaKetika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. "Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan
POV LiviaAdrian menatapku, matanya dipenuhi rasa sakit dan amarah. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang jelas membuncah di dalam dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang menggila, namun tubuhku terasa seperti membeku."Livia, aku ingin kau jujur denganku," katanya, suaranya datar, tetapi setiap kata penuh tekanan.Aku menghindari tatapannya, mataku menatap lantai, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan?Adrian melangkah mendekat, tubuhnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dariku. Dia menatapku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya."Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Jika kau peduli padaku—jika hubungan ini berarti sesuatu bagimu—tolong, katakan yang sebenarnya."Aku membuka mulutku, mencoba bicara, tetapi lidahku terasa ke
POV LiviaAku terbangun dengan rasa berat di dadaku. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar Adrian yang luas. Tubuhku masih terasa hangat, tetapi ada dingin yang menjalar di hatiku. Aku menoleh perlahan, melihat Adrian masih tertidur di sisiku, wajahnya terlihat damai, seolah semua masalah menguap begitu saja dari hidupnya.Namun, tidak begitu untukku.Malam itu terus terulang dalam pikiranku, seperti sebuah film yang diputar tanpa henti. Setiap sentuhan, setiap desahan, setiap kata yang tak terucap—semuanya terasa begitu nyata. Tetapi kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Ada jurang besar di antara kami, jurang yang kuciptakan sendiri dengan kebohongan.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungku yang masih kacau. Dengan hati-hati, aku melepaskan diri dari pelukannya dan turun dari tempat tidur. Langkahku pelan saat menuju kamar mandi, berharap tidak membangunkannya.Di depan cermin, aku menatap bayanganku sendiri. Rambutku be
POV LiviaAku berusaha menenangkan diri ketika tatapan tajam Adrian terus menancap di wajahku, seolah mencoba mencari retakan dalam setiap penjelasanku. Aku tahu, setiap kata yang kuucapkan harus disusun dengan hati-hati. Satu kesalahan saja, dan dia akan pergi—mungkin untuk selamanya. “Adrian, tolong dengarkan aku,” kataku, suaraku terdengar lebih tegas daripada yang kurasakan di dalam hati. Aku menggenggam tanganku erat di bawah meja, mencoba mengalihkan gemetar yang tidak mau berhenti. “Apa yang kau dengar tadi… itu bukan tentangmu.” Alisnya berkerut, keraguan jelas tergambar di wajahnya. Dia tidak memotongku, tetapi matanya masih penuh dengan kecurigaan. Aku melanjutkan, berusaha terdengar sejujur mungkin. “Aku tahu kedengarannya buruk, tapi aku tidak sedang berbicara tentangmu. Aku berbicara tentang sepupuku, Adrian. Namanya sama denganmu, dan dia… dia sedang melalui masa yang sulit.” Aku berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Tidak ada jalan lain kecuali terus ma
POV Livia“Kau percaya kita bisa seperti ini selamanya?” Suara Adrian yang lembut menghentikan langkahku. Kami sedang duduk di teras rumahnya, menikmati angin malam. Langit cerah bertabur bintang, tetapi keheningan di antara kami jauh lebih kuat daripada gemerlap di atas sana. Aku menoleh, mencoba mencari sesuatu di balik tatapan matanya yang penuh harap. “Selamanya?” tanyaku, berpura-pura tidak paham. Dia tersenyum kecil, ekspresi yang selalu membuatnya tampak lebih muda dari usianya. “Ya. Aku tidak tahu kapan tepatnya ini semua berubah, tapi aku merasa nyaman denganmu. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa kehadiranmu sekarang.” Aku tertawa kecil, meskipun jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. “Adrian, kamu terlalu serius malam ini.” Dia menatapku lebih lama, membuatku ingin lari dari keheningan itu. “Kadang, aku ingin memastikan kamu tahu seberapa besar artinya dirimu untukku.” Aku memalingkan pandangan, menatap lampu-lampu kota dari kejauhan. Sejak ka
POV Livia“Livia, nanti malam ada waktu?” Adrian menatapku dengan ekspresi santai, tapi matanya yang tajam itu menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar tanya biasa. Aku tersentak sejenak, lalu berusaha mempertahankan sikap profesional yang selama ini kujaga. “Hmm… Kalau Bapak butuh bantuan tambahan untuk pekerjaan, saya bisa mengatur jadwal,” jawabku sambil berpura-pura sibuk dengan layar laptop di hadapanku. Aku menyebutnya ‘Bapak’ di kantor, meskipun hanya kami berdua. Itu semacam tameng, pengingat batasan yang pernah kuletakkan sendiri. Adrian terkekeh kecil. Suaranya rendah, seperti bisikan yang hanya untukku. “Livia, santai saja. Kita sedang di rumahku, bukan di kantor. Dan kali ini, bukan soal pekerjaan.” Aku mencoba menyembunyikan kegugupanku. Tidak mudah bekerja begitu dekat dengan Adrian, apalagi setelah setahun penuh menjadi sekretaris pribadinya. Pria ini, dengan segala karisma dan kecerdasannya, sudah sejak lama membuat hatiku goyah. Tapi aku tahu, aku harus t