POV Livia
Adrian menatapku, matanya dipenuhi rasa sakit dan amarah. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang jelas membuncah di dalam dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang menggila, namun tubuhku terasa seperti membeku.
"Livia, aku ingin kau jujur denganku," katanya, suaranya datar, tetapi setiap kata penuh tekanan.
Aku menghindari tatapannya, mataku menatap lantai, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan?
Adrian melangkah mendekat, tubuhnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dariku. Dia menatapku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya.
"Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Jika kau peduli padaku—jika hubungan ini berarti sesuatu bagimu—tolong, katakan yang sebenarnya."
Aku membuka mulutku, mencoba bicara, tetapi lidahku terasa kelu. Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku tahu ini adalah saatnya, bahwa aku tidak bisa terus berbohong. Namun, rasa takut yang mendalam mencengkeramku, menahan setiap kata yang ingin kuucapkan.
Adrian menghela napas panjang, pandangannya kini lebih lelah daripada marah.
"Livia," katanya dengan nada yang lebih lembut, "aku memberimu segalanya—hatiku, kepercayaanku. Tapi aku tidak bisa terus berjalan dalam kegelapan ini. Jika kau tidak bisa bicara sekarang... Aku akan memberimu waktu. Tapi aku butuh kepastian bahwa kau akan jujur suatu hari nanti."
Aku tetap diam.
Dia melangkah mundur, menatapku seolah sedang berjuang dengan dirinya sendiri untuk tetap tenang.
"Aku akan pergi," katanya akhirnya. "Aku tidak akan memaksamu bicara. Tapi pikirkan baik-baik, Livia. Apa yang kau sembunyikan akan menghancurkan kita, lebih dari apa pun yang kau takutkan."
Adrian berbalik, mengambil mantel dan kuncinya dari meja, dan menuju pintu. Aku hanya berdiri di sana, terdiam, menonton punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu yang tertutup.
Ketika keheningan memenuhi ruangan, aku jatuh ke sofa, air mata akhirnya mengalir bebas. Perasaan bersalah dan ketakutan menghantamku seperti ombak besar, menenggelamkan seluruh keberanianku.
Aku menatap langit malam dari jendela kamar apartemenku, pikiranku dipenuhi dengan segala kekacauan yang terjadi. Suara Adrian yang meminta kejujuran terus terngiang di telingaku. Aku tahu aku harus memberitahunya, tapi bagaimana caranya?
Mataku terpejam, dan perlahan kenangan masa lalu mulai memenuhi pikiranku—kenangan yang selalu mencoba kuabaikan tetapi tidak pernah benar-benar pergi.
Aku masih remaja saat dunia keluargaku mulai runtuh. Ayahku kehilangan pekerjaannya karena perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Ibuku, yang hanya bekerja serabutan, tidak mampu menutupi kebutuhan keluarga. Tagihan terus menumpuk, dan kami mulai kehilangan hal-hal kecil yang dulu kami anggap biasa—langganan TV kabel, kemudian mobil keluarga, hingga akhirnya rumah kami dijual untuk melunasi sebagian utang.
“Kau harus menjadi anak yang kuat,” kata ibuku suatu malam ketika aku menangis karena tidak bisa membeli buku pelajaran. “Kita semua harus berkorban.”
Aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud ibuku saat itu, tetapi aku tahu aku tidak punya pilihan. Sebagai anak tertua, aku menjadi tumpuan harapan keluarga. Aku harus belajar keras, membantu pekerjaan rumah, dan kadang mengambil pekerjaan paruh waktu sepulang sekolah.
Ketika aku masuk universitas, keluargaku berada di titik terendah. Kehilangan rumah adalah awal dari serangkaian pukulan berat yang tak pernah berhenti. Utang semakin menumpuk, dan bunga pinjaman seperti racun yang perlahan melumpuhkan kami. Ibuku, yang biasanya tegar, mulai kehilangan semangat. Ia tidak lagi bisa bekerja penuh waktu karena kesehatannya memburuk akibat tekanan yang terus-menerus. Untuk bertahan hidup, ibuku mulai meminta bantuan dari kerabat, meskipun aku tahu betapa sulitnya baginya untuk merendahkan diri seperti itu.
Setiap kali aku pulang ke rumah, suasananya begitu suram. Tagihan-tagihan menumpuk di meja ruang tamu, dan makanan di meja makan semakin sederhana. Bahkan hal-hal kecil seperti membeli sabun atau listrik yang menyala penuh menjadi sebuah kemewahan. Aku sering merasa terjepit, antara kewajiban untuk belajar keras agar bisa membebaskan keluarga kami dari kemiskinan dan rasa bersalah karena tidak bisa membantu lebih banyak.
Aku sering merasa bahwa hidupku bukan milikku sendiri. Setiap keputusan yang kuambil selalu dikaitkan dengan bagaimana itu akan membantu keluarga kami.
Dan kemudian, Adrian datang—atau lebih tepatnya, dia menjadi bagian dari rencana keluargaku.
“Dia bisa menyelamatkan kita, Livia,” kata ibuku ketika pertama kali kami membahas Adrian. “Dia pria yang baik, kaya, dan dia menyukaimu. Ini adalah kesempatan yang tidak akan datang dua kali.”
Aku tahu ibuku hanya ingin yang terbaik untuk kami semua. Aku tahu dia hanya mencoba mencari jalan keluar dari kesulitan yang kami hadapi. Tapi rencana itu terasa seperti menempatkan beban yang terlalu berat di pundakku.
Aku tidak pernah mengira aku akan mulai mencintai Adrian. Awalnya, aku hanya melihatnya sebagai bagian dari tanggung jawabku—sebagai seseorang yang harus kudekati demi menyelamatkan keluargaku. Tapi seiring waktu, aku melihat sisi lain dari dirinya—sisi yang lembut, tulus, dan penuh perhatian.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Pikiranku kembali ke masa kini ketika teleponku berdering. Aku melihat layar dan melihat nama ibuku muncul. Dengan enggan, aku mengangkatnya.
"Livia, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Adrian?" tanyanya tanpa basa-basi.
Aku terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kami baik-baik saja."
"Apa dia sudah menunjukkan tanda-tanda keseriusan? Ingat, kita tidak punya banyak waktu lagi. Kau tahu berapa banyak tagihan yang harus kita lunasi bulan depan."
Aku menggigit bibirku, merasa marah dan sedih pada saat yang sama.
"Bu, aku tidak tahu apakah aku bisa terus melakukan ini," kataku akhirnya, suaraku bergetar.
"Tidak ada pilihan lain, Livia. Kau tahu itu," jawab ibuku dengan nada tegas. "Adrian adalah kesempatan terbaik kita. Jangan sia-siakan semua yang sudah kau bangun sejauh ini."
Aku menutup mata, mencoba menahan air mata. "Aku tidak yakin bisa melanjutkan rencana ini, Bu. Aku..."
"Jangan berpikir terlalu jauh, Livia," potongnya. "Kau hanya perlu tetap fokus. Jangan biarkan perasaanmu menghancurkan segalanya."
Aku mengakhiri panggilan itu tanpa mengatakan apa-apa lagi. Hatiku terasa berat, dan aku tahu aku berada di persimpangan jalan yang sulit.
Malam itu, aku duduk di meja makan, memandangi kotak kecil berisi gelang yang diberikan Adrian kepadaku beberapa minggu lalu. Gelang itu sederhana, tetapi memiliki ukiran kecil di bagian dalam: Untuk Livia, inspirasiku.
Air mata mengalir di pipiku saat aku memegang gelang itu. Di satu sisi, aku tahu bahwa aku mencintai Adrian dengan cara yang tidak pernah kukira. Tapi di sisi lain, beban keluargaku terus menghantuiku, membuatku merasa seperti boneka yang terperangkap dalam tali yang tak terlihat.
Aku tahu aku harus membuat keputusan. Tapi untuk saat ini, aku hanya bisa berharap waktu akan memberiku keberanian untuk menghadapi semuanya.
POV LiviaKetika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. "Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan
POV LiviaHari berlalu dengan cepat. Ketika jam kerja berakhir, aku berusaha menenangkan diri sebelum berbicara dengannya. Aku ingin memastikan bahwa perbincangan kami akan berjalan lancar dan tidak terjebak dalam ketegangan yang sama.Kami memilih untuk duduk di taman kecil dekat kantor. Udara sore itu terasa segar, dan suasana tenang membuatku lebih nyaman.“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Adrian,” kataku, mencoba membuka pembicaraan.“Tidak masalah. Aku senang bisa berbicara denganmu,” jawabnya, wajahnya menunjukkan ketulusan.“Aku ingin klarifikasi tentang apa yang kita bicarakan sebelumnya. Tentang kita,” lanjutku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.Dia mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan. “Ya, aku ingin kita bisa saling mendukung tanpa merasa tertekan. Tapi aku juga ingin tahu apa yang kau
POV AdrianDalam kegelapan malam, aku duduk sendiri di kamarku, merenungkan perasaanku. Rasa sakit dan kekecewaan mengalir dalam diriku setelah mengetahui bahwa Livia mungkin mendekatiku hanya sebagai bagian dari rencana. “Aku menyesal telah mengetahui semua ini,” bisikku pada diri sendiri.Aku merasa marah dan bingung. Di satu sisi, ada keinginan untuk memperjuangkan hubungan ini, tetapi di sisi lain, hatiku merasa dikhianati. “Baiklah, jika itu yang dia mau, maka aku tak akan mengambil pusing,” pikirku.Namun, benih balas dendam mulai tumbuh dalam pikiranku. “Aku akan memperdayanya dan membuatnya merasa percaya bahwa aku telah benar-benar menerimanya,” ujarku dalam hati, rencana mulai terbentuk.Aku memutuskan untuk bermain peran. Aku akan menunjukkan kepada Livia bahwa aku tidak terpengaruh oleh kekecewaanku. Dengan senyum yang tampak tulus dan perhatian yang dalam, aku beren
POV LiviaSaat aku bangun tidur, tiba-tiba kepala terasa pusing. “Aduh, kenapa dengan aku?” Rasanya tubuhku tidak enak, seolah ada yang tidak beres. Bagaimana ini? Aku harus kerja. Aku memegang kepala ku sambil memijitnya.Tepat saat itu, ibuku mengetuk pintu kamarku sambil teriak, “Livia, apa kamu nggak berangkat kerja? Ini sudah jam berapa!” Suara ibuku membuatku semakin merasa cemas. Terlepas dari rasa tidak enak badan ini, aku tahu tanggung jawabku menunggu di luar sana.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, tetapi kepala ini semakin berputar. “Mungkin aku hanya butuh sedikit waktu,” pikirku, sambil meraih ponsel untuk mengecek pesan yang mungkin masuk dari kantor.Berharap bisa menemukan alasan untuk tidak pergi, aku menelusuri pesan-pesan di aplikasi chat. Namun, semua pesan itu mengingatkanku pada pekerjaan yang harus dikerjakan. Rasa bersalah mulai menyergapku.&n
POV LiviaKetika aku sadar, aku merasa terbaring di sofa di dalam ruangan Adrian. Suara bising dari luar terdengar samar. Aku membuka mata dan melihat Adrian duduk di sampingku, wajahnya tampak cemas.“Livia, kamu sudah sadar?” tanyanya dengan nada lembut, tetapi jelas terlihat bahwa dia khawatir.“Adrian… apa yang terjadi?” tanyaku, berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi.“Kamu pingsan. Aku segera memanggil tim medis,” jawabnya, memperhatikan setiap detail di wajahku. “Kamu tidak terlihat baik sejak pagi. Apa kamu merasa lebih baik sekarang?”Rasa pusing masih ada, tetapi aku mencoba untuk duduk. “Aku… aku tidak tahu. Mungkin aku hanya kelelahan,” jawabku, merasa malu karena situasi ini.“Kelelahan? Kamu hampir tidak bisa berdiri. Kita perlu memeriksamu lebih lanjut.
POV LiviaDadaku berdebar kencang dan keringat dingin mengalir di dahiku. Kenapa dokter bilang aku hamil? Ini sangat tidak masuk akal. Aku hanya pernah melakukannya sekali, dan itu pun bersama Adrian malam itu.Saat dokter itu masih menyiapkan tes kehamilan, pikiranku melayang. Semua kemungkinan berputar di kepalaku, dan rasa panik mulai menyelimuti.“Kurasa kita pulang saja!” ajakku, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan cemas yang semakin mendalam.Adrian menatapku, ragu sejenak. “Livia, kita sudah di sini. Mungkin lebih baik jika kita tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawabnya, suaranya mengandung nada ketegasan.“Tapi aku merasa baik-baik saja. Mungkin ini hanya stres,” bantahku, berusaha meyakinkan diriku sendiri.“Stres bisa memengaruhi tubuhmu, tapi kita tidak bisa mengambil risiko. Jika ada yang sa
POV LiviaAku terdiam, merasakan kehangatan dari kata-katanya. Mungkin dia benar. Meskipun semuanya terasa menakutkan, ada sesuatu yang menenangkan dalam pikiranku bahwa aku tidak akan menghadapi ini sendirian.“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku, mulai merasakan harapan tumbuh di dalam diriku.Adrian tersenyum, menghapus kekhawatiran di wajahku.“Mari kita mulai dengan berbicara dengan ibumu. Aku akan melamarmu hari ini dan segera menikahimu.”Aku masih tak percaya, rasa terkejut dan bahagia bercampur aduk dalam diriku.“Hari ini? Adrian, itu sangat mendadak! Kamu yakin?” tanyaku, suaraku hampir bergetar karena emosi.“Setiap detik yang kita tunggu hanya akan menambah ketidakpastian. Aku ingin memastikan kamu tahu betapa seriusnya aku tentang kita. Ini adalah langkah yang tepat,&r
POV LiviaRasa cemas menyelimuti diriku. Bagaimana hidup ku akan berjalan? Apakah aku akan bisa menjadi ibu yang baik? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benakku, dan aku merasa seolah berada dalam labirin tanpa jalan keluar.Aku menatap langit-langit, berusaha menenangkan pikiran. “Apa yang harus aku lakukan?” bisikku pada diri sendiri. Ada begitu banyak ketidakpastian di depan, dan aku merasakan beban tanggung jawab yang berat.Adrian sudah berjanji untuk ada di sampingku, tetapi aku juga tahu bahwa ini tidak akan mudah. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk anak ini, tetapi apakah aku sudah siap?Dengan perasaan campur aduk, aku meraih bantal dan memeluknya erat-erat. Mungkin aku perlu waktu untuk merenungkan semuanya. Harapan dan ketakutan bercampur, tetapi satu hal yang pasti—aku tidak bisa melarikan diri dari kenyataan ini.*Har
POV LiviaMaya merangkulku sebelum pergi. "Ingat, Livia. Kau tidak sendirian. Aku di sini jika kau butuh sesuatu," ujarnya, menatapku dengan penuh perhatian.Setelah Maya pergi, rumah terasa sepi. Suara televisi yang sebelumnya ramai kini hanya menjadi latar belakang yang membosankan. Aku kembali duduk di sofa, berusaha untuk tidak berpikir tentang rasa sakit di lututku dan kesepian yang tiba-tiba menyelimuti.Malam semakin larut, dan aku merasa sendirian. Aku meraih ponselku, berharap ada pesan dari Adrian yang bisa menghiburku. Namun, tidak ada yang masuk. Rasa hampa mulai menyelimuti hatiku. Mengapa rasanya sulit sekali untuk menghadapi keadaan ini?Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton film, tetapi tidak ada yang bisa menarik perhatianku. Setiap kali aku melihat jam, harapanku untuk melihat Adrian pulang semakin pudar. Akhirnya, aku memutuskan untuk berbaring di tempat tidur, mencoba meredaka
POV LiviaSetelah beberapa saat, Adrian tiba di rumah. Wajahnya tampak cemas saat melihatku duduk di sofa dengan kaki terangkat.Setelah beberapa saat, Adrian tiba di rumah. Wajahnya tampak cemas saat melihatku duduk di sofa dengan kaki terangkat. "Livia! Maafkan aku karena aku gak bisa mengantarkan mu ke rumah sakit.”"Aku baik-baik saja, Adrian. Kaki ku hanya butuh dikompres saja, dan tidak ada yang perlu dicemaskan," kataku, berusaha menenangkan suasana. Meskipun ada rasa sakit, aku tidak ingin membuatnya merasa bersalah atau khawatir lebih dari yang diperlukan.Adrian masih tampak gelisah, tetapi aku bisa melihat bahwa dia berusaha untuk tenang. "Tapi aku tidak ingin kau mengalami ini sendirian. Aku seharusnya ada di sini untukmu," ujarnya, berusaha mencari alasan untuk mengurangi rasa bersalahnya."Ini bukan kesalahanmu, Adrian. Kau sedang sibuk dengan peke
POV LiviaSetelah beberapa lama, aku mulai merasa lelah. Rasa sakit di lututku membuatku ingin segera beristirahat."Adrian, aku mulai merasa mengantuk. Apa kita bisa istirahat sebentar?" tanyaku, menguap kecil."Ya, tentu saja. Mari kita istirahat," jawabnya sambil mematikan film. Dia membantuku bangkit, dan kami menuju ke kamar.Ketika kami sampai di kamar, aku duduk di tepi tempat tidur dan mencoba mengangkat kaki yang sakit. Adrian melihatku dengan penuh perhatian. "Kau ingin aku membantu merawat lututmu?" tanyanya, nada suaranya lembut."Kalau bisa, aku akan sangat menghargainya," kataku, merasa sedikit canggung.Rasa sakitnya cukup mengganggu, tetapi aku tidak ingin merasa merepotkan.Dia mengambil kotak P3K dan mulai merawat lukaku. Sentuhan lembutnya membuatku merasa nyaman. "Ini mungkin akan sedikit terasa, tetapi aku akan be
POV Livia Saat aku berjalan pincang menuju Toko Buku, pikiranku masih dipenuhi dengan perdebatan yang baru saja terjadi. Aku sangat ingin mendukung Adrian, tetapi aku juga khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Tekanan dari ibunya dan Marlina sangat besar, dan aku tidak ingin dia merasa terjebak.Ketika aku tiba di Toko Buku, Rina, atasanku, segera melihatku. "Livia! Apa yang terjadi? Kenapa kau pincang?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran."Aku jatuh di kantor Adrian. Lututku sedikit terluka," jawabku, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang sebenarnya.Rina mengernyitkan dahi, mendekatiku. "Kau tidak terlihat baik. Mari, aku akan membantumu. Kita bisa mencari obat untuk mengurangi rasa sakitmu."Aku mengangguk, merasa bersyukur dengan perhatian Rina. Saat kami menuju ruang belakang untuk mencari obat, hatiku masih bergejolak dengan perasaan campur aduk. Semua yang terjadi di kantor Adrian masih terbayang jelas di pikiranku."Apakah semuanya baik-baik saja di ka
POV LiviaRasa cemas mulai menggelayuti pikiranku."Apa yang mereka lakukan di sini?" gumamku dalam hati. Aku merasa terjebak antara ingin tahu dan takut akan apa yang akan kutemui.Tanpa berpikir panjang, aku mengikuti mereka dari jauh, berusaha mendengarkan percakapan mereka saat memasuki kantor Adrian. Suara mereka samar, tetapi aku bisa merasakan ketegangan di udara. Ada sesuatu yang besar sedang direncanakan di balik pertemuan ini.Kutatap pintu kaca yang memisahkan aku dari ruang kerja Adrian. Di dalam, aku melihat Adrian duduk di mejanya, tampak lelah dan tertekan. Ibu dan Marlina berdiri di depannya, berbicara dengan nada yang mendesak. Hatiku bergetar melihatnya berada dalam situasi seperti itu.Aku memaksa diriku untuk mendekat, berusaha menangkap setiap kata yang mereka ucapkan."Adrian, kau harus mempertimbangkan ini dengan serius. Ini adalah
POV AdrianIbuku adalah sosok yang kuat, dan tekadnya untuk menyelamatkan perusahaan tidak akan surut hanya karena penolakanku. Namun, aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Livia. Dia adalah bagian terpenting dari hidupku, dan aku bersumpah untuk melindungi hubungan kami."Adrian, bagaimana jika kita mencari solusi lain untuk perusahaan?" Livia tiba-tiba bertanya, membangkitkan semangat dalam diriku. "Mungkin kita bisa melakukan presentasi kepada investor baru, menunjukkan visi kita yang sebenarnya.""Itu ide yang bagus," jawabku. "Kita bisa merancang proposal yang menunjukkan potensi pasar dan keunggulan produk kita. Mungkin kita juga bisa mendekati investor yang lebih fleksibel dan memahami nilai-nilai kita."Livia tersenyum, matanya berbinar penuh semangat. "Aku bisa membantumu membuat presentasi itu. Kita bisa bekerja sama untuk merumuskan strategi yang tepat."Kami mulai berdiskus
POV Adrian"Ada apa, Adrian? Kenapa wajahmu terlihat tegang?" tanyanya, mendekat."Aku baru saja berbicara dengan ibuku dan Marlina," kataku, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Mereka ingin aku menikah dengan Marlina minggu depan."Mata Livia membelalak. "Apa? Kenapa mereka melakukan itu?" dia tampak bingung dan marah."Mereka bilang itu untuk kerja sama perusahaan. Tapi aku menolak. Aku tidak bisa melakukannya, Livia. Aku mencintaimu, dan aku tidak akan mengorbankan hubungan kita," jelasku, berusaha menenangkan dirinya.Livia terlihat terharu, tetapi juga sedikit kecewa. "Adrian, aku tidak ingin kau berada di posisi sulit seperti ini. Aku tidak ingin kau merasa tertekan karena aku.""Tidak, Livia. Ini semua tentang kita. Aku berkomitmen padamu, dan tidak ada yang bisa mengubah itu," kataku dengan tegas.Dia tersenyum, tetapi aku bisa meliha
POV Adrian “Bagus sekali. Selain itu, penting untuk memantau ovulasi. Menggunakan aplikasi atau kalender untuk mencatat siklus menstruasi dapat membantu kalian mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mencoba hamil.” “Itu ide yang bagus. Kami akan mengatur itu,” jawab Livia “Setelah semua ini, kita akan menjadwalkan pertemuan rutin untuk memantau kesehatan Livia dan perkembangan program hamil. Ingat, komunikasi yang baik di antara kalian berdua sangat penting.” “Kami berkomitmen untuk saling mendukung. Terima kasih, Dokter, atas semua informasinya,” kata ku. “Sama-sama. Saya senang bisa membantu kalian. Ingatlah, perjalanan ini memerlukan waktu, jadi bersabarlah dan nikmati setiap langkahnya.”Aku merasakan beban di pundakku sedikit menghilang. Aku tahu b
POV LiviaAdrian ikut tertawa. “Itu lucu! Mungkin dia juga butuh sedikit hiburan selain pengembangan diri,” katanya, menatapku dengan senyum hangat.“Sepertinya kau sudah menemukan tempat yang tepat,” kata Adrian, menatapku dengan penuh perhatian.“Aku merasa begitu! Ini adalah langkah yang tepat untukku,” kataku, merasakan keyakinan mengalir dalam diriku. “Setiap buku di toko itu bercerita, dan aku ingin menjadi bagian dari cerita-cerita itu. Aku ingin membantu orang menemukan buku yang tepat untuk mereka.”Adrian mengangguk, tampak mengerti betapa pentingnya hal ini bagiku. “Itu luar biasa, Livia. Kau memang selalu punya passion untuk buku dan literatur. Ini adalah kesempatan yang sempurna untuk mengejar impianmu.”Saat kami sampai di rumah, aku merasakan kehangatan yang menyelimuti. Hari pertama di toko buku telah membe