POV Livia
Adrian menatapku, matanya dipenuhi rasa sakit dan amarah. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang jelas membuncah di dalam dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang menggila, namun tubuhku terasa seperti membeku.
"Livia, aku ingin kau jujur denganku," katanya, suaranya datar, tetapi setiap kata penuh tekanan.
Aku menghindari tatapannya, mataku menatap lantai, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan?
Adrian melangkah mendekat, tubuhnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dariku. Dia menatapku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya.
"Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Jika kau peduli padaku—jika hubungan ini berarti sesuatu bagimu—tolong, katakan yang sebenarnya."
Aku membuka mulutku, mencoba bicara, tetapi lidahku terasa kelu. Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku tahu ini adalah saatnya, bahwa aku tidak bisa terus berbohong. Namun, rasa takut yang mendalam mencengkeramku, menahan setiap kata yang ingin kuucapkan.
Adrian menghela napas panjang, pandangannya kini lebih lelah daripada marah.
"Livia," katanya dengan nada yang lebih lembut, "aku memberimu segalanya—hatiku, kepercayaanku. Tapi aku tidak bisa terus berjalan dalam kegelapan ini. Jika kau tidak bisa bicara sekarang... Aku akan memberimu waktu. Tapi aku butuh kepastian bahwa kau akan jujur suatu hari nanti."
Aku tetap diam.
Dia melangkah mundur, menatapku seolah sedang berjuang dengan dirinya sendiri untuk tetap tenang.
"Aku akan pergi," katanya akhirnya. "Aku tidak akan memaksamu bicara. Tapi pikirkan baik-baik, Livia. Apa yang kau sembunyikan akan menghancurkan kita, lebih dari apa pun yang kau takutkan."
Adrian berbalik, mengambil mantel dan kuncinya dari meja, dan menuju pintu. Aku hanya berdiri di sana, terdiam, menonton punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu yang tertutup.
Ketika keheningan memenuhi ruangan, aku jatuh ke sofa, air mata akhirnya mengalir bebas. Perasaan bersalah dan ketakutan menghantamku seperti ombak besar, menenggelamkan seluruh keberanianku.
Aku menatap langit malam dari jendela kamar apartemenku, pikiranku dipenuhi dengan segala kekacauan yang terjadi. Suara Adrian yang meminta kejujuran terus terngiang di telingaku. Aku tahu aku harus memberitahunya, tapi bagaimana caranya?
Mataku terpejam, dan perlahan kenangan masa lalu mulai memenuhi pikiranku—kenangan yang selalu mencoba kuabaikan tetapi tidak pernah benar-benar pergi.
Aku masih remaja saat dunia keluargaku mulai runtuh. Ayahku kehilangan pekerjaannya karena perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Ibuku, yang hanya bekerja serabutan, tidak mampu menutupi kebutuhan keluarga. Tagihan terus menumpuk, dan kami mulai kehilangan hal-hal kecil yang dulu kami anggap biasa—langganan TV kabel, kemudian mobil keluarga, hingga akhirnya rumah kami dijual untuk melunasi sebagian utang.
“Kau harus menjadi anak yang kuat,” kata ibuku suatu malam ketika aku menangis karena tidak bisa membeli buku pelajaran. “Kita semua harus berkorban.”
Aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud ibuku saat itu, tetapi aku tahu aku tidak punya pilihan. Sebagai anak tertua, aku menjadi tumpuan harapan keluarga. Aku harus belajar keras, membantu pekerjaan rumah, dan kadang mengambil pekerjaan paruh waktu sepulang sekolah.
Ketika aku masuk universitas, keluargaku berada di titik terendah. Kehilangan rumah adalah awal dari serangkaian pukulan berat yang tak pernah berhenti. Utang semakin menumpuk, dan bunga pinjaman seperti racun yang perlahan melumpuhkan kami. Ibuku, yang biasanya tegar, mulai kehilangan semangat. Ia tidak lagi bisa bekerja penuh waktu karena kesehatannya memburuk akibat tekanan yang terus-menerus. Untuk bertahan hidup, ibuku mulai meminta bantuan dari kerabat, meskipun aku tahu betapa sulitnya baginya untuk merendahkan diri seperti itu.
Setiap kali aku pulang ke rumah, suasananya begitu suram. Tagihan-tagihan menumpuk di meja ruang tamu, dan makanan di meja makan semakin sederhana. Bahkan hal-hal kecil seperti membeli sabun atau listrik yang menyala penuh menjadi sebuah kemewahan. Aku sering merasa terjepit, antara kewajiban untuk belajar keras agar bisa membebaskan keluarga kami dari kemiskinan dan rasa bersalah karena tidak bisa membantu lebih banyak.
Aku sering merasa bahwa hidupku bukan milikku sendiri. Setiap keputusan yang kuambil selalu dikaitkan dengan bagaimana itu akan membantu keluarga kami.
Dan kemudian, Adrian datang—atau lebih tepatnya, dia menjadi bagian dari rencana keluargaku.
“Dia bisa menyelamatkan kita, Livia,” kata ibuku ketika pertama kali kami membahas Adrian. “Dia pria yang baik, kaya, dan dia menyukaimu. Ini adalah kesempatan yang tidak akan datang dua kali.”
Aku tahu ibuku hanya ingin yang terbaik untuk kami semua. Aku tahu dia hanya mencoba mencari jalan keluar dari kesulitan yang kami hadapi. Tapi rencana itu terasa seperti menempatkan beban yang terlalu berat di pundakku.
Aku tidak pernah mengira aku akan mulai mencintai Adrian. Awalnya, aku hanya melihatnya sebagai bagian dari tanggung jawabku—sebagai seseorang yang harus kudekati demi menyelamatkan keluargaku. Tapi seiring waktu, aku melihat sisi lain dari dirinya—sisi yang lembut, tulus, dan penuh perhatian.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Pikiranku kembali ke masa kini ketika teleponku berdering. Aku melihat layar dan melihat nama ibuku muncul. Dengan enggan, aku mengangkatnya.
"Livia, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Adrian?" tanyanya tanpa basa-basi.
Aku terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kami baik-baik saja."
"Apa dia sudah menunjukkan tanda-tanda keseriusan? Ingat, kita tidak punya banyak waktu lagi. Kau tahu berapa banyak tagihan yang harus kita lunasi bulan depan."
Aku menggigit bibirku, merasa marah dan sedih pada saat yang sama.
"Bu, aku tidak tahu apakah aku bisa terus melakukan ini," kataku akhirnya, suaraku bergetar.
"Tidak ada pilihan lain, Livia. Kau tahu itu," jawab ibuku dengan nada tegas. "Adrian adalah kesempatan terbaik kita. Jangan sia-siakan semua yang sudah kau bangun sejauh ini."
Aku menutup mata, mencoba menahan air mata. "Aku tidak yakin bisa melanjutkan rencana ini, Bu. Aku..."
"Jangan berpikir terlalu jauh, Livia," potongnya. "Kau hanya perlu tetap fokus. Jangan biarkan perasaanmu menghancurkan segalanya."
Aku mengakhiri panggilan itu tanpa mengatakan apa-apa lagi. Hatiku terasa berat, dan aku tahu aku berada di persimpangan jalan yang sulit.
Malam itu, aku duduk di meja makan, memandangi kotak kecil berisi gelang yang diberikan Adrian kepadaku beberapa minggu lalu. Gelang itu sederhana, tetapi memiliki ukiran kecil di bagian dalam: Untuk Livia, inspirasiku.
Air mata mengalir di pipiku saat aku memegang gelang itu. Di satu sisi, aku tahu bahwa aku mencintai Adrian dengan cara yang tidak pernah kukira. Tapi di sisi lain, beban keluargaku terus menghantuiku, membuatku merasa seperti boneka yang terperangkap dalam tali yang tak terlihat.
Aku tahu aku harus membuat keputusan. Tapi untuk saat ini, aku hanya bisa berharap waktu akan memberiku keberanian untuk menghadapi semuanya.
POV LiviaKetika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. "Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan
POV LiviaHari berlalu dengan cepat. Ketika jam kerja berakhir, aku berusaha menenangkan diri sebelum berbicara dengannya. Aku ingin memastikan bahwa perbincangan kami akan berjalan lancar dan tidak terjebak dalam ketegangan yang sama.Kami memilih untuk duduk di taman kecil dekat kantor. Udara sore itu terasa segar, dan suasana tenang membuatku lebih nyaman.“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Adrian,” kataku, mencoba membuka pembicaraan.“Tidak masalah. Aku senang bisa berbicara denganmu,” jawabnya, wajahnya menunjukkan ketulusan.“Aku ingin klarifikasi tentang apa yang kita bicarakan sebelumnya. Tentang kita,” lanjutku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.Dia mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan. “Ya, aku ingin kita bisa saling mendukung tanpa merasa tertekan. Tapi aku juga ingin tahu apa yang kau
POV AdrianDalam kegelapan malam, aku duduk sendiri di kamarku, merenungkan perasaanku. Rasa sakit dan kekecewaan mengalir dalam diriku setelah mengetahui bahwa Livia mungkin mendekatiku hanya sebagai bagian dari rencana. “Aku menyesal telah mengetahui semua ini,” bisikku pada diri sendiri.Aku merasa marah dan bingung. Di satu sisi, ada keinginan untuk memperjuangkan hubungan ini, tetapi di sisi lain, hatiku merasa dikhianati. “Baiklah, jika itu yang dia mau, maka aku tak akan mengambil pusing,” pikirku.Namun, benih balas dendam mulai tumbuh dalam pikiranku. “Aku akan memperdayanya dan membuatnya merasa percaya bahwa aku telah benar-benar menerimanya,” ujarku dalam hati, rencana mulai terbentuk.Aku memutuskan untuk bermain peran. Aku akan menunjukkan kepada Livia bahwa aku tidak terpengaruh oleh kekecewaanku. Dengan senyum yang tampak tulus dan perhatian yang dalam, aku beren
POV LiviaSaat aku bangun tidur, tiba-tiba kepala terasa pusing. “Aduh, kenapa dengan aku?” Rasanya tubuhku tidak enak, seolah ada yang tidak beres. Bagaimana ini? Aku harus kerja. Aku memegang kepala ku sambil memijitnya.Tepat saat itu, ibuku mengetuk pintu kamarku sambil teriak, “Livia, apa kamu nggak berangkat kerja? Ini sudah jam berapa!” Suara ibuku membuatku semakin merasa cemas. Terlepas dari rasa tidak enak badan ini, aku tahu tanggung jawabku menunggu di luar sana.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, tetapi kepala ini semakin berputar. “Mungkin aku hanya butuh sedikit waktu,” pikirku, sambil meraih ponsel untuk mengecek pesan yang mungkin masuk dari kantor.Berharap bisa menemukan alasan untuk tidak pergi, aku menelusuri pesan-pesan di aplikasi chat. Namun, semua pesan itu mengingatkanku pada pekerjaan yang harus dikerjakan. Rasa bersalah mulai menyergapku.&n
POV LiviaKetika aku sadar, aku merasa terbaring di sofa di dalam ruangan Adrian. Suara bising dari luar terdengar samar. Aku membuka mata dan melihat Adrian duduk di sampingku, wajahnya tampak cemas.“Livia, kamu sudah sadar?” tanyanya dengan nada lembut, tetapi jelas terlihat bahwa dia khawatir.“Adrian… apa yang terjadi?” tanyaku, berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi.“Kamu pingsan. Aku segera memanggil tim medis,” jawabnya, memperhatikan setiap detail di wajahku. “Kamu tidak terlihat baik sejak pagi. Apa kamu merasa lebih baik sekarang?”Rasa pusing masih ada, tetapi aku mencoba untuk duduk. “Aku… aku tidak tahu. Mungkin aku hanya kelelahan,” jawabku, merasa malu karena situasi ini.“Kelelahan? Kamu hampir tidak bisa berdiri. Kita perlu memeriksamu lebih lanjut.
POV LiviaDadaku berdebar kencang dan keringat dingin mengalir di dahiku. Kenapa dokter bilang aku hamil? Ini sangat tidak masuk akal. Aku hanya pernah melakukannya sekali, dan itu pun bersama Adrian malam itu.Saat dokter itu masih menyiapkan tes kehamilan, pikiranku melayang. Semua kemungkinan berputar di kepalaku, dan rasa panik mulai menyelimuti.“Kurasa kita pulang saja!” ajakku, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan cemas yang semakin mendalam.Adrian menatapku, ragu sejenak. “Livia, kita sudah di sini. Mungkin lebih baik jika kita tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawabnya, suaranya mengandung nada ketegasan.“Tapi aku merasa baik-baik saja. Mungkin ini hanya stres,” bantahku, berusaha meyakinkan diriku sendiri.“Stres bisa memengaruhi tubuhmu, tapi kita tidak bisa mengambil risiko. Jika ada yang sa
POV LiviaAku terdiam, merasakan kehangatan dari kata-katanya. Mungkin dia benar. Meskipun semuanya terasa menakutkan, ada sesuatu yang menenangkan dalam pikiranku bahwa aku tidak akan menghadapi ini sendirian.“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku, mulai merasakan harapan tumbuh di dalam diriku.Adrian tersenyum, menghapus kekhawatiran di wajahku.“Mari kita mulai dengan berbicara dengan ibumu. Aku akan melamarmu hari ini dan segera menikahimu.”Aku masih tak percaya, rasa terkejut dan bahagia bercampur aduk dalam diriku.“Hari ini? Adrian, itu sangat mendadak! Kamu yakin?” tanyaku, suaraku hampir bergetar karena emosi.“Setiap detik yang kita tunggu hanya akan menambah ketidakpastian. Aku ingin memastikan kamu tahu betapa seriusnya aku tentang kita. Ini adalah langkah yang tepat,&r
POV LiviaRasa cemas menyelimuti diriku. Bagaimana hidup ku akan berjalan? Apakah aku akan bisa menjadi ibu yang baik? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benakku, dan aku merasa seolah berada dalam labirin tanpa jalan keluar.Aku menatap langit-langit, berusaha menenangkan pikiran. “Apa yang harus aku lakukan?” bisikku pada diri sendiri. Ada begitu banyak ketidakpastian di depan, dan aku merasakan beban tanggung jawab yang berat.Adrian sudah berjanji untuk ada di sampingku, tetapi aku juga tahu bahwa ini tidak akan mudah. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk anak ini, tetapi apakah aku sudah siap?Dengan perasaan campur aduk, aku meraih bantal dan memeluknya erat-erat. Mungkin aku perlu waktu untuk merenungkan semuanya. Harapan dan ketakutan bercampur, tetapi satu hal yang pasti—aku tidak bisa melarikan diri dari kenyataan ini.*Har
POV Livia“Livia! Livia! Bangun!”Suara Adrian menggema lembut di telingaku. Perlahan, aku membuka mata dan melihat wajahnya tersenyum di samping tempat tidur. Keceriaan di wajahnya membuat hatiku berbunga-bunga.“Adrian!” seruku dengan suara serak.“Kau sudah pulang?” Rasanya seperti mimpi ketika melihatnya di depan mataku. Dia baru saja kembali dari perjalanan dinas yang terasa seperti selamanya.“Ya, aku pulang lebih awal. Pekerjaanku sudah selesai lebih cepat dari yang diperkirakan,” jawabnya dengan senyum lebar. Dia duduk di tepi tempat tidur, dan aku bisa merasakan kehangatan kehadirannya.Aku merasa senang dan bersyukur. “Aku tidak sabar untuk melihat apa yang kau bawa! Ada oleh-oleh?” tanyaku, mataku berbinar-binar penuh harapan.Adrian tertawa kecil, lalu
POV LiviaSetelah semuanya siap, aku duduk di meja dan menunggu. Rasanya aneh, menunggu seseorang yang tidak ada di sampingku, tetapi aku tahu bahwa dia akan segera kembali. Dengan setiap detik yang berlalu, aku merasakan harapan baru tumbuh di dalam diriku. Mungkin, dengan sedikit usaha dan kejujuran, aku bisa membawa kembali kebahagiaan yang hilang.Saat aku menunggu, aku kembali memikirkan percakapan kami sebelumnya. Adrian selalu bisa membuatku merasa tenang, dan aku tahu bahwa jika aku bisa membuka diri padanya, segalanya akan terasa lebih baik. Rasa takut dan keraguan yang selama ini menghalangiku harus kuhadapi.Ketika ponselku berdering lagi, aku langsung mengambilnya. Itu adalah pesan dari Adrian.[Aku tidak sabar untuk pulang dan menikmati masakanmu. Semangat ya, sayang!]Senyumku mengembang saat membaca pesannya. Mungkin, dengan sedikit keberanian dan kejujuran, ak
POV LiviaAdrian mengangguk, tetapi aku bisa melihat keraguan di matanya. "Kau terlihat sedikit murung, Livia. Ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya dengan nada khawatir."Aku tidak apa-apa, sungguh," kataku, berusaha meyakinkan. "Hanya sedikit lelah, mungkin." Namun, meskipun kata-kata itu keluar dari mulutku, aku tahu bahwa Adrian bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.Dia menghela napas. "Aku baru saja menyelesaikan satu pekerjaan besar dan sedang istirahat di hotel. Aku pikir bisa menghubungimu sebelum kembali bekerja. Tapi… apa kau yakin tidak ada yang salah? Kau bisa bercerita padaku, kamu tahu itu."Hatiku bergetar mendengar ungkapannya. Adrian selalu menjadi pendengar yang baik, dan dia selalu membangkitkan rasa aman di dalam diriku. Namun, saat ini, aku merasa tidak siap untuk berbagi. Rasa sakit yang masih menggerogoti hatiku terasa terlalu berat untuk diungkapkan. Mungkin jika
POV LiviaSetelah beberapa jam berbincang dan tertawa, aku merasa lebih ringan. Maya memberikan dukungan yang aku butuhkan, dan aku berterima kasih padanya."Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik," kataku, merasa bersyukur memiliki sahabat sepertinya."Selalu, Livia. Aku di sini untukmu," jawabnya tulus.Aku melangkah pulang, bertekad untuk menunjukkan pada Adrian bahwa aku bisa menjadi istri yang lebih baik. Kesedihan dan rasa sakit yang sempat menguasai diriku kini mulai pudar, tergantikan oleh harapan dan semangat untuk memperbaiki hubungan kami.Ketika aku sampai di rumah, aku membuka lemari dan mulai mencari resep-resep masakan yang ingin kucoba. Aku ingin memasak sesuatu yang spesial untuk Adrian, sesuatu yang menunjukkan betapa aku mencintainya. Namun, saat aku mulai mencari, salah satu acara di televisi menarik perhatianku. Acara itu adalah program khusus u
POV LiviaAku beranjak dari sofa dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Suasana di luar tampak cerah, tetapi hatiku gelap. Aku mengingat kembali saat-saat ketika kami berdua merencanakan masa depan. Semua impian yang kami bangun bersama kini terasa seperti ilusi.“Bagaimana bisa semuanya berubah secepat ini?” pikirku, merasakan kesedihan yang mendalam.Saat itu, aku berusaha mengingat kembali semua momen indah yang kami lewati. Tawa, pelukan, dan janji-janji yang pernah kami buat. Namun, semua itu terasa samar sekarang, tertutupi oleh bayang-bayang kekecewaan dan rasa sakit.“Apakah semua itu hanya sebuah kebohongan?” tanyaku pada diriku sendiri.Air mata kembali mengalir saat aku teringat bagaimana Adrian selalu berjanji untuk mencintainya tanpa syarat. Tetapi kini, seolah-olah janji itu sudah terlupakan. Aku merasa seolah-olah Adrian lebih memilih
POV LiviaSetelah Adrian pergi, rumah kami terasa sepi dan hampa. Meskipun baru beberapa hari, rasa kesepian ini sudah menyelinap ke dalam hati.Pagi menjelang, dan aku baru saja terbangun dari tidur yang tidak nyenyak. Suara detakan jam dinding mengingatkanku bahwa hari baru telah dimulai, tetapi semangatku masih tertinggal di malam sebelumnya.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, mencuci muka untuk menghilangkan rasa kantuk. Saat aku melihat bayanganku di cermin, aku menyadari betapa lelah dan cemasnya aku. Rasa khawatir akan Adrian dan ketidakpastian yang menyelimuti pikiranku membuatku merasa tidak tenang.Tiba-tiba, suara ketukan keras terdengar dari pintu rumah. Awalnya, aku mengira itu hanya imajinasiku, tetapi ketukan itu semakin menjadi. Dengan cepat, aku bergegas menuju pintu, berharap bisa mengusir rasa sepi yang melanda.Saat aku membuka pintu, aku terk
POV Adrian"Ini luar biasa," ujar Livia sambil menikmati pemandangan di depan kami. "Aku suka saat-saat seperti ini."Aku tersenyum, merasa bahagia melihatnya menikmati momen itu."Aku juga. Ini adalah bagian dari kehidupan yang ingin aku jalani bersamamu."Kami duduk berhadapan, menikmati sarapan dengan penuh kehangatan. Setiap suapan terasa lebih nikmat karena kami berbagi momen ini bersama. Aku memperhatikan Livia, rambutnya yang basah mengkilap terkena sinar matahari, dan senyumnya yang cerah membuatku merasa seolah kami adalah satu-satunya orang di dunia ini."Adrian," Livia memanggilku, membuatku menatapnya. "Aku ingin kita membuat lebih banyak kenangan seperti ini.""Aku setuju," kataku, meraih tangannya. "Setiap hari adalah kesempatan baru untuk kita berdua."Setelah sarapan, kami membersihkan meja dan menikmati sisa waktu pagi deng
POV AdrianAku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui pikiranku. Aku ingat saat aku membuat keputusan yang salah, saat aku membiarkan egoku menguasai diriku. Sekarang, setiap kali melihat Livia, aku selalu teringat akan kesalahanku dan betapa beruntungnya aku masih bisa memiliki dia di sisiku.“Tidak akan aku sia-siakan kesempatan kedua ini,” pikirku, tekad menguat dalam hati. Aku berjanji untuk menjadi lebih baik, untuk tidak hanya mencintainya tetapi juga menghargai setiap momen yang kami miliki bersama. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.Malam itu, saat Livia terlelap, aku menyaksikan suasana rumah kami. Setiap sudutnya mengingatkanku akan perjalanan yang telah kami lalui. Dari ruang tamu yang baru saja kami tata hingga dapur tempat kami memasak bersama, semuanya dipenuhi dengan kenangan indah. Aku merasa betapa hidupnya rumah ini menjadi berkat kehad
POV AdrianSetelah mencuci tangan, aku membantu Livia menyelesaikan masakan. Kami berbicara tentang hari-hari kami, tentang semua hal kecil yang kami kerjakan selama aku pergi. Rasanya seperti kami sudah lama tidak bertemu, padahal baru beberapa jam yang lalu.Saat makan malam, kami berbagi tawa dan cerita. Setiap suapan terasa lebih nikmat karena kami melakukannya bersama. Rumah yang kami bangun terasa semakin hidup dengan kehadiran kami.“Terima kasih telah membuatkan makan malam yang luar biasa,” kataku setelah menyelesaikan makan. “Aku merasa sangat beruntung bisa berbagi ini denganmu.”Livia tersenyum, matanya berbinar. “Aku juga merasa beruntung. Meskipun kamu harus pergi ke kantor, aku tahu kita masih bisa saling mendukung.”Setelah makan, kami berdua membersihkan meja dan mencuci piring. Aku melihat ke sekeliling dan merasakan betapa bera