Share

6

Author: Akina
last update Last Updated: 2025-01-17 09:21:41

POV Livia

Ketika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. 

Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.

Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.

Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. 

"Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.

Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."

Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan semua ini sendirian. Bicaralah padaku, apa pun yang kau rasakan."

Aku menceritakan segalanya—dari tekanan yang kuhadapi di rumah hingga perasaanku terhadap Adrian. Saat aku berbicara, aku merasakan beban itu sedikit berkurang. 

"Tapi, apa yang harus aku lakukan? Ibu mengandalkanku, dan aku merasa terjebak."

Maya memberikan senyuman lembut. "Terkadang, kita perlu mengambil langkah mundur untuk melihat gambaran yang lebih besar. Cinta bukan hanya tentang tanggung jawab, Livia. Ini juga tentang kebahagiaanmu."

Kata-katanya membuatku berpikir. Selama ini, aku terlalu fokus pada harapan dan beban yang diberikan orang lain, sehingga aku lupa untuk mempertimbangkan diriku sendiri. Apakah aku benar-benar mencintai Adrian, atau akukah yang mencintai ide tentang apa yang bisa dia lakukan untuk keluargaku?

Satu jam kemudian Adrian datang dan tanpa menyapa ku. Aku bisa merasakan ketegangan di antara kami. Jujur karena dia sudah membaca obrolan ku dengan ibuku kalau mendekat Adrian hanya lah sebuah bagian dari rencana. Tapi itu bukan lah rencana ku.

Sebagai sekretaris seorang CEO tentu saja aku harus menjaga profesionalitas saat di kantor. Jadi aku pun harus bisa menjaga bicara ku saat berada di kantor. Aku tak mau ada kesalahan. 

Aku harus masuk ke ruang Adrian karena ada yang perlu ku sampaikan. 

“Permisi, Pak. Ada yang perlu kamu tanda tangani,” kata ku.

Wajah Adrian masih dingin.

Adrian menatapku tanpa berbicara, dan aku merasakan jantungku berdebar kencang. Meskipun kami berada di lingkungan kerja, suasana antara kami terasa sangat pribadi, sangat emosional. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri dan tetap fokus pada tugas yang ada.

“Ini dokumen untuk proyek yang akan dimulai minggu depan,” lanjutku, berusaha menjaga nada suaraku tetap profesional.

 “Jika tidak ada yang perlu dibahas, saya bisa menunggu di sini.”

Dia mengangguk pelan, lalu mengambil dokumen yang kuajukan. Namun, sebelum menandatangani, dia menatapku dengan tajam.

 “Livia, kita perlu bicara,” katanya, suaranya lebih lembut dibanding sebelumnya, meski masih ada nada tegas.

Aku merasa terjebak antara profesionalisme dan rasa ingin tahuku. “Tentu, Pak. Tapi kita bisa membicarakannya setelah jam kerja, jika itu lebih baik.”

Dia menghela napas, tampak frustrasi. “Tidak, ini tidak bisa ditunda. Aku tidak suka suasana seperti ini. Kita harus menyelesaikan ini sekarang.”

Kata-katanya membuatku merasa terdesak. Aku tahu bahwa ketegangan di antara kami tidak bisa diabaikan lebih lama lagi. 

“Baiklah, kalau begitu. Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku, berusaha terdengar tenang.

Adrian menatapku dalam-dalam. “Aku tahu tentang percakapanmu dengan ibumu. Aku tidak ingin menjadi bagian dari rencananya, Livia. Aku ingin kau tahu bahwa aku benar-benar menyukaimu, bukan hanya sebagai alat untuk menyelesaikan masalah.”

Aku merasakan hatiku bergetar.

 “Adrian, aku juga menyukaimu. Tapi aku merasa tertekan dengan semua ini. Aku tidak ingin hubungan kita hanya berdasarkan harapan dan kewajiban.”

Dia mengangguk, seolah memahami. 

“Livia, aku bukan orang yang ingin kau andalkan hanya karena situasi keluargamu. Aku ingin kita saling mendukung, tetapi bukan dengan cara yang membuatmu merasa terjebak.”

Kata-katanya menyentuh inti perasaanku. 

“Aku menghargai itu, Adrian. Tapi aku juga harus menjaga profesionalisme di sini. Kita tidak bisa membiarkan perasaan kita mempengaruhi pekerjaan.”

Adrian tersenyum sedikit, meski ada kesedihan di matanya. 

“Aku mengerti. Tapi aku tidak ingin kita terus terjebak dalam ketegangan ini. Kita harus bisa berbicara dengan jujur, baik di kantor maupun di luar.”

Aku mengangguk perlahan, menyadari bahwa kami perlu menemukan cara untuk berdamai dengan situasi ini. 

“Baiklah, mari kita coba untuk berbicara lebih terbuka. Tapi setelah jam kerja, kita perlu menetapkan batasan agar semuanya tetap profesional.”

Dia mengangkat alisnya, seolah terkejut dengan keputusanku. “Kau serius? Kita bisa melakukannya?”

“Ya, ini penting. Kita harus bisa memisahkan antara pekerjaan dan perasaan pribadi,” jawabku, merasa lebih yakin.

Setelah beberapa saat, dia tersenyum. “Baiklah, aku setuju. Tapi ingat, aku akan menunggu untuk bisa berbicara lebih banyak tentang kita.”

Aku merasa lega mendengar itu. Meskipun situasi kami rumit, ada harapan untuk memperbaikinya. “Terima kasih, Adrian. Aku menghargai pengertianmu.”

Dengan satu senyuman terakhir, dia kembali fokus pada dokumen yang ada di mejanya. Aku keluar dari ruangan, merasa sedikit lebih ringan. 

Aku kembali fokus kerja. Apa yang dikatakan oleh Adrian barusan? Aku merasa tak percaya. Jadi mulai sekarang hubungan ku dengan Adrian sudah membaik dan dia tak mempermasalahkan tentang obrolan ku dengan ibuku? Ku rasa seperti itu. 

Perasaan lega mengalir dalam diriku saat aku kembali ke meja kerjaku. Meskipun ketegangan sebelumnya masih membekas, ada rasa harapan yang baru. Seolah-olah sebuah jendela baru terbuka, memberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami.

Selama beberapa jam ke depan, aku mencoba untuk fokus pada tugas-tugas di kantorku. Namun, pikiranku terus kembali pada Adrian. Bagaimana jika ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik? Mungkin kami bisa mengatasi semua kesulitan ini bersama-sama.

Saat jam makan siang tiba, aku memutuskan untuk pergi ke kafe terdekat. Aku butuh waktu untuk merenung dan menenangkan pikiran. Di kafe, sambil menikmati secangkir kopi, aku mengambil ponsel dan membuka pesan dari Maya. 

"Bagaimana dengan Adrian? Apakah kalian sudah bicara?" tulisnya.

Aku membalas dengan cepat, "Ya, kami sudah bicara. Rasanya lebih baik. Dia tidak mempermasalahkan obrolanku dengan ibuku."

Tak lama kemudian, Maya membalas, "Itu kabar baik! Jangan ragu untuk berbagi perasaanmu, Livia. Ini penting."

Pesan itu mengingatkanku pada apa yang harus kulakukan. Mungkin aku perlu lebih terbuka kepada Adrian tentang apa yang aku rasakan dan harapanku untuk hubungan kami.

Setelah kembali ke kantor, aku merasa lebih bersemangat. Ketika Adrian keluar dari ruangannya, aku menghampirinya. “Adrian, bisa kita bicara sebentar setelah kerja?”

Dia menatapku dengan penuh minat. “Tentu, aku akan menunggu.”

Related chapters

  • Mantanku Kembali   7

    POV LiviaHari berlalu dengan cepat. Ketika jam kerja berakhir, aku berusaha menenangkan diri sebelum berbicara dengannya. Aku ingin memastikan bahwa perbincangan kami akan berjalan lancar dan tidak terjebak dalam ketegangan yang sama.Kami memilih untuk duduk di taman kecil dekat kantor. Udara sore itu terasa segar, dan suasana tenang membuatku lebih nyaman.“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Adrian,” kataku, mencoba membuka pembicaraan.“Tidak masalah. Aku senang bisa berbicara denganmu,” jawabnya, wajahnya menunjukkan ketulusan.“Aku ingin klarifikasi tentang apa yang kita bicarakan sebelumnya. Tentang kita,” lanjutku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.Dia mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan. “Ya, aku ingin kita bisa saling mendukung tanpa merasa tertekan. Tapi aku juga ingin tahu apa yang kau

    Last Updated : 2025-01-18
  • Mantanku Kembali   8

    POV AdrianDalam kegelapan malam, aku duduk sendiri di kamarku, merenungkan perasaanku. Rasa sakit dan kekecewaan mengalir dalam diriku setelah mengetahui bahwa Livia mungkin mendekatiku hanya sebagai bagian dari rencana. “Aku menyesal telah mengetahui semua ini,” bisikku pada diri sendiri.Aku merasa marah dan bingung. Di satu sisi, ada keinginan untuk memperjuangkan hubungan ini, tetapi di sisi lain, hatiku merasa dikhianati. “Baiklah, jika itu yang dia mau, maka aku tak akan mengambil pusing,” pikirku.Namun, benih balas dendam mulai tumbuh dalam pikiranku. “Aku akan memperdayanya dan membuatnya merasa percaya bahwa aku telah benar-benar menerimanya,” ujarku dalam hati, rencana mulai terbentuk.Aku memutuskan untuk bermain peran. Aku akan menunjukkan kepada Livia bahwa aku tidak terpengaruh oleh kekecewaanku. Dengan senyum yang tampak tulus dan perhatian yang dalam, aku beren

    Last Updated : 2025-01-19
  • Mantanku Kembali   9

    POV LiviaSaat aku bangun tidur, tiba-tiba kepala terasa pusing. “Aduh, kenapa dengan aku?” Rasanya tubuhku tidak enak, seolah ada yang tidak beres. Bagaimana ini? Aku harus kerja. Aku memegang kepala ku sambil memijitnya.Tepat saat itu, ibuku mengetuk pintu kamarku sambil teriak, “Livia, apa kamu nggak berangkat kerja? Ini sudah jam berapa!” Suara ibuku membuatku semakin merasa cemas. Terlepas dari rasa tidak enak badan ini, aku tahu tanggung jawabku menunggu di luar sana.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, tetapi kepala ini semakin berputar. “Mungkin aku hanya butuh sedikit waktu,” pikirku, sambil meraih ponsel untuk mengecek pesan yang mungkin masuk dari kantor.Berharap bisa menemukan alasan untuk tidak pergi, aku menelusuri pesan-pesan di aplikasi chat. Namun, semua pesan itu mengingatkanku pada pekerjaan yang harus dikerjakan. Rasa bersalah mulai menyergapku.&n

    Last Updated : 2025-01-20
  • Mantanku Kembali   10

    POV LiviaKetika aku sadar, aku merasa terbaring di sofa di dalam ruangan Adrian. Suara bising dari luar terdengar samar. Aku membuka mata dan melihat Adrian duduk di sampingku, wajahnya tampak cemas.“Livia, kamu sudah sadar?” tanyanya dengan nada lembut, tetapi jelas terlihat bahwa dia khawatir.“Adrian… apa yang terjadi?” tanyaku, berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi.“Kamu pingsan. Aku segera memanggil tim medis,” jawabnya, memperhatikan setiap detail di wajahku. “Kamu tidak terlihat baik sejak pagi. Apa kamu merasa lebih baik sekarang?”Rasa pusing masih ada, tetapi aku mencoba untuk duduk. “Aku… aku tidak tahu. Mungkin aku hanya kelelahan,” jawabku, merasa malu karena situasi ini.“Kelelahan? Kamu hampir tidak bisa berdiri. Kita perlu memeriksamu lebih lanjut.

    Last Updated : 2025-01-21
  • Mantanku Kembali   11

    POV LiviaDadaku berdebar kencang dan keringat dingin mengalir di dahiku. Kenapa dokter bilang aku hamil? Ini sangat tidak masuk akal. Aku hanya pernah melakukannya sekali, dan itu pun bersama Adrian malam itu.Saat dokter itu masih menyiapkan tes kehamilan, pikiranku melayang. Semua kemungkinan berputar di kepalaku, dan rasa panik mulai menyelimuti.“Kurasa kita pulang saja!” ajakku, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan cemas yang semakin mendalam.Adrian menatapku, ragu sejenak. “Livia, kita sudah di sini. Mungkin lebih baik jika kita tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawabnya, suaranya mengandung nada ketegasan.“Tapi aku merasa baik-baik saja. Mungkin ini hanya stres,” bantahku, berusaha meyakinkan diriku sendiri.“Stres bisa memengaruhi tubuhmu, tapi kita tidak bisa mengambil risiko. Jika ada yang sa

    Last Updated : 2025-01-22
  • Mantanku Kembali   12

    POV LiviaAku terdiam, merasakan kehangatan dari kata-katanya. Mungkin dia benar. Meskipun semuanya terasa menakutkan, ada sesuatu yang menenangkan dalam pikiranku bahwa aku tidak akan menghadapi ini sendirian.“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku, mulai merasakan harapan tumbuh di dalam diriku.Adrian tersenyum, menghapus kekhawatiran di wajahku.“Mari kita mulai dengan berbicara dengan ibumu. Aku akan melamarmu hari ini dan segera menikahimu.”Aku masih tak percaya, rasa terkejut dan bahagia bercampur aduk dalam diriku.“Hari ini? Adrian, itu sangat mendadak! Kamu yakin?” tanyaku, suaraku hampir bergetar karena emosi.“Setiap detik yang kita tunggu hanya akan menambah ketidakpastian. Aku ingin memastikan kamu tahu betapa seriusnya aku tentang kita. Ini adalah langkah yang tepat,&r

    Last Updated : 2025-01-23
  • Mantanku Kembali   13

    POV LiviaRasa cemas menyelimuti diriku. Bagaimana hidup ku akan berjalan? Apakah aku akan bisa menjadi ibu yang baik? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benakku, dan aku merasa seolah berada dalam labirin tanpa jalan keluar.Aku menatap langit-langit, berusaha menenangkan pikiran. “Apa yang harus aku lakukan?” bisikku pada diri sendiri. Ada begitu banyak ketidakpastian di depan, dan aku merasakan beban tanggung jawab yang berat.Adrian sudah berjanji untuk ada di sampingku, tetapi aku juga tahu bahwa ini tidak akan mudah. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk anak ini, tetapi apakah aku sudah siap?Dengan perasaan campur aduk, aku meraih bantal dan memeluknya erat-erat. Mungkin aku perlu waktu untuk merenungkan semuanya. Harapan dan ketakutan bercampur, tetapi satu hal yang pasti—aku tidak bisa melarikan diri dari kenyataan ini.*Har

    Last Updated : 2025-01-24
  • Mantanku Kembali   14

    Livia's POV“Keluargamu tampak... berbeda,” kataku, sedikit ragu.Adrian mendekat, menatapku dengan penuh perhatian. “Maksudmu?”“Entahlah. Sepertinya mereka tidak begitu senang dengan kehadiranku. Terutama ibumu,” jawabku, jujur tentang ketidaknyamananku.Dia menghela napas, tampak berpikir sejenak. “Ibu ku memang memiliki harapan tersendiri. Dia ingin aku menikah dengan seseorang dari latar belakang yang lebih mapan. Mungkin dia butuh waktu untuk menerima keputusan ini,” jelas Adrian.“Apakah kamu khawatir tentang itu?” tanyaku, merasa sedikit khawatir.“Tidak, aku mencintaimu, Livia. Itu yang terpenting. Kita akan melalui ini bersama,” katanya, menggenggam tanganku erat.Aku merasa sedikit lega mendengar kata-katanya. Namun, saat malam beranjak larut, rasa cemas masi

    Last Updated : 2025-01-25

Latest chapter

  • Mantanku Kembali   55

    POV Livia“Livia! Livia! Bangun!”Suara Adrian menggema lembut di telingaku. Perlahan, aku membuka mata dan melihat wajahnya tersenyum di samping tempat tidur. Keceriaan di wajahnya membuat hatiku berbunga-bunga.“Adrian!” seruku dengan suara serak.“Kau sudah pulang?” Rasanya seperti mimpi ketika melihatnya di depan mataku. Dia baru saja kembali dari perjalanan dinas yang terasa seperti selamanya.“Ya, aku pulang lebih awal. Pekerjaanku sudah selesai lebih cepat dari yang diperkirakan,” jawabnya dengan senyum lebar. Dia duduk di tepi tempat tidur, dan aku bisa merasakan kehangatan kehadirannya.Aku merasa senang dan bersyukur. “Aku tidak sabar untuk melihat apa yang kau bawa! Ada oleh-oleh?” tanyaku, mataku berbinar-binar penuh harapan.Adrian tertawa kecil, lalu

  • Mantanku Kembali   54

    POV LiviaSetelah semuanya siap, aku duduk di meja dan menunggu. Rasanya aneh, menunggu seseorang yang tidak ada di sampingku, tetapi aku tahu bahwa dia akan segera kembali. Dengan setiap detik yang berlalu, aku merasakan harapan baru tumbuh di dalam diriku. Mungkin, dengan sedikit usaha dan kejujuran, aku bisa membawa kembali kebahagiaan yang hilang.Saat aku menunggu, aku kembali memikirkan percakapan kami sebelumnya. Adrian selalu bisa membuatku merasa tenang, dan aku tahu bahwa jika aku bisa membuka diri padanya, segalanya akan terasa lebih baik. Rasa takut dan keraguan yang selama ini menghalangiku harus kuhadapi.Ketika ponselku berdering lagi, aku langsung mengambilnya. Itu adalah pesan dari Adrian.[Aku tidak sabar untuk pulang dan menikmati masakanmu. Semangat ya, sayang!]Senyumku mengembang saat membaca pesannya. Mungkin, dengan sedikit keberanian dan kejujuran, ak

  • Mantanku Kembali   53

    POV LiviaAdrian mengangguk, tetapi aku bisa melihat keraguan di matanya. "Kau terlihat sedikit murung, Livia. Ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya dengan nada khawatir."Aku tidak apa-apa, sungguh," kataku, berusaha meyakinkan. "Hanya sedikit lelah, mungkin." Namun, meskipun kata-kata itu keluar dari mulutku, aku tahu bahwa Adrian bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.Dia menghela napas. "Aku baru saja menyelesaikan satu pekerjaan besar dan sedang istirahat di hotel. Aku pikir bisa menghubungimu sebelum kembali bekerja. Tapi… apa kau yakin tidak ada yang salah? Kau bisa bercerita padaku, kamu tahu itu."Hatiku bergetar mendengar ungkapannya. Adrian selalu menjadi pendengar yang baik, dan dia selalu membangkitkan rasa aman di dalam diriku. Namun, saat ini, aku merasa tidak siap untuk berbagi. Rasa sakit yang masih menggerogoti hatiku terasa terlalu berat untuk diungkapkan. Mungkin jika

  • Mantanku Kembali   52

    POV LiviaSetelah beberapa jam berbincang dan tertawa, aku merasa lebih ringan. Maya memberikan dukungan yang aku butuhkan, dan aku berterima kasih padanya."Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik," kataku, merasa bersyukur memiliki sahabat sepertinya."Selalu, Livia. Aku di sini untukmu," jawabnya tulus.Aku melangkah pulang, bertekad untuk menunjukkan pada Adrian bahwa aku bisa menjadi istri yang lebih baik. Kesedihan dan rasa sakit yang sempat menguasai diriku kini mulai pudar, tergantikan oleh harapan dan semangat untuk memperbaiki hubungan kami.Ketika aku sampai di rumah, aku membuka lemari dan mulai mencari resep-resep masakan yang ingin kucoba. Aku ingin memasak sesuatu yang spesial untuk Adrian, sesuatu yang menunjukkan betapa aku mencintainya. Namun, saat aku mulai mencari, salah satu acara di televisi menarik perhatianku. Acara itu adalah program khusus u

  • Mantanku Kembali   51

    POV LiviaAku beranjak dari sofa dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Suasana di luar tampak cerah, tetapi hatiku gelap. Aku mengingat kembali saat-saat ketika kami berdua merencanakan masa depan. Semua impian yang kami bangun bersama kini terasa seperti ilusi.“Bagaimana bisa semuanya berubah secepat ini?” pikirku, merasakan kesedihan yang mendalam.Saat itu, aku berusaha mengingat kembali semua momen indah yang kami lewati. Tawa, pelukan, dan janji-janji yang pernah kami buat. Namun, semua itu terasa samar sekarang, tertutupi oleh bayang-bayang kekecewaan dan rasa sakit.“Apakah semua itu hanya sebuah kebohongan?” tanyaku pada diriku sendiri.Air mata kembali mengalir saat aku teringat bagaimana Adrian selalu berjanji untuk mencintainya tanpa syarat. Tetapi kini, seolah-olah janji itu sudah terlupakan. Aku merasa seolah-olah Adrian lebih memilih

  • Mantanku Kembali   50

    POV LiviaSetelah Adrian pergi, rumah kami terasa sepi dan hampa. Meskipun baru beberapa hari, rasa kesepian ini sudah menyelinap ke dalam hati.Pagi menjelang, dan aku baru saja terbangun dari tidur yang tidak nyenyak. Suara detakan jam dinding mengingatkanku bahwa hari baru telah dimulai, tetapi semangatku masih tertinggal di malam sebelumnya.Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, mencuci muka untuk menghilangkan rasa kantuk. Saat aku melihat bayanganku di cermin, aku menyadari betapa lelah dan cemasnya aku. Rasa khawatir akan Adrian dan ketidakpastian yang menyelimuti pikiranku membuatku merasa tidak tenang.Tiba-tiba, suara ketukan keras terdengar dari pintu rumah. Awalnya, aku mengira itu hanya imajinasiku, tetapi ketukan itu semakin menjadi. Dengan cepat, aku bergegas menuju pintu, berharap bisa mengusir rasa sepi yang melanda.Saat aku membuka pintu, aku terk

  • Mantanku Kembali   49

    POV Adrian"Ini luar biasa," ujar Livia sambil menikmati pemandangan di depan kami. "Aku suka saat-saat seperti ini."Aku tersenyum, merasa bahagia melihatnya menikmati momen itu."Aku juga. Ini adalah bagian dari kehidupan yang ingin aku jalani bersamamu."Kami duduk berhadapan, menikmati sarapan dengan penuh kehangatan. Setiap suapan terasa lebih nikmat karena kami berbagi momen ini bersama. Aku memperhatikan Livia, rambutnya yang basah mengkilap terkena sinar matahari, dan senyumnya yang cerah membuatku merasa seolah kami adalah satu-satunya orang di dunia ini."Adrian," Livia memanggilku, membuatku menatapnya. "Aku ingin kita membuat lebih banyak kenangan seperti ini.""Aku setuju," kataku, meraih tangannya. "Setiap hari adalah kesempatan baru untuk kita berdua."Setelah sarapan, kami membersihkan meja dan menikmati sisa waktu pagi deng

  • Mantanku Kembali   48

    POV AdrianAku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui pikiranku. Aku ingat saat aku membuat keputusan yang salah, saat aku membiarkan egoku menguasai diriku. Sekarang, setiap kali melihat Livia, aku selalu teringat akan kesalahanku dan betapa beruntungnya aku masih bisa memiliki dia di sisiku.“Tidak akan aku sia-siakan kesempatan kedua ini,” pikirku, tekad menguat dalam hati. Aku berjanji untuk menjadi lebih baik, untuk tidak hanya mencintainya tetapi juga menghargai setiap momen yang kami miliki bersama. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.Malam itu, saat Livia terlelap, aku menyaksikan suasana rumah kami. Setiap sudutnya mengingatkanku akan perjalanan yang telah kami lalui. Dari ruang tamu yang baru saja kami tata hingga dapur tempat kami memasak bersama, semuanya dipenuhi dengan kenangan indah. Aku merasa betapa hidupnya rumah ini menjadi berkat kehad

  • Mantanku Kembali   47

    POV AdrianSetelah mencuci tangan, aku membantu Livia menyelesaikan masakan. Kami berbicara tentang hari-hari kami, tentang semua hal kecil yang kami kerjakan selama aku pergi. Rasanya seperti kami sudah lama tidak bertemu, padahal baru beberapa jam yang lalu.Saat makan malam, kami berbagi tawa dan cerita. Setiap suapan terasa lebih nikmat karena kami melakukannya bersama. Rumah yang kami bangun terasa semakin hidup dengan kehadiran kami.“Terima kasih telah membuatkan makan malam yang luar biasa,” kataku setelah menyelesaikan makan. “Aku merasa sangat beruntung bisa berbagi ini denganmu.”Livia tersenyum, matanya berbinar. “Aku juga merasa beruntung. Meskipun kamu harus pergi ke kantor, aku tahu kita masih bisa saling mendukung.”Setelah makan, kami berdua membersihkan meja dan mencuci piring. Aku melihat ke sekeliling dan merasakan betapa bera

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status