Seketika Deo dan Veren langsung memisahkan diri. “Di kamarnya kali Kak,” jawab Deo sambil tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa, namun di mata Freya dia seolah menunjukkan kepadanya bahwa dia puas bisa mencium Veren sedemikian rupa. Sesuatu yang tidak pernah Freya dapatkan ketika menjalin hubungan dengan Deo lima tahun lamanya. Lain halnya dengan Veren, yang buru-buru mengusap bibirnya berulang kali dengan salah tingkah seperti terpergok sedang melakukan sesuatu yang salah. “Aku udah ke kamarnya tapi nggak ada,” kata Freya datar. “Aku nyari mama dulu, ya?” tanya Deo sambil menoleh kepada Veren. “Lo di sini aja.” Veren tidak menjawab dan hanya membiarkan Deo keluar kamar bersama Freya. “Kamu sering maksa Veren buat ciuman?” tanya Freya penuh selidik ketika dia dan Deo berjalan menuruni tangga. “Kamu mesum banget sih Yo, nggak kayak kamu yang dulu.” Deo menaikkan sebelah alisnya. “Mesum gimana, suami yang nyium isterinya sendiri kok mesum?” tukas Deo. “Veren itu isteri sah aku
Veren balas memandang Deo tanpa mengatakan apa-apa. “Nggak usah lo jawab sekarang kalo elo masih ragu,” kata Deo sambil duduk di tepi tempat tidurnya. “Para orang tua sengaja kasih kita waktu buat mikir.” “Emang lo ada keinginan buat meneruskan pernikahan ini, Yo?” tanya Veren sambil berdiri di depan Deo. Sama seperti yang dilakukan Veren tadi, kali ini Deo juga terdiam dan tidak segera menjawab pertanyaan isterinya. “Hanya kalo elo mau gue pertahankan,” kata Deo akhirnya. Dahi Veren mengernyit, tidak mampu menangkap maksud Deo yang tersirat dalam kalimatnya barusan. “Kalo gue ... mau lo pertahankan?” ulangnya ragu. “Gue nggak ngerti ...?” Tangan Deo menepuk tempat kosong di sebelahnya, mengisyaratkan kepada Veren untuk duduk di sampingnya. Dengan ragu-ragu Veren mendekat. “Lo maunya gimana?” tanya Deo sangat serius. “Mau gue pertahankan sebagai istri gue atau nggak?” Veren terdiam lagi. Mengingat kejadian yang telah menimpanya semalam, tentunya dia berharap kalau Deo akan me
Deo diam untuk memberikan Veren kesempatan meluapkan amarahnya, karena dia memang berhak untuk marah.“Belom cukup apa lo ambil kesucian gue kemarin? Lo masih ngerasa kurang puas sampe perlu menikahi Tania di atas pernikahan kita yang masih berlangsung?” seru Veren dengan mata berkaca-kaca. “Ternyata bener kata orang, kalo laki-laki nggak akan pernah merasa cukup hanya dengan memiliki satu wanita di sampingnya!”Tangan Veren semakin erat mengepal, sampai darah merembes keluar dari buku-buku jarinya yang terlipat.“Ternyata bukan cuma gue yang nggak punya otak,” maki Veren dengan rasa sakit tak terperi di hatinya. “Kalo elo punya otak Yo, lo akan langsung menceraikan gue tanpa perlu ngulur-ngulur waktu kayak gini!”Deo masih diam dan membiarkan Veren memaki dirinya sesuka hati.“Terus tadi lo ngapain nggak ngomong langsung sama orang tua kita kalo elo sebenenernya udah punya keputusan?” tanya Veren tajam. “Ngapain? Sekarang juga gue minta cerai!”Veren berjongkok kemudian menyembunyika
“Emang lo ngerasa kalo elo salah?” sindir Veren sambil menatap tajam Deo. “Kalo elo ngerasa salah, talak gue sekarang!” Deo terkesiap. “Sampe kapanpun gue nggak akan menjatuhkan talak sama elo,” katanya. “Tapi kalo elo mau menggugat cerai gue ke pengadilan agama, silakan.” “Jadi lo beneran mau punya isteri dua?” tanya Veren tak percaya. “Elo pikir lo siapa? Ceraiin gue dulu baru lo bebas nikah sama cewek manapun yang bisa muasin kebutuhan biologis lo!” “Apa segitu rendahnya gue di mata elo, Ver?” tanya Deo tajam seraya memegangi kedua pergelangan tangan Veren erat-erat agar dia tidak kecolongan lagi. “Satu hal yang elo harus tau, sebesar apa pun nafsu yang gue punya, gue cuma melakukan hal itu sama elo aja.” Veren terlihat tidak percaya. “Freya yang lima tahun gue pacarin, nggak pernah gue sentuh sampe sedalam itu.” Deo melanjutkan kalimatnya. “Jadi elo adalah cewek pertama yang gue sentuh malam itu.” “Oh, cewek pertama? Iya?” sinis Veren. “Abis itu bakalan ada cewek kedua, ket
“Omongan itu doa Ver, siapa tau sebelum cerai kamu dipercaya buat hamil?” kata mamanya tidak mau kalah. Deo hanya meringis saja. Begitu semua sudah berkumpul di meja makan, Veren mengambil piring untuk dirinya dan menyendok nasi serta lauk yang tersaji. “Deo nggak kamu siapin sarapannya, Ver?” tegur mama. “Kok enak kamu makan duluan?” “Aku ambil sendiri aja, Ma.” Deo menyela. “Yang namanya suami harus dilayani dong,” bantah mama mertua. Veren memutar bola matanya dan mengambil piring baru untuk Deo. Dia menyendokkan nasi dan mengisinya dengan sedikit sayur, ayam goreng dan tempe yang masih hangat. Selesai makan, Deo dan Veren bersiap untuk pergi ke kampus. “Lo jangan bikin rusuh lagi,” kata Veren. “Apalagi kalo ketemu sama Hanan.” “Tergantung,” sahut Deo seraya memakai helm. “Kalo dia ngajak ribut, ya gue layanin.” “Jangan ribut di kampus orang dong lo,” sergah Veren. “Enggak, palingan gue ajak ngopi dia di luar. Abis itu gue abisin dia di sana,” kata Deo tenang. Veren cem
“Gimana gue nggak sewot? Lo sengaja bikin gue terlibat masalah rumah tangga lo yang semrawut itu, bahkan gue ngebiarin lo pergi selingkuh sama Tania!” kata Septian keras. “Ya ampun, gue ngerasa bersalah banget sama Veren sekarang.” “Veren tau kalo gue pergi sama Tania,” jelas Deo. “Tadinya gue mau ajak dia, tapi dia lebih milih ikut acara kampusnya.” “Veren tau lo pergi sama Tania?” tukas Septian tidak percaya. Deo mengangguk. “Makanya dengerin dulu penjelasan gue,” katanya memelas. Sementara itu Veren harus bersusah payah melepaskan diri dari pegangan Hanan yang memaksanya masuk ke dalam mobilnya. “Han, aku nggak mau!” seru Veren keras-keras. “Jangan maksa dong ....” “Masuk, cepet!” bentak Hanan sambil mendorong Veren masuk ke tempat duduk belakang. Setelah itu dia sendiri ikut masuk ke dalam dan menyudutkannya di mobil sempit itu. “Kamu mau ngapain sih, Han?” ketus Veren. “Mau minta ganti rugi sama kamu lah,” kata Hanan sambil menyeringai. “Kamu lihat apa yang udah dilakui
Tante Liora memandang Deo namun ekspresinya tidak begitu terkejut. Seakan dia sudah menduga semua ini akan terjadi. “Saya belum denger langsung dari Tania,” katanya. “Tapi saya tau dari awal kalo dia punya perasaan sama kamu. Dan saya selalu tekankan sama dia untuk bilang sama istri kamu setiap kali mau ketemu kamu. Saya nggak mau dia dicap sebagai orang ketiga dalam rumah tangga kamu.” “Saya juga belum menjawabnya,” kata Deo. “Kalo saya menolaknya, apa Tania akan ngedrop?” Tante Liora menarik napas. “Kei, jadi istri kamu atau nggak, tetep aja musuh besar Tania itu adalah kanker-nya. Kalo dia ngedrop, itu bukan karena penolakan kamu tapi karena penyakitnya.” Deo mengangguk paham. “Saya permisi, Tante,” katanya berpamitan. Setelah dari rumah Tania, Deo langsung pergi ke rumah mertuanya untuk mengantarkan bingkisan yang dititipkan Tania kepadanya. Veren baru saja selesai ganti baju ketika Deo masuk ke dalam kamarnya. “Tania titip ini buat elo,” kata Deo sambil menyerahkan sebua
“Kamu juga, lain kali tutup dulu pintunya.” Sebelum pergi, mama melanjutkan. “Silakan dilanjut lagi, anak-anak!” Veren merengut kemudian beranjak untuk menutup pintu kamarnya. “Gue tidur duluan ya, Yo? Kepala gue masih pusing gara-gara kebentur tadi,” keluh Veren sambil berbaring di tempat tidurnya. “Sini,” kata Deo sambil menawarkan lengannya sebagai bantal. “Gue perginya kalo elo udah pules.” Veren memandangnya ragu-ragu, tapi kemudian dia mengangguk dan meletakkan kepalanya di atas lengan kekar suaminya. Setelah memastikan Veren berbaring dengan nyaman di sisinya, Deo mendekat lebih erat dan merengkuh istrinya lebih dalam ke pelukannya. Dada bidang Deo yang menempel erat dengan punggungnya membuat Veren bisa merasakan detak jantung suaminya yang begitu menenangkan, hingga dia tertidur dengan senyum damai yang terukir di bibirnya. *** Veren menggeliat dan berguling ke samping, keningnya sedikit mengernyit ketika lengannya memeluk sesuatu yang empuk. Serta merta dia membuk