Deo diam untuk memberikan Veren kesempatan meluapkan amarahnya, karena dia memang berhak untuk marah.“Belom cukup apa lo ambil kesucian gue kemarin? Lo masih ngerasa kurang puas sampe perlu menikahi Tania di atas pernikahan kita yang masih berlangsung?” seru Veren dengan mata berkaca-kaca. “Ternyata bener kata orang, kalo laki-laki nggak akan pernah merasa cukup hanya dengan memiliki satu wanita di sampingnya!”Tangan Veren semakin erat mengepal, sampai darah merembes keluar dari buku-buku jarinya yang terlipat.“Ternyata bukan cuma gue yang nggak punya otak,” maki Veren dengan rasa sakit tak terperi di hatinya. “Kalo elo punya otak Yo, lo akan langsung menceraikan gue tanpa perlu ngulur-ngulur waktu kayak gini!”Deo masih diam dan membiarkan Veren memaki dirinya sesuka hati.“Terus tadi lo ngapain nggak ngomong langsung sama orang tua kita kalo elo sebenenernya udah punya keputusan?” tanya Veren tajam. “Ngapain? Sekarang juga gue minta cerai!”Veren berjongkok kemudian menyembunyika
“Emang lo ngerasa kalo elo salah?” sindir Veren sambil menatap tajam Deo. “Kalo elo ngerasa salah, talak gue sekarang!” Deo terkesiap. “Sampe kapanpun gue nggak akan menjatuhkan talak sama elo,” katanya. “Tapi kalo elo mau menggugat cerai gue ke pengadilan agama, silakan.” “Jadi lo beneran mau punya isteri dua?” tanya Veren tak percaya. “Elo pikir lo siapa? Ceraiin gue dulu baru lo bebas nikah sama cewek manapun yang bisa muasin kebutuhan biologis lo!” “Apa segitu rendahnya gue di mata elo, Ver?” tanya Deo tajam seraya memegangi kedua pergelangan tangan Veren erat-erat agar dia tidak kecolongan lagi. “Satu hal yang elo harus tau, sebesar apa pun nafsu yang gue punya, gue cuma melakukan hal itu sama elo aja.” Veren terlihat tidak percaya. “Freya yang lima tahun gue pacarin, nggak pernah gue sentuh sampe sedalam itu.” Deo melanjutkan kalimatnya. “Jadi elo adalah cewek pertama yang gue sentuh malam itu.” “Oh, cewek pertama? Iya?” sinis Veren. “Abis itu bakalan ada cewek kedua, ket
“Omongan itu doa Ver, siapa tau sebelum cerai kamu dipercaya buat hamil?” kata mamanya tidak mau kalah. Deo hanya meringis saja. Begitu semua sudah berkumpul di meja makan, Veren mengambil piring untuk dirinya dan menyendok nasi serta lauk yang tersaji. “Deo nggak kamu siapin sarapannya, Ver?” tegur mama. “Kok enak kamu makan duluan?” “Aku ambil sendiri aja, Ma.” Deo menyela. “Yang namanya suami harus dilayani dong,” bantah mama mertua. Veren memutar bola matanya dan mengambil piring baru untuk Deo. Dia menyendokkan nasi dan mengisinya dengan sedikit sayur, ayam goreng dan tempe yang masih hangat. Selesai makan, Deo dan Veren bersiap untuk pergi ke kampus. “Lo jangan bikin rusuh lagi,” kata Veren. “Apalagi kalo ketemu sama Hanan.” “Tergantung,” sahut Deo seraya memakai helm. “Kalo dia ngajak ribut, ya gue layanin.” “Jangan ribut di kampus orang dong lo,” sergah Veren. “Enggak, palingan gue ajak ngopi dia di luar. Abis itu gue abisin dia di sana,” kata Deo tenang. Veren cem
“Gimana gue nggak sewot? Lo sengaja bikin gue terlibat masalah rumah tangga lo yang semrawut itu, bahkan gue ngebiarin lo pergi selingkuh sama Tania!” kata Septian keras. “Ya ampun, gue ngerasa bersalah banget sama Veren sekarang.” “Veren tau kalo gue pergi sama Tania,” jelas Deo. “Tadinya gue mau ajak dia, tapi dia lebih milih ikut acara kampusnya.” “Veren tau lo pergi sama Tania?” tukas Septian tidak percaya. Deo mengangguk. “Makanya dengerin dulu penjelasan gue,” katanya memelas. Sementara itu Veren harus bersusah payah melepaskan diri dari pegangan Hanan yang memaksanya masuk ke dalam mobilnya. “Han, aku nggak mau!” seru Veren keras-keras. “Jangan maksa dong ....” “Masuk, cepet!” bentak Hanan sambil mendorong Veren masuk ke tempat duduk belakang. Setelah itu dia sendiri ikut masuk ke dalam dan menyudutkannya di mobil sempit itu. “Kamu mau ngapain sih, Han?” ketus Veren. “Mau minta ganti rugi sama kamu lah,” kata Hanan sambil menyeringai. “Kamu lihat apa yang udah dilakui
Tante Liora memandang Deo namun ekspresinya tidak begitu terkejut. Seakan dia sudah menduga semua ini akan terjadi. “Saya belum denger langsung dari Tania,” katanya. “Tapi saya tau dari awal kalo dia punya perasaan sama kamu. Dan saya selalu tekankan sama dia untuk bilang sama istri kamu setiap kali mau ketemu kamu. Saya nggak mau dia dicap sebagai orang ketiga dalam rumah tangga kamu.” “Saya juga belum menjawabnya,” kata Deo. “Kalo saya menolaknya, apa Tania akan ngedrop?” Tante Liora menarik napas. “Kei, jadi istri kamu atau nggak, tetep aja musuh besar Tania itu adalah kanker-nya. Kalo dia ngedrop, itu bukan karena penolakan kamu tapi karena penyakitnya.” Deo mengangguk paham. “Saya permisi, Tante,” katanya berpamitan. Setelah dari rumah Tania, Deo langsung pergi ke rumah mertuanya untuk mengantarkan bingkisan yang dititipkan Tania kepadanya. Veren baru saja selesai ganti baju ketika Deo masuk ke dalam kamarnya. “Tania titip ini buat elo,” kata Deo sambil menyerahkan sebua
“Kamu juga, lain kali tutup dulu pintunya.” Sebelum pergi, mama melanjutkan. “Silakan dilanjut lagi, anak-anak!” Veren merengut kemudian beranjak untuk menutup pintu kamarnya. “Gue tidur duluan ya, Yo? Kepala gue masih pusing gara-gara kebentur tadi,” keluh Veren sambil berbaring di tempat tidurnya. “Sini,” kata Deo sambil menawarkan lengannya sebagai bantal. “Gue perginya kalo elo udah pules.” Veren memandangnya ragu-ragu, tapi kemudian dia mengangguk dan meletakkan kepalanya di atas lengan kekar suaminya. Setelah memastikan Veren berbaring dengan nyaman di sisinya, Deo mendekat lebih erat dan merengkuh istrinya lebih dalam ke pelukannya. Dada bidang Deo yang menempel erat dengan punggungnya membuat Veren bisa merasakan detak jantung suaminya yang begitu menenangkan, hingga dia tertidur dengan senyum damai yang terukir di bibirnya. *** Veren menggeliat dan berguling ke samping, keningnya sedikit mengernyit ketika lengannya memeluk sesuatu yang empuk. Serta merta dia membuk
Seketika itu juga ekspresi gembira di wajah Veren lenyap, digantikan oleh rona kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan lagi. “Halo? Ver, lo masih di situ?” panggil Deo. Veren menghirup udara banyak-banyak sebelum menjawab. “Iya Yo, gue denger!” seru Veren, berusaha keras membuat nada suaranya terdengar biasa. “Gue usahain deh.” “Temenin gue ya?” kata Deo lagi. “Gue jemput habis maghrib, jangan lupa dandan, biar nggak malu-maluin.” Veren memaksakan diri untuk tertawa, dengan kedua matanya mulai berkaca-kaca di saat yang bersamaan. Deo masih menantikan kepastian Veren di ujung sana. “Gue usahain deh, Yo ...” jawab Veren terbata. “Lagian kenapa lo mesti ngajak gue sih? Ini kan acara lo sama Tania.” “Biar orang-orang tau kalo elo itu isteri gue,” kata Deo. “Pokoknya lo harus ikut, gue jemput di rumah habis maghrib.” Veren terdiam selama beberapa saat. “Oke,” katanya dengan berat hati. Begitu Deo memutus sambungan, Veren meletakkan ponselnya dan melepas gaun hijau zamrud yang dipa
Deo memandang Veren dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi. “Ya kan gue lagi butuh ketenangan dan nggak mau diganggu,” kilah Veren. “Gimana gue bisa istirahat kalo pegang ponsel terus?” “Emang ngangkat telpon sama baca chat gue butuh berjam-jam?” tukas Deo. “Itu tadi lo asik banget nonton drama India, padahal durasinya bisa dua jam-an.” Veren yang biasanya tidak mau mengalah, untuk kali ini sukses terdiam. “Serah deh ah, yang penting gue lagi nggak enak badan,” sergahnya sambil beranjak untuk mematikan laptopnya yang masih memutar drama favoritnya. “Nggak enak badan kok nyalain AC,” komentar Deo. “Lagian mana ada orang sakit pake baju kayak elo gitu?” Gerakan tangan Veren terhenti seketika. “Ini di rumah gue sendiri lho, serah gue dong mau pake baju apa.” “Gue nggak percaya kalo elo sakit,” ujar Deo sambil mematikan AC di kamar Veren. Dipandanginya cewek itu tajam, seraya memperhatikan tank top yang menurutnya sangat kekecilan. Menyadari tatapan mata Deo yang mencurigakan