“Emang lo ngerasa kalo elo salah?” sindir Veren sambil menatap tajam Deo. “Kalo elo ngerasa salah, talak gue sekarang!” Deo terkesiap. “Sampe kapanpun gue nggak akan menjatuhkan talak sama elo,” katanya. “Tapi kalo elo mau menggugat cerai gue ke pengadilan agama, silakan.” “Jadi lo beneran mau punya isteri dua?” tanya Veren tak percaya. “Elo pikir lo siapa? Ceraiin gue dulu baru lo bebas nikah sama cewek manapun yang bisa muasin kebutuhan biologis lo!” “Apa segitu rendahnya gue di mata elo, Ver?” tanya Deo tajam seraya memegangi kedua pergelangan tangan Veren erat-erat agar dia tidak kecolongan lagi. “Satu hal yang elo harus tau, sebesar apa pun nafsu yang gue punya, gue cuma melakukan hal itu sama elo aja.” Veren terlihat tidak percaya. “Freya yang lima tahun gue pacarin, nggak pernah gue sentuh sampe sedalam itu.” Deo melanjutkan kalimatnya. “Jadi elo adalah cewek pertama yang gue sentuh malam itu.” “Oh, cewek pertama? Iya?” sinis Veren. “Abis itu bakalan ada cewek kedua, ket
“Omongan itu doa Ver, siapa tau sebelum cerai kamu dipercaya buat hamil?” kata mamanya tidak mau kalah. Deo hanya meringis saja. Begitu semua sudah berkumpul di meja makan, Veren mengambil piring untuk dirinya dan menyendok nasi serta lauk yang tersaji. “Deo nggak kamu siapin sarapannya, Ver?” tegur mama. “Kok enak kamu makan duluan?” “Aku ambil sendiri aja, Ma.” Deo menyela. “Yang namanya suami harus dilayani dong,” bantah mama mertua. Veren memutar bola matanya dan mengambil piring baru untuk Deo. Dia menyendokkan nasi dan mengisinya dengan sedikit sayur, ayam goreng dan tempe yang masih hangat. Selesai makan, Deo dan Veren bersiap untuk pergi ke kampus. “Lo jangan bikin rusuh lagi,” kata Veren. “Apalagi kalo ketemu sama Hanan.” “Tergantung,” sahut Deo seraya memakai helm. “Kalo dia ngajak ribut, ya gue layanin.” “Jangan ribut di kampus orang dong lo,” sergah Veren. “Enggak, palingan gue ajak ngopi dia di luar. Abis itu gue abisin dia di sana,” kata Deo tenang. Veren cem
“Gimana gue nggak sewot? Lo sengaja bikin gue terlibat masalah rumah tangga lo yang semrawut itu, bahkan gue ngebiarin lo pergi selingkuh sama Tania!” kata Septian keras. “Ya ampun, gue ngerasa bersalah banget sama Veren sekarang.” “Veren tau kalo gue pergi sama Tania,” jelas Deo. “Tadinya gue mau ajak dia, tapi dia lebih milih ikut acara kampusnya.” “Veren tau lo pergi sama Tania?” tukas Septian tidak percaya. Deo mengangguk. “Makanya dengerin dulu penjelasan gue,” katanya memelas. Sementara itu Veren harus bersusah payah melepaskan diri dari pegangan Hanan yang memaksanya masuk ke dalam mobilnya. “Han, aku nggak mau!” seru Veren keras-keras. “Jangan maksa dong ....” “Masuk, cepet!” bentak Hanan sambil mendorong Veren masuk ke tempat duduk belakang. Setelah itu dia sendiri ikut masuk ke dalam dan menyudutkannya di mobil sempit itu. “Kamu mau ngapain sih, Han?” ketus Veren. “Mau minta ganti rugi sama kamu lah,” kata Hanan sambil menyeringai. “Kamu lihat apa yang udah dilakui
Tante Liora memandang Deo namun ekspresinya tidak begitu terkejut. Seakan dia sudah menduga semua ini akan terjadi. “Saya belum denger langsung dari Tania,” katanya. “Tapi saya tau dari awal kalo dia punya perasaan sama kamu. Dan saya selalu tekankan sama dia untuk bilang sama istri kamu setiap kali mau ketemu kamu. Saya nggak mau dia dicap sebagai orang ketiga dalam rumah tangga kamu.” “Saya juga belum menjawabnya,” kata Deo. “Kalo saya menolaknya, apa Tania akan ngedrop?” Tante Liora menarik napas. “Kei, jadi istri kamu atau nggak, tetep aja musuh besar Tania itu adalah kanker-nya. Kalo dia ngedrop, itu bukan karena penolakan kamu tapi karena penyakitnya.” Deo mengangguk paham. “Saya permisi, Tante,” katanya berpamitan. Setelah dari rumah Tania, Deo langsung pergi ke rumah mertuanya untuk mengantarkan bingkisan yang dititipkan Tania kepadanya. Veren baru saja selesai ganti baju ketika Deo masuk ke dalam kamarnya. “Tania titip ini buat elo,” kata Deo sambil menyerahkan sebua
“Kamu juga, lain kali tutup dulu pintunya.” Sebelum pergi, mama melanjutkan. “Silakan dilanjut lagi, anak-anak!” Veren merengut kemudian beranjak untuk menutup pintu kamarnya. “Gue tidur duluan ya, Yo? Kepala gue masih pusing gara-gara kebentur tadi,” keluh Veren sambil berbaring di tempat tidurnya. “Sini,” kata Deo sambil menawarkan lengannya sebagai bantal. “Gue perginya kalo elo udah pules.” Veren memandangnya ragu-ragu, tapi kemudian dia mengangguk dan meletakkan kepalanya di atas lengan kekar suaminya. Setelah memastikan Veren berbaring dengan nyaman di sisinya, Deo mendekat lebih erat dan merengkuh istrinya lebih dalam ke pelukannya. Dada bidang Deo yang menempel erat dengan punggungnya membuat Veren bisa merasakan detak jantung suaminya yang begitu menenangkan, hingga dia tertidur dengan senyum damai yang terukir di bibirnya. *** Veren menggeliat dan berguling ke samping, keningnya sedikit mengernyit ketika lengannya memeluk sesuatu yang empuk. Serta merta dia membuk
Seketika itu juga ekspresi gembira di wajah Veren lenyap, digantikan oleh rona kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan lagi. “Halo? Ver, lo masih di situ?” panggil Deo. Veren menghirup udara banyak-banyak sebelum menjawab. “Iya Yo, gue denger!” seru Veren, berusaha keras membuat nada suaranya terdengar biasa. “Gue usahain deh.” “Temenin gue ya?” kata Deo lagi. “Gue jemput habis maghrib, jangan lupa dandan, biar nggak malu-maluin.” Veren memaksakan diri untuk tertawa, dengan kedua matanya mulai berkaca-kaca di saat yang bersamaan. Deo masih menantikan kepastian Veren di ujung sana. “Gue usahain deh, Yo ...” jawab Veren terbata. “Lagian kenapa lo mesti ngajak gue sih? Ini kan acara lo sama Tania.” “Biar orang-orang tau kalo elo itu isteri gue,” kata Deo. “Pokoknya lo harus ikut, gue jemput di rumah habis maghrib.” Veren terdiam selama beberapa saat. “Oke,” katanya dengan berat hati. Begitu Deo memutus sambungan, Veren meletakkan ponselnya dan melepas gaun hijau zamrud yang dipa
Deo memandang Veren dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi. “Ya kan gue lagi butuh ketenangan dan nggak mau diganggu,” kilah Veren. “Gimana gue bisa istirahat kalo pegang ponsel terus?” “Emang ngangkat telpon sama baca chat gue butuh berjam-jam?” tukas Deo. “Itu tadi lo asik banget nonton drama India, padahal durasinya bisa dua jam-an.” Veren yang biasanya tidak mau mengalah, untuk kali ini sukses terdiam. “Serah deh ah, yang penting gue lagi nggak enak badan,” sergahnya sambil beranjak untuk mematikan laptopnya yang masih memutar drama favoritnya. “Nggak enak badan kok nyalain AC,” komentar Deo. “Lagian mana ada orang sakit pake baju kayak elo gitu?” Gerakan tangan Veren terhenti seketika. “Ini di rumah gue sendiri lho, serah gue dong mau pake baju apa.” “Gue nggak percaya kalo elo sakit,” ujar Deo sambil mematikan AC di kamar Veren. Dipandanginya cewek itu tajam, seraya memperhatikan tank top yang menurutnya sangat kekecilan. Menyadari tatapan mata Deo yang mencurigakan
Deo mengambil parfum dan menyemprotnya sedikit di beberapa area tertentu, setelah itu dia menata rambutnya sedikit tanpa perlu banyak sentuhan lagi. “Kita pake taksi online aja Ver,” usul Deo ketika dia dan Veren sudah turun di lantai bawah. “Emang lo ke sini naik apa?” tanya Veren. “Motor sih, tapi entar rambut lo ketiup angin jadi berantakan,” jawab Deo. “Percuma lo dandan dua jam kalo ujung-ujung diberantakin angin.” “Serah elo aja.” Veren mengangkat bahunya. Mama Veren berjalan menghampiri saat Deo sedang memesan taksi online melalui aplikasi di ponselnya. “Nah, sekali-kali kamu tampil kayak perempuan gini kan enak lihatnya,” komentar mama senang. “Aku biarpun pake sarung tetep aja namanya perempuan,” sahut Veren. “Mama ada-ada aja.” “Maksud mama jangan pake celana jins terus,” saran mama. “Kalo gini kan kamu sama Deo jadi tambah serasi.” “Ma, aku sama Deo kan mau cer ....” “Makasih Ma,” potong Deo sebelum Veren selesai menyebut kata cerai. “Aku izin bawa Veren pergi mak
Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit
Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren
“Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad
“Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu
“Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang
“Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta
“Masih ada waktu bagi kamu dan Veren untuk memikirkan baik-baik soal nasib pernikahan kalian,” kata mama seraya mengusap kepala Deo. “Mama nggak ngira kamu udah segede ini, Yo. Rasanya baru kemarin sore kamu lulus SMA, dan sekarang kamu udah jadi seorang suami ....”“Mama ngeledek,” dengus Deo sambil tertawa. “Tapi aku tetep nggak mau maksa Veren buat lanjut, Ma. Hidup aku belom mapan, aku juga masih harus kuliah. Mau aku kasih makan apa dia nanti? Nggak mungkin aku terus-terusan hidup nomaden di antara rumah mama sama rumah mertua. Mana harga diri aku sebagai suami, Ma?”Mama Deo tersenyum bijak.“Yo, kamu beruntung punya mertua yang pengertian. Mereka paham kondisi kamu kayak gimana, jadi kami semua sepakat akan membantu kalian sampai bisa hidup mandiri. Itu kalo kalian mau nerusin pernikahan ini. Kalo nggak, kami bisa apa?”Deo menggeleng.“Mana ada cewek yang mau hidup sama aku yang masih blangsak ini?” katanya sambil meneguk susu yang masih tersisa.***Veren memandang kalender
“Mana ada cewek yang bener-bener mau memulai hidup dari nol?” komentarnya. “Nggak ada juga ortu yang rela anaknya diajak hidup susah, kalo di rumah aja kebutuhannya serba tercukupi.” Veren sukses terdiam. “Kalo emang lo mau cerai, gue tunggu gugatan cerai lo di pengadilan agama.” Deo bangun dan memandang Veren yang masih berbaring. “Kita nggak usah ketemu lagi, biar keputusan lo nggak goyah. Gue tau lo lagi bingung Ver, dan gue nggak mau kehadiran gue bikin lo tambah bingung.” Deo menunduk dan mengecup kening Veren lembut. “Gue pergi ya? Kita ketemu lagi di pengadilan,” katanya seraya turun dari tempat tidur Veren. “Yo!” Veren ikut bangun dan menggenggam tangan Deo. “Lo tenang aja, gue akan jelasin ke ortu kita kalo ini adalah jalan paling baik yang harus diambil,” kata Deo tanpa menghentikan langkahnya, dengan tangan Veren masih menggenggamnya erat. Veren mengikuti Deo sampai ke pintu kamar. “Yo, kita masih punya waktu dua minggu ...” katanya. “Gue tau, lo bisa pake waktu du
“Halo, Tan? Oh, jadwal kontrol kamu ya pagi ini?” tanya Deo kepada seseorang di seberang sana, membuat Veren memasang telinganya baik-baik. “Gimana ya ... kalo aku izin dulu gimana, Tan?” lanjut Deo. “Ada Pak Muji kan di sana? Maaf ya kalo aku kurang profesional ... iya, Veren lagi sakit. Potong gaji aja nggak papa, Tan. Iya aku ngerti kok ... uang bisa dicari, tapi istri kan nggak bisa difotokopi.” Veren ingin sekali tertawa mendengar kalimat Deo barusan, tapi dia susah payah menahannya. Jika saja dia sedang tidak pura-pura tidur sekarang, tentu dia akan mengatakan bahwa Deo adalah mesin fotokopinya. “Makasih ya, Tan!” Deo mengakhiri percakapannya di ponsel, setelah itu dia kembali mendekap Veren erat sekali. Veren merasakan tubuhnya seakan mengecil ketika dekapan Deo menariknya semakin dalam dengan tubuhya sendiri. “Anak-anak, sarapan dulu!” Terdengar suara mama memanggil dari luar kamar Veren. “Iya, Ma!” sahut Deo. Pelan-pelan dia melepas Veren kemudian pergi ke toilet sebelum