“Biar aku aja yang lihat Kak Veren, Kei.” Tania mendahului pergi sebelum Deo sempat berdiri dari kursinya. “Kamu udah ngasih jawaban sama Tania, Kei?” tanya Tante Liora ingin tahu. “Belum, Tante. Saya masih mempertimbangkannya,” jawab Deo. “Berarti ada kemungkinan kamu mau nikah sama Tania?” tanya Tante Liora sambil mengernyit. “Emang istri kamu akan mengizinkan kamu nikah lagi?” Deo teringat betapa marahnya Veren saat dia menceritakan tentang keinginan Tania untuk menjadi istri keduanya. “Kemungkinan enggak sih,” jawab Deo akhirnya. “Saya malah heran kalo istri kamu ngizinin kamu nikah sama Tania kecuali terjadi perceraian di antara kalian,” komentar Tante Liora. “Tapi kamu nggak mungkin menceraikan Veren demi bisa nikah sama Tania kan?” “Enggak, Tante.” Deo menggelengkan kepalanya. “Kalo gitu, segeralah kasih jawaban sama Tania. Jangan kasih dia harapan semu, di sini ada dua perempuan yang perasaannya sedang kamu pertaruhkan,” kata Tante Liora. Deo menarik napas. “Apa men
“Lo kapan sembuhnya kalo kek gini terus?” sahut Deo mangkel. “Keras amat jadi orang?” “Bodo,” balas Veren. “Daripada lo, lembek kayak kerupuk kena aer.” “Lo ngatain gue lembek?” kata Deo tidak terima. “Elo gelut sama gue juga bakalan gue yang menang. Mau bukti?” Veren tidak menjawab karena perasaan mual mulai menguasai perutnya lagi. “Lo jauh-jauh dulu deh sana,” usirnya. “Tambah pusing gue denger ocehan lo.” Deo menggeleng-gelengkan kepalanya, malam ini adalah malam Minggu tersial dalam hidupnya. Semua hanya karena dia salah memeluk orang. “Udah enakan?” tanya Deo setelah mereka duduk beberapa saat lamanya. “Pulang yuk?” “Lo duluan aja,” jawab Veren datar. “Lo ‘napa sih Ver, sengak mulu sama gue dari tadi?” protes Deo. “Lo PMS? Minum obat sono, jangan bisanya cuma senewen sama orang.” Mendengar Deo mengomel, Veren jadi meradang lagi. “Gimana gue nggak senewen? Gue kan udah bilang kalo gue nggak mau ikut tapi lo tetep aja maksa,” sengitnya. “Sampe sana ternyata lo cuma mau p
“Belom aja, keburu ketahuan. Nantinya kan lo juga bakalan tidur sama dia kalo kalian udah jadi suami isteri,” kata Veren judes. “Entah apa aja yang udah lo lakuin sama Tania pas di Maladewa sana.”Veren terdiam, dia tahu Maladewa destinasi wisata seperti apa. Banyak kalangan yang telah menjadikan Maladewa sebagai surga untuk pasangan yang berbulan madu. Sudah pasti tempatnya indah dan romantis, pastinya ada banyak hal yang bisa mereka lakukan selain hanya duduk bersama di tepian pantai.Membayangkan itu, tiba-tiba setitik air mata jatuh begitu saja di pipi Veren. Dia cepat-cepat menyekanya dan berpaling dari Deo sebelum dia melihatnya.“Gue nggak ngelakuin apa pun sama Tania selama di sana Ver,” kata Deo menjelaskan. “Dan lo nggak perlu ngebayangin hal yang belom terjadi lah.” “Bukannya elo mempertimbangkan permintaan Tania buat jadi isteri kedua lo?” tukas Veren tanpa memandang Deo.“Tania bilang gitu karena dia nggak tau soal rencana perceraian kita,” sahut Deo. “Bukannya itu yang
“Halo, Tan? Oh, jadwal kontrol kamu ya pagi ini?” tanya Deo kepada seseorang di seberang sana, membuat Veren memasang telinganya baik-baik. “Gimana ya ... kalo aku izin dulu gimana, Tan?” lanjut Deo. “Ada Pak Muji kan di sana? Maaf ya kalo aku kurang profesional ... iya, Veren lagi sakit. Potong gaji aja nggak papa, Tan. Iya aku ngerti kok ... uang bisa dicari, tapi istri kan nggak bisa difotokopi.” Veren ingin sekali tertawa mendengar kalimat Deo barusan, tapi dia susah payah menahannya. Jika saja dia sedang tidak pura-pura tidur sekarang, tentu dia akan mengatakan bahwa Deo adalah mesin fotokopinya. “Makasih ya, Tan!” Deo mengakhiri percakapannya di ponsel, setelah itu dia kembali mendekap Veren erat sekali. Veren merasakan tubuhnya seakan mengecil ketika dekapan Deo menariknya semakin dalam dengan tubuhya sendiri. “Anak-anak, sarapan dulu!” Terdengar suara mama memanggil dari luar kamar Veren. “Iya, Ma!” sahut Deo. Pelan-pelan dia melepas Veren kemudian pergi ke toilet sebelum
“Mana ada cewek yang bener-bener mau memulai hidup dari nol?” komentarnya. “Nggak ada juga ortu yang rela anaknya diajak hidup susah, kalo di rumah aja kebutuhannya serba tercukupi.” Veren sukses terdiam. “Kalo emang lo mau cerai, gue tunggu gugatan cerai lo di pengadilan agama.” Deo bangun dan memandang Veren yang masih berbaring. “Kita nggak usah ketemu lagi, biar keputusan lo nggak goyah. Gue tau lo lagi bingung Ver, dan gue nggak mau kehadiran gue bikin lo tambah bingung.” Deo menunduk dan mengecup kening Veren lembut. “Gue pergi ya? Kita ketemu lagi di pengadilan,” katanya seraya turun dari tempat tidur Veren. “Yo!” Veren ikut bangun dan menggenggam tangan Deo. “Lo tenang aja, gue akan jelasin ke ortu kita kalo ini adalah jalan paling baik yang harus diambil,” kata Deo tanpa menghentikan langkahnya, dengan tangan Veren masih menggenggamnya erat. Veren mengikuti Deo sampai ke pintu kamar. “Yo, kita masih punya waktu dua minggu ...” katanya. “Gue tau, lo bisa pake waktu du
“Masih ada waktu bagi kamu dan Veren untuk memikirkan baik-baik soal nasib pernikahan kalian,” kata mama seraya mengusap kepala Deo. “Mama nggak ngira kamu udah segede ini, Yo. Rasanya baru kemarin sore kamu lulus SMA, dan sekarang kamu udah jadi seorang suami ....”“Mama ngeledek,” dengus Deo sambil tertawa. “Tapi aku tetep nggak mau maksa Veren buat lanjut, Ma. Hidup aku belom mapan, aku juga masih harus kuliah. Mau aku kasih makan apa dia nanti? Nggak mungkin aku terus-terusan hidup nomaden di antara rumah mama sama rumah mertua. Mana harga diri aku sebagai suami, Ma?”Mama Deo tersenyum bijak.“Yo, kamu beruntung punya mertua yang pengertian. Mereka paham kondisi kamu kayak gimana, jadi kami semua sepakat akan membantu kalian sampai bisa hidup mandiri. Itu kalo kalian mau nerusin pernikahan ini. Kalo nggak, kami bisa apa?”Deo menggeleng.“Mana ada cewek yang mau hidup sama aku yang masih blangsak ini?” katanya sambil meneguk susu yang masih tersisa.***Veren memandang kalender
“Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta
“Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang