Tante Liora memandang Deo namun ekspresinya tidak begitu terkejut. Seakan dia sudah menduga semua ini akan terjadi. “Saya belum denger langsung dari Tania,” katanya. “Tapi saya tau dari awal kalo dia punya perasaan sama kamu. Dan saya selalu tekankan sama dia untuk bilang sama istri kamu setiap kali mau ketemu kamu. Saya nggak mau dia dicap sebagai orang ketiga dalam rumah tangga kamu.” “Saya juga belum menjawabnya,” kata Deo. “Kalo saya menolaknya, apa Tania akan ngedrop?” Tante Liora menarik napas. “Kei, jadi istri kamu atau nggak, tetep aja musuh besar Tania itu adalah kanker-nya. Kalo dia ngedrop, itu bukan karena penolakan kamu tapi karena penyakitnya.” Deo mengangguk paham. “Saya permisi, Tante,” katanya berpamitan. Setelah dari rumah Tania, Deo langsung pergi ke rumah mertuanya untuk mengantarkan bingkisan yang dititipkan Tania kepadanya. Veren baru saja selesai ganti baju ketika Deo masuk ke dalam kamarnya. “Tania titip ini buat elo,” kata Deo sambil menyerahkan sebua
“Kamu juga, lain kali tutup dulu pintunya.” Sebelum pergi, mama melanjutkan. “Silakan dilanjut lagi, anak-anak!” Veren merengut kemudian beranjak untuk menutup pintu kamarnya. “Gue tidur duluan ya, Yo? Kepala gue masih pusing gara-gara kebentur tadi,” keluh Veren sambil berbaring di tempat tidurnya. “Sini,” kata Deo sambil menawarkan lengannya sebagai bantal. “Gue perginya kalo elo udah pules.” Veren memandangnya ragu-ragu, tapi kemudian dia mengangguk dan meletakkan kepalanya di atas lengan kekar suaminya. Setelah memastikan Veren berbaring dengan nyaman di sisinya, Deo mendekat lebih erat dan merengkuh istrinya lebih dalam ke pelukannya. Dada bidang Deo yang menempel erat dengan punggungnya membuat Veren bisa merasakan detak jantung suaminya yang begitu menenangkan, hingga dia tertidur dengan senyum damai yang terukir di bibirnya. *** Veren menggeliat dan berguling ke samping, keningnya sedikit mengernyit ketika lengannya memeluk sesuatu yang empuk. Serta merta dia membuk
Seketika itu juga ekspresi gembira di wajah Veren lenyap, digantikan oleh rona kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan lagi. “Halo? Ver, lo masih di situ?” panggil Deo. Veren menghirup udara banyak-banyak sebelum menjawab. “Iya Yo, gue denger!” seru Veren, berusaha keras membuat nada suaranya terdengar biasa. “Gue usahain deh.” “Temenin gue ya?” kata Deo lagi. “Gue jemput habis maghrib, jangan lupa dandan, biar nggak malu-maluin.” Veren memaksakan diri untuk tertawa, dengan kedua matanya mulai berkaca-kaca di saat yang bersamaan. Deo masih menantikan kepastian Veren di ujung sana. “Gue usahain deh, Yo ...” jawab Veren terbata. “Lagian kenapa lo mesti ngajak gue sih? Ini kan acara lo sama Tania.” “Biar orang-orang tau kalo elo itu isteri gue,” kata Deo. “Pokoknya lo harus ikut, gue jemput di rumah habis maghrib.” Veren terdiam selama beberapa saat. “Oke,” katanya dengan berat hati. Begitu Deo memutus sambungan, Veren meletakkan ponselnya dan melepas gaun hijau zamrud yang dipa
Deo memandang Veren dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi. “Ya kan gue lagi butuh ketenangan dan nggak mau diganggu,” kilah Veren. “Gimana gue bisa istirahat kalo pegang ponsel terus?” “Emang ngangkat telpon sama baca chat gue butuh berjam-jam?” tukas Deo. “Itu tadi lo asik banget nonton drama India, padahal durasinya bisa dua jam-an.” Veren yang biasanya tidak mau mengalah, untuk kali ini sukses terdiam. “Serah deh ah, yang penting gue lagi nggak enak badan,” sergahnya sambil beranjak untuk mematikan laptopnya yang masih memutar drama favoritnya. “Nggak enak badan kok nyalain AC,” komentar Deo. “Lagian mana ada orang sakit pake baju kayak elo gitu?” Gerakan tangan Veren terhenti seketika. “Ini di rumah gue sendiri lho, serah gue dong mau pake baju apa.” “Gue nggak percaya kalo elo sakit,” ujar Deo sambil mematikan AC di kamar Veren. Dipandanginya cewek itu tajam, seraya memperhatikan tank top yang menurutnya sangat kekecilan. Menyadari tatapan mata Deo yang mencurigakan
Deo mengambil parfum dan menyemprotnya sedikit di beberapa area tertentu, setelah itu dia menata rambutnya sedikit tanpa perlu banyak sentuhan lagi. “Kita pake taksi online aja Ver,” usul Deo ketika dia dan Veren sudah turun di lantai bawah. “Emang lo ke sini naik apa?” tanya Veren. “Motor sih, tapi entar rambut lo ketiup angin jadi berantakan,” jawab Deo. “Percuma lo dandan dua jam kalo ujung-ujung diberantakin angin.” “Serah elo aja.” Veren mengangkat bahunya. Mama Veren berjalan menghampiri saat Deo sedang memesan taksi online melalui aplikasi di ponselnya. “Nah, sekali-kali kamu tampil kayak perempuan gini kan enak lihatnya,” komentar mama senang. “Aku biarpun pake sarung tetep aja namanya perempuan,” sahut Veren. “Mama ada-ada aja.” “Maksud mama jangan pake celana jins terus,” saran mama. “Kalo gini kan kamu sama Deo jadi tambah serasi.” “Ma, aku sama Deo kan mau cer ....” “Makasih Ma,” potong Deo sebelum Veren selesai menyebut kata cerai. “Aku izin bawa Veren pergi mak
“Biar aku aja yang lihat Kak Veren, Kei.” Tania mendahului pergi sebelum Deo sempat berdiri dari kursinya. “Kamu udah ngasih jawaban sama Tania, Kei?” tanya Tante Liora ingin tahu. “Belum, Tante. Saya masih mempertimbangkannya,” jawab Deo. “Berarti ada kemungkinan kamu mau nikah sama Tania?” tanya Tante Liora sambil mengernyit. “Emang istri kamu akan mengizinkan kamu nikah lagi?” Deo teringat betapa marahnya Veren saat dia menceritakan tentang keinginan Tania untuk menjadi istri keduanya. “Kemungkinan enggak sih,” jawab Deo akhirnya. “Saya malah heran kalo istri kamu ngizinin kamu nikah sama Tania kecuali terjadi perceraian di antara kalian,” komentar Tante Liora. “Tapi kamu nggak mungkin menceraikan Veren demi bisa nikah sama Tania kan?” “Enggak, Tante.” Deo menggelengkan kepalanya. “Kalo gitu, segeralah kasih jawaban sama Tania. Jangan kasih dia harapan semu, di sini ada dua perempuan yang perasaannya sedang kamu pertaruhkan,” kata Tante Liora. Deo menarik napas. “Apa men
“Lo kapan sembuhnya kalo kek gini terus?” sahut Deo mangkel. “Keras amat jadi orang?” “Bodo,” balas Veren. “Daripada lo, lembek kayak kerupuk kena aer.” “Lo ngatain gue lembek?” kata Deo tidak terima. “Elo gelut sama gue juga bakalan gue yang menang. Mau bukti?” Veren tidak menjawab karena perasaan mual mulai menguasai perutnya lagi. “Lo jauh-jauh dulu deh sana,” usirnya. “Tambah pusing gue denger ocehan lo.” Deo menggeleng-gelengkan kepalanya, malam ini adalah malam Minggu tersial dalam hidupnya. Semua hanya karena dia salah memeluk orang. “Udah enakan?” tanya Deo setelah mereka duduk beberapa saat lamanya. “Pulang yuk?” “Lo duluan aja,” jawab Veren datar. “Lo ‘napa sih Ver, sengak mulu sama gue dari tadi?” protes Deo. “Lo PMS? Minum obat sono, jangan bisanya cuma senewen sama orang.” Mendengar Deo mengomel, Veren jadi meradang lagi. “Gimana gue nggak senewen? Gue kan udah bilang kalo gue nggak mau ikut tapi lo tetep aja maksa,” sengitnya. “Sampe sana ternyata lo cuma mau p
“Belom aja, keburu ketahuan. Nantinya kan lo juga bakalan tidur sama dia kalo kalian udah jadi suami isteri,” kata Veren judes. “Entah apa aja yang udah lo lakuin sama Tania pas di Maladewa sana.”Veren terdiam, dia tahu Maladewa destinasi wisata seperti apa. Banyak kalangan yang telah menjadikan Maladewa sebagai surga untuk pasangan yang berbulan madu. Sudah pasti tempatnya indah dan romantis, pastinya ada banyak hal yang bisa mereka lakukan selain hanya duduk bersama di tepian pantai.Membayangkan itu, tiba-tiba setitik air mata jatuh begitu saja di pipi Veren. Dia cepat-cepat menyekanya dan berpaling dari Deo sebelum dia melihatnya.“Gue nggak ngelakuin apa pun sama Tania selama di sana Ver,” kata Deo menjelaskan. “Dan lo nggak perlu ngebayangin hal yang belom terjadi lah.” “Bukannya elo mempertimbangkan permintaan Tania buat jadi isteri kedua lo?” tukas Veren tanpa memandang Deo.“Tania bilang gitu karena dia nggak tau soal rencana perceraian kita,” sahut Deo. “Bukannya itu yang