Veren mencoba mempertahankan satu-satunya dress yang masih tersisa di tubuhnya. “Jangan, Yo!” pekiknya. “Gue nggak bawa baju ganti!” “Bodo amat!” Deo yang sudah dikuasai amarah tetap merobek dress yang masih dipakai Veren sampai betul-betul menelanjanginya. “Lo kelewatan banget sih, Yo?” seru Veren seraya memeluk dirinya sendiri di lantai agar sebagian asetnya tertutupi dari pandangan buas Deo. “Lebih kelewatan mana gue sama elo?” tukas Deo sengit. “Elo itu masih istri gue, mestinya lo bisa jaga nama baik gue, bukannya bikin malu gue kayak gini!” Veren mengulurkan tangan untuk mengambil selimut Deo dan membungkus tubuhnya sendiri yang hanya memakai celana dalam saja. “Kita kan udah mau cerai, ngapain lo masih ngurusin gue?” kata Veren heran. “Lagian gue yang pake baju, ‘napa lo yang malu?” Deo melotot memandang Veren dengan ekspresi yang seolah ingin menguliti cewek itu hidup-hidup. “Lo kan biasanya pake celana jins panjang sama kemeja, ‘napa tadi lo pake baju yang bel
Veren mendekati koper itu dan membukanya, mendadak sebuah ide jail melintas di benaknya begitu saja. Sementara di tempat lain, Deo dan Septian telah selesai bermain sepak bola bersama belasan mahasiswa dari kampus mereka. Saat itu Deo baru ingat kalau dirinya meninggalkan Veren di kamar dan melarangnya keluar tanpa seizinnya. “Sep, gue duluan ya?” kata Deo buru-buru. “Veren lagi di rumah gue soalnya.” “Iya, Yo!” sahut Septian yang sedang berbincang dengan temannya dari fakultas berbeda. Sebelum pulang, Deo menyempatkan diri untuk membeli seporsi nasi goreng spesial dekat kampusnya. Meskipun dia masih kesal kepada Veren, dia merasa harus tetap memberinya makanan yang layak. Sesampainya di rumah, Deo langsung naik ke kamarnya sambil membawa nasi goreng yang tadi dibelinya. Saat Deo membuka pintu kamarnya, dia tercengang melihat baju-bajunya yang berceceran di lantai. Kedua matanya menelusuri setiap inci ruangan dan melihat kopernya terbuka dengan isi yang sudah berhamburan keluar.
Deo memandang berkeliling untuk mencari meja kosong. “Kita duduk dulu, yuk?” katanya sambil menunjuk meja yang berada paling dekat. Tania mengangguk dan mengikuti Deo ke tempat yang dia tuju. Begitu dia duduk, Deo menatapnya dengan serius. “Aku udah persiapin barang-barang yang mau aku bawa,” katanya. “Kira-kira aku mesti bawa uang jajan berapa banyak?” katanya. Bibir Tania melengkung membentuk senyuman tipis yang menggemaskan. “Kamu nggak usah pusing, Tante Liora udah nyiapin semuanya kok buat kita nanti.” “Mana bisa gitu?” komentar Deo. “Masa iya aku nggak bawa uang sepeserpun?” “Bukannya kamu sama Tante Liora bikin kontrak kerja?” tanya Tania. “Kamu akan nyicil tiap bulan sama gaji kamu, jadi biar semua ditanggung dulu sama tanteku. Kamu kalo mau bawa uang saku, bawa aja semampu kamu.” Deo membuka mulutnya, tapi tidak tahu mau berkata apa. Saat pulang kuliah, Deo mampir ke ATM untuk menarik sejumlah uang. Paling tidak dia harus membawa sendiri untuk jaga-jaga. Sa
“Enggak, asal kamu juga gerak cepat. Bawa dia ke tempat tante paling lambat minggu ini,” pinta Tante Orish. “Jangan lupa kamu dandani dia pake baju kayak di foto-foto yang kamu kirim sebelumnya. Deal?” Hanan tidak perlu berpikir lama untuk segera menerima tawaran dari Tante Orish yang menggiurkan, karena itu dia harus secepatnya mendapatkan kepercayaan Veren agar rencananya berjalan lancar. Di tempat lainnya, Septian sedang membantu Belinda mengemasi barang-barang untuk persiapan kemah. Demi membantu pacarnya memenuhi permintaan Deo, Belinda yang tidak begitu suka kegiatan di alam terbuka akhirnya mendaftarkan diri untuk ikut kemah itu. “Kamu nanti satu tenda sama temenku yang cowok-cowok ya?” ujar Belinda. “Aku udah daftarin kamu biar kita bisa memantau Veren di sana.” “Makasih ya, Bel?” ucap Septian. “Aku sih nggak tau apa yang terjadi sama hubungan mereka, tapi aku sebagai temen nggak tega lihat mereka kayak gitu.” “Iya Tian, aku juga prihatin kok sama Veren. Mantannya itu kay
“Aku masih inget momen terakhir sebelum kita putus,” kata Hanan lambat-lambat. “Kita pergi makan dan ternyata ikan bakar yang kamu suka tinggal satu aja. Aku udah suruh kamu buat abisin sendiri tapi kamu nggak mau, dan akhirnya ikannya kita bagi dua ....” “Han, itu udah masa lalu lho.” Veren mengingatkan. “Kamu sendiri udah punya cewek baru kan?” Hanan menarik napas dengan berat. “Iya, aku nyesel banget udah ninggalin kamu saat itu.” Hanan sengaja mengambil tempat di antara Dela dan Veren. “Dari sekian banyak kesalahan yang udah aku buat dalam hidup, kesalahan terbesar aku adalah ninggalin kamu, Ver.” Hanan menatap Veren semakin intens, namun Veren memutus kontak mata itu dengan memalingkan wajahnya ke arah lain. Hanan tentu pantang menyerah begitu saja, dia tahu kelemahan Veren terletak pada kedua matanya. Asalkan dia bisa terus membuat Veren menatap matanya cukup lama, itu sudah cukup untuk membuatnya mendapat kepercayaan. “Kita jalan-jalan yuk?” ajak Hanan. “Jalan-jalan?” ul
Begitu Tania menyebut nama Veren, Deo jadi kepikiran lagi. Tapi dia percaya pada Septian dan Belinda yang telah menyanggupi permintaannya untuk mengawasi isterinya. Rasanya memang tidak adil bagi Veren jika diperlakukan seperti ini, mengingat Deo bisa bebas pergi bersama Tania dengan sesuka hatinya. Tapi firasat buruk dirinya tentang Hanan tidak bisa dia remehkan begitu saja, mengingat cowok itulah yang menjadi alasan bagi Veren untuk melakukan uji coba bunuh diri hampir dua tahun yang lalu. “Kei, kamu seneng nggak?” tanya Tania penasaran. “Kamu pasti kepikiran Kak Veren juga.” “Aku mikirnya Veren pasti nyesel karena nggak ikut ke sini,” jawab Deo. “Pantai di sini cantik-cantik dan bersih dari sampah.” Sejauh pengamatan Deo, pantai di Maldives berbeda dengan pantai-pantai yang sering dilihatnya identik dengan cewek-cewek berbikini sedang berjemur di pinggiran laut. Saat dia menanyakan hal ini kepada Pak Reza, beliau membenarkan hal itu tanpa merasa heran sedikitpun. “Di si
Namun, dia sudah hapal dengan sikap mamanya setiap kali Deo pergi dan tidak pulang beberapa hari. “Mama kepikiran, Ro. Adikmu kapan pulangnya?” ujar mama. “Entar juga pulang,” kata Gennaro. “Deo kan cuma nginep beberapa hari di kampusnya, bukan pergi ke luar negeri.” Freya memandang Gennaro dengan saksama, karena dia merasa nada suara suaminya seakan kurang senang dengan keluhan mamanya soal kepergian Deo. “Mama udah coba telepon ponselnya Deo?” tanya Freya. “Udah Frey, tapi nggak aktif.” Mama menjawab. “Makanya mama khawatir.” “Deo kan udah gede, Ma. Kalo acaranya udah selesai, dia pasti pulang.” Gennaro menyela. “Deo juga udah punya isteri, jadi biarin aja isterinya yang mikir.” “Kamu nggak ngerti perasaan mama, karena kamu sendiri belum ngerasain gimana rasanya anak pergi dan nggak ngasih kabar kayak gini, Ro ...” keluh mama. “Terlepas Deo udah punya isteri atau belum, Deo itu tetep anak mama.” Gennaro menarik napas panjang, dia memang tidak pernah menang jika berdeb
“Ya udah cepet, aku nggak mau papa aku lihat kita.” Veren memanjat naik ke boncengan belakang. “Pegangan dong, nanti jatuh.” Hanan mengingatkan. Veren mengernyitkan dahi. “Han, jangan bercanda. Aku nggak mau tetanggaku lihat, mereka tahu aku punya suami!” kata Veren nyaris histeris. “Iya, iya ...” Hanan tertawa dan bergegas menyalakan motornya untuk menuju kampus. Veren tidak berkata apa-apa lagi selama perjalanan hingga Hanan menepikan motornya di salah satu gedung fakultas. “Makasih,” ucap Veren seraya turun dari boncengan. “Aku pergi dulu ya, Han?” “Tunggu Ver,” cegah Hanan dengan satu tangannya memegang lengan Veren. “Gue temenin ya?” “Nggak usah,” tolak Veren. “Aku cuma mau ....” “Lo kelihatan kesepian lho, Ver.” Hanan memandangnya serius. “Gue bisa lihat itu di mata kamu. Kenapa, kamu kangen sama suami kamu? Kok aku nggak lihat dia di rumah kamu?” “Kita beda kampus,” kata Veren cepat-cepat. “Beda kampus apa beda rumah?” tebak Hanan. “Udah lah Ver, aku tahu