Veren mendekati koper itu dan membukanya, mendadak sebuah ide jail melintas di benaknya begitu saja. Sementara di tempat lain, Deo dan Septian telah selesai bermain sepak bola bersama belasan mahasiswa dari kampus mereka. Saat itu Deo baru ingat kalau dirinya meninggalkan Veren di kamar dan melarangnya keluar tanpa seizinnya. “Sep, gue duluan ya?” kata Deo buru-buru. “Veren lagi di rumah gue soalnya.” “Iya, Yo!” sahut Septian yang sedang berbincang dengan temannya dari fakultas berbeda. Sebelum pulang, Deo menyempatkan diri untuk membeli seporsi nasi goreng spesial dekat kampusnya. Meskipun dia masih kesal kepada Veren, dia merasa harus tetap memberinya makanan yang layak. Sesampainya di rumah, Deo langsung naik ke kamarnya sambil membawa nasi goreng yang tadi dibelinya. Saat Deo membuka pintu kamarnya, dia tercengang melihat baju-bajunya yang berceceran di lantai. Kedua matanya menelusuri setiap inci ruangan dan melihat kopernya terbuka dengan isi yang sudah berhamburan keluar.
Deo memandang berkeliling untuk mencari meja kosong. “Kita duduk dulu, yuk?” katanya sambil menunjuk meja yang berada paling dekat. Tania mengangguk dan mengikuti Deo ke tempat yang dia tuju. Begitu dia duduk, Deo menatapnya dengan serius. “Aku udah persiapin barang-barang yang mau aku bawa,” katanya. “Kira-kira aku mesti bawa uang jajan berapa banyak?” katanya. Bibir Tania melengkung membentuk senyuman tipis yang menggemaskan. “Kamu nggak usah pusing, Tante Liora udah nyiapin semuanya kok buat kita nanti.” “Mana bisa gitu?” komentar Deo. “Masa iya aku nggak bawa uang sepeserpun?” “Bukannya kamu sama Tante Liora bikin kontrak kerja?” tanya Tania. “Kamu akan nyicil tiap bulan sama gaji kamu, jadi biar semua ditanggung dulu sama tanteku. Kamu kalo mau bawa uang saku, bawa aja semampu kamu.” Deo membuka mulutnya, tapi tidak tahu mau berkata apa. Saat pulang kuliah, Deo mampir ke ATM untuk menarik sejumlah uang. Paling tidak dia harus membawa sendiri untuk jaga-jaga. Sa
“Enggak, asal kamu juga gerak cepat. Bawa dia ke tempat tante paling lambat minggu ini,” pinta Tante Orish. “Jangan lupa kamu dandani dia pake baju kayak di foto-foto yang kamu kirim sebelumnya. Deal?” Hanan tidak perlu berpikir lama untuk segera menerima tawaran dari Tante Orish yang menggiurkan, karena itu dia harus secepatnya mendapatkan kepercayaan Veren agar rencananya berjalan lancar. Di tempat lainnya, Septian sedang membantu Belinda mengemasi barang-barang untuk persiapan kemah. Demi membantu pacarnya memenuhi permintaan Deo, Belinda yang tidak begitu suka kegiatan di alam terbuka akhirnya mendaftarkan diri untuk ikut kemah itu. “Kamu nanti satu tenda sama temenku yang cowok-cowok ya?” ujar Belinda. “Aku udah daftarin kamu biar kita bisa memantau Veren di sana.” “Makasih ya, Bel?” ucap Septian. “Aku sih nggak tau apa yang terjadi sama hubungan mereka, tapi aku sebagai temen nggak tega lihat mereka kayak gitu.” “Iya Tian, aku juga prihatin kok sama Veren. Mantannya itu kay
“Aku masih inget momen terakhir sebelum kita putus,” kata Hanan lambat-lambat. “Kita pergi makan dan ternyata ikan bakar yang kamu suka tinggal satu aja. Aku udah suruh kamu buat abisin sendiri tapi kamu nggak mau, dan akhirnya ikannya kita bagi dua ....” “Han, itu udah masa lalu lho.” Veren mengingatkan. “Kamu sendiri udah punya cewek baru kan?” Hanan menarik napas dengan berat. “Iya, aku nyesel banget udah ninggalin kamu saat itu.” Hanan sengaja mengambil tempat di antara Dela dan Veren. “Dari sekian banyak kesalahan yang udah aku buat dalam hidup, kesalahan terbesar aku adalah ninggalin kamu, Ver.” Hanan menatap Veren semakin intens, namun Veren memutus kontak mata itu dengan memalingkan wajahnya ke arah lain. Hanan tentu pantang menyerah begitu saja, dia tahu kelemahan Veren terletak pada kedua matanya. Asalkan dia bisa terus membuat Veren menatap matanya cukup lama, itu sudah cukup untuk membuatnya mendapat kepercayaan. “Kita jalan-jalan yuk?” ajak Hanan. “Jalan-jalan?” ul
Begitu Tania menyebut nama Veren, Deo jadi kepikiran lagi. Tapi dia percaya pada Septian dan Belinda yang telah menyanggupi permintaannya untuk mengawasi isterinya. Rasanya memang tidak adil bagi Veren jika diperlakukan seperti ini, mengingat Deo bisa bebas pergi bersama Tania dengan sesuka hatinya. Tapi firasat buruk dirinya tentang Hanan tidak bisa dia remehkan begitu saja, mengingat cowok itulah yang menjadi alasan bagi Veren untuk melakukan uji coba bunuh diri hampir dua tahun yang lalu. “Kei, kamu seneng nggak?” tanya Tania penasaran. “Kamu pasti kepikiran Kak Veren juga.” “Aku mikirnya Veren pasti nyesel karena nggak ikut ke sini,” jawab Deo. “Pantai di sini cantik-cantik dan bersih dari sampah.” Sejauh pengamatan Deo, pantai di Maldives berbeda dengan pantai-pantai yang sering dilihatnya identik dengan cewek-cewek berbikini sedang berjemur di pinggiran laut. Saat dia menanyakan hal ini kepada Pak Reza, beliau membenarkan hal itu tanpa merasa heran sedikitpun. “Di si
Namun, dia sudah hapal dengan sikap mamanya setiap kali Deo pergi dan tidak pulang beberapa hari. “Mama kepikiran, Ro. Adikmu kapan pulangnya?” ujar mama. “Entar juga pulang,” kata Gennaro. “Deo kan cuma nginep beberapa hari di kampusnya, bukan pergi ke luar negeri.” Freya memandang Gennaro dengan saksama, karena dia merasa nada suara suaminya seakan kurang senang dengan keluhan mamanya soal kepergian Deo. “Mama udah coba telepon ponselnya Deo?” tanya Freya. “Udah Frey, tapi nggak aktif.” Mama menjawab. “Makanya mama khawatir.” “Deo kan udah gede, Ma. Kalo acaranya udah selesai, dia pasti pulang.” Gennaro menyela. “Deo juga udah punya isteri, jadi biarin aja isterinya yang mikir.” “Kamu nggak ngerti perasaan mama, karena kamu sendiri belum ngerasain gimana rasanya anak pergi dan nggak ngasih kabar kayak gini, Ro ...” keluh mama. “Terlepas Deo udah punya isteri atau belum, Deo itu tetep anak mama.” Gennaro menarik napas panjang, dia memang tidak pernah menang jika berdeb
“Ya udah cepet, aku nggak mau papa aku lihat kita.” Veren memanjat naik ke boncengan belakang. “Pegangan dong, nanti jatuh.” Hanan mengingatkan. Veren mengernyitkan dahi. “Han, jangan bercanda. Aku nggak mau tetanggaku lihat, mereka tahu aku punya suami!” kata Veren nyaris histeris. “Iya, iya ...” Hanan tertawa dan bergegas menyalakan motornya untuk menuju kampus. Veren tidak berkata apa-apa lagi selama perjalanan hingga Hanan menepikan motornya di salah satu gedung fakultas. “Makasih,” ucap Veren seraya turun dari boncengan. “Aku pergi dulu ya, Han?” “Tunggu Ver,” cegah Hanan dengan satu tangannya memegang lengan Veren. “Gue temenin ya?” “Nggak usah,” tolak Veren. “Aku cuma mau ....” “Lo kelihatan kesepian lho, Ver.” Hanan memandangnya serius. “Gue bisa lihat itu di mata kamu. Kenapa, kamu kangen sama suami kamu? Kok aku nggak lihat dia di rumah kamu?” “Kita beda kampus,” kata Veren cepat-cepat. “Beda kampus apa beda rumah?” tebak Hanan. “Udah lah Ver, aku tahu
“Maksud kamu?” Deo balas memandang Tania tidak mengerti.“Umur aku nggak akan lama lagi, sekali aja dalam hidup, aku ... aku mau merasakan yang namanya menikah sama orang yang aku cintai,” kata Tania pelan. “Setelah itu ... aku akan pergi dengan tenang ....”“Tan, kamu ngomong apa sih?” potong Deo. “Kamu pasti sembuh dan bisa menikah sama orang yang kamu cintai.”Tania menoleh memandang laut lagi.“Aku tahu omonganku ini lancang, tapi kesempitan waktu memaksaku untuk bilang ini sama kamu. Apa aku bisa jadi yang kedua setelah Kak Veren?” tanya Tania, dua bulir bening mulai menggantung dipelupuk matanya.Deo terperanjat kaget. “Tan, aku nggak mungkin ... ngelakuin itu,” katanya lemah. “Kamu layak dapet seseorang yang mencintai kamu.”“Di saat itu tiba mungkin aku udah nggak ada, Kei.” Tania menggelengkan kepala. “Aku nggak akan nanya apa kamu cinta sama aku, aku cuma mau tau apa aku bisa jadi ... isteri kedua kamu?”Deo terdiam selama beberapa saat lamanya, sementara senja di Maladewa
Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit
Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren
“Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad
“Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu
“Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang
“Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta
“Masih ada waktu bagi kamu dan Veren untuk memikirkan baik-baik soal nasib pernikahan kalian,” kata mama seraya mengusap kepala Deo. “Mama nggak ngira kamu udah segede ini, Yo. Rasanya baru kemarin sore kamu lulus SMA, dan sekarang kamu udah jadi seorang suami ....”“Mama ngeledek,” dengus Deo sambil tertawa. “Tapi aku tetep nggak mau maksa Veren buat lanjut, Ma. Hidup aku belom mapan, aku juga masih harus kuliah. Mau aku kasih makan apa dia nanti? Nggak mungkin aku terus-terusan hidup nomaden di antara rumah mama sama rumah mertua. Mana harga diri aku sebagai suami, Ma?”Mama Deo tersenyum bijak.“Yo, kamu beruntung punya mertua yang pengertian. Mereka paham kondisi kamu kayak gimana, jadi kami semua sepakat akan membantu kalian sampai bisa hidup mandiri. Itu kalo kalian mau nerusin pernikahan ini. Kalo nggak, kami bisa apa?”Deo menggeleng.“Mana ada cewek yang mau hidup sama aku yang masih blangsak ini?” katanya sambil meneguk susu yang masih tersisa.***Veren memandang kalender
“Mana ada cewek yang bener-bener mau memulai hidup dari nol?” komentarnya. “Nggak ada juga ortu yang rela anaknya diajak hidup susah, kalo di rumah aja kebutuhannya serba tercukupi.” Veren sukses terdiam. “Kalo emang lo mau cerai, gue tunggu gugatan cerai lo di pengadilan agama.” Deo bangun dan memandang Veren yang masih berbaring. “Kita nggak usah ketemu lagi, biar keputusan lo nggak goyah. Gue tau lo lagi bingung Ver, dan gue nggak mau kehadiran gue bikin lo tambah bingung.” Deo menunduk dan mengecup kening Veren lembut. “Gue pergi ya? Kita ketemu lagi di pengadilan,” katanya seraya turun dari tempat tidur Veren. “Yo!” Veren ikut bangun dan menggenggam tangan Deo. “Lo tenang aja, gue akan jelasin ke ortu kita kalo ini adalah jalan paling baik yang harus diambil,” kata Deo tanpa menghentikan langkahnya, dengan tangan Veren masih menggenggamnya erat. Veren mengikuti Deo sampai ke pintu kamar. “Yo, kita masih punya waktu dua minggu ...” katanya. “Gue tau, lo bisa pake waktu du
“Halo, Tan? Oh, jadwal kontrol kamu ya pagi ini?” tanya Deo kepada seseorang di seberang sana, membuat Veren memasang telinganya baik-baik. “Gimana ya ... kalo aku izin dulu gimana, Tan?” lanjut Deo. “Ada Pak Muji kan di sana? Maaf ya kalo aku kurang profesional ... iya, Veren lagi sakit. Potong gaji aja nggak papa, Tan. Iya aku ngerti kok ... uang bisa dicari, tapi istri kan nggak bisa difotokopi.” Veren ingin sekali tertawa mendengar kalimat Deo barusan, tapi dia susah payah menahannya. Jika saja dia sedang tidak pura-pura tidur sekarang, tentu dia akan mengatakan bahwa Deo adalah mesin fotokopinya. “Makasih ya, Tan!” Deo mengakhiri percakapannya di ponsel, setelah itu dia kembali mendekap Veren erat sekali. Veren merasakan tubuhnya seakan mengecil ketika dekapan Deo menariknya semakin dalam dengan tubuhya sendiri. “Anak-anak, sarapan dulu!” Terdengar suara mama memanggil dari luar kamar Veren. “Iya, Ma!” sahut Deo. Pelan-pelan dia melepas Veren kemudian pergi ke toilet sebelum