Namun, dia sudah hapal dengan sikap mamanya setiap kali Deo pergi dan tidak pulang beberapa hari. “Mama kepikiran, Ro. Adikmu kapan pulangnya?” ujar mama. “Entar juga pulang,” kata Gennaro. “Deo kan cuma nginep beberapa hari di kampusnya, bukan pergi ke luar negeri.” Freya memandang Gennaro dengan saksama, karena dia merasa nada suara suaminya seakan kurang senang dengan keluhan mamanya soal kepergian Deo. “Mama udah coba telepon ponselnya Deo?” tanya Freya. “Udah Frey, tapi nggak aktif.” Mama menjawab. “Makanya mama khawatir.” “Deo kan udah gede, Ma. Kalo acaranya udah selesai, dia pasti pulang.” Gennaro menyela. “Deo juga udah punya isteri, jadi biarin aja isterinya yang mikir.” “Kamu nggak ngerti perasaan mama, karena kamu sendiri belum ngerasain gimana rasanya anak pergi dan nggak ngasih kabar kayak gini, Ro ...” keluh mama. “Terlepas Deo udah punya isteri atau belum, Deo itu tetep anak mama.” Gennaro menarik napas panjang, dia memang tidak pernah menang jika berdeb
“Ya udah cepet, aku nggak mau papa aku lihat kita.” Veren memanjat naik ke boncengan belakang. “Pegangan dong, nanti jatuh.” Hanan mengingatkan. Veren mengernyitkan dahi. “Han, jangan bercanda. Aku nggak mau tetanggaku lihat, mereka tahu aku punya suami!” kata Veren nyaris histeris. “Iya, iya ...” Hanan tertawa dan bergegas menyalakan motornya untuk menuju kampus. Veren tidak berkata apa-apa lagi selama perjalanan hingga Hanan menepikan motornya di salah satu gedung fakultas. “Makasih,” ucap Veren seraya turun dari boncengan. “Aku pergi dulu ya, Han?” “Tunggu Ver,” cegah Hanan dengan satu tangannya memegang lengan Veren. “Gue temenin ya?” “Nggak usah,” tolak Veren. “Aku cuma mau ....” “Lo kelihatan kesepian lho, Ver.” Hanan memandangnya serius. “Gue bisa lihat itu di mata kamu. Kenapa, kamu kangen sama suami kamu? Kok aku nggak lihat dia di rumah kamu?” “Kita beda kampus,” kata Veren cepat-cepat. “Beda kampus apa beda rumah?” tebak Hanan. “Udah lah Ver, aku tahu
“Maksud kamu?” Deo balas memandang Tania tidak mengerti.“Umur aku nggak akan lama lagi, sekali aja dalam hidup, aku ... aku mau merasakan yang namanya menikah sama orang yang aku cintai,” kata Tania pelan. “Setelah itu ... aku akan pergi dengan tenang ....”“Tan, kamu ngomong apa sih?” potong Deo. “Kamu pasti sembuh dan bisa menikah sama orang yang kamu cintai.”Tania menoleh memandang laut lagi.“Aku tahu omonganku ini lancang, tapi kesempitan waktu memaksaku untuk bilang ini sama kamu. Apa aku bisa jadi yang kedua setelah Kak Veren?” tanya Tania, dua bulir bening mulai menggantung dipelupuk matanya.Deo terperanjat kaget. “Tan, aku nggak mungkin ... ngelakuin itu,” katanya lemah. “Kamu layak dapet seseorang yang mencintai kamu.”“Di saat itu tiba mungkin aku udah nggak ada, Kei.” Tania menggelengkan kepala. “Aku nggak akan nanya apa kamu cinta sama aku, aku cuma mau tau apa aku bisa jadi ... isteri kedua kamu?”Deo terdiam selama beberapa saat lamanya, sementara senja di Maladewa
“Kamu nggak mau tau tentang perasaanku sama kamu?” katanya.“Aku udah bisa nebak kok, Kei.” Tania memandang Deo. “Kamu nggak mungkin ada perasaan sama aku, karena kamu udah sama Kak Veren. Yang aku tau, aku suka sama kamu. Aku mau menikah dan jadi istri kamu, meski itu nggak akan lama.”Deo merasa bimbang sekarang, mau bagaimanapun menikah itu tidak mudah. Apalagi dengan statusnya sekarang yang sudah beristri satu.“Maaf ya kalo aku egois, Kei?” kata Tania lagi. “Aku hanya nggak mau menyesal jika mendadak aku pergi dan kamu nggak pernah tau perasaanku selamanya.”Deo menganggukkan kepala seraya mengusap kepala Tania dengan sangat hati-hati.“Makasih ya, kamu udah mau jujur tentang perasaanmu?” katanya lembut.Di tempat lainnya, Veren sedang memasukkan satu-satunya gaun yang selamat dari amukan Deo untuk dipakainya di acara makan malam bersama Tante Orish. Namun, tentu saja dia tidak akan memakai gaun itu dari rumah, dia akan memakainya nanti di toilet kampus.Hanan sudah memfasilitasi
Veren tersipu dan segera masuk ke mobilnya. Selanjutnya perjalanan mereka dimulai. Veren tidak tahu di mana lokasi untuk acara makan malam bersama Tante Orish, yang pasti dia merasa lumayan gugup dibuatnya. Rasanya seperti akan dipertemukan dengan calon mertua. Veren menahan napas ketika Hanan menghentikan mobilnya di depan sebuah cafe mewah yang belum pernah dikunjunginya sama sekali. Pelan-pelan Hanan memasukkan mobilnya ke halaman parkir cafe itu tanpa berkeinginan untuk menjelaskan kepada Veren kenapa dia memilih tempat ini untuk lokasi makan malam. Setelah mobilnya aman terparkir, dengan tenang Hanan keluar dari mobilnya kemudian membukakan pintu untuk Veren. “Selamat datang, Tuan Putri.” Hanan menunjuk cafe itu dengan sebelah tangannya. “Yuk, kita masuk.” Veren mematung di tenpatnya berdiri. “Ini tempat buat makan malamnya?” tanya Veren tidak yakin. Setahu dia Hanan tidak pernah mengajaknya pergi ke cafe semewah ini. “Iya Ver,” jawab Hanan. “Kita ketemu sama tanteku di d
“T—tunggu Kak, saya bukan cewek seperti itu!” sergah Veren dengan wajah tegang. “Saya udah bayar kamu lho.” Laki-laki yang belum diketahui namanya itu tidak memedulikan protes yang Veren lontarkan dan langsung menghempaskan tubuh cewek itu ke tempat tidur. “Jangan Kak!” Veren berontak sekeras yang dia bisa. “Kakak salah orang! Deo, tolong!” Deo tergeragap kaget di kursinya, membuat Tania yang duduk di sebelahnya ikut terlonjak. “Kamu kenapa, Kei?” tanya Tania khawatir. “Mimpi buruk?” Deo menggeleng kikuk. “Aku ... kenapa ya?” “Kamu tadi tidur, terus tau-tau kebangun gitu aja. Siap-siap, pesawatnya sebentar lagi mau mendarat.” Tania memberi tahu. “Tapi kamu nggak apa-apa, kan?” “Nggak papa,” kata Deo cepat-cepat. “Mungkin aku ... kepikiran mamaku di rumah.” “Oh ...” Tania mengangguk maklum, namun dia tahu kalau Deo sebenarnya memikirkan Veren. Bukan mamanya. Deo merasa firasatnya mendadak tidak enak, jangan-jangan ada sesuatu yang telah terjadi di rumah selama dia berlibur di
Suara Hanan mulai terdengar sayup-sayup di telinga Veren, yang penglihatannya mulai menurun dan merasa mengantuk. Deo yang masih jet lag memutuskan untuk langsung pulang ketika dia dan rombongan tiba di rumah besar milik orang tua Tania. “Kamu nggak nginep aja di sini, Kei?” tanya Tania. “Kamu kelihatan capek banget lho.” “Apa kata tetangga kalau aku nginep di rumahmu, Tan? Kita kan bukan mahram,” kata Deo. “Aku titip koperku aja, kasian mamaku kalo aku kelamaan pulangnya.” Tania mengangguk mengerti. “Ya udah, tapi biar kamu dianter sama Pak Muji aja ya?” katanya. “Nggak usah Tan, aku pake taksi aja nggak papa. Pak Muji juga pasti masih capek,” kata Deo menolak. “Aku pergi dulu, ya?” “Makasih Kei atas semuanya,” kata Tania. “Sampai ketemu lagi.” “Bye, Tania!” Deo melambai kemudian berbalik pergi. “Pak Muji, saya pulang dulu!” “Mau saya anter, Mas?” tawar Pak Muji. “Nggak usah Pak,” tolak Deo. “Saya pesen taksi aja.” Pak Muji mengangguk kemudian melepas kepergian Deo sebelum
“Kenapa? Omongan gue bener?” serunya yakin. “Gue kasih tau sama elo ya, kelemahan cowok itu adalah saat dia nggak mampu merobek mahkota ceweknya! Apalagi ini isteri lo sendiri, masa hampir dua tahun lo belom juga berhasil memerawani dia, hahah! Gimana lo mau punya keturunan?” Wajah Deo merah padam tak terkira saat Hanan mengatakan itu semua dengan suara lantang dan keras, paling tidak satu-dua orang di sekitar mereka akan mampu mendengarnya. “Gue nggak butuh pendapat lo!” seru Deo yang berusaha menahan diri. “Atau gini aja, gue punya tawaran bagus buat lo.” Hanan masih berani-beraninya mendekati Deo hingga jarak mereka semakin menipis. “Sebagai pasangan suami isteri, tetep pengin yang namanya punya anak kan? Nah, secara elo nggak mampu, gimana kalo gue aja yang praktek sampe Veren hamil? Anaknya kan bisa buat elo ....” “Menjijikkan lo!” Deo memuntahkan amarahnya dengan melayangkan bogem mentah ke wajah Hanan. Tanpa memberinya jeda untuk melawan, dia meninjunya lagi kanan-kiri samp