“Kenapa? Omongan gue bener?” serunya yakin. “Gue kasih tau sama elo ya, kelemahan cowok itu adalah saat dia nggak mampu merobek mahkota ceweknya! Apalagi ini isteri lo sendiri, masa hampir dua tahun lo belom juga berhasil memerawani dia, hahah! Gimana lo mau punya keturunan?” Wajah Deo merah padam tak terkira saat Hanan mengatakan itu semua dengan suara lantang dan keras, paling tidak satu-dua orang di sekitar mereka akan mampu mendengarnya. “Gue nggak butuh pendapat lo!” seru Deo yang berusaha menahan diri. “Atau gini aja, gue punya tawaran bagus buat lo.” Hanan masih berani-beraninya mendekati Deo hingga jarak mereka semakin menipis. “Sebagai pasangan suami isteri, tetep pengin yang namanya punya anak kan? Nah, secara elo nggak mampu, gimana kalo gue aja yang praktek sampe Veren hamil? Anaknya kan bisa buat elo ....” “Menjijikkan lo!” Deo memuntahkan amarahnya dengan melayangkan bogem mentah ke wajah Hanan. Tanpa memberinya jeda untuk melawan, dia meninjunya lagi kanan-kiri samp
“Buset!” Deo cepat-cepat menyibakkan rambut itu dan melihat wajah Veren muncul di atasnya. “Apa sih Ver, lo nggak bisa apa ngebiarin gue tidur dengan tenang?” Veren meledak tertawa. “Bahkan cara ngomong kamu pun mirip banget sama dia,” komentarnya sambil memandangi Deo dengan tatapan nakal. “Kamu juga sama kayak dia, nggak tertarik sama aku.” Mau tidak mau Deo jadi membuka matanya lebar-lebar sekarang. “Terus lo penginnya gimana?” sergah Deo lelah. “Gue beneran butuh istirahat dengan tenang, Ver.” “Dia juga sering bilang kalo aku itu ...” Veren tidak memedulikan omongan Deo. “Aku preman, haha ... nggak menarik, cerewet, kasar ....” Deo tidak membantahnya, karena dia memang sering mengatai Veren seperti itu. “Apa menurutmu aku kasar?” tanya Veren sambil menelusupkan tangannya di bawah baju atas Deo dan membelai dadanya dengan lembut. “Yang kayak gini kasar nggak?” Darah Deo berdesir lagi, kali ini disertai dengan getaran hebat di sekujur tubuhnya. “Tolong deh Ver, jangan kayak
“Gue udah beliin lo baju,” kata Deo sambil menunjuk tas belanja yang ada di atas meja. “Jadi ... lo udah tau?” Veren memandangnya. “Lo tau kalo gue ... udah kotor?” “Kotor?” Deo balas memandangnya tidak mengerti. “Maksud lo gue ....” “Gue udah kotor, Yo!” Mendadak Veren mengerutkan wajahnya dan menangis. “Semalem itu gue di cafe sama Hanan, terus gue nggak tau ... bangun-bangun gue udah di sini, dan baju gue udah lepas semua!” Deo langsung paham kalau Veren tidak mengingat apa yang dia lakukan bersamanya semalam. “Lo tenang dulu Ver,” kata Deo. “Biar gue jelasin semua ....” “Gue udah nggak perawan lagi, Yo!” Veren tersedu sedan. “Kesucian gue udah ilang ...” Veren menjatuhkan dirinya di tempat tidur dengan selimut masih membungkus tubuhnya yang tak berbusana. Mendengar Veren terus meratapi keperawanannya yang hilang, Deo jadi tidak tega dan berusaha membuka selimutnya. “Ver, lo tenang dulu. Gue bisa jelasin semuanya sama elo.” “Gue nggak mau ...” Kepala Veren menggeleng di b
“Apa maksudnya ini?” tanya mama tajam. “Kalian pikir pernikahan itu bisa dibuat mainan? Bisa-bisanya kalian menikah cuma buat sementara dan sengaja bercerai dua tahun kemudian, sementara di luar sana banyak pasangan yang susah payah menjaga kelangsungan pernikahan mereka!” Deo dan Veren tidak berani menjawab, karena memang itulah yang mereka perbuat. “Kalian sengaja membuat surat perjanjian ini?” tanya mama lagi. “Iya Ma,” jawab Deo. “Aku dan Veren sepakat membuat surat itu karena penolakan kami nggak dipedulikan ....” “Terus apa gunanya kamu ngucapin ijab qobul di depan para saksi?” potong mama tajam. “Saat itu kan kami menikah di bawah paksaan warga Ma,” jawab Deo. “Mama nggak lihat kalo Veren juga merasa terpaksa saat aku nikahin?” Veren diam saja, tidak berani menjawab jika tidak ditanya. “Mama nggak nyangka kamu kayak gini, Yo. Yang kamu bilang acara kampus itu pasti juga bohong kan?” seru mama. “Kalo bener, kenapa ponsel kamu nggak aktif sampe berhari-hari?” Deo terdiam.
Seketika Deo dan Veren langsung memisahkan diri. “Di kamarnya kali Kak,” jawab Deo sambil tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa, namun di mata Freya dia seolah menunjukkan kepadanya bahwa dia puas bisa mencium Veren sedemikian rupa. Sesuatu yang tidak pernah Freya dapatkan ketika menjalin hubungan dengan Deo lima tahun lamanya. Lain halnya dengan Veren, yang buru-buru mengusap bibirnya berulang kali dengan salah tingkah seperti terpergok sedang melakukan sesuatu yang salah. “Aku udah ke kamarnya tapi nggak ada,” kata Freya datar. “Aku nyari mama dulu, ya?” tanya Deo sambil menoleh kepada Veren. “Lo di sini aja.” Veren tidak menjawab dan hanya membiarkan Deo keluar kamar bersama Freya. “Kamu sering maksa Veren buat ciuman?” tanya Freya penuh selidik ketika dia dan Deo berjalan menuruni tangga. “Kamu mesum banget sih Yo, nggak kayak kamu yang dulu.” Deo menaikkan sebelah alisnya. “Mesum gimana, suami yang nyium isterinya sendiri kok mesum?” tukas Deo. “Veren itu isteri sah aku
Veren balas memandang Deo tanpa mengatakan apa-apa. “Nggak usah lo jawab sekarang kalo elo masih ragu,” kata Deo sambil duduk di tepi tempat tidurnya. “Para orang tua sengaja kasih kita waktu buat mikir.” “Emang lo ada keinginan buat meneruskan pernikahan ini, Yo?” tanya Veren sambil berdiri di depan Deo. Sama seperti yang dilakukan Veren tadi, kali ini Deo juga terdiam dan tidak segera menjawab pertanyaan isterinya. “Hanya kalo elo mau gue pertahankan,” kata Deo akhirnya. Dahi Veren mengernyit, tidak mampu menangkap maksud Deo yang tersirat dalam kalimatnya barusan. “Kalo gue ... mau lo pertahankan?” ulangnya ragu. “Gue nggak ngerti ...?” Tangan Deo menepuk tempat kosong di sebelahnya, mengisyaratkan kepada Veren untuk duduk di sampingnya. Dengan ragu-ragu Veren mendekat. “Lo maunya gimana?” tanya Deo sangat serius. “Mau gue pertahankan sebagai istri gue atau nggak?” Veren terdiam lagi. Mengingat kejadian yang telah menimpanya semalam, tentunya dia berharap kalau Deo akan me
Deo diam untuk memberikan Veren kesempatan meluapkan amarahnya, karena dia memang berhak untuk marah.“Belom cukup apa lo ambil kesucian gue kemarin? Lo masih ngerasa kurang puas sampe perlu menikahi Tania di atas pernikahan kita yang masih berlangsung?” seru Veren dengan mata berkaca-kaca. “Ternyata bener kata orang, kalo laki-laki nggak akan pernah merasa cukup hanya dengan memiliki satu wanita di sampingnya!”Tangan Veren semakin erat mengepal, sampai darah merembes keluar dari buku-buku jarinya yang terlipat.“Ternyata bukan cuma gue yang nggak punya otak,” maki Veren dengan rasa sakit tak terperi di hatinya. “Kalo elo punya otak Yo, lo akan langsung menceraikan gue tanpa perlu ngulur-ngulur waktu kayak gini!”Deo masih diam dan membiarkan Veren memaki dirinya sesuka hati.“Terus tadi lo ngapain nggak ngomong langsung sama orang tua kita kalo elo sebenenernya udah punya keputusan?” tanya Veren tajam. “Ngapain? Sekarang juga gue minta cerai!”Veren berjongkok kemudian menyembunyika
“Emang lo ngerasa kalo elo salah?” sindir Veren sambil menatap tajam Deo. “Kalo elo ngerasa salah, talak gue sekarang!” Deo terkesiap. “Sampe kapanpun gue nggak akan menjatuhkan talak sama elo,” katanya. “Tapi kalo elo mau menggugat cerai gue ke pengadilan agama, silakan.” “Jadi lo beneran mau punya isteri dua?” tanya Veren tak percaya. “Elo pikir lo siapa? Ceraiin gue dulu baru lo bebas nikah sama cewek manapun yang bisa muasin kebutuhan biologis lo!” “Apa segitu rendahnya gue di mata elo, Ver?” tanya Deo tajam seraya memegangi kedua pergelangan tangan Veren erat-erat agar dia tidak kecolongan lagi. “Satu hal yang elo harus tau, sebesar apa pun nafsu yang gue punya, gue cuma melakukan hal itu sama elo aja.” Veren terlihat tidak percaya. “Freya yang lima tahun gue pacarin, nggak pernah gue sentuh sampe sedalam itu.” Deo melanjutkan kalimatnya. “Jadi elo adalah cewek pertama yang gue sentuh malam itu.” “Oh, cewek pertama? Iya?” sinis Veren. “Abis itu bakalan ada cewek kedua, ket