Veren tersipu dan segera masuk ke mobilnya. Selanjutnya perjalanan mereka dimulai. Veren tidak tahu di mana lokasi untuk acara makan malam bersama Tante Orish, yang pasti dia merasa lumayan gugup dibuatnya. Rasanya seperti akan dipertemukan dengan calon mertua. Veren menahan napas ketika Hanan menghentikan mobilnya di depan sebuah cafe mewah yang belum pernah dikunjunginya sama sekali. Pelan-pelan Hanan memasukkan mobilnya ke halaman parkir cafe itu tanpa berkeinginan untuk menjelaskan kepada Veren kenapa dia memilih tempat ini untuk lokasi makan malam. Setelah mobilnya aman terparkir, dengan tenang Hanan keluar dari mobilnya kemudian membukakan pintu untuk Veren. “Selamat datang, Tuan Putri.” Hanan menunjuk cafe itu dengan sebelah tangannya. “Yuk, kita masuk.” Veren mematung di tenpatnya berdiri. “Ini tempat buat makan malamnya?” tanya Veren tidak yakin. Setahu dia Hanan tidak pernah mengajaknya pergi ke cafe semewah ini. “Iya Ver,” jawab Hanan. “Kita ketemu sama tanteku di d
“T—tunggu Kak, saya bukan cewek seperti itu!” sergah Veren dengan wajah tegang. “Saya udah bayar kamu lho.” Laki-laki yang belum diketahui namanya itu tidak memedulikan protes yang Veren lontarkan dan langsung menghempaskan tubuh cewek itu ke tempat tidur. “Jangan Kak!” Veren berontak sekeras yang dia bisa. “Kakak salah orang! Deo, tolong!” Deo tergeragap kaget di kursinya, membuat Tania yang duduk di sebelahnya ikut terlonjak. “Kamu kenapa, Kei?” tanya Tania khawatir. “Mimpi buruk?” Deo menggeleng kikuk. “Aku ... kenapa ya?” “Kamu tadi tidur, terus tau-tau kebangun gitu aja. Siap-siap, pesawatnya sebentar lagi mau mendarat.” Tania memberi tahu. “Tapi kamu nggak apa-apa, kan?” “Nggak papa,” kata Deo cepat-cepat. “Mungkin aku ... kepikiran mamaku di rumah.” “Oh ...” Tania mengangguk maklum, namun dia tahu kalau Deo sebenarnya memikirkan Veren. Bukan mamanya. Deo merasa firasatnya mendadak tidak enak, jangan-jangan ada sesuatu yang telah terjadi di rumah selama dia berlibur di
Suara Hanan mulai terdengar sayup-sayup di telinga Veren, yang penglihatannya mulai menurun dan merasa mengantuk. Deo yang masih jet lag memutuskan untuk langsung pulang ketika dia dan rombongan tiba di rumah besar milik orang tua Tania. “Kamu nggak nginep aja di sini, Kei?” tanya Tania. “Kamu kelihatan capek banget lho.” “Apa kata tetangga kalau aku nginep di rumahmu, Tan? Kita kan bukan mahram,” kata Deo. “Aku titip koperku aja, kasian mamaku kalo aku kelamaan pulangnya.” Tania mengangguk mengerti. “Ya udah, tapi biar kamu dianter sama Pak Muji aja ya?” katanya. “Nggak usah Tan, aku pake taksi aja nggak papa. Pak Muji juga pasti masih capek,” kata Deo menolak. “Aku pergi dulu, ya?” “Makasih Kei atas semuanya,” kata Tania. “Sampai ketemu lagi.” “Bye, Tania!” Deo melambai kemudian berbalik pergi. “Pak Muji, saya pulang dulu!” “Mau saya anter, Mas?” tawar Pak Muji. “Nggak usah Pak,” tolak Deo. “Saya pesen taksi aja.” Pak Muji mengangguk kemudian melepas kepergian Deo sebelum
“Kenapa? Omongan gue bener?” serunya yakin. “Gue kasih tau sama elo ya, kelemahan cowok itu adalah saat dia nggak mampu merobek mahkota ceweknya! Apalagi ini isteri lo sendiri, masa hampir dua tahun lo belom juga berhasil memerawani dia, hahah! Gimana lo mau punya keturunan?” Wajah Deo merah padam tak terkira saat Hanan mengatakan itu semua dengan suara lantang dan keras, paling tidak satu-dua orang di sekitar mereka akan mampu mendengarnya. “Gue nggak butuh pendapat lo!” seru Deo yang berusaha menahan diri. “Atau gini aja, gue punya tawaran bagus buat lo.” Hanan masih berani-beraninya mendekati Deo hingga jarak mereka semakin menipis. “Sebagai pasangan suami isteri, tetep pengin yang namanya punya anak kan? Nah, secara elo nggak mampu, gimana kalo gue aja yang praktek sampe Veren hamil? Anaknya kan bisa buat elo ....” “Menjijikkan lo!” Deo memuntahkan amarahnya dengan melayangkan bogem mentah ke wajah Hanan. Tanpa memberinya jeda untuk melawan, dia meninjunya lagi kanan-kiri samp
“Buset!” Deo cepat-cepat menyibakkan rambut itu dan melihat wajah Veren muncul di atasnya. “Apa sih Ver, lo nggak bisa apa ngebiarin gue tidur dengan tenang?” Veren meledak tertawa. “Bahkan cara ngomong kamu pun mirip banget sama dia,” komentarnya sambil memandangi Deo dengan tatapan nakal. “Kamu juga sama kayak dia, nggak tertarik sama aku.” Mau tidak mau Deo jadi membuka matanya lebar-lebar sekarang. “Terus lo penginnya gimana?” sergah Deo lelah. “Gue beneran butuh istirahat dengan tenang, Ver.” “Dia juga sering bilang kalo aku itu ...” Veren tidak memedulikan omongan Deo. “Aku preman, haha ... nggak menarik, cerewet, kasar ....” Deo tidak membantahnya, karena dia memang sering mengatai Veren seperti itu. “Apa menurutmu aku kasar?” tanya Veren sambil menelusupkan tangannya di bawah baju atas Deo dan membelai dadanya dengan lembut. “Yang kayak gini kasar nggak?” Darah Deo berdesir lagi, kali ini disertai dengan getaran hebat di sekujur tubuhnya. “Tolong deh Ver, jangan kayak
“Gue udah beliin lo baju,” kata Deo sambil menunjuk tas belanja yang ada di atas meja. “Jadi ... lo udah tau?” Veren memandangnya. “Lo tau kalo gue ... udah kotor?” “Kotor?” Deo balas memandangnya tidak mengerti. “Maksud lo gue ....” “Gue udah kotor, Yo!” Mendadak Veren mengerutkan wajahnya dan menangis. “Semalem itu gue di cafe sama Hanan, terus gue nggak tau ... bangun-bangun gue udah di sini, dan baju gue udah lepas semua!” Deo langsung paham kalau Veren tidak mengingat apa yang dia lakukan bersamanya semalam. “Lo tenang dulu Ver,” kata Deo. “Biar gue jelasin semua ....” “Gue udah nggak perawan lagi, Yo!” Veren tersedu sedan. “Kesucian gue udah ilang ...” Veren menjatuhkan dirinya di tempat tidur dengan selimut masih membungkus tubuhnya yang tak berbusana. Mendengar Veren terus meratapi keperawanannya yang hilang, Deo jadi tidak tega dan berusaha membuka selimutnya. “Ver, lo tenang dulu. Gue bisa jelasin semuanya sama elo.” “Gue nggak mau ...” Kepala Veren menggeleng di b
“Apa maksudnya ini?” tanya mama tajam. “Kalian pikir pernikahan itu bisa dibuat mainan? Bisa-bisanya kalian menikah cuma buat sementara dan sengaja bercerai dua tahun kemudian, sementara di luar sana banyak pasangan yang susah payah menjaga kelangsungan pernikahan mereka!” Deo dan Veren tidak berani menjawab, karena memang itulah yang mereka perbuat. “Kalian sengaja membuat surat perjanjian ini?” tanya mama lagi. “Iya Ma,” jawab Deo. “Aku dan Veren sepakat membuat surat itu karena penolakan kami nggak dipedulikan ....” “Terus apa gunanya kamu ngucapin ijab qobul di depan para saksi?” potong mama tajam. “Saat itu kan kami menikah di bawah paksaan warga Ma,” jawab Deo. “Mama nggak lihat kalo Veren juga merasa terpaksa saat aku nikahin?” Veren diam saja, tidak berani menjawab jika tidak ditanya. “Mama nggak nyangka kamu kayak gini, Yo. Yang kamu bilang acara kampus itu pasti juga bohong kan?” seru mama. “Kalo bener, kenapa ponsel kamu nggak aktif sampe berhari-hari?” Deo terdiam.
Seketika Deo dan Veren langsung memisahkan diri. “Di kamarnya kali Kak,” jawab Deo sambil tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa, namun di mata Freya dia seolah menunjukkan kepadanya bahwa dia puas bisa mencium Veren sedemikian rupa. Sesuatu yang tidak pernah Freya dapatkan ketika menjalin hubungan dengan Deo lima tahun lamanya. Lain halnya dengan Veren, yang buru-buru mengusap bibirnya berulang kali dengan salah tingkah seperti terpergok sedang melakukan sesuatu yang salah. “Aku udah ke kamarnya tapi nggak ada,” kata Freya datar. “Aku nyari mama dulu, ya?” tanya Deo sambil menoleh kepada Veren. “Lo di sini aja.” Veren tidak menjawab dan hanya membiarkan Deo keluar kamar bersama Freya. “Kamu sering maksa Veren buat ciuman?” tanya Freya penuh selidik ketika dia dan Deo berjalan menuruni tangga. “Kamu mesum banget sih Yo, nggak kayak kamu yang dulu.” Deo menaikkan sebelah alisnya. “Mesum gimana, suami yang nyium isterinya sendiri kok mesum?” tukas Deo. “Veren itu isteri sah aku