Share

2 Melamar Mantan

Deo tertidur sampai adzan ashar berkumandang. Dia bangun, mengucek-ucek matanya dan bersyukur masih bisa hidup tanpa mantan pacarnya.

Sore itu mama heboh sendiri mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya untuk melamar calon menantunya nanti. Setelah Deo mandi sore pun keribetan mamanya belum selesai juga.

“Ma?” panggil Deo dengan handuk yang melingkar di lehernya. Kepalanya celingukan ke sana kemari mencari seseorang.

“Apa sih?” sahut mama sambil lalu.

“Itu yang mau ngelamar mama apa anak mama?”

“Ya anak mama lah, kakak kamu!” sergah mama sambil merapikan barang-barang yang berserakan di meja.

“Terus orangnya mana, perasaan nggak kelihatan dari tadi?” komentar Deo. “Yang mau nikah siapa, yang ribet siapa.”

“Yang namanya calon pengantin emang harus diistimewakan, Yo. Dia cukup nyiapin mental buat ijab qobul, selebihnya keluarga yang ngurusin segala macem keperluan pernikahannya,” kata mama menjelaskan.

Deo mengangguk-angguk paham.

“Enak ya jadi calon manten, tinggal ongkang-ongkang kaki doang. Selebihnya anggota keluarga yang ribet ngurus ini ngurus itu.”

“Kamu kepingin kayak kakak kamu?” seloroh mama sambil memandang anak bungsunya.

“Enggak lah. Nanti tau-tau aku bawa calon mantu juga, mama yang ketiban pusing,” sahut Deo sambil melangkah pergi meninggalkan mamanya.

“Hustt, hati-hati ngomongnya. Bisa jadi doa loh itu!”

Deo masih sempat mendengar suara mamanya berseru menanggapi candaannya. Cowok itu mana mungkin siap untuk menikah di umur yang masih labil seperti sekarang.

Mendadak pintu kamar di sebelah kamar Deo terbuka, dan seorang laki-laki dewasa muncul keluar.

Dia adalah kakak kandung Deo sekaligus anak sulung mama, namanya Gennaro Silva.

“Baru pulang kuliah, Yo?” sapanya datar.

“Udah dari tadi kok, Kak.” Deo menjawab sungkan.

Umur mereka yang terpaut lumayan jauh serta pembawaan Gennaro yang begitu tenang, kalem dan tidak banyak omong ini seakan menciptakan jarak yang cukup lebar di antara mereka berdua.

“Nanti ikut, ya?” kata Gennaro lagi.

Sebelum Deo sempat menjawab, Gennaro sudah melangkah pergi meninggalkannya di depan kamar.

Menjelang pukul empat sore, ketika semua anggota keluarga sudah siap berangkat, Deo yang terakhir kali keluar kamar menatap heran mamanya.

“Dari tadi ribet nyiapin ini itu, yang pergi ke sana cuma empat orang doang, Ma?” komentarnya.

“Emang mau ngajak siapa lagi?” tukas mamanya sambil sesekali meratakan bedak di kedua pipinya.

“Kirain mau ngajak warga sekampung,” ceplos Deo.

Mama berbisik tepat di telinga Deo.

“Ini cuma mau melamar anak orang, bukan bikin acara sunatan.”

Deo terbahak, untung Gennaro tidak mendengar guyonan yang diucapkan mama mereka.

Papa yang sudah tidak sabar bergegas menyuruh mereka semua untuk masuk ke dalam mobil.

Deo menurut, dia segera masuk dan duduk di belakang, bersebelahan dengan Gennaro. Di sepanjang perjalanan, Deo dan kakaknya sama sekali tidak mengobrol. Deo sendiri sungkan jika harus membuka obrolan lebih dulu.

Perjalanan mereka membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit menggunakan mobil, sampai kemudian papa membelokkan kendaraannya di gang besar sebuah perumahan elit di pusat kota.

Deo tidak memiliki firasat apa pun ketika ayahnya menepikan mobilnya di salah satu rumah. Dia bahkan masih anteng-anteng saja saat salah satu penghuni rumah menyambut kedatangan keluarganya dengan sangat ramah.

Baru setelah calon pengantin perempuan keluar untuk menyambut pihak keluarga calon pengantin laki-laki, Deo terkejut bukan main.

“Ini yang namanya Freya?” sapa mama sambil berdiri untuk cipika cipiki dengan calon menantunya. “Cantiknya ...”

Deo mengedipkan matanya beberapa kali, berharap sosok yang sedang dirangkul oleh mamanya akan berubah menjadi orang asing yang sama sekali tidak dikenalnya. Tetapi kenyataan kadang selalu lebih menyakitkan daripada ekspektasi.

Calon menantu mamanya adalah Freya Arabelle, mantan pacarnya sendiri yang secara sepihak telah memutuskan hubungan dengannya tadi siang.

Deo mengelus dadanya dengan nelangsa, dia harus kuat. Hatinya memang sempat rapuh, tapi hati ini bukanlah kaleng-kaleng. Dia harus menunjukkan kepada dunia, khususnya Freya, bahwa dia memiliki hati yang kokoh dan tak tertandingi.

Freya sendiri ekspresinya sulit ditebak, beberapa kali dia mencuri pandang ke arah Deo seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa adik dari calon suaminya ini adalah mantan pacarnya.

Acara lamaran sore itu tetap berlangsung lancar seperti rencana, tanpa memedulikan perasaan Deo yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat Gennaro menyematkan cincin lamaran ke jari tangan Freya.

“Ma, acaranya udah selesai, kan?” tanya Deo ketika Gennaro dan Freya sudah duduk lagi di tempatnya masing-masing.

“Udah sih, kenapa?” tanya mama balik.

“Aku pulang duluan, ya?” kata Deo. “Aku kebelet, nih.”

“Bentar lagi, nunggu bubaran. Kamu nggak sopan kalau pulang duluan. Mau naik apa kamu?” bisik mama.

“Ojek online kan banyak,” bisik Deo mengimbangi mamanya. “Beneran kebelet ini, Ma. Udah di ujung, daripada aku kebablasan di sini gimana? Tambah nggak sopan, kan? Malu lagi ...”

“Apaan sih kamu? Ya udah sana, tapi pamit dulu.” Mama tak kuasa lagi mencegah keinginan anak bungsunya.

Deo berdehem agak keras.

“Tante, Om, Kakak, mohon maaf sebesar-besarnya! Saya izin pulang duluan, ada panggilan mendadak!” katanya dengan wajah meringis.

Mama Freya tertawa melihat ekspresi wajah Deo.

“Adiknya Aro, ya? Lucunya ...”

“Saya permisi!” Deo cepat-cepat pergi meninggalkan rumah Freya sambil membawa semua sakit hatinya yang masih tersisa.

Deo menelusuri jalanan tanpa arah tujuan yang jelas. Dia ikut saja ke mana kedua kakinya ini membawanya pergi, yang jelas dia tidak mau berlama-lama menyaksikan lamaran kakaknya dengan mantan pacarnya sendiri.

Mendung mulai menggelayut di langit, menambah kesuraman di hidup Deo menjadi semakin sempurna. Tidak dipedulikannya satu-dua tetesan air yang mulai turun menitik di ujung hidungnya.

Deo keluar dari gang perumahan elit tadi, dan meneruskan pengembaraannya ke pinggir jalan besar. Walaupun tadi dia sempat bilang mau pakai ojek online, nyata-nyatanya Deo tidak memesan ojek satupun. Dia lebih memilih menyusuri jalanan dengan kedua kakinya. Tidak peduli risiko hujan, petir, bahkan masuk angin yang mengancamnya jika dia sampai kehujanan.

Namun ada satu hal yang membuatnya tiba-tiba peduli pada sekitarnya. Dari sudut matanya, Deo melihat seseorang sedang berdiri di tengah jalanan yang ramai kendaraan. Masalahnya orang itu tidak kelihatan sedang menyeberang.

Deo melihatnya dengan jelas saat orang itu membentangkan kedua tangannya, sengaja tidak mau menggeser posisinya saat truk besar tengah melaju kencang ke arahnya.

TIINNN! TIINN! TIIINNNNNN!

Suara klakson saling bersahutan dengan keras, memperingatkan seseorang yang dengan warasnya berdiri di tengah jalanan sambil membentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

Deo mengamati orang itu dengan heran. Ada ya manusia yang nyalinya segede itu, pikirnya.

Beberapa orang yang sedang berdiri di tepi jalan mulai menunjuk-nunjuk sambil berkomentar macam-macam.

“Eh, itu dia mau mati apa gimana?”

“Dia pikir ini jalan punya moyangnya ...”

“Jangan-jangan mau bunuh diri!”

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status