Kata-kata mereka yang terakhir membuat Deo reflek menghentikan langkahnya, dan mencoba menyeberangi jalan, tepat di lokasi orang itu berdiri.
TIINN! TIINNNN! Deo berlari, menyelip di antara kendaraan-kendaraan yang melaju dan dengan sekuat tenaga didorongnya orang itu hingga mereka berdua terpental bersama ke atas trotoar. “Aduuhhh ...” “Sakit ...” Deo menoleh ke orang yang tadi sengaja menantang maut di tengah jalan. “Lo nggak papa?” katanya. Orang itu menoleh, dan memandang Deo dengan galak. “Heh, lo ngapain sih pakai dorong gue? Gue kan jadi batal mati!” ketusnya. Deo termangu sejenak, orang di depannya ini ternyata cewek. Dan dia sangat tidak terima ketika Deo mengentaskannya dari kematian. “Maaf, elo waras?” tanya Deo ragu-ragu. “Elo baru aja diselametin dari maut, lho.” “Gue nggak ulang tahun, jadi nggak usah pake selametan segala!” ketus cewek itu. Beberapa orang pejalan kaki mendekati mereka. “Dek, kalian ngapain sih? Bahaya tahu?” “Untung nggak sampe kecelakaan, lain kali jangan sembrono.” Deo meringis malu, sementara cewek di sebelahnya manyun menahan kekesalan. “Padahal kurang dikit lagi,” keluhnya ketika orang-orang sudah berlalu pergi. Cewek itu bangkit berdiri lalu duduk di tepi trotoar. Deo mengelus-elus sikunya yang terhantam aspal. “Dikit lagi apanya?” tanya Deo, ikut duduk di tepi trotoar. Sikunya mulai nyut-nyut tidak keruan. “Dikit lagi gue mati,” kata cewek itu. “Kalo elo nggak tiba-tiba muncul, gue pasti masih bisa mati ditabrak truk atau bus.” Deo menarik napas. “Jadi lo nggak beryukur nyawa lo masih utuh?” “Enggak! Lagian gue heran banget, kenapa dari tadi gue berdiri di tengah jalan rame, tapi truk-truk itu masih bisa ngehindarin gue ...” keluh cewek itu lagi. “Gue pikir mati itu gampang, ternyata jauh lebih susah daripada yang gue kira.” Deo memandangnya dengan heran. Cewek itu membuka hoodie yang menutupi kepalanya. “Apa gue segitu nggak pantesnya buat mati?” Keluhan-keluhan itu terus mengalir dari mulutnya. “Gue jadi kepo, alasan apa sih yang bikin lo segampang itu buat bunuh diri?” tanya Deo ingin tahu. “Lo nggak bakal paham,” decak cewek itu. “Karena lo nggak di posisi gue.” “Makanya gue jadi kepo,” komentar Deo. “Alasan masuk akal apa yang bikin elo rela mengakhiri hidup lo sendiri? Biar kalo suatu saat gue ada di posisi lo, gue nggak bakal ngelakuin apa yang lo lakuin tadi.” Cewek itu bertopang dagu dan terdiam cukup lama. “Gue baru diputusin,” katanya dengan pandangan menerawang. “Alasan sepele, baginya pacaran itu nggak terlalu serius dan bisa diakhiri kapan aja. Padahal sejak awal gue jadian sama dia, gue berusaha tulus dan serius ngejalaninnya.” Deo terdiam selama cewek itu bercerita. “Lo pasti mikir kalo alasan gue ini juga sepele kan?” ketus cewek itu. “Lo nggak ada di posisi gue sih, makanya lo nggak bakal paham apa yang lagi gue rasain. Lo pasti mikirnya gue labil, cengeng, lemah ...” “Nggak juga,” sahut Deo kalem. “Gue ngerti kok gimana rasanya diputusin.” Si cewek memandangnya tidak percaya. “Lo nggak ngalamin apa yang gue alami, gimana bisa lo tau rasanya?” Pandangan Deo menerawang ke langit yang menghitam karena mendung. “Lo pacaran udah berapa lama?” katanya. “Tiga tahun,” jawab si cewek. “Gue udah pacaran lima tahun lamanya, hari ini mestinya gue sama dia ngerayain anniversary kami yang kelima.” Deo bercerita. “Wah, selamat deh!” “Tapi siang tadi gue justru diputusin sama dia,” sela Deo. “Gue diputusin karena dia mau dinikahin sama ortunya. Dan barusan gue dari nganterin kakak gue lamaran di rumah tunangannya.” Mata cewek itu mengerjab heran. “Apa hubungannya lo diputusin sama kakak lo lamaran?” katanya tidak mengerti. “Hubungannya adalah ...” Deo menggantungkan kalimatnya sementara gerimis kecil-kecil mulai turun. “Ternyata kakak kandung gue sendiri yang akan menikahi mantan cewek gue. Makanya siang tadi gue diputusin.” “Apa? Yakin lo?” sahut cewek itu terkejut. “Yakin lah, mata gue kan masih normal. Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri saat kakak gue masangin cincin lamaran itu ke jari tangan mantan gue,” ujar Deo, satu tangannya terulur menengadah ke depan, membuat tetesan air hujan itu tertampung di tangannya. “Elo kuat lihatnya?” “Dikuat-kuatin lah, gue nggak mau mohon-mohon dia supaya batalin pertunangannya sama kakak gue,” kata Deo tenang. “Tapi kan elo masih bisa nyegah ...” “Kalo dia udah tega mutusin gue buat orang lain, itu tandanya dia nggak beneran serius sama gue. Ngapain gue kejar lagi?” tukas Deo. “Buang-buang waktu aja.” Cuaca saat itu seolah mewakili perasaan Deo yang terluka. Tidak tanggung-tanggung, hujan yang semula hanya rintik-rintik kecil mendadak turun lebih deras dan mengguyur semua yang masih berada di jalan. “Elo nggak marah sama kakak lo itu?!” tanya si cewek dengan suara keras, mengimbangi suara air hujan yang menghantam jalanan. “Kalo gue marah sama dia, itu artinya gue nggak bisa nerima kenyataan!” jawab Deo setengah berteriak. “Ngapain gue mati-matian mempertahankan orang yang nggak serius sama gue?! Kalo emang dia jodohnya sama kakak gue, gue bisa apa?!” Cewek itu mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan. “Lo yang sabar, ya!” “Stok sabar gue luber-luber kayak hujan ini, kok! Tenang aja!” Deo berdiri dari duduknya dan menengadahkan wajahnya ke langit. Tetesan-tetesan besar air hujan menampar kulitnya dengan keras, seakan sedang membangunkannya untuk menerima kenyataan pahit itu. “Neduh, yuk?!” ajak si cewek. “Hujannya deres banget, gue kedinginan!” Deo menoleh dan mengangguk setuju. Cewek itu berjalan mendahuluinya ke tepi, sementara Deo mengikutinya dari belakang. Mereka berdua mencari tempat yang bisa dipakai untuk berteduh sementara. Saat cewek itu melihat ada pos ronda yang letaknya tidak begitu jauh di perkampungan warga, mereka berdua memutuskan untuk berteduh di sana. “Udah mau maghrib, nih ...” kata Deo sambil duduk di tepi. “Lo nggak langsung pulang?” “Entar aja,” sahut si cewek. “Gue lagi males ke mana-mana. Tujuan gue semula kan mau mati. Tau-tau lo dateng gitu aja ...” Deo menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mati terus yang lo pikirin,” komentarnya. “Kalo mau bales dendam sama mantan, yang pinter dikit lah. Buktiin ke dia kalo elo masih bisa hidup lebih baik tanpa dia.” “Tapi gue masih cinta sama dia ...” “Kalo dia nggak cinta, lo mau apa?” kata Deo lugas. Dia menggeser tubuhnya lebih dalam ke pos ronda agar lebih hangat. Ketika cewek itu menoleh dan melihat Deo menyandarkan tubuhnya dengan sangat nyaman di pos ronda, dia ikut bersandar sisi satunya. Mereka berdua saling berhadapan, namun terdiam memandangi hujan dengan pikiran masing-masing. Hujan yang terus turun membuat rasa kantuk datang menyerang, sampai akhirnya tanpa sadar mereka tertidur di dalam pos ronda. Bersambung—Deo terbangun dengan kaget ketika mendengar suara-suara ribut di sekitarnya. “... anak zaman sekarang ...” “... memalukan, aib masyarakat ...” “Bangun, bangun! Kalian ngapain tidur bareng di sini?” Deo tergeragap ketika orang-orang tak dikenal sedang mengerumuni pos ronda. ‘M-maaf Pak, saya cuma numpang neduh.” Deo menjelaskan. “Alasan klasik,” komentar salah satu warga. Sebagian dari mereka membangunkan si cewek dengan memukul kentongan. “Bangun! Bangun!” Deo menelan ludah. Bakal panjang nih urusan, batinnya. “Keluarin kartu identitasmu, Dek.” Salah satu warga meminta. Deo yang sudah pasrah hanya bisa menurut. Dia mengeluarkan dompetnya yang basah dan menarik kartu identitas miliknya. Si cewek diminta melakukan hal yang serupa. “Bukan warga sini,” bisik ibu-ibu yang ikut menggerebek. “Anak kampung sebelah.” “Kita bawa ke Pak RT dulu, mereka udah mencemari kampung kita karena melakukan hal yang tak pantas,” usul warga. “Waduh Pak, kami cuma numpang neduh aja! Kami ngg
“Tapi tetap saja warga kami meminta dua remaja ini untuk dinikahkan,” sela Pak RT. “Kami mengambil langkah ini agar tidak menjadi fitnah, dan agar kejadian serupa tidak terulang lagi.” Mama dan papa Deo saling pandang, begitu juga dengan orang tua si cewek. “Boleh kami rundingan dulu, Pak?” tanya papa Deo. “Silakan.” Pak RT mengangguk. Kedua orang tua Deo mendekati orang tua si cewek, sementara Deo tetap di kursinya dengan pasrah. Tidak berapa lama kemudian, mereka kembali lagi dengan berita yang sudah Deo duga. “Yo, kamu harus nikah sama Veren. Mau, ya?” bisik mama. “Orang tua Veren udah setuju, kok. Paling nggak, urusan sama kampung sebelah selesai dulu.” “Ma, aku masih mau kuliah ...” ujar Deo. “Aku belum sanggup ngangon anak orang, belum nanti kalo ada bayi, mau aku kasih makan apa mereka?” “Mikirmu kejauhan, Yo,” tukas papa. “Yang penting satu masalah selesai dulu. Soal makan, tempat tinggal, sama kuliah kamu nanti dipikirin lagi.” “Aku nggak mau berhenti kuliah, Pa ...”
Dia mengulurkan beberapa lembar kertas kepada Deo yang menerimanya dengan penuh ingin tahu. Dibacanya isi perjanjian yang telah diketik komputer itu dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. “ ... kita sekamar cuma pas nginep di rumah ortu atau mertua, oke. Masing-masing pasangan dibebaskan dari hak dan kewajiban sebagaimana suami isteri pada umumnya, setuju. Terus ... batas-batas yang nggak boleh dilanggar saat tidur sekamar, ini juga oke. Tapi ...” Deo mendongakkan kepalanya dan memandang Veren dengan saksama. “Elo ngelupain satu hal penting,” katanya. “Eh ...” “Kita mau nikah berapa lama?” Deo mempertanyakan. “Dua tahun? Lima tahun?” “Wah iya, gue lupa!” Veren mengakui. “Lima tahun kelamaan, setahun gimana?” “Setahun kecepetan menurut gue, entar malah kita dihalang-halangi sama ortu. Nggak dibolehin cerai,” kata Deo. “Dua tahun gimana? Nggak kelamaan dan nggak kecepetan juga.” Veren kelihatan berpikir. “Oke deh, sepakat dua tahun, ya?” katanya setuju. Deo
“Nggak bakalan,” jawab Deo sambil menggelengkan kepalanya. “Gue bisa tidur di lantai.” Veren terdiam. “Ya udah, ini bantal buat lo.” Cewek itu mengulurkan satu buah bantal kepada Deo. “Lo ada selimut cadangan, kan?” “Ada. Entar biar gue ambil sendiri selimut sama bantalnya,” kata Deo. “Gue masih mau ngopi sambil nonton tivi.” “Kalo gitu gue tidur duluan, ya?” pamit Veren. “Gue ngantuk.” “Iya, duluan aja.” Deo mengangguk. Veren merebahkan tubuhnya ke kasur, sementara Deo membuka pintu kamarnya dan turun ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi. Deo sedang menuang sebungkus kopi instan ke dalam cangkirnya ketika seseorang mendadak masuk ke dapur. Dia nyaris menjatuhkan cangkirnya ketika orang itu menepuk bahunya keras-keras. “Mentang-mentang mau malam pertama, terus bikin kopi biar kuat begadang ...” kata Gennaro dengan suara pelan, namun menusuk sampai ke telinga Deo yang paling dalam. “Kak Aro, bikin jantungan aja!” Deo mengelus-elus dadanya. “Veren udah tidur duluan kok.” “La
“Buat apaan?” tanya Veren ingin tahu. “Buat gue tuker sama cendol seember, ya buat digandeng lah!” tukas Deo. “Gitu doang pake nanya.” “Lah, emang gue truk gandengan?” sahut Veren sambil membuntuti Deo keluar kamar. Saat mereka sampai di dapur, Freya sudah berada di meja makan bersama Gennaro dan mama. “Pagi, Ma!” Deo dan Veren memasang tampang cerah saat bergabung di meja makan. “Pagi, manten baru!” sahut mama ceria. “Veren, kenalin ini calon mantu mama juga. Namanya Freya.” Veren mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar ke arah Freya. “Halo Kak!” Freya menjabatnya sebentar sambil tersenyum singkat. “Lo mau bikin sarapan apa, Ver?” tanya Deo menyela. “Yo, sama istri sendiri kok ngomongnya kayak sama temen?” tegur mama. “Yang halus gitu kenapa?” “Nggak papa, Ma. Aku sama Veren nggak terbiasa halus-halusan,” sahut Deo
“Elo ngeluh mulu ya isinya?” komentar Deo. “Kalo sumpek kan masih bisa main, lo pergi cuci mata sama temen-temen cewek lo juga nggak masalah. Ke mal, bioskop, pasar, bonbin ...” “Elah, ngapain juga gue ke kebon binatang?” tukas Veren cepat-cepat. “Mau nyamain rupa?” “Itu elo yang ngomong lho, ya? Bukan gue,” sahut Deo. “Sabar dikit lah Ver, dua tahun itu nggak kerasa kalo nggak lo itung-itung. Gue aja juga nahan diri buat nyari gebetan baru setelah putus dari kakak ipar.” “Oh iya, ngomong-ngomong soal Kak Freya sama Kak Aro, entar mereka setelah nikah bakalan serumah sama nyokap lo atau pindah ke rumah sendiri, Yo?” tanya Veren penasaran. “Kalo lihat Kak Aro yang udah mapan sih keknya mereka bakal langsung misah deh,” jawab Deo. “Kenapa, lo mau ngikut?” “Ogah, ngapain juga gue ngintilin mereka. Kek kurang kerjaan aja ...” “Gue numpang tidur bentar, ya, Ver?”
“Apaan tuh celebek?” tanya Deo sambil mengerutkan keningnya. “Yang dipake buat masak itu?”“Celemek, ini celebek-celebek alias CLBK.” Veren menjentikkan jari-jarinya. “Nggak tau juga artinya apa? Katro lo. Artinya Cinta Lama Belum Kandas, alias masih belum kelar, masih bersambung, berkelanjutan ...”“Apaan sih lo, sotoy ayam?” tukas Deo. “Dia kan calon isterinya Kak Aro, masa iya masih nyimpen perasaan buat gue?”“Hati orang siapa yang tau?” bantah Veren. “Emang gimana sih awalnya mereka berdua bisa tunangan? Apa keluarga lo nggak tau kalo elo sama kakak ipar itu aslinya pacaran?”Deo menggelengkan kepala.“Masing-masing dari keluarga kami nggak ada yang tau kalo gue sama Freya itu pacaran,” katanya dengan nada sendu.“Lah, lima tahun pacaran masa iya elo nggak pernah main ke rumahnya? Atau dikenalin gitu sama ortunya?” tanya Veren heran sekali.“Nggak pernah,” jawab Deo membenarkan. “Lagian gue sama Freya jadiannya juga pas gue masih embrio, gue sama Freya kan mudaan gue. Mungkin itu
“Nggak usah pake bulan madu, udah telat.” Dia mengingatkan Veren dengan tegas. “Bulan madu bisa kapan aja kali,” sahut Veren tidak mau kalah. “Itu namanya piknik, beda lagi sebutannya!” tukas Deo. “Udah lah, biasanya juga di rumah nonton upin ipin kalo elo libur, nggak usah gaya mau bulan madu segala.” “Deo, kamu kok ngomongnya gitu sama istri sendiri?” tegur mama sementara Gennaro dan Freya tidak berkomentar. “Wajar kan kalo Veren pengin bulan madu juga?” “Tau nih, Ma. Sensi banget dia sama aku,” sahut Veren keki. “Ya udah besok kamu sama Veren ikut ke Bali aja, sekalian sama Aro.” Mama menengahi. Deo langsung menolak usulan itu mentah-mentah. “Nggak usah lah, Ma. Veren kok didengerin,” katanya. “Besok-besok juga dia udah lupa.” “Jangan pelit-pelit sama istri, Yo.” Kali ini Gennaro unjuk suara. “Bulan madu cuma sekali seumur hidup, nggak usah dilarang.” Deo menoleh memandangnya. “Aku nggak pelit, Kak. Tapi aku ngerasa belum mampu aja buat ngajak dia bulan madu,” k