Deo terbangun dengan kaget ketika mendengar suara-suara ribut di sekitarnya.
“... anak zaman sekarang ...” “... memalukan, aib masyarakat ...” “Bangun, bangun! Kalian ngapain tidur bareng di sini?” Deo tergeragap ketika orang-orang tak dikenal sedang mengerumuni pos ronda. ‘M-maaf Pak, saya cuma numpang neduh.” Deo menjelaskan. “Alasan klasik,” komentar salah satu warga. Sebagian dari mereka membangunkan si cewek dengan memukul kentongan. “Bangun! Bangun!” Deo menelan ludah. Bakal panjang nih urusan, batinnya. “Keluarin kartu identitasmu, Dek.” Salah satu warga meminta. Deo yang sudah pasrah hanya bisa menurut. Dia mengeluarkan dompetnya yang basah dan menarik kartu identitas miliknya. Si cewek diminta melakukan hal yang serupa. “Bukan warga sini,” bisik ibu-ibu yang ikut menggerebek. “Anak kampung sebelah.” “Kita bawa ke Pak RT dulu, mereka udah mencemari kampung kita karena melakukan hal yang tak pantas,” usul warga. “Waduh Pak, kami cuma numpang neduh aja! Kami nggak ngapa-ngapain, sumpah!” seru si cewek cepat-cepat. “Kalian berdua tertangkap basah sedang tidur berdua di pos ini,” kata ibu-ibu itu. “Kami ketiduran, Bu.” Deo menyahut. “Beneran kami nggak ngapa-ngapain. Tidurnya aja jauhan, saya di sebelah kanan, dia di sebelah kiri.” “Tetep aja kalian udah tidur bersama,” kata si ibu geram. “Perbuatan yang nggak pantas dilakukan. Kalian harus dikenai sanksi tegas.” “Sanksi?” Deo melongo. “Sanksi apa, Bu?” “Kalian harus mau dinikahkan,” kata si ibu dengan tegas. “Apa? Dinikahkan?!” Deo dan cewek itu saling pandang dengan ngeri. Deo menelan ludah, wajahnya panik luar biasa. “Nggak bisa gitu dong, Bu!” protesnya. “Masa kita mau dinikahin? Kita aja nggak saling kenal ...” “Iya Bu, kita jangan dinikahin dong ...” Si cewek memohon dengan wajah memelas. “Udah, udah. Kita bawa ke Pak RT dulu aja,” usul warga yang lain. “Setuju, setuju!” Deo dan cewek itu saling pandang dengan pasrah. *** “Apa, menikah?!” Mama memandang tajam Deo saat seorang warga yang mengantarnya ke rumah memberitahukan soal sanksi yang harus ditanggung anaknya karena kedapatan tidur di pos ronda bersama seorang cewek. Untungnya saat itu hanya ada mama dan kakaknya saja, sementara papa Deo sedang keluar rumah. “Betul, Bu. Karena kami ingin memberi efek jera kepada anak-anak muda lainnya agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi,” sahut warga yang mengantar Deo. “Tapi Pak, anak saya ini belum ada dua puluh tahun lho.” Mama mencoba mencari celah. “Baru setahun lalu dia lulus SMA, dan dia masih kuliah. Nggak mungkin lah saya kawinkan dia sama cewek yang nggak dikenal.” “Tapi Bu, masalahnya biarpun baru lulus kemarin, nyatanya adek ini sudah berani tidur sama cewek, di kampung orang lagi. Itu kan bikin malu warga kampung kami,” bantah si bapak. Deo mulai merasa terdzolimi oleh pernyataan bapak tersebut. “Pak, jangan fitnah dong. Saya cuma ketiduran di pos ronda, bukan tidur sama cewek,” ralatnya. “Sama aja kan, Dek? Toh ada bukti kalo ceweknya juga tidur di pos ronda.” “Tapi saya nggak terima sama statement Bapak yang nuduh seolah-olah saya sengaja tidur sama cewek itu. Kenyataannya kami berdua ini ketiduran, Pak. Nggak ada kesengajaan sama sekali.” Deo menjelaskan dengan menggebu-gebu. Si bapak manggut-manggut. “Apa itu statement?” “Pernyataan Bapak itu lho,” sahut Deo. “Kalo insiden itu sengaja, saya juga pilih-pilih tempat yang tertutup, Pak. Nggak mungkin saya pilih pos ronda.” “Betul Pak,” timpal mama. “Kalo memang nggak sengaja, jangan disuruh nikah, Pak. Anak saya belum cukup umur, masih bau kencur, keringet, masih kemarin sore banget dia, Pak ...” Gennaro yang sejak tadi diam mendengarkan, hanya melempar pandangan dinginnya kepada Deo. Tetapi itu lebih dari cukup untuk membuat Deo merasa sedang dihakimi. “Kami tidak peduli alasan apa pun yang melatarbelakangi perbuatan mereka, Bu. Yang jelas kami menyaksikan sendiri bagaimana dua anak manusia berbeda jenis ini sedang tidur dalam satu tempat,” kata si bapak. “Dan itu sangat mencoreng nama baik kampung kami.” Mama menarik napas. “Apa nggak ada sanksi selain menikah?” katanya heran. “Masa anak saya menikah sama orang yang nggak dikenal sama sekali?” “Ibu nggak perlu khawatir. Kami akan segera mengadakan pertemuan antara keluarga Ibu dengan keluarga cewek itu dengan Pak RT kami, untuk membahas rencana pernikahan. Kami ingin dalam dua minggu ini mereka diresmikan.” “Apa? Dua minggu?” seru mama kaget. “Yang bener aja.” Mampus gue, batin Deo sambil memegang jidatnya. “Makin cepat makin baik,” kata si bapak dengan wajah puas. “Baiklah, saya permisi dulu.” Begitu bapak yang tadi mengantar Deo sudah berlalu, mama mendelik galak kepada anak bungsunya itu. “Deeeoooo, kelakuan kamu ini bener-bener ... mama malu, tau nggak? Baru tadi sore kamu bilang mau bawa calon mantu, eh sekarang kamu beneran mau dikawinin sama cewek antah berantah itu. Mama kan udah bilang kalo omongan itu doa, kamu sih asal nyeplos aja.” Deo menundukkan wajahnya. “Maaf Ma, tapi sumpah kejadiaannya nggak sebejat yang Mama pikir,” ujar Deo lirih. “Aku sama cewek itu murni ketiduran, aku ketemu sama dia juga karena nolongin dia pas mau bunuh diri ...” “APA?! Bunuh diri?” Mama menggeleng-gelengkan kepala. “Kok bisa-bisanya kamu ketemu cewek kayak gitu? Sekarang kamu jadi dipaksa nikah sama dia, kan?” Deo mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi, nasi sudah telanjur menjadi semangkuk bubur. *** Dua hari kemudian, diaturlah pertemuan tertutup antara keluarga Deo dengan keluarga si cewek dengan Pak RT dari kampung sebelah yang pos rondanya menjadi lokasi TKP dari insiden ketiduran tersebut. Deo dan cewek itu duduk didampingi orang tua masing-masing, sementara Pak RT menyampaikan tuntutannya. Saat tuntutan itu disampaikan, Deo dan cewek itu saling pandang dengan wajah tegang. “Jadi begitulah permintaan dari warga kampung kami,” kata Pak RT. “Mereka mau dua anak muda ini dinikahkan dalam dua minggu.” Masing-masing orang tua memandang calon menantu mereka dengan pandangan menilai. “Mungkin ada yang mau disampaikan dari para orang tua?” Pak RT mengedarkan pandangannya kepada semua orang. “Atau mungkin dari calon manten sendiri?” “Saya, Pak!” kata Deo tiba-tiba. “Silakan, apa yang mau disampaikan?” “Saya cuma mau menceritakan kronologi kejadian yang sebenarnya,” ungkap Deo. “Karena saya nggak mau ada yang salah paham di sini.” Orang tua dari pihak cewek itu memandang Deo dengan saksama. “Saya lihat mbak ini saat dia mau bunuh diri di tengah jalan agar ada truk yang menabraknya,” ujar Deo lambat-lambat. “Saya dorong dia ke tepi jalan, kemudian hujan turun deras sekali ...” “... dan saya memberinya ide untuk pergi mencari tempat berteduh,” sambung cewek itu. “Saya lihat ada pos ronda di dekat kami. Jadi kami berteduh di sana, sambil nunggu hujan reda. Pas nunggu hujan itu kami ketiduran. Posisi kami sangat berjauhan, nggak seperti bayangan orang-orang ...” Bersambung—“Tapi tetap saja warga kami meminta dua remaja ini untuk dinikahkan,” sela Pak RT. “Kami mengambil langkah ini agar tidak menjadi fitnah, dan agar kejadian serupa tidak terulang lagi.” Mama dan papa Deo saling pandang, begitu juga dengan orang tua si cewek. “Boleh kami rundingan dulu, Pak?” tanya papa Deo. “Silakan.” Pak RT mengangguk. Kedua orang tua Deo mendekati orang tua si cewek, sementara Deo tetap di kursinya dengan pasrah. Tidak berapa lama kemudian, mereka kembali lagi dengan berita yang sudah Deo duga. “Yo, kamu harus nikah sama Veren. Mau, ya?” bisik mama. “Orang tua Veren udah setuju, kok. Paling nggak, urusan sama kampung sebelah selesai dulu.” “Ma, aku masih mau kuliah ...” ujar Deo. “Aku belum sanggup ngangon anak orang, belum nanti kalo ada bayi, mau aku kasih makan apa mereka?” “Mikirmu kejauhan, Yo,” tukas papa. “Yang penting satu masalah selesai dulu. Soal makan, tempat tinggal, sama kuliah kamu nanti dipikirin lagi.” “Aku nggak mau berhenti kuliah, Pa ...”
Dia mengulurkan beberapa lembar kertas kepada Deo yang menerimanya dengan penuh ingin tahu. Dibacanya isi perjanjian yang telah diketik komputer itu dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. “ ... kita sekamar cuma pas nginep di rumah ortu atau mertua, oke. Masing-masing pasangan dibebaskan dari hak dan kewajiban sebagaimana suami isteri pada umumnya, setuju. Terus ... batas-batas yang nggak boleh dilanggar saat tidur sekamar, ini juga oke. Tapi ...” Deo mendongakkan kepalanya dan memandang Veren dengan saksama. “Elo ngelupain satu hal penting,” katanya. “Eh ...” “Kita mau nikah berapa lama?” Deo mempertanyakan. “Dua tahun? Lima tahun?” “Wah iya, gue lupa!” Veren mengakui. “Lima tahun kelamaan, setahun gimana?” “Setahun kecepetan menurut gue, entar malah kita dihalang-halangi sama ortu. Nggak dibolehin cerai,” kata Deo. “Dua tahun gimana? Nggak kelamaan dan nggak kecepetan juga.” Veren kelihatan berpikir. “Oke deh, sepakat dua tahun, ya?” katanya setuju. Deo
“Nggak bakalan,” jawab Deo sambil menggelengkan kepalanya. “Gue bisa tidur di lantai.” Veren terdiam. “Ya udah, ini bantal buat lo.” Cewek itu mengulurkan satu buah bantal kepada Deo. “Lo ada selimut cadangan, kan?” “Ada. Entar biar gue ambil sendiri selimut sama bantalnya,” kata Deo. “Gue masih mau ngopi sambil nonton tivi.” “Kalo gitu gue tidur duluan, ya?” pamit Veren. “Gue ngantuk.” “Iya, duluan aja.” Deo mengangguk. Veren merebahkan tubuhnya ke kasur, sementara Deo membuka pintu kamarnya dan turun ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi. Deo sedang menuang sebungkus kopi instan ke dalam cangkirnya ketika seseorang mendadak masuk ke dapur. Dia nyaris menjatuhkan cangkirnya ketika orang itu menepuk bahunya keras-keras. “Mentang-mentang mau malam pertama, terus bikin kopi biar kuat begadang ...” kata Gennaro dengan suara pelan, namun menusuk sampai ke telinga Deo yang paling dalam. “Kak Aro, bikin jantungan aja!” Deo mengelus-elus dadanya. “Veren udah tidur duluan kok.” “La
“Buat apaan?” tanya Veren ingin tahu. “Buat gue tuker sama cendol seember, ya buat digandeng lah!” tukas Deo. “Gitu doang pake nanya.” “Lah, emang gue truk gandengan?” sahut Veren sambil membuntuti Deo keluar kamar. Saat mereka sampai di dapur, Freya sudah berada di meja makan bersama Gennaro dan mama. “Pagi, Ma!” Deo dan Veren memasang tampang cerah saat bergabung di meja makan. “Pagi, manten baru!” sahut mama ceria. “Veren, kenalin ini calon mantu mama juga. Namanya Freya.” Veren mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar ke arah Freya. “Halo Kak!” Freya menjabatnya sebentar sambil tersenyum singkat. “Lo mau bikin sarapan apa, Ver?” tanya Deo menyela. “Yo, sama istri sendiri kok ngomongnya kayak sama temen?” tegur mama. “Yang halus gitu kenapa?” “Nggak papa, Ma. Aku sama Veren nggak terbiasa halus-halusan,” sahut Deo
“Elo ngeluh mulu ya isinya?” komentar Deo. “Kalo sumpek kan masih bisa main, lo pergi cuci mata sama temen-temen cewek lo juga nggak masalah. Ke mal, bioskop, pasar, bonbin ...” “Elah, ngapain juga gue ke kebon binatang?” tukas Veren cepat-cepat. “Mau nyamain rupa?” “Itu elo yang ngomong lho, ya? Bukan gue,” sahut Deo. “Sabar dikit lah Ver, dua tahun itu nggak kerasa kalo nggak lo itung-itung. Gue aja juga nahan diri buat nyari gebetan baru setelah putus dari kakak ipar.” “Oh iya, ngomong-ngomong soal Kak Freya sama Kak Aro, entar mereka setelah nikah bakalan serumah sama nyokap lo atau pindah ke rumah sendiri, Yo?” tanya Veren penasaran. “Kalo lihat Kak Aro yang udah mapan sih keknya mereka bakal langsung misah deh,” jawab Deo. “Kenapa, lo mau ngikut?” “Ogah, ngapain juga gue ngintilin mereka. Kek kurang kerjaan aja ...” “Gue numpang tidur bentar, ya, Ver?”
“Apaan tuh celebek?” tanya Deo sambil mengerutkan keningnya. “Yang dipake buat masak itu?”“Celemek, ini celebek-celebek alias CLBK.” Veren menjentikkan jari-jarinya. “Nggak tau juga artinya apa? Katro lo. Artinya Cinta Lama Belum Kandas, alias masih belum kelar, masih bersambung, berkelanjutan ...”“Apaan sih lo, sotoy ayam?” tukas Deo. “Dia kan calon isterinya Kak Aro, masa iya masih nyimpen perasaan buat gue?”“Hati orang siapa yang tau?” bantah Veren. “Emang gimana sih awalnya mereka berdua bisa tunangan? Apa keluarga lo nggak tau kalo elo sama kakak ipar itu aslinya pacaran?”Deo menggelengkan kepala.“Masing-masing dari keluarga kami nggak ada yang tau kalo gue sama Freya itu pacaran,” katanya dengan nada sendu.“Lah, lima tahun pacaran masa iya elo nggak pernah main ke rumahnya? Atau dikenalin gitu sama ortunya?” tanya Veren heran sekali.“Nggak pernah,” jawab Deo membenarkan. “Lagian gue sama Freya jadiannya juga pas gue masih embrio, gue sama Freya kan mudaan gue. Mungkin itu
“Nggak usah pake bulan madu, udah telat.” Dia mengingatkan Veren dengan tegas. “Bulan madu bisa kapan aja kali,” sahut Veren tidak mau kalah. “Itu namanya piknik, beda lagi sebutannya!” tukas Deo. “Udah lah, biasanya juga di rumah nonton upin ipin kalo elo libur, nggak usah gaya mau bulan madu segala.” “Deo, kamu kok ngomongnya gitu sama istri sendiri?” tegur mama sementara Gennaro dan Freya tidak berkomentar. “Wajar kan kalo Veren pengin bulan madu juga?” “Tau nih, Ma. Sensi banget dia sama aku,” sahut Veren keki. “Ya udah besok kamu sama Veren ikut ke Bali aja, sekalian sama Aro.” Mama menengahi. Deo langsung menolak usulan itu mentah-mentah. “Nggak usah lah, Ma. Veren kok didengerin,” katanya. “Besok-besok juga dia udah lupa.” “Jangan pelit-pelit sama istri, Yo.” Kali ini Gennaro unjuk suara. “Bulan madu cuma sekali seumur hidup, nggak usah dilarang.” Deo menoleh memandangnya. “Aku nggak pelit, Kak. Tapi aku ngerasa belum mampu aja buat ngajak dia bulan madu,” k
“Yeeee, soal nyawa sih gue percaya sama Yang Di Atas aja!” sahut Veren keki. “Jadi gimana, gue nanggung bensin sama makan kita entar?” “Yoi.” Deo menganggukkan kepalanya. “Ya udah, lo siap-siap sana. Pake baju yang tebelan dikit. Sama jaketnya jangan lupa, dingin banget entar di sana.” Veren mengangguk bersemangat dan segera mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke puncak nanti. Deo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja saat melihat tingkah isterinya yang mirip anak kecil mendapat lotere mainan. “Lho, kalian mau ke mana?” tegur mama heran ketika melihat Deo dan Veren turun ke bawah sambil menenteng satu ransel besar di punggung. “Bulan madu!” kata Deo dan Veren bersamaan. Semua orang yang ada di situ auto mengernyitkan keningnya. “Lho, bukannya tadi kamu bilang nggak mau pergi, Yo?” tanya mama tidak mengerti. “Kamu kok cepet banget berubah pikirannya?” “Maklum lah, Ma. Namanya juga anak muda,” jawab Deo sambil nyengir lebar. “Aku sama Veren nggak jauh-jauh kok, c
Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit
Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren
“Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad
“Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu
“Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang
“Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta
“Masih ada waktu bagi kamu dan Veren untuk memikirkan baik-baik soal nasib pernikahan kalian,” kata mama seraya mengusap kepala Deo. “Mama nggak ngira kamu udah segede ini, Yo. Rasanya baru kemarin sore kamu lulus SMA, dan sekarang kamu udah jadi seorang suami ....”“Mama ngeledek,” dengus Deo sambil tertawa. “Tapi aku tetep nggak mau maksa Veren buat lanjut, Ma. Hidup aku belom mapan, aku juga masih harus kuliah. Mau aku kasih makan apa dia nanti? Nggak mungkin aku terus-terusan hidup nomaden di antara rumah mama sama rumah mertua. Mana harga diri aku sebagai suami, Ma?”Mama Deo tersenyum bijak.“Yo, kamu beruntung punya mertua yang pengertian. Mereka paham kondisi kamu kayak gimana, jadi kami semua sepakat akan membantu kalian sampai bisa hidup mandiri. Itu kalo kalian mau nerusin pernikahan ini. Kalo nggak, kami bisa apa?”Deo menggeleng.“Mana ada cewek yang mau hidup sama aku yang masih blangsak ini?” katanya sambil meneguk susu yang masih tersisa.***Veren memandang kalender
“Mana ada cewek yang bener-bener mau memulai hidup dari nol?” komentarnya. “Nggak ada juga ortu yang rela anaknya diajak hidup susah, kalo di rumah aja kebutuhannya serba tercukupi.” Veren sukses terdiam. “Kalo emang lo mau cerai, gue tunggu gugatan cerai lo di pengadilan agama.” Deo bangun dan memandang Veren yang masih berbaring. “Kita nggak usah ketemu lagi, biar keputusan lo nggak goyah. Gue tau lo lagi bingung Ver, dan gue nggak mau kehadiran gue bikin lo tambah bingung.” Deo menunduk dan mengecup kening Veren lembut. “Gue pergi ya? Kita ketemu lagi di pengadilan,” katanya seraya turun dari tempat tidur Veren. “Yo!” Veren ikut bangun dan menggenggam tangan Deo. “Lo tenang aja, gue akan jelasin ke ortu kita kalo ini adalah jalan paling baik yang harus diambil,” kata Deo tanpa menghentikan langkahnya, dengan tangan Veren masih menggenggamnya erat. Veren mengikuti Deo sampai ke pintu kamar. “Yo, kita masih punya waktu dua minggu ...” katanya. “Gue tau, lo bisa pake waktu du
“Halo, Tan? Oh, jadwal kontrol kamu ya pagi ini?” tanya Deo kepada seseorang di seberang sana, membuat Veren memasang telinganya baik-baik. “Gimana ya ... kalo aku izin dulu gimana, Tan?” lanjut Deo. “Ada Pak Muji kan di sana? Maaf ya kalo aku kurang profesional ... iya, Veren lagi sakit. Potong gaji aja nggak papa, Tan. Iya aku ngerti kok ... uang bisa dicari, tapi istri kan nggak bisa difotokopi.” Veren ingin sekali tertawa mendengar kalimat Deo barusan, tapi dia susah payah menahannya. Jika saja dia sedang tidak pura-pura tidur sekarang, tentu dia akan mengatakan bahwa Deo adalah mesin fotokopinya. “Makasih ya, Tan!” Deo mengakhiri percakapannya di ponsel, setelah itu dia kembali mendekap Veren erat sekali. Veren merasakan tubuhnya seakan mengecil ketika dekapan Deo menariknya semakin dalam dengan tubuhya sendiri. “Anak-anak, sarapan dulu!” Terdengar suara mama memanggil dari luar kamar Veren. “Iya, Ma!” sahut Deo. Pelan-pelan dia melepas Veren kemudian pergi ke toilet sebelum