Dia mengulurkan beberapa lembar kertas kepada Deo yang menerimanya dengan penuh ingin tahu. Dibacanya isi perjanjian yang telah diketik komputer itu dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
“ ... kita sekamar cuma pas nginep di rumah ortu atau mertua, oke. Masing-masing pasangan dibebaskan dari hak dan kewajiban sebagaimana suami isteri pada umumnya, setuju. Terus ... batas-batas yang nggak boleh dilanggar saat tidur sekamar, ini juga oke. Tapi ...” Deo mendongakkan kepalanya dan memandang Veren dengan saksama. “Elo ngelupain satu hal penting,” katanya. “Eh ...” “Kita mau nikah berapa lama?” Deo mempertanyakan. “Dua tahun? Lima tahun?” “Wah iya, gue lupa!” Veren mengakui. “Lima tahun kelamaan, setahun gimana?” “Setahun kecepetan menurut gue, entar malah kita dihalang-halangi sama ortu. Nggak dibolehin cerai,” kata Deo. “Dua tahun gimana? Nggak kelamaan dan nggak kecepetan juga.” Veren kelihatan berpikir. “Oke deh, sepakat dua tahun, ya?” katanya setuju. Deo mengangguk kemudian mengembalikan surat perjanjian pernikahan yang telah dibuat Veren untuk disempurnakan kembali. “Elo yakin ini akan berjalan lancar?” tanya Veren agak ragu. “Jauh lebih yakin daripada situasi yang akan kita hadapi sebentar lagi,” jawab Deo lambat-lambat. “Kalo kita menolak dinikahkan, gue nggak yakin penolakan ini akan berhasil. Tapi kalo kita nikah dulu sementara waktu terus misah, keknya malah berhasil.” “Ya udah, gue ngikut deh. Yang penting kita nikah di atas perjanjian ini,” kata Veren sambil melambaikan kertas tadi. “Kita tandatangan di atas materai, kan?” “Iya lah.” Deo mengangguk. “Gue juga nggak mau kuliah gue berantakan gara-gara pernikahan ini.” “Sama, gue kuliah mahal-mahal kalo ujungnya dinikahin kek gini juga mubazir,” timpal Veren. Dia dan Deo menarik napas panjang kemudian sama-sama mengatakan, “Dasar apes.” *** Hari ijab qobul tiba, hanya dalam hitungan menit saja Deo akan mengukir sebuah sejarah baru dalam hidupnya. Sekaligus mengubah status dirinya yang semula jomblo bahagia menjadi seorang pengantin penuh nestapa. Gennaro memasuki kamar Deo untuk menjemputnya turun ke bawah. “Yo, penghulunya udah dateng. Kamu udah siap?” tanya Gennaro sambil mendekati adiknya yang sedang merapikan baju kokonya. “Udah, Kak. Tinggal pake peci biar kayak si Pitung,” jawab Deo. “Aku yang ngelamar duluan, malah kamu yang duluan ijab.” Gennaro berkomentar. “Kakak ngeledek apa muji?” tanggap Deo sambil berdiri dan memandang dirinya sendiri di kaca untuk terakhir kalinya sebelum turun. Meskipun pernikahan ini hanya sementara dan akan diakhiri dengan diam-diam, Deo tetap saja merasa grogi saat Gennaro menuntunnya untuk duduk di sebelah Veren yang hanya memakai kebaya sederhana dengan sapuan make up natural di wajahnya. Ijab qobul itu sendiri dilaksanakan tertutup di kediaman orang tua Deo dan dihadiri oleh beberapa kerabat serta orang-orang berkepentingan. Termasuk ketua RT setempat dari kampung Deo dan Veren, serta RT dari kampung sebelah. Jantung Deo bergemuruh keras sekali ketika ayah kandung Veren menjabat tangannya kuat-kuat saat mengucapkan ijabnya. Kemudian dalam satu tarikan napas, Deo membalas dengan mengucapkan ikrar suci itu: “Saya terima nikah dan kawinnya Veren Valdivia binti Alarico dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!” “Saaahhhh!” Ketua RT sebelah menyeletuk karena terlalu bersemangat. “Alkhamdulillah ...” Orang-orang yang menyaksikan ijab qobul Deo auto bernapas lega karena kelancaran acara yang baru saja terjadi. Malam harinya, sesuai persetujuan, Veren akan menginap seminggu di rumah Deo sebelum nantinya Deo yang gantian menginap di rumah orang tuanya. Mama memeluk anak dan menantunya itu sesaat setelah mereka masuk kamar untuk melepas kantuk. “Betah-betah di sini, ya, Ver?” ujar mama. “Yang sabar sama Deo.” “Iya, Ma.” Veren mengangguk sungkan. “Ya udah. Selamat malam pertama, ya, anak-anak!” Mama berlalu meninggalkan mereka berdua. Setelah mama pergi, Deo dan Veren berebut masuk ke kamar. “Tutup pintunya,” suruh Deo. “Kunciin kalo perlu.” “Iya, iya. Gue juga nggak mau ada orang ngintip,” sahut Veren sambil mengunci pintu kamar Deo rapat-rapat. “Sekarang, nih?” tanya Deo memastikan. “Lo yakin nggak bakal ada orang ngintip?” “Yakinlah! Sekarang aja, mumpung ada kesempatan.” Veren memandang Deo dengan ekspresi tidak sabar. Deo bergegas membuka kemejanya sementara Veren menunggu. “Cepetan dibuka, Yo!” desak Veren bersemangat. “Mumpung belum terlalu malem, nih.” “Sabar, lagi gue keluarin itunya ...” “Lagian ngapain juga lo tutupin,” protes Veren keras-keras. “Ya kalo nggak ditutup bisa ketauan lah,” bantah Deo. “Lo mau ini dilihat Mama?” “Ya nggak juga, yang boleh lihat kan cuma gue sama elo doang.” Veren menggelengkan kepala. “Tapi jangan lama-lama juga ngeluarinnya ...” “Sabar dong, kalo lecet terus robek gimana?” sewot Deo. “Elo enak tinggal ngelihatin doang.” “Iya, iya ... tapi buruan!” “Dikit lagi bisa keluar, yaelah. Lo jangan berisik dong Ver, kakak gue tidur di kamar sebelah. Kalo dia denger kan berabe urusannya,” bisik Deo memperingatkan. “Ya maap.” Deo menarik sesuatu dari dalam kemejanya dengan sangat hati-hati. Ketika dirasa masih terlalu sempit, dia membuka kemejanya semakin lebar. Setelah itu barulah dia bisa mengeluarkannya dengan lancar. “Ini dia!” kata Deo sambil menunjukkannya kepada Veren. “Barangnya masih utuh, cuma lecek doang.” Veren mengambil lipatan kertas yang tadi diselundupkan Deo ke dalam kemejanya. Beberapa saat yang lalu kertas ini masih mulus, hanya saja saat mereka berdua akan menandatanganinya, mendadak mama masuk ke dalam kamar yang kebetulan belum dikunci. Panik, Deo cepat-cepat melipat kertas itu dengan asal-asalan dan bergegas menyelipkannya di dalam kemeja yang dia kenakan. Dan sekarang kertas itu lecek tidak keruan bentuknya. Veren mencoba meratakan lembaran kertas itu di atas meja belajar Deo. “Masih bisa ditandatangani, kan?” tanya Deo penasaran. “Cuma lecek doang itu sih ...” “Nggak papa, masih bisa kebaca. Materainya juga masih nempel,” jawab Veren. “Pasal-pasalnya udah nggak ada yang kurang, kan?” “Sempurna,” kata Deo. “Lo tandatangani aja dulu, abis itu giliran gue yang tandatangan.” Veren mengangguk. Dia mengambil bolpoin dan membubuhkan tandatangannya sendiri dengan mantap di atas surat perjanjian bermaterai itu. Selanjutnya Deo juga melakukan hal yang sama. “Selesai!” Deo meletakkan bolpoinnya di atas surat perjanjian pernikahan tersebut. “Terhitung sejak ditandatanganinya surat perjanjian ini, maka kontrak kita mulai berjalan sampai dua tahun ke depan.” “Akhirnya ...” Veren menarik napas lega. “Jangan lupa surat perjanjiannya disimpen di tempat yang aman.” “Iya.” Deo melihat-lihat sekeliling kamarnya dengan pandangan menilai. “Gue simpen di bawah pakaian gue aja.” “Yakin aman?” tanya Veren ragu-ragu. “Yakinlah. Mama nggak mungkin lihat-lihat lemari gue,” jawab Deo. “Lo udah ngantuk belum, Ver?” “Udah sih, capek rasanya.” Veren mengangguk. “Lo tidur aja dulu,” suruh Deo sambil menunjuk tempat tidur dengan dagunya. “Terus lo entar tidur di mana?” tanya Veren lagi. “Gue nggak mau kita tidur seranjang lho, ya?” Bersambung—“Nggak bakalan,” jawab Deo sambil menggelengkan kepalanya. “Gue bisa tidur di lantai.” Veren terdiam. “Ya udah, ini bantal buat lo.” Cewek itu mengulurkan satu buah bantal kepada Deo. “Lo ada selimut cadangan, kan?” “Ada. Entar biar gue ambil sendiri selimut sama bantalnya,” kata Deo. “Gue masih mau ngopi sambil nonton tivi.” “Kalo gitu gue tidur duluan, ya?” pamit Veren. “Gue ngantuk.” “Iya, duluan aja.” Deo mengangguk. Veren merebahkan tubuhnya ke kasur, sementara Deo membuka pintu kamarnya dan turun ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi. Deo sedang menuang sebungkus kopi instan ke dalam cangkirnya ketika seseorang mendadak masuk ke dapur. Dia nyaris menjatuhkan cangkirnya ketika orang itu menepuk bahunya keras-keras. “Mentang-mentang mau malam pertama, terus bikin kopi biar kuat begadang ...” kata Gennaro dengan suara pelan, namun menusuk sampai ke telinga Deo yang paling dalam. “Kak Aro, bikin jantungan aja!” Deo mengelus-elus dadanya. “Veren udah tidur duluan kok.” “La
“Buat apaan?” tanya Veren ingin tahu. “Buat gue tuker sama cendol seember, ya buat digandeng lah!” tukas Deo. “Gitu doang pake nanya.” “Lah, emang gue truk gandengan?” sahut Veren sambil membuntuti Deo keluar kamar. Saat mereka sampai di dapur, Freya sudah berada di meja makan bersama Gennaro dan mama. “Pagi, Ma!” Deo dan Veren memasang tampang cerah saat bergabung di meja makan. “Pagi, manten baru!” sahut mama ceria. “Veren, kenalin ini calon mantu mama juga. Namanya Freya.” Veren mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar ke arah Freya. “Halo Kak!” Freya menjabatnya sebentar sambil tersenyum singkat. “Lo mau bikin sarapan apa, Ver?” tanya Deo menyela. “Yo, sama istri sendiri kok ngomongnya kayak sama temen?” tegur mama. “Yang halus gitu kenapa?” “Nggak papa, Ma. Aku sama Veren nggak terbiasa halus-halusan,” sahut Deo
“Elo ngeluh mulu ya isinya?” komentar Deo. “Kalo sumpek kan masih bisa main, lo pergi cuci mata sama temen-temen cewek lo juga nggak masalah. Ke mal, bioskop, pasar, bonbin ...” “Elah, ngapain juga gue ke kebon binatang?” tukas Veren cepat-cepat. “Mau nyamain rupa?” “Itu elo yang ngomong lho, ya? Bukan gue,” sahut Deo. “Sabar dikit lah Ver, dua tahun itu nggak kerasa kalo nggak lo itung-itung. Gue aja juga nahan diri buat nyari gebetan baru setelah putus dari kakak ipar.” “Oh iya, ngomong-ngomong soal Kak Freya sama Kak Aro, entar mereka setelah nikah bakalan serumah sama nyokap lo atau pindah ke rumah sendiri, Yo?” tanya Veren penasaran. “Kalo lihat Kak Aro yang udah mapan sih keknya mereka bakal langsung misah deh,” jawab Deo. “Kenapa, lo mau ngikut?” “Ogah, ngapain juga gue ngintilin mereka. Kek kurang kerjaan aja ...” “Gue numpang tidur bentar, ya, Ver?”
“Apaan tuh celebek?” tanya Deo sambil mengerutkan keningnya. “Yang dipake buat masak itu?”“Celemek, ini celebek-celebek alias CLBK.” Veren menjentikkan jari-jarinya. “Nggak tau juga artinya apa? Katro lo. Artinya Cinta Lama Belum Kandas, alias masih belum kelar, masih bersambung, berkelanjutan ...”“Apaan sih lo, sotoy ayam?” tukas Deo. “Dia kan calon isterinya Kak Aro, masa iya masih nyimpen perasaan buat gue?”“Hati orang siapa yang tau?” bantah Veren. “Emang gimana sih awalnya mereka berdua bisa tunangan? Apa keluarga lo nggak tau kalo elo sama kakak ipar itu aslinya pacaran?”Deo menggelengkan kepala.“Masing-masing dari keluarga kami nggak ada yang tau kalo gue sama Freya itu pacaran,” katanya dengan nada sendu.“Lah, lima tahun pacaran masa iya elo nggak pernah main ke rumahnya? Atau dikenalin gitu sama ortunya?” tanya Veren heran sekali.“Nggak pernah,” jawab Deo membenarkan. “Lagian gue sama Freya jadiannya juga pas gue masih embrio, gue sama Freya kan mudaan gue. Mungkin itu
“Nggak usah pake bulan madu, udah telat.” Dia mengingatkan Veren dengan tegas. “Bulan madu bisa kapan aja kali,” sahut Veren tidak mau kalah. “Itu namanya piknik, beda lagi sebutannya!” tukas Deo. “Udah lah, biasanya juga di rumah nonton upin ipin kalo elo libur, nggak usah gaya mau bulan madu segala.” “Deo, kamu kok ngomongnya gitu sama istri sendiri?” tegur mama sementara Gennaro dan Freya tidak berkomentar. “Wajar kan kalo Veren pengin bulan madu juga?” “Tau nih, Ma. Sensi banget dia sama aku,” sahut Veren keki. “Ya udah besok kamu sama Veren ikut ke Bali aja, sekalian sama Aro.” Mama menengahi. Deo langsung menolak usulan itu mentah-mentah. “Nggak usah lah, Ma. Veren kok didengerin,” katanya. “Besok-besok juga dia udah lupa.” “Jangan pelit-pelit sama istri, Yo.” Kali ini Gennaro unjuk suara. “Bulan madu cuma sekali seumur hidup, nggak usah dilarang.” Deo menoleh memandangnya. “Aku nggak pelit, Kak. Tapi aku ngerasa belum mampu aja buat ngajak dia bulan madu,” k
“Yeeee, soal nyawa sih gue percaya sama Yang Di Atas aja!” sahut Veren keki. “Jadi gimana, gue nanggung bensin sama makan kita entar?” “Yoi.” Deo menganggukkan kepalanya. “Ya udah, lo siap-siap sana. Pake baju yang tebelan dikit. Sama jaketnya jangan lupa, dingin banget entar di sana.” Veren mengangguk bersemangat dan segera mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke puncak nanti. Deo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja saat melihat tingkah isterinya yang mirip anak kecil mendapat lotere mainan. “Lho, kalian mau ke mana?” tegur mama heran ketika melihat Deo dan Veren turun ke bawah sambil menenteng satu ransel besar di punggung. “Bulan madu!” kata Deo dan Veren bersamaan. Semua orang yang ada di situ auto mengernyitkan keningnya. “Lho, bukannya tadi kamu bilang nggak mau pergi, Yo?” tanya mama tidak mengerti. “Kamu kok cepet banget berubah pikirannya?” “Maklum lah, Ma. Namanya juga anak muda,” jawab Deo sambil nyengir lebar. “Aku sama Veren nggak jauh-jauh kok, c
“Lo sebenernya ngebet ngajakin gue buat pergi bulan madu apa ngebet mau nostalgia mengenang masa-masa indah lo sama mantan?” tanya Deo dengan tampang yang tidak enak dipandang.“Siapa yang nostalgia?” bantah Veren. “Gue cuma ngasih tau elo doang, Yo ...”“Gue nggak suka lo banding-bandingin gue sama mantan lo,” kata Deo lagi. “Suka-suka gue mau ngambil jalur yang mana, orang gue suka sama pemandangan yang ada di sini. Masalah buat lo?”“Apaan sih, gue kan cuma ngasih tau elo kalo ada jalur yang lebih cepet daripada jalur yang lo ambil ini!” seru Veren menjelaskan. “Sensi banget sih lo?”“Gue nggak bego-bego banget, Ver. Gue juga tau kalo ada jalur alternatif yang lebih cepet.” Deo berkata lagi. “Tapi gue suka sama pemandangan di sini, lo hargain dikit dong. Bukannya malah cerita soal jalur yang biasa elo lewati sama mantan lo itu.”“Gue cuma ngasih tau aja, Yo!” seru Veren berulang-ulang.“Nggak usah pake ngebawa-bawa mantan lo j
Veren menarik lepas tangannya dari pegangan Deo. “Nggak usah pegang-pegang!” ujarnya sengit. “Bukan mahram.” “Siapa bilang?” tantang Deo. “Kita udah mahram sejak resmi menikah, cuma gue males aja nggarap elo. Nggak nafsu ... aduh!” Kalimat Deo terhenti di tengah jalan ketika tangan Veren menampar mulutnya keras-keras. Reflek Deo mengusap-usap bibirnya memakai telapak tangannya sendiri. “Otak lo tuh nggak cuma mafia, tapi pikiran lo juga. Ngeres!” kritik Veren pedas. “Amit-amit banget ya gue bisa nikah sama elo, kek nggak ada cowok lain aja. Heran gue sama nasib gue yang apes ini. Semoga entar keturunan gue nggak ada yang ngalamin kayak gue gini.” Deo masih mengusap-usap bibirnya dan tidak menjawab hinaan Veren barusan. “Gue juga nggak mau kejebak pernikahan ini lama-lama sama elo,” tukas Deo setelah memastikan kalau bibirnya tidak rusak permanen. “Gue nggak mau elo jadi ibu dari anak-anak gue entar, lebih amit-amit lagi mas
Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit
Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren
“Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad
“Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu
“Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang
“Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta
“Masih ada waktu bagi kamu dan Veren untuk memikirkan baik-baik soal nasib pernikahan kalian,” kata mama seraya mengusap kepala Deo. “Mama nggak ngira kamu udah segede ini, Yo. Rasanya baru kemarin sore kamu lulus SMA, dan sekarang kamu udah jadi seorang suami ....”“Mama ngeledek,” dengus Deo sambil tertawa. “Tapi aku tetep nggak mau maksa Veren buat lanjut, Ma. Hidup aku belom mapan, aku juga masih harus kuliah. Mau aku kasih makan apa dia nanti? Nggak mungkin aku terus-terusan hidup nomaden di antara rumah mama sama rumah mertua. Mana harga diri aku sebagai suami, Ma?”Mama Deo tersenyum bijak.“Yo, kamu beruntung punya mertua yang pengertian. Mereka paham kondisi kamu kayak gimana, jadi kami semua sepakat akan membantu kalian sampai bisa hidup mandiri. Itu kalo kalian mau nerusin pernikahan ini. Kalo nggak, kami bisa apa?”Deo menggeleng.“Mana ada cewek yang mau hidup sama aku yang masih blangsak ini?” katanya sambil meneguk susu yang masih tersisa.***Veren memandang kalender
“Mana ada cewek yang bener-bener mau memulai hidup dari nol?” komentarnya. “Nggak ada juga ortu yang rela anaknya diajak hidup susah, kalo di rumah aja kebutuhannya serba tercukupi.” Veren sukses terdiam. “Kalo emang lo mau cerai, gue tunggu gugatan cerai lo di pengadilan agama.” Deo bangun dan memandang Veren yang masih berbaring. “Kita nggak usah ketemu lagi, biar keputusan lo nggak goyah. Gue tau lo lagi bingung Ver, dan gue nggak mau kehadiran gue bikin lo tambah bingung.” Deo menunduk dan mengecup kening Veren lembut. “Gue pergi ya? Kita ketemu lagi di pengadilan,” katanya seraya turun dari tempat tidur Veren. “Yo!” Veren ikut bangun dan menggenggam tangan Deo. “Lo tenang aja, gue akan jelasin ke ortu kita kalo ini adalah jalan paling baik yang harus diambil,” kata Deo tanpa menghentikan langkahnya, dengan tangan Veren masih menggenggamnya erat. Veren mengikuti Deo sampai ke pintu kamar. “Yo, kita masih punya waktu dua minggu ...” katanya. “Gue tau, lo bisa pake waktu du
“Halo, Tan? Oh, jadwal kontrol kamu ya pagi ini?” tanya Deo kepada seseorang di seberang sana, membuat Veren memasang telinganya baik-baik. “Gimana ya ... kalo aku izin dulu gimana, Tan?” lanjut Deo. “Ada Pak Muji kan di sana? Maaf ya kalo aku kurang profesional ... iya, Veren lagi sakit. Potong gaji aja nggak papa, Tan. Iya aku ngerti kok ... uang bisa dicari, tapi istri kan nggak bisa difotokopi.” Veren ingin sekali tertawa mendengar kalimat Deo barusan, tapi dia susah payah menahannya. Jika saja dia sedang tidak pura-pura tidur sekarang, tentu dia akan mengatakan bahwa Deo adalah mesin fotokopinya. “Makasih ya, Tan!” Deo mengakhiri percakapannya di ponsel, setelah itu dia kembali mendekap Veren erat sekali. Veren merasakan tubuhnya seakan mengecil ketika dekapan Deo menariknya semakin dalam dengan tubuhya sendiri. “Anak-anak, sarapan dulu!” Terdengar suara mama memanggil dari luar kamar Veren. “Iya, Ma!” sahut Deo. Pelan-pelan dia melepas Veren kemudian pergi ke toilet sebelum