Beranda / Rumah Tangga / Mantanku, Kakak Iparku / 9 Freya Mendadak Muncul

Share

9 Freya Mendadak Muncul

Penulis: Setia_AM
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-06 15:30:06

“Elo ngeluh mulu ya isinya?” komentar Deo. “Kalo sumpek kan masih bisa main, lo pergi cuci mata sama temen-temen cewek lo juga nggak masalah. Ke mal, bioskop, pasar, bonbin ...”

“Elah, ngapain juga gue ke kebon binatang?” tukas Veren cepat-cepat. “Mau nyamain rupa?”

“Itu elo yang ngomong lho, ya? Bukan gue,” sahut Deo. “Sabar dikit lah Ver, dua tahun itu nggak kerasa kalo nggak lo itung-itung. Gue aja juga nahan diri buat nyari gebetan baru setelah putus dari kakak ipar.”

“Oh iya, ngomong-ngomong soal Kak Freya sama Kak Aro, entar mereka setelah nikah bakalan serumah sama nyokap lo atau pindah ke rumah sendiri, Yo?” tanya Veren penasaran.

“Kalo lihat Kak Aro yang udah mapan sih keknya mereka bakal langsung misah deh,” jawab Deo. “Kenapa, lo mau ngikut?”

“Ogah, ngapain juga gue ngintilin mereka. Kek kurang kerjaan aja ...”

“Gue numpang tidur bentar, ya, Ver?” kata Deo sambil merebahkan tubuhnya ke tempat tidur Veren. “Gue ngantuk berat.”

“Eh Yo, jangan lama-lama tidurnya!” seru Veren. “Gue nggak bebas mau ngapa-ngapain kalo ada elo di kamar gue.”

“Ya ampun, Ver! Pas elo nebeng di rumah ortu gue aja gue perlakuin lo ibarat ratu, lho.” Deo memprotes. “Masa sekarang gue numpang tidur bentar aja dilarang?”

“Ya udahlah.” Veren manyun. “Tapi lo jangan berantakin isi kamar gue, ya, Yo? Jangan megang-megang benda apa pun tanpa seizin gue. Lo tau lah yang namanya cewek pasti privasinya lebih luas.”

Tidak ada sahutan. Veren menoleh dan melihat Deo sudah terkapar dan tidur pulas di kasurnya.

***

Serapat apa pun Deo berusaha menyembunyikan status pernikahannya yang mendadak, tetap saja berita itu terendus juga ke beberapa temannya di kampus.

“Kok lo berani banget nikah di usia dini, Yo?” tanya Septian, salah satu kawan sekelas Deo di fakultas pertanian.

“Daripada gue cuma ngejagain jodoh orang mulu, Sep.” Deo beralasan. “Mendingan gue kawinin sekalian, ngurangi dosa ...”

Septian mengangguk paham.

“Kok ya kebetulan Freya mau lo kawinin?” komentarnya.

“Bukan sama Freya, gue kan udah putus sama dia dua minggu sebelum gue nikah sama isteri gue yang sekarang,” kata Deo menjelaskan. “Lo laper nggak, Sep? Makan ayam penyet, yuk?”

“Ayok lah!” Septian menyambut ajakan Deo dengan penuh semangat.

Saat mereka berdua akan pergi meninggalkan tempat tongkrongan mereka, Freya mendadak muncul dari belokan tangga dan menghampiri Deo.

“Kamu masih ada kelas nggak, Yo?” tanya Freya ingin tahu.

“Ada Kak, padet banget malah!” jawab Deo buru-buru.

“Eh Yo, kita kan cuma ada dua ... aduh!” Septian merintih tertahan ketika siku Deo menyabet rusuknya.

“Ya udah, Kak. Aku sama Septian pergi dulu,” pamit Deo sambil bergegas menarik bahu Septian agar mengikutinya.

Freya tidak menyangka penolakan terang-terangan yang ditunjukkan Deo kepadanya barusan.

“Yo, kok buru-buru banget, sih?” protesnya sambil membuntuti Deo dan Septian yang belum begitu jauh. Freya membuntuti keduanya sampai ke warung ayam penyet depan kampus mereka.

Deo pura-pura tidak menyadari kalau Freya mengikutinya. Dia dan Septian asyik makan sampai cewek itu datang mendekat ke meja mereka.

Ketika makanan sudah hampir habis, ponsel Deo berbunyi. Cowok itu memeriksa ponselnya dan membaca pesan yang masuk. Kemudian cepat-cepat dibereskannya ayam penyet itu sampai ludes.

“Sep, gue duluan ya. Istri gue minta dijemput!” seru Deo sambil meninggalkan selembar uang kertas seratus ribuan di atas meja. “Bayar punya lo sekalian, deh!”

“Thanks, Yo!” Septian mengangkat jempolnya.

Deo bergegas pergi dan melewati Freya begitu saja.

“Deo, tungguin gue dong!” Cewek itu bersusah payah mengejarnya.

“Apa lagi sih, Kak?” kata Deo sebal. “Nggak lihat apa orang lagi buru-buru gini?”

“Tadi kamu bilang ada kelas, kenapa sekarang tiba-tiba cabut?” tanya Freya berusaha mengimbangi langkah kaki Deo.

“Mau nyamperin istri, Kak. Siapa tau dia kenapa-napa, kan kasian.” Deo menjawab apa adanya.

“Tapi sikap kamu ke aku jangan nyelekit kayak gini juga,” protes Freya. “Biasa aja kenapa, kayak nggak pernah terjadi apa-apa gitu ...”

“Nggak terjadi apa-apa, Kakak bilang?” Mendadak Deo menghentikan langkahnya. “Justru itu aku pengin jaga jarak sejauh mungkin dari Kakak, karena statusku sekarang udah jadi suami orang. Kakak juga bentar lagi nikah sama Kak Aro, kan? Jadi mending kita nggak usah ketemuan lagi.”

Setelah mengeluarkan uneg-unegnya, Deo bergegas pergi meninggalkan Freya sendirian.

***

Veren menekuk wajahnya ketika Deo menghampirinya di kampus.

“Lo ‘napa?” tanya Deo heran sambil duduk di sampingnya.

“Gue tadi ketemu mantan gue, Yo ...” curhat Veren sendu.

“Gue juga ketemu terus sama kakak ipar, orang kita sekampus.” Deo mengangkat bahunya. “Masalahnya di mana? Wajar kalo sekampus jadi sering ketemu, kan?”

“Masalahnya dia ngatain gue, Yo. Di depan cewek barunya pula,” kata Veren memberitahu. “Mantan gue bilang kalo gue mendadak nikah karena bunting duluan, terus dia sesumbar katanya bersyukur banget putus sama gue. Bentar lagi anak-anak kampus pasti bakal gosipin gue juga.”

“Mantan lo busuk juga, ya,” komentar Deo. “Elo mestinya lebih bersyukur udah putus dari dia.”

“Bersyukur sih bersyukur, Yo. Tapi masalahnya entar gue dikira hamil sama anak-anak kampus,” protes Veren gelisah. “Padahal kan nggak kek gitu kejadian sebenernya.”

“Ya udah, lo jelasin aja ke orang-orang yang masih mau dengerin.” Deo menyarankan. “Buat yang nggak percaya, lo biarin aja. Entar lewat sembilan bulan, pasti mereka bungkam sendiri.”

Veren menarik napas.

“Kelamaan kalo nunggu sembilan bulan, Yo. Enam bulan aja udah kelihatan kok kalo beneran hamil,” ujarnya tidak bersemangat.

“Nah, itu lo yang lebih tau daripada gue.” Deo menukas. “Entar juga kalo udah lewat masa itu terus mereka lihat elo nggak terbukti hamil, pasti mereka malu sendiri. Udah lah Ver, nggak usah terlalu mikirin hal-hal yang belom tentu kejadian.”

Veren manggut-manggut.

“Iya deh, Yo. Makasih ya, elo udah mau nyamperin gue sampe kampus,” ucapnya sambil tersenyum. “Oh iya, emang lo nggak ada kelas?”

“Ada, udah kelar kok. Lagian juga gue sengaja mau ngehindarin kakak ipar,” kata Deo sambil mengeluarkan ponselnya. “Bukannya gue kegeeran sih, Ver. Tapi gue ngerasa dia itu masih aja berusaha deketin gue. Padahal kan dia udah mau nikah sama kakak gue sendiri.”

“Kali aja dia mau lebih akrab sama calon adik iparnya,” komentar Veren.

“Ngapain lagi mesti diakrabin?” tukas Deo tidak mengerti. “Dia kan udah kenal gue lebih dari lima tahun. Lagian kalo mau akrab-akraban, mestinya di depan Kak Aro sekalian. Bukannya di belakang kek gini.”

Veren kelihatan sedang berpikir keras.

“Atau kalo nggak, mungkin dia lagi celebek-celebek sama lo, Yo!” cetusnya sok tahu.

“Apaan tuh celebek?” tanya Deo sambil mengerutkan keningnya. “Yang dipake buat masak itu?”

Bersambung—

Bab terkait

  • Mantanku, Kakak Iparku    10 Cinta Lama Belum Kandas

    “Apaan tuh celebek?” tanya Deo sambil mengerutkan keningnya. “Yang dipake buat masak itu?”“Celemek, ini celebek-celebek alias CLBK.” Veren menjentikkan jari-jarinya. “Nggak tau juga artinya apa? Katro lo. Artinya Cinta Lama Belum Kandas, alias masih belum kelar, masih bersambung, berkelanjutan ...”“Apaan sih lo, sotoy ayam?” tukas Deo. “Dia kan calon isterinya Kak Aro, masa iya masih nyimpen perasaan buat gue?”“Hati orang siapa yang tau?” bantah Veren. “Emang gimana sih awalnya mereka berdua bisa tunangan? Apa keluarga lo nggak tau kalo elo sama kakak ipar itu aslinya pacaran?”Deo menggelengkan kepala.“Masing-masing dari keluarga kami nggak ada yang tau kalo gue sama Freya itu pacaran,” katanya dengan nada sendu.“Lah, lima tahun pacaran masa iya elo nggak pernah main ke rumahnya? Atau dikenalin gitu sama ortunya?” tanya Veren heran sekali.“Nggak pernah,” jawab Deo membenarkan. “Lagian gue sama Freya jadiannya juga pas gue masih embrio, gue sama Freya kan mudaan gue. Mungkin itu

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-07
  • Mantanku, Kakak Iparku    11 Kepingin Bulan Madu

    “Nggak usah pake bulan madu, udah telat.” Dia mengingatkan Veren dengan tegas. “Bulan madu bisa kapan aja kali,” sahut Veren tidak mau kalah. “Itu namanya piknik, beda lagi sebutannya!” tukas Deo. “Udah lah, biasanya juga di rumah nonton upin ipin kalo elo libur, nggak usah gaya mau bulan madu segala.” “Deo, kamu kok ngomongnya gitu sama istri sendiri?” tegur mama sementara Gennaro dan Freya tidak berkomentar. “Wajar kan kalo Veren pengin bulan madu juga?” “Tau nih, Ma. Sensi banget dia sama aku,” sahut Veren keki. “Ya udah besok kamu sama Veren ikut ke Bali aja, sekalian sama Aro.” Mama menengahi. Deo langsung menolak usulan itu mentah-mentah. “Nggak usah lah, Ma. Veren kok didengerin,” katanya. “Besok-besok juga dia udah lupa.” “Jangan pelit-pelit sama istri, Yo.” Kali ini Gennaro unjuk suara. “Bulan madu cuma sekali seumur hidup, nggak usah dilarang.” Deo menoleh memandangnya. “Aku nggak pelit, Kak. Tapi aku ngerasa belum mampu aja buat ngajak dia bulan madu,” k

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-07
  • Mantanku, Kakak Iparku    12 Berangkat ke Puncak

    “Yeeee, soal nyawa sih gue percaya sama Yang Di Atas aja!” sahut Veren keki. “Jadi gimana, gue nanggung bensin sama makan kita entar?” “Yoi.” Deo menganggukkan kepalanya. “Ya udah, lo siap-siap sana. Pake baju yang tebelan dikit. Sama jaketnya jangan lupa, dingin banget entar di sana.” Veren mengangguk bersemangat dan segera mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke puncak nanti. Deo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja saat melihat tingkah isterinya yang mirip anak kecil mendapat lotere mainan. “Lho, kalian mau ke mana?” tegur mama heran ketika melihat Deo dan Veren turun ke bawah sambil menenteng satu ransel besar di punggung. “Bulan madu!” kata Deo dan Veren bersamaan. Semua orang yang ada di situ auto mengernyitkan keningnya. “Lho, bukannya tadi kamu bilang nggak mau pergi, Yo?” tanya mama tidak mengerti. “Kamu kok cepet banget berubah pikirannya?” “Maklum lah, Ma. Namanya juga anak muda,” jawab Deo sambil nyengir lebar. “Aku sama Veren nggak jauh-jauh kok, c

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-08
  • Mantanku, Kakak Iparku    13 Bawa-bawa Mantan

    “Lo sebenernya ngebet ngajakin gue buat pergi bulan madu apa ngebet mau nostalgia mengenang masa-masa indah lo sama mantan?” tanya Deo dengan tampang yang tidak enak dipandang.“Siapa yang nostalgia?” bantah Veren. “Gue cuma ngasih tau elo doang, Yo ...”“Gue nggak suka lo banding-bandingin gue sama mantan lo,” kata Deo lagi. “Suka-suka gue mau ngambil jalur yang mana, orang gue suka sama pemandangan yang ada di sini. Masalah buat lo?”“Apaan sih, gue kan cuma ngasih tau elo kalo ada jalur yang lebih cepet daripada jalur yang lo ambil ini!” seru Veren menjelaskan. “Sensi banget sih lo?”“Gue nggak bego-bego banget, Ver. Gue juga tau kalo ada jalur alternatif yang lebih cepet.” Deo berkata lagi. “Tapi gue suka sama pemandangan di sini, lo hargain dikit dong. Bukannya malah cerita soal jalur yang biasa elo lewati sama mantan lo itu.”“Gue cuma ngasih tau aja, Yo!” seru Veren berulang-ulang.“Nggak usah pake ngebawa-bawa mantan lo j

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-08
  • Mantanku, Kakak Iparku    14 Kenalin, Saya Suaminya

    Veren menarik lepas tangannya dari pegangan Deo. “Nggak usah pegang-pegang!” ujarnya sengit. “Bukan mahram.” “Siapa bilang?” tantang Deo. “Kita udah mahram sejak resmi menikah, cuma gue males aja nggarap elo. Nggak nafsu ... aduh!” Kalimat Deo terhenti di tengah jalan ketika tangan Veren menampar mulutnya keras-keras. Reflek Deo mengusap-usap bibirnya memakai telapak tangannya sendiri. “Otak lo tuh nggak cuma mafia, tapi pikiran lo juga. Ngeres!” kritik Veren pedas. “Amit-amit banget ya gue bisa nikah sama elo, kek nggak ada cowok lain aja. Heran gue sama nasib gue yang apes ini. Semoga entar keturunan gue nggak ada yang ngalamin kayak gue gini.” Deo masih mengusap-usap bibirnya dan tidak menjawab hinaan Veren barusan. “Gue juga nggak mau kejebak pernikahan ini lama-lama sama elo,” tukas Deo setelah memastikan kalau bibirnya tidak rusak permanen. “Gue nggak mau elo jadi ibu dari anak-anak gue entar, lebih amit-amit lagi mas

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-09
  • Mantanku, Kakak Iparku    15 (Bukan) Malam Pertama part 1

    Baik si cowok bening ataupun temannya sendiri untuk sesaat memandang Deo dan Veren dengan ekspresi tidak percaya. “Oh, sori!” Si cowok bening tersenyum singkat sambil memandang Veren yang terlihat salah tingkah. “Selamat ya buat pernikahannya.” “Makasih,” ucap Veren dengan suara yang hampir tidak terdengar. Deo sangat puas saat keadaan di sekitarnya sudah mulai berjarak aman, tidak seperti tadi yang menurutnya tidak kelihatan ada batas sama sekali. Veren juga menjaga tingkahnya selama mereka menghabiskan makanan mereka, “Lanjut sekarang yuk?” kata Deo sesaat setelah dia menghabiskan kopinya. “Perjalanan ke puncak kira-kira makan waktu satu jam, mungkin bisa lebih soalnya kita muter jalur ...” Veren bangkit berdiri dan meninggalkan meja setelah sebelumnya mengangguk sopan kepada dua cowok tadi. “Elo sih pake muter-muter,” komentar Veren ketika dia dan Deo berjalan pergi meninggalkan warung dan menuju ke parkiran motor.

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-09
  • Mantanku, Kakak Iparku    16 (Bukan) Malam Pertama part 2

    “Tadi siapa yang duluan nubruk gue, Markonah? Dasar perempuan, dia yang salah, tapi laki-laki yang selalu jadi kambing hitam!” Veren membuang muka dengan kesal. “Emang lo yang salah,” sungutnya. “Sengaja manfaatin situasi gue ...” “Situasi apaan? Gue enak-enak rebahan lo malah maen tubruk aja kek ayam kebelet kawin ... aduuhh, duhhh!” Belum selesai Deo mengucapkan kalimatnya, tangan Veren sudah maju lebih dulu dan menjewer telinganya keras-keras. “Sakit, Ver!” Dengan susah payah Deo melepas tangan Veren dari telinganya. “Buset deh, dosa apa gue sampe harus nikah sama cewek durjana macem elo ...” “Salah sendiri nggak jaga jarak,” sahut Veren, tetap tidak mau mengakui fakta bahwa dia duluan yang menubruk Deo gara-gara serangan kecoa. “Serah, cowok emang selalu salah di mata cewek!” omel Deo. “Sesalah apa pun mereka, tetep aja cowok yang bakal disalahin.” Deo berdiri dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. “Yo, mau ke mana?” panggil Veren ragu-ragu. “Nyari angin, panas gue

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-10
  • Mantanku, Kakak Iparku    17 Tidur Satu Ranjang

    “Kita serius mau tidur seranjang?” katanya ketika Deo merebahkan dirinya lebih dulu ke tempat tidur. “Iyaaaa, biasa aja lah. Kek kita belom pernah seranjang aja,” komentar Deo sambil memejamkan kedua matanya. “Kan kita emang belom pernah tidur seranjang, Yo.” Veren mengingatkan. “Masa?” “Kita emang sering tidur sekamar, tapi nggak pernah seranjang. Itu kan salah satu cara untuk menjaga jarak aman di antara kita,” kata Veren menjelaskan. “Oh gitu ...” “Kok lo biasa aja sih, Yo? Lo pindah dong,” suruh Veren. “Pindah ke mana, di luar?” ketus Deo tanpa membuka matanya. “Ya enggak, maksud gue lo jangan tidur di kasur ini juga.” Veren menjelaskan. “Emang ada kasur lain selain ini?” tanya Deo sambil membuka matanya sedikit. “Kalo elo nyuruh gue tidur di lantai, berarti elo bener-bener istri yang nggak punya hati nurani.” Veren tersudut juga dengan kata-kata Deo itu. “Terus gimana, masa kita beneran mau tidur satu ranjang?” keluhnya. “Nggak masalah, kan? Orang kita udah

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-10

Bab terbaru

  • Mantanku, Kakak Iparku    99 Izinkan Aku Menjadi Istri Suamimu

    Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit

  • Mantanku, Kakak Iparku    98 Dikira Kumpul Kebo

    Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren

  • Mantanku, Kakak Iparku    97 Anggap Saja Malam Pertama

    “Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad

  • Mantanku, Kakak Iparku    96 Fokus sama Hubungan Kita

    “Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu

  • Mantanku, Kakak Iparku    95 Kecoa Membawa Berkah (2)

    “Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang

  • Mantanku, Kakak Iparku    94 Kecoa Membawa Berkah

    “Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta

  • Mantanku, Kakak Iparku    93 Masih Ada Waktu (2)

    “Masih ada waktu bagi kamu dan Veren untuk memikirkan baik-baik soal nasib pernikahan kalian,” kata mama seraya mengusap kepala Deo. “Mama nggak ngira kamu udah segede ini, Yo. Rasanya baru kemarin sore kamu lulus SMA, dan sekarang kamu udah jadi seorang suami ....”“Mama ngeledek,” dengus Deo sambil tertawa. “Tapi aku tetep nggak mau maksa Veren buat lanjut, Ma. Hidup aku belom mapan, aku juga masih harus kuliah. Mau aku kasih makan apa dia nanti? Nggak mungkin aku terus-terusan hidup nomaden di antara rumah mama sama rumah mertua. Mana harga diri aku sebagai suami, Ma?”Mama Deo tersenyum bijak.“Yo, kamu beruntung punya mertua yang pengertian. Mereka paham kondisi kamu kayak gimana, jadi kami semua sepakat akan membantu kalian sampai bisa hidup mandiri. Itu kalo kalian mau nerusin pernikahan ini. Kalo nggak, kami bisa apa?”Deo menggeleng.“Mana ada cewek yang mau hidup sama aku yang masih blangsak ini?” katanya sambil meneguk susu yang masih tersisa.***Veren memandang kalender

  • Mantanku, Kakak Iparku    92 Masih Ada Waktu (1)

    “Mana ada cewek yang bener-bener mau memulai hidup dari nol?” komentarnya. “Nggak ada juga ortu yang rela anaknya diajak hidup susah, kalo di rumah aja kebutuhannya serba tercukupi.” Veren sukses terdiam. “Kalo emang lo mau cerai, gue tunggu gugatan cerai lo di pengadilan agama.” Deo bangun dan memandang Veren yang masih berbaring. “Kita nggak usah ketemu lagi, biar keputusan lo nggak goyah. Gue tau lo lagi bingung Ver, dan gue nggak mau kehadiran gue bikin lo tambah bingung.” Deo menunduk dan mengecup kening Veren lembut. “Gue pergi ya? Kita ketemu lagi di pengadilan,” katanya seraya turun dari tempat tidur Veren. “Yo!” Veren ikut bangun dan menggenggam tangan Deo. “Lo tenang aja, gue akan jelasin ke ortu kita kalo ini adalah jalan paling baik yang harus diambil,” kata Deo tanpa menghentikan langkahnya, dengan tangan Veren masih menggenggamnya erat. Veren mengikuti Deo sampai ke pintu kamar. “Yo, kita masih punya waktu dua minggu ...” katanya. “Gue tau, lo bisa pake waktu du

  • Mantanku, Kakak Iparku    91 Ada Apa Dengan Veren? (2)

    “Halo, Tan? Oh, jadwal kontrol kamu ya pagi ini?” tanya Deo kepada seseorang di seberang sana, membuat Veren memasang telinganya baik-baik. “Gimana ya ... kalo aku izin dulu gimana, Tan?” lanjut Deo. “Ada Pak Muji kan di sana? Maaf ya kalo aku kurang profesional ... iya, Veren lagi sakit. Potong gaji aja nggak papa, Tan. Iya aku ngerti kok ... uang bisa dicari, tapi istri kan nggak bisa difotokopi.” Veren ingin sekali tertawa mendengar kalimat Deo barusan, tapi dia susah payah menahannya. Jika saja dia sedang tidak pura-pura tidur sekarang, tentu dia akan mengatakan bahwa Deo adalah mesin fotokopinya. “Makasih ya, Tan!” Deo mengakhiri percakapannya di ponsel, setelah itu dia kembali mendekap Veren erat sekali. Veren merasakan tubuhnya seakan mengecil ketika dekapan Deo menariknya semakin dalam dengan tubuhya sendiri. “Anak-anak, sarapan dulu!” Terdengar suara mama memanggil dari luar kamar Veren. “Iya, Ma!” sahut Deo. Pelan-pelan dia melepas Veren kemudian pergi ke toilet sebelum

DMCA.com Protection Status