Baik si cowok bening ataupun temannya sendiri untuk sesaat memandang Deo dan Veren dengan ekspresi tidak percaya.
“Oh, sori!” Si cowok bening tersenyum singkat sambil memandang Veren yang terlihat salah tingkah. “Selamat ya buat pernikahannya.” “Makasih,” ucap Veren dengan suara yang hampir tidak terdengar. Deo sangat puas saat keadaan di sekitarnya sudah mulai berjarak aman, tidak seperti tadi yang menurutnya tidak kelihatan ada batas sama sekali. Veren juga menjaga tingkahnya selama mereka menghabiskan makanan mereka, “Lanjut sekarang yuk?” kata Deo sesaat setelah dia menghabiskan kopinya. “Perjalanan ke puncak kira-kira makan waktu satu jam, mungkin bisa lebih soalnya kita muter jalur ...” Veren bangkit berdiri dan meninggalkan meja setelah sebelumnya mengangguk sopan kepada dua cowok tadi. “Elo sih pake muter-muter,” komentar Veren ketika dia dan Deo berjalan pergi meninggalkan warung dan menuju ke parkiran motor.<“Tadi siapa yang duluan nubruk gue, Markonah? Dasar perempuan, dia yang salah, tapi laki-laki yang selalu jadi kambing hitam!” Veren membuang muka dengan kesal. “Emang lo yang salah,” sungutnya. “Sengaja manfaatin situasi gue ...” “Situasi apaan? Gue enak-enak rebahan lo malah maen tubruk aja kek ayam kebelet kawin ... aduuhh, duhhh!” Belum selesai Deo mengucapkan kalimatnya, tangan Veren sudah maju lebih dulu dan menjewer telinganya keras-keras. “Sakit, Ver!” Dengan susah payah Deo melepas tangan Veren dari telinganya. “Buset deh, dosa apa gue sampe harus nikah sama cewek durjana macem elo ...” “Salah sendiri nggak jaga jarak,” sahut Veren, tetap tidak mau mengakui fakta bahwa dia duluan yang menubruk Deo gara-gara serangan kecoa. “Serah, cowok emang selalu salah di mata cewek!” omel Deo. “Sesalah apa pun mereka, tetep aja cowok yang bakal disalahin.” Deo berdiri dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. “Yo, mau ke mana?” panggil Veren ragu-ragu. “Nyari angin, panas gue
“Kita serius mau tidur seranjang?” katanya ketika Deo merebahkan dirinya lebih dulu ke tempat tidur. “Iyaaaa, biasa aja lah. Kek kita belom pernah seranjang aja,” komentar Deo sambil memejamkan kedua matanya. “Kan kita emang belom pernah tidur seranjang, Yo.” Veren mengingatkan. “Masa?” “Kita emang sering tidur sekamar, tapi nggak pernah seranjang. Itu kan salah satu cara untuk menjaga jarak aman di antara kita,” kata Veren menjelaskan. “Oh gitu ...” “Kok lo biasa aja sih, Yo? Lo pindah dong,” suruh Veren. “Pindah ke mana, di luar?” ketus Deo tanpa membuka matanya. “Ya enggak, maksud gue lo jangan tidur di kasur ini juga.” Veren menjelaskan. “Emang ada kasur lain selain ini?” tanya Deo sambil membuka matanya sedikit. “Kalo elo nyuruh gue tidur di lantai, berarti elo bener-bener istri yang nggak punya hati nurani.” Veren tersudut juga dengan kata-kata Deo itu. “Terus gimana, masa kita beneran mau tidur satu ranjang?” keluhnya. “Nggak masalah, kan? Orang kita udah
Deo tertegun cukup lama ketika mendapati lekuk-lekuk indah yang terpampang nyata di depan matanya. Setomboy apa pun Veren, dia tetaplah seorang perempuan yang hampir menuju ke usia dewasa muda. Fisiknya sudah terbentuk sempurna, sesempurna suasana yang sedang mereka hadapi seandainya mereka menjalani pernikahan mereka tanpa rasa terpaksa. Pandangan Deo terkunci pada bulu mata Veren yang panjang dan lentik, bibirnya terlihat penuh dan menarik jika dibandingkan dengan cewek lainnya yang rata-rata berbibir tipis. Belum lagi leher mulusnya yang terlihat jenjang, membuat Veren mempunyai ciri khas tersendiri di mata Deo. Sesaat kemudian Deo tersadar, dan buru-buru memalingkan wajahnya dari pemandangan surga dunia yang ada di depannya itu. Dia harus segera menjauhi Veren jika tidak ingin ada malapetaka lain yang terjadi. Hari masih pagi, tetapi Deo memutuskan untuk segera keluar meninggalkan Veren sendirian di kamar. Diakui atau tidak, dia tetap saja seorang laki-laki normal. Laki-laki
“Woy!” terdengar seruan keras dari luar kamar mereka. “Kalian berdua belum puas apa bertempur dari puncak semalem, sampe-sampe mesti tempur lagi di siang bolong begini? Kedengeran sampe kamarku, tau!” Deo dan Veren serentak langsung menyudahi perang mereka saat mendengar teguran Gennaro yang merasa terganggu. “Selera humor Kak Aro parah banget, anjiiirrrr ...” komentar Veren dengan suara pelan. “Bukan cuma parah, tapi dia emang nggak punya selera humor.” Deo meralat. “Beda sama gue, itu makanya gue nggak terlalu akrab sama dia. Kalo gue berada di deket dia, gue berasa nggak bisa jadi diri gue sendiri, kudu jaim gitu deh.” Veren berdecak. “Cowok model kek lo mana pantes jaim,” komentar Veren. “Gue jadi penasaran, apa Kak Freya nggak tertekan ya, Yo?” “Kenapa juga dia mesti tertekan?” sahut Deo tidak mengerti. “Gini lho, dia kan udah lama terbiasa sama elo yang banyak omong gini. Lima tahun bukan waktu yang sebentar
“Beres.” Deo menganggukkan kepalanya. Freya mendadak muncul dari dalam rumah dan menghampiri mereka. Tampilannya yang anggun dan memesona seketika membuat darah di sekujur tubuh Deo berdesir. “Udah siap semua, Mas?” tanya Freya kepada Gennaro yang hendak menutup bagasi mobil. “Nggak ada yang ketinggalan?” “Udah beres semua kok, Frey.” Gennaro mengangguk. Deo berkali-kali mengingatkan dirinya sendiri kalau dia sudah beristri, meskipun Veren tidak seanggun dan sememesona sang mantan. Freya juga sudah bersuamikan Gennaro, yang Deo sendiri tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan seujung kuku jari kakaknya itu. “Aku berangkat dulu ya, Ver?” Freya mendekati Veren untuk cipika cipiki sebelum pergi. “Hati-hati, Kak!” balas Veren. Freya mengangguk dan mendekat ke posisi Deo, namun Deo sengaja mundur kemudian berpindah ke sisi Veren yang satunya. “Hati-hati, Kak!” Dia memfotokopi kata-kata Veren. “Selamat berbulan madu.” “Makasih.” Freya tersenyum pendek kemudian berbalik untuk
Tere bin jiyo naiyo lag da main te margaiya .... “Ini lagu India, Yo!” Veren menjawab sambil meliuk-liukkan tubuhnya, berusaha meniru gerakan yang ada di video. “Elo juga joget dong, kaku banget badan lo kek robot!” Deo menggerakkan tubuhnya dengan ragu-ragu, seraya menirukan gerakan-gerakan di video yang terlihat rumit tetapi lincah. “Lo ngapain sih, ngajakin joget ginian?” protesnya. “Anggep aja hidup itu kek film India, Yo!” seru Veren dengan ekspresi gembira. “Susah seneng tetep joget sama nyanyi!” Le jaa le jaa, dil le jaa le jaa Le jaa le jaa, soniye le jaa le jaa Aah aah aah aah, aah aah aah “Bisa edan gue lama-lama!” Deo terbahak, sementara Veren mulai terlarut dalam tariannya. Bole chudiyan, bole kangna Haai main ho gaya tera saajna Tere bin jiyo naiyo lag da main te marjaawa Le jaa le jaa, soniye le jaa le jaa Dil le jaa le jaa, ho *** Sore itu Deo latihan futsal bersama Septian dan kawan-kawan kuliahnya yang lain. Menurutnya kegiatan ini jauh lebih berfaeda
Dilihatnya Septian membantu cewek itu berdiri kemudian menuntunnya ke teras gedung dan mendudukkannya di situ. Deo merasa lega sekali saat mengetahui Septian mampu melakukan tugasnya dengan baik.Memang susah menyandang status sebagai suami di usia yang masih delapan belas tahun, pikir Deo nelangsa. Mau menolong orang saja mesti lewat tangan sahabatnya. Berteman dengan cewek lain saja juga harus mikir-mikir dulu, takut jadi bahan omongan orang lain.Kapan hidup ini bisa kembali kayak dulu lagi, batin Deo nelangsa.“Yo!” panggil Septian. “Gue ada perlu, nih.”“Kok cewek tadi lo tinggal?” tanya Deo. “Gimana keadaannya?”“Gue udah ditunggu sama cewek gue,” jawab Septian. “Lo aja yang temenin dia dulu, ya?”Deo melengos.“Entar lo buruk sangka sama gue?” tukasnya. “Dikira gue yang ganjen, nggak nyadar status, nggak bisa jaga hati ...”“Serius amat sih idup lo?” sahut Septian sambil nyengir. “Beneran gue udah ditunggu. Elo temenin aja dia, sambil lo p
“Mereka kan ada kek semacam jatah gitu,” jawab Deo hati-hati.“Jatah apaan?” Veren mengangkat wajahnya ke arah Deo. “Jatah ronda? Ngapain elo ikut, lo kan tidurnya nomaden kek manusia purba. Kadang di rumah gue, kadang di rumah lo sendiri. ‘Napa juga mesti minta jatah segala?”Deo menyangga kepalanya dengan tangan, semakin tertarik untuk menguji sejauh mana pengetahuan Veren tentang hubungan suami istri yang sesungguhnya.“Rondanya ya di rumah masing-masing, Ver.” Deo memberitahu. “Di kamar tertutup, dan anggota timnya cuma dua orang.”“Hahah!” Veren malah terbahak. “Gue kok jadi ngebayangin yang enggak-enggak ya, Yo?”Alis Deo terangkat sebelah saat mendengar kalimat Veren barusan. Syukurlah kalau ternyata dia paham apa maksud perkataannya tadi. Tanpa sadar Deo mengukir senyuman samar di wajahnya.“Ada dua orang kan di kamar, terus lampunya dimatiin?” kata Veren antusias sambil memandang Deo. “Biar suasananya mendukung, ada lilin yang sengaja dinyalain. Yang satu ngejagain lilin, sat
Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit
Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren
“Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad
“Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu
“Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang
“Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta
“Masih ada waktu bagi kamu dan Veren untuk memikirkan baik-baik soal nasib pernikahan kalian,” kata mama seraya mengusap kepala Deo. “Mama nggak ngira kamu udah segede ini, Yo. Rasanya baru kemarin sore kamu lulus SMA, dan sekarang kamu udah jadi seorang suami ....”“Mama ngeledek,” dengus Deo sambil tertawa. “Tapi aku tetep nggak mau maksa Veren buat lanjut, Ma. Hidup aku belom mapan, aku juga masih harus kuliah. Mau aku kasih makan apa dia nanti? Nggak mungkin aku terus-terusan hidup nomaden di antara rumah mama sama rumah mertua. Mana harga diri aku sebagai suami, Ma?”Mama Deo tersenyum bijak.“Yo, kamu beruntung punya mertua yang pengertian. Mereka paham kondisi kamu kayak gimana, jadi kami semua sepakat akan membantu kalian sampai bisa hidup mandiri. Itu kalo kalian mau nerusin pernikahan ini. Kalo nggak, kami bisa apa?”Deo menggeleng.“Mana ada cewek yang mau hidup sama aku yang masih blangsak ini?” katanya sambil meneguk susu yang masih tersisa.***Veren memandang kalender
“Mana ada cewek yang bener-bener mau memulai hidup dari nol?” komentarnya. “Nggak ada juga ortu yang rela anaknya diajak hidup susah, kalo di rumah aja kebutuhannya serba tercukupi.” Veren sukses terdiam. “Kalo emang lo mau cerai, gue tunggu gugatan cerai lo di pengadilan agama.” Deo bangun dan memandang Veren yang masih berbaring. “Kita nggak usah ketemu lagi, biar keputusan lo nggak goyah. Gue tau lo lagi bingung Ver, dan gue nggak mau kehadiran gue bikin lo tambah bingung.” Deo menunduk dan mengecup kening Veren lembut. “Gue pergi ya? Kita ketemu lagi di pengadilan,” katanya seraya turun dari tempat tidur Veren. “Yo!” Veren ikut bangun dan menggenggam tangan Deo. “Lo tenang aja, gue akan jelasin ke ortu kita kalo ini adalah jalan paling baik yang harus diambil,” kata Deo tanpa menghentikan langkahnya, dengan tangan Veren masih menggenggamnya erat. Veren mengikuti Deo sampai ke pintu kamar. “Yo, kita masih punya waktu dua minggu ...” katanya. “Gue tau, lo bisa pake waktu du
“Halo, Tan? Oh, jadwal kontrol kamu ya pagi ini?” tanya Deo kepada seseorang di seberang sana, membuat Veren memasang telinganya baik-baik. “Gimana ya ... kalo aku izin dulu gimana, Tan?” lanjut Deo. “Ada Pak Muji kan di sana? Maaf ya kalo aku kurang profesional ... iya, Veren lagi sakit. Potong gaji aja nggak papa, Tan. Iya aku ngerti kok ... uang bisa dicari, tapi istri kan nggak bisa difotokopi.” Veren ingin sekali tertawa mendengar kalimat Deo barusan, tapi dia susah payah menahannya. Jika saja dia sedang tidak pura-pura tidur sekarang, tentu dia akan mengatakan bahwa Deo adalah mesin fotokopinya. “Makasih ya, Tan!” Deo mengakhiri percakapannya di ponsel, setelah itu dia kembali mendekap Veren erat sekali. Veren merasakan tubuhnya seakan mengecil ketika dekapan Deo menariknya semakin dalam dengan tubuhya sendiri. “Anak-anak, sarapan dulu!” Terdengar suara mama memanggil dari luar kamar Veren. “Iya, Ma!” sahut Deo. Pelan-pelan dia melepas Veren kemudian pergi ke toilet sebelum