“Buat apaan?” tanya Veren ingin tahu.
“Buat gue tuker sama cendol seember, ya buat digandeng lah!” tukas Deo. “Gitu doang pake nanya.” “Lah, emang gue truk gandengan?” sahut Veren sambil membuntuti Deo keluar kamar. Saat mereka sampai di dapur, Freya sudah berada di meja makan bersama Gennaro dan mama. “Pagi, Ma!” Deo dan Veren memasang tampang cerah saat bergabung di meja makan. “Pagi, manten baru!” sahut mama ceria. “Veren, kenalin ini calon mantu mama juga. Namanya Freya.” Veren mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar ke arah Freya. “Halo Kak!” Freya menjabatnya sebentar sambil tersenyum singkat. “Lo mau bikin sarapan apa, Ver?” tanya Deo menyela. “Yo, sama istri sendiri kok ngomongnya kayak sama temen?” tegur mama. “Yang halus gitu kenapa?” “Nggak papa, Ma. Aku sama Veren nggak terbiasa halus-halusan,” sahut Deo. “Iya Ma, kita nggak terbiasa pake aku-kamu sejak awal ketemu.” Veren menimpali. “Kalian berdua ini bener-bener ...” Mama menggeleng-gelengkan kepala. “Ya udah, mama balik ke kamar dulu.” Begitu mama berlalu, Veren menoleh memandang Deo. “Lo mau apa, teh? Kopi? Susu?” katanya menawari. “Kopi susu satu,” sahut Deo dengan nada seperti sedang memesan minuman di angkringan. “Bentar ya,” kata Veren sambil berlalu ke dapur untuk membuatkan pesanan Deo. “Kamu nggak bulan madu ke mana gitu, Yo?” tanya Freya basa basi. “Enggak, sibuk kuliah.” Deo menjawab tanpa memandang Freya. Dia sedang sibuk bermain ponsel sementara menunggu Veren membuatkan kopinya. “Kita nanti pake bulan madu kan, Mas?” tanya Freya sambil melirik Gennaro yang sedang melihat-lihat baju pengantin di layar ponselnya. “Emang kamu pengin bulan madu ke mana?” tanya Gennaro tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. “Ke Bali,” jawab Freya. “Pernikahan kan cuma sekali seumur hidup, jadi bulan madunya mesti di tempat yang istimewa.” Freya melirik Deo yang masih sibuk memainkan ponselnya seolah tidak mendengar obrolannya dengan Gennaro. Gennaro sendiri tidak segera menjawab pertanyaan itu dan malah tetap fokus memelototi layar ponselnya, hingga membuat Freya jengkel sendiri. Ditatapnya kakak dan adik yang sama-sama sibuk dengan ponselnya masing-masing. Sebenarnya Deo bukannya tidak mendengar, tetapi dia memilih untuk bersikap tidak peduli pada urusan mereka berdua. Veren mendadak muncul dari dapur dengan membawa secangkir kopi susu dan segelas teh hangat ke hadapan Deo. “Diminum ya, Yo ...” katanya sambil tersenyum manis. “Wangi banget kopinya, Ver?” komentar Deo sambil menghirup aroma kopi susu yang masih panas mengepul. “Gimana ya rasanya minum kopi buatan istri sendiri?” “Beda pastinya, karena kopi ini nggak dijual bebas di warung-warung,” sahut Veren dengan hidung yang mengembang karena bangga. “Diminum dong, Yo.” “Entar, masih panas ini. Lo mau lidah gue melepuh?” sahut Deo sambil mengipas-ngipas kopinya dengan tangan. “Maksud gue entar pas kopinya udah anget, Bambang ...” balas Veren sambil meraih tatakan cangkir kemudian menuang sebagian kopinya di situ. “Lo apain tuh kopi gue?” tanya Deo heran. Veren memberikan tatakan berisi kopi susu kepada Deo. “Coba deh lo minum, Yo,” katanya. “Dijamin nggak kerasa panasnya.” Deo menerima kopi itu dengan tangannya. Saat dia mau meminumnya, tatakan itu miring dan membuat kopi di atasnya tumpah sedikit ke baju Deo. “Waduuh, basah gue ...” “Ish, lo bisa minumnya nggak sih? Sini gue bantu.” Veren ikut memegang tatakan cangkir itu dan Deo mulai menyeruput kopinya pelan-pelan. Freya mengalihkan wajahnya dari pemandangan di depannya ini dan menggeser duduknya menjadi semakin dekat dengan Gennaro yang masih sibuk bermain ponsel. *** Meskipun sudah resmi menikah dan sepakat untuk bersandiwara di depan orang tua masing-masing, Deo dan Veren tetap memegang teguh prinsip mereka jika sedang berada di luar. Deo sibuk dengan dunianya sendiri, begitu juga Veren yang kadang masih suka melirik cowok-cowok bening yang ditemuinya di kampus. Sebenarnya Deo sudah sering mengingatkan bahwa meskipun mereka telah membebaskan pasangan masing-masing dari hak dan kewajiban suami istri pada umumnya, tetap saja ada hal-hal yang sejatinya tidak patut dilanggar. Salah satunya adalah tidak melirik cowok atau cewek lain. “Lo bawel banget sih, Yo ...” keluh Veren ketika Deo mendapat giliran menginap di rumah mertuanya. Deo tanpa sengaja melihat Veren sedang asyik video call dengan salah satu seniornya di kampus. “Elo nyadar dong kalo kelakuan lo ini nggak pantes sama sekali,” kritik Deo sambil duduk di tempat tidur Veren. “Itu senior tau nggak kalo elo udah nikah?” “Ya enggak lah, Yo. Masa iya gue mesti cerita sama orang-orang soal status gue ini?” tukas Veren, sesaat setelah video call dengan seniornya berakhir. “Lagian kan pernikahan kita ini cuma sementara.” “Gue tau, tapi kan tetep aja kita nikah resmi. Dan itu tercatat di buku nikah negara,” kata Deo mengingatkan. “Lo nggak mikir apa, kalo elo suka jelalatan ke sana kemari terus mereka akhirnya tau status lo yang sebenernya, kira-kira apa yang akan mereka pikirin tentang lo selanjutnya?” Veren mendadak terdiam. “Apa mereka masih mikir kalo elo cewek baik-baik?” tanya Deo lagi. “Elo bisa dibilang selingkuh, lho. Dan bayangin kalo kelakuan lo ini sampe bikin ortu lo sama ortu gue dibully orang-orang. Apa lo nggak kasian?” “Kasian juga sih.” Veren mengangguk muram. “Gue pikir setelah menuruti tuntutan warga sebelah, gue bisa bebas ...” “Kita baru bisa bener-bener bebas setelah melewati masa dua tahun sejak tandatangan perjanjian itu,” kata Deo menjelaskan. “Setelah kita resmi cerai, terserah lo mau ngecengin cowok lain di luar sana, bebas. Tapi kalo sekarang, mau nggak mau lo mesti jaga tingkah dikit.” Veren menutupi wajahnya dengan tangan ketika mendengar wejangan panjang lebar dari Deo. “Dua tahun keknya lama banget, Yo ...” keluhnya. “Gue masih mau main, seneng-seneng sama temen-temen gue ...” Deo menarik napas panjang. “Gini lho, Ver. Gunanya kita bikin perjanjian pernikahan yang kemarin itu adalah biar kita masih bisa menikmati hidup kita masing-masing tanpa harus terbebani sama status kita,” ujar Deo sabar. “Cuma satu yang nggak bisa kita langgar seenaknya, seenggaknya dalam dua tahun ke depan.” “Apa itu, Yo?” tanya Veren sambil menurunkan tangannya dan memandang Deo dengan sangat antusias. “Jangan keganjenan sama lawan jenis,” jawab Deo tegas. “Karena elo resmi bersuami, elo bisa dicap tukang selingkuh kalo elo nekat ngecengin para cowok. Mau lo dikasih label tukang selingkuh?” “Ya enggak lah!” Veren menggeleng buru-buru. “Masalahnya entar gue juga yang ujung-ujungnya kena getahnya,” kata Deo lagi. “Dikiranya gue nggak bisa didik istri dengan baik dan benar.” Veren tiba-tiba duduk di samping Deo. “Gue sumpek dong kalo kek gini, Yo ...” katanya. Bersambung—“Elo ngeluh mulu ya isinya?” komentar Deo. “Kalo sumpek kan masih bisa main, lo pergi cuci mata sama temen-temen cewek lo juga nggak masalah. Ke mal, bioskop, pasar, bonbin ...” “Elah, ngapain juga gue ke kebon binatang?” tukas Veren cepat-cepat. “Mau nyamain rupa?” “Itu elo yang ngomong lho, ya? Bukan gue,” sahut Deo. “Sabar dikit lah Ver, dua tahun itu nggak kerasa kalo nggak lo itung-itung. Gue aja juga nahan diri buat nyari gebetan baru setelah putus dari kakak ipar.” “Oh iya, ngomong-ngomong soal Kak Freya sama Kak Aro, entar mereka setelah nikah bakalan serumah sama nyokap lo atau pindah ke rumah sendiri, Yo?” tanya Veren penasaran. “Kalo lihat Kak Aro yang udah mapan sih keknya mereka bakal langsung misah deh,” jawab Deo. “Kenapa, lo mau ngikut?” “Ogah, ngapain juga gue ngintilin mereka. Kek kurang kerjaan aja ...” “Gue numpang tidur bentar, ya, Ver?”
“Apaan tuh celebek?” tanya Deo sambil mengerutkan keningnya. “Yang dipake buat masak itu?”“Celemek, ini celebek-celebek alias CLBK.” Veren menjentikkan jari-jarinya. “Nggak tau juga artinya apa? Katro lo. Artinya Cinta Lama Belum Kandas, alias masih belum kelar, masih bersambung, berkelanjutan ...”“Apaan sih lo, sotoy ayam?” tukas Deo. “Dia kan calon isterinya Kak Aro, masa iya masih nyimpen perasaan buat gue?”“Hati orang siapa yang tau?” bantah Veren. “Emang gimana sih awalnya mereka berdua bisa tunangan? Apa keluarga lo nggak tau kalo elo sama kakak ipar itu aslinya pacaran?”Deo menggelengkan kepala.“Masing-masing dari keluarga kami nggak ada yang tau kalo gue sama Freya itu pacaran,” katanya dengan nada sendu.“Lah, lima tahun pacaran masa iya elo nggak pernah main ke rumahnya? Atau dikenalin gitu sama ortunya?” tanya Veren heran sekali.“Nggak pernah,” jawab Deo membenarkan. “Lagian gue sama Freya jadiannya juga pas gue masih embrio, gue sama Freya kan mudaan gue. Mungkin itu
“Nggak usah pake bulan madu, udah telat.” Dia mengingatkan Veren dengan tegas. “Bulan madu bisa kapan aja kali,” sahut Veren tidak mau kalah. “Itu namanya piknik, beda lagi sebutannya!” tukas Deo. “Udah lah, biasanya juga di rumah nonton upin ipin kalo elo libur, nggak usah gaya mau bulan madu segala.” “Deo, kamu kok ngomongnya gitu sama istri sendiri?” tegur mama sementara Gennaro dan Freya tidak berkomentar. “Wajar kan kalo Veren pengin bulan madu juga?” “Tau nih, Ma. Sensi banget dia sama aku,” sahut Veren keki. “Ya udah besok kamu sama Veren ikut ke Bali aja, sekalian sama Aro.” Mama menengahi. Deo langsung menolak usulan itu mentah-mentah. “Nggak usah lah, Ma. Veren kok didengerin,” katanya. “Besok-besok juga dia udah lupa.” “Jangan pelit-pelit sama istri, Yo.” Kali ini Gennaro unjuk suara. “Bulan madu cuma sekali seumur hidup, nggak usah dilarang.” Deo menoleh memandangnya. “Aku nggak pelit, Kak. Tapi aku ngerasa belum mampu aja buat ngajak dia bulan madu,” k
“Yeeee, soal nyawa sih gue percaya sama Yang Di Atas aja!” sahut Veren keki. “Jadi gimana, gue nanggung bensin sama makan kita entar?” “Yoi.” Deo menganggukkan kepalanya. “Ya udah, lo siap-siap sana. Pake baju yang tebelan dikit. Sama jaketnya jangan lupa, dingin banget entar di sana.” Veren mengangguk bersemangat dan segera mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke puncak nanti. Deo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja saat melihat tingkah isterinya yang mirip anak kecil mendapat lotere mainan. “Lho, kalian mau ke mana?” tegur mama heran ketika melihat Deo dan Veren turun ke bawah sambil menenteng satu ransel besar di punggung. “Bulan madu!” kata Deo dan Veren bersamaan. Semua orang yang ada di situ auto mengernyitkan keningnya. “Lho, bukannya tadi kamu bilang nggak mau pergi, Yo?” tanya mama tidak mengerti. “Kamu kok cepet banget berubah pikirannya?” “Maklum lah, Ma. Namanya juga anak muda,” jawab Deo sambil nyengir lebar. “Aku sama Veren nggak jauh-jauh kok, c
“Lo sebenernya ngebet ngajakin gue buat pergi bulan madu apa ngebet mau nostalgia mengenang masa-masa indah lo sama mantan?” tanya Deo dengan tampang yang tidak enak dipandang.“Siapa yang nostalgia?” bantah Veren. “Gue cuma ngasih tau elo doang, Yo ...”“Gue nggak suka lo banding-bandingin gue sama mantan lo,” kata Deo lagi. “Suka-suka gue mau ngambil jalur yang mana, orang gue suka sama pemandangan yang ada di sini. Masalah buat lo?”“Apaan sih, gue kan cuma ngasih tau elo kalo ada jalur yang lebih cepet daripada jalur yang lo ambil ini!” seru Veren menjelaskan. “Sensi banget sih lo?”“Gue nggak bego-bego banget, Ver. Gue juga tau kalo ada jalur alternatif yang lebih cepet.” Deo berkata lagi. “Tapi gue suka sama pemandangan di sini, lo hargain dikit dong. Bukannya malah cerita soal jalur yang biasa elo lewati sama mantan lo itu.”“Gue cuma ngasih tau aja, Yo!” seru Veren berulang-ulang.“Nggak usah pake ngebawa-bawa mantan lo j
Veren menarik lepas tangannya dari pegangan Deo. “Nggak usah pegang-pegang!” ujarnya sengit. “Bukan mahram.” “Siapa bilang?” tantang Deo. “Kita udah mahram sejak resmi menikah, cuma gue males aja nggarap elo. Nggak nafsu ... aduh!” Kalimat Deo terhenti di tengah jalan ketika tangan Veren menampar mulutnya keras-keras. Reflek Deo mengusap-usap bibirnya memakai telapak tangannya sendiri. “Otak lo tuh nggak cuma mafia, tapi pikiran lo juga. Ngeres!” kritik Veren pedas. “Amit-amit banget ya gue bisa nikah sama elo, kek nggak ada cowok lain aja. Heran gue sama nasib gue yang apes ini. Semoga entar keturunan gue nggak ada yang ngalamin kayak gue gini.” Deo masih mengusap-usap bibirnya dan tidak menjawab hinaan Veren barusan. “Gue juga nggak mau kejebak pernikahan ini lama-lama sama elo,” tukas Deo setelah memastikan kalau bibirnya tidak rusak permanen. “Gue nggak mau elo jadi ibu dari anak-anak gue entar, lebih amit-amit lagi mas
Baik si cowok bening ataupun temannya sendiri untuk sesaat memandang Deo dan Veren dengan ekspresi tidak percaya. “Oh, sori!” Si cowok bening tersenyum singkat sambil memandang Veren yang terlihat salah tingkah. “Selamat ya buat pernikahannya.” “Makasih,” ucap Veren dengan suara yang hampir tidak terdengar. Deo sangat puas saat keadaan di sekitarnya sudah mulai berjarak aman, tidak seperti tadi yang menurutnya tidak kelihatan ada batas sama sekali. Veren juga menjaga tingkahnya selama mereka menghabiskan makanan mereka, “Lanjut sekarang yuk?” kata Deo sesaat setelah dia menghabiskan kopinya. “Perjalanan ke puncak kira-kira makan waktu satu jam, mungkin bisa lebih soalnya kita muter jalur ...” Veren bangkit berdiri dan meninggalkan meja setelah sebelumnya mengangguk sopan kepada dua cowok tadi. “Elo sih pake muter-muter,” komentar Veren ketika dia dan Deo berjalan pergi meninggalkan warung dan menuju ke parkiran motor.
“Tadi siapa yang duluan nubruk gue, Markonah? Dasar perempuan, dia yang salah, tapi laki-laki yang selalu jadi kambing hitam!” Veren membuang muka dengan kesal. “Emang lo yang salah,” sungutnya. “Sengaja manfaatin situasi gue ...” “Situasi apaan? Gue enak-enak rebahan lo malah maen tubruk aja kek ayam kebelet kawin ... aduuhh, duhhh!” Belum selesai Deo mengucapkan kalimatnya, tangan Veren sudah maju lebih dulu dan menjewer telinganya keras-keras. “Sakit, Ver!” Dengan susah payah Deo melepas tangan Veren dari telinganya. “Buset deh, dosa apa gue sampe harus nikah sama cewek durjana macem elo ...” “Salah sendiri nggak jaga jarak,” sahut Veren, tetap tidak mau mengakui fakta bahwa dia duluan yang menubruk Deo gara-gara serangan kecoa. “Serah, cowok emang selalu salah di mata cewek!” omel Deo. “Sesalah apa pun mereka, tetep aja cowok yang bakal disalahin.” Deo berdiri dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. “Yo, mau ke mana?” panggil Veren ragu-ragu. “Nyari angin, panas gue