Bak palu godam raksasa yang meluluhlantakkan pegunungan Jayawijaya, seperti itulah perasaan seorang Amadeo Keita yang luluh lantak saat ceweknya mendadak menamatkan hubungan mereka yang sudah terukir lima tahun lamanya.
“Apa kamu nggak bisa mikir ulang lagi keputusanmu itu?” tanya Deo tak percaya. “Itu udah keputusan final aku, Yo. Maaf, ya ...” jawab Freya dengan sangat lirih. “Paling nggak beritahu aku alasannya, kenapa kamu tiba-tiba mutusin aku?” desak Deo ingin tahu. “Kamu ... terlalu baik buat aku, Deo.” Freya memandangnya nanar. “Harusnya kamu bersyukur dong kalo aku cowok yang baik!” kata Deo bangga, tapi hanya sesaat saja. “Alasan kamu kok nggak sinkron sama tindakan kamu, ya?” Freya meremas kedua tangannya dengan gugup. “Pasti ada alasan lain, kan, Frey?” kata Deo curiga. “Kita ini udah lima tahun pacaran lho, bahkan aku udah rencana mau ngenalin kamu ke ortu aku, tapi ...” “Udah telat, Yo. Udah telat ...” ratap Freya nelangsa. “Aku udah telat ...” “APA?” Deo membulatkan kedua matanya. “Kamu telat? Kok Bisa? Selama ini aku selalu jaga jarak aman lho sama kamu, Frey! Masa sih kamu bisa telat gitu aja? Telat dari mananya coba?” Deo mendesah pelan. “Bisa nggak kamu pelanin dikit suara kamu?” bisik Freya sambil mengertakkan giginya. “Kamu sukses bikin kita jadi bahan tontonan, tau!” Deo menoleh ke kanan dan kiri, beberapa mahasiswa yang sedang makan di kantin kini memperhatikan mereka dengan penuh rasa keingintahuan. “Ehm, ya kamu duluan sih yang bikin panik.” Deo terbatuk sambil pura-pura tak terjadi apa-apa. “Siapa sih yang nggak kaget pas kamu bilang kalo kamu telat tadi?” Freya menarik napas dengan jengkel. “Maksud aku itu, aku udah telat ngenalin kamu ke ortu aku.” Dia memperjelas kalimatnya. “Bukan telat yang ituuuu!” "Huh, ngemeng kek dari tadi.” Deo menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Salah siapa, coba? Dulu aku udah sering minta main ke rumah kamu sekalian silaturahmi sama calon mertua, tapi kamu nggak pernah mau. Lima tahun aku pacaran sama kamu, apa pernah kamu ngenalin aku ke ortu kamu?” Freya menyeruput es jeruknya kemudian mengangkat alisnya tinggi-tinggi ke arah Deo. “Kamu sendiri juga nggak pernah ngenalin aku sama ortu kamu,” komentarnya. Deo termangu. “Oh iya ... Kita samaan deh kalo gitu.” Freya menghabiskan es jeruknya yang tinggal sedikit. “Pada intinya kita udah nggak bisa sama-sama lagi, Yo. Kita harus putus sampe di sini,” katanya sungguh-sungguh. “Alasannya apa, Frey?” desak Deo lagi. “Cuma karena lima tahun pacaran kita nggak pernah saling mengenal ortu masing-masing? Atau kamu malu karena aku lebih muda dari kamu? Atau ...” “Deo, bukan masalah itu!” Freya menggeleng. “Terus apaan? Kamu ngomong dong yang jelas. Jangan ngasih aku alasan klasik kayak aku terlalu baik atau apalah ... yang masuk akal dikit ‘napa?” Freya memandang Deo dalam-dalam. “Cepetan jawab, nggak usah ngelihatin aku kayak gitu! Kamu mau bikin aku baper?” sentak Deo. “Nggak usah kelamaan mikirnya ...” “Aku mau dinikahin,” kata Freya lirih. “Apa?” Deo berpikir kalau telinganya salah dengar. “Aku mau dinikahin sama cowok lain, Yo.” Freya meletakkan tangannya di atas tangan Deo yang terkepal. “Cowok yang dateng melamar aku minggu lalu ...” "Minggu lalu?” potong Deo tidak percaya. “Dan kamu baru cerita sama aku sekarang, sekaligus mutusin aku? Hebat ...” Freya menggelengkan kepala. “Kamu jangan marah gini, dong. Selama seminggu itu aku berusaha bujuk papaku biar nggak buru-buru menerima lamaran cowok itu,” katanya lirih. “Tapi papaku bilang dia cowok yang baik dan juga ... mapan.” Brak! Di luar kesadarannya, Deo memukul meja dengan satu tangannya yang bebas. Beberapa mahasiswa menoleh ke arahnya lagi, tapi Deo tidak peduli. “Pantes aja diterima,” komentarnya sinis. “Cowok mapan sih, ya? Apalah aku ini yang masih bocah ingusan dan baru kemarin sore resmi jadi mahasiswa baru.” “Deo, nggak kayak gitu!” Freya menggenggam tangannya, bermaksud meredam emosi Deo. “Nggak usah pegang-pegang aku lagi,” sentak Deo. “Nyadar dong bentar lagi kamu jadi isteri orang.” “Maaf,” ujar Freya sambil menarik tangannya kembali. “Maaf kalau keputusanku ini bikin kamu sakit hati ...” “Banget lah!” “Maaf sekali lagi, kita harus putus ...” Freya mengambil tasnya dan bersiap untuk pergi. Namun, dia hanya berdiri di depan meja selama beberapa saat lamanya. Deo heran sekali melihatnya begitu. “Ngapain kamu? Kalo mau pergi ya udah, sana. Nggak usah lama-lama,” suruhnya. Freya menoleh dengan ragu-ragu, tatapan matanya mengisyaratkan sesuatu. “Yo, es jeruknya tadi tolong dibayar sekalian, ya. Makasih dan maaf sekali lagi.” Deo terbengong-bengong ketika menyaksikan permintaan cewek yang baru saja memporakporandakan hatinya itu. Sialan, kata Deo dalam hatinya. Udah diputusin sepihak, masih harus nanggung tagihan es jeruk yang nggak seberapa .... Setengah jam kemudian Deo meninggalkan kampusnya dengan hati yang hampa. Lima tahun sudah dia menghabiskan waktunya dengan orang yang salah, lima tahun yang berlalu sia-sia tanpa ada kenangan berarti. Dan lima tahun yang dibuangnya demi menjaga jodoh orang lain. “Deo, nanti malam kamu nggak futsal lagi, kan?” sapa mama ketika Deo baru membuka pagar rumahnya. Beberapa orang pekerja nampak sibuk membereskan halaman. “Tergantung, Ma. Kenapa emang?” tanya Deo tidak bersemangat. “Nanti malem kakak kamu mau lamaran, kamu ikut nganter ya?” ujar mama sumringah. Deo tidak menjawab. Mendengar kata lamaran entah kenapa membuat hatinya terasa ngilu. “Kok diem?” tanya mama heran. “Capek banget aku, Ma. Aku nggak usah ikut deh, ya. Kan yang mau nikahan kakak, bukan aku.” Deo menggelengkan kepalanya sambil melangkah memasuki ruang tamu. “Tapi kamu kan adiknya,” kata mama. “Udah sewajarnya kalo kamu ikut nganterin lamaran kakak kamu. Ya udah, kamu istirahat sana biar capeknya ilang. Nanti malem kamu bisa ikutan ke rumah calon kakak ipar kamu.” Deo terlalu lelah untuk menjawab. Dia bergegas naik ke lantai dua kemudian masuk ke kamarnya untuk melepas penat. Hari yang suram sepanjang hidupnya, begitu Deo berpikir. Freya memilih menikah dengan cowok lain daripada mempertahankan hubungan dengan dirinya yang sudah terjalin lima tahun lamanya. Hari yang suram ini seharusnya menjadi hari terindah untuknya dan juga Freya Arabelle. Karena semestinya mereka berdua merayakan anniversary mereka yang kelima, tepat pada hari ini. Tapi justru keputusan sepihaklah yang Deo terima. Freya dengan gampang mengakhiri hubungan mereka, segampang dia melupakan apa yang sudah mereka berdua jalani sejauh ini. Deo mengambil ponselnya dan menghapus semua foto-foto Freya baik yang tersimpan di galeri maupun di semua akun media sosialnya. Deo tidak mau berlama-lama meratapi patah hatinya. Karena air matanya terlalu berharga untuk sekadar menangisi jodoh orang lain. Bersambung—Deo tertidur sampai adzan ashar berkumandang. Dia bangun, mengucek-ucek matanya dan bersyukur masih bisa hidup tanpa mantan pacarnya.Sore itu mama heboh sendiri mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya untuk melamar calon menantunya nanti. Setelah Deo mandi sore pun keribetan mamanya belum selesai juga.“Ma?” panggil Deo dengan handuk yang melingkar di lehernya. Kepalanya celingukan ke sana kemari mencari seseorang.“Apa sih?” sahut mama sambil lalu.“Itu yang mau ngelamar mama apa anak mama?” “Ya anak mama lah, kakak kamu!” sergah mama sambil merapikan barang-barang yang berserakan di meja.“Terus orangnya mana, perasaan nggak kelihatan dari tadi?” komentar Deo. “Yang mau nikah siapa, yang ribet siapa.”“Yang namanya calon pengantin emang harus diistimewakan, Yo. Dia cukup nyiapin mental buat ijab qobul, selebihnya keluarga yang ngurusin segala macem keperluan pernikahannya,” kata mama menjelaskan.Deo mengangguk-angguk paham.“Enak ya jadi calon manten, tinggal ongkang-ongk
Kata-kata mereka yang terakhir membuat Deo reflek menghentikan langkahnya, dan mencoba menyeberangi jalan, tepat di lokasi orang itu berdiri.TIINN! TIINNNN!Deo berlari, menyelip di antara kendaraan-kendaraan yang melaju dan dengan sekuat tenaga didorongnya orang itu hingga mereka berdua terpental bersama ke atas trotoar.“Aduuhhh ...”“Sakit ...”Deo menoleh ke orang yang tadi sengaja menantang maut di tengah jalan.“Lo nggak papa?” katanya.Orang itu menoleh, dan memandang Deo dengan galak.“Heh, lo ngapain sih pakai dorong gue? Gue kan jadi batal mati!” ketusnya.Deo termangu sejenak, orang di depannya ini ternyata cewek. Dan dia sangat tidak terima ketika Deo mengentaskannya dari kematian. “Maaf, elo waras?” tanya Deo ragu-ragu. “Elo baru aja diselametin dari maut, lho.”“Gue nggak ulang tahun, jadi nggak usah pake selametan segala!” ketus cewek itu.Beberapa orang pejalan kaki mendekati mereka.“Dek, kalian ngapain sih? Bahaya tahu?”“Untung nggak sampe kecelakaan, lain kali ja
Deo terbangun dengan kaget ketika mendengar suara-suara ribut di sekitarnya. “... anak zaman sekarang ...” “... memalukan, aib masyarakat ...” “Bangun, bangun! Kalian ngapain tidur bareng di sini?” Deo tergeragap ketika orang-orang tak dikenal sedang mengerumuni pos ronda. ‘M-maaf Pak, saya cuma numpang neduh.” Deo menjelaskan. “Alasan klasik,” komentar salah satu warga. Sebagian dari mereka membangunkan si cewek dengan memukul kentongan. “Bangun! Bangun!” Deo menelan ludah. Bakal panjang nih urusan, batinnya. “Keluarin kartu identitasmu, Dek.” Salah satu warga meminta. Deo yang sudah pasrah hanya bisa menurut. Dia mengeluarkan dompetnya yang basah dan menarik kartu identitas miliknya. Si cewek diminta melakukan hal yang serupa. “Bukan warga sini,” bisik ibu-ibu yang ikut menggerebek. “Anak kampung sebelah.” “Kita bawa ke Pak RT dulu, mereka udah mencemari kampung kita karena melakukan hal yang tak pantas,” usul warga. “Waduh Pak, kami cuma numpang neduh aja! Kami ngg
“Tapi tetap saja warga kami meminta dua remaja ini untuk dinikahkan,” sela Pak RT. “Kami mengambil langkah ini agar tidak menjadi fitnah, dan agar kejadian serupa tidak terulang lagi.” Mama dan papa Deo saling pandang, begitu juga dengan orang tua si cewek. “Boleh kami rundingan dulu, Pak?” tanya papa Deo. “Silakan.” Pak RT mengangguk. Kedua orang tua Deo mendekati orang tua si cewek, sementara Deo tetap di kursinya dengan pasrah. Tidak berapa lama kemudian, mereka kembali lagi dengan berita yang sudah Deo duga. “Yo, kamu harus nikah sama Veren. Mau, ya?” bisik mama. “Orang tua Veren udah setuju, kok. Paling nggak, urusan sama kampung sebelah selesai dulu.” “Ma, aku masih mau kuliah ...” ujar Deo. “Aku belum sanggup ngangon anak orang, belum nanti kalo ada bayi, mau aku kasih makan apa mereka?” “Mikirmu kejauhan, Yo,” tukas papa. “Yang penting satu masalah selesai dulu. Soal makan, tempat tinggal, sama kuliah kamu nanti dipikirin lagi.” “Aku nggak mau berhenti kuliah, Pa ...”
Dia mengulurkan beberapa lembar kertas kepada Deo yang menerimanya dengan penuh ingin tahu. Dibacanya isi perjanjian yang telah diketik komputer itu dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. “ ... kita sekamar cuma pas nginep di rumah ortu atau mertua, oke. Masing-masing pasangan dibebaskan dari hak dan kewajiban sebagaimana suami isteri pada umumnya, setuju. Terus ... batas-batas yang nggak boleh dilanggar saat tidur sekamar, ini juga oke. Tapi ...” Deo mendongakkan kepalanya dan memandang Veren dengan saksama. “Elo ngelupain satu hal penting,” katanya. “Eh ...” “Kita mau nikah berapa lama?” Deo mempertanyakan. “Dua tahun? Lima tahun?” “Wah iya, gue lupa!” Veren mengakui. “Lima tahun kelamaan, setahun gimana?” “Setahun kecepetan menurut gue, entar malah kita dihalang-halangi sama ortu. Nggak dibolehin cerai,” kata Deo. “Dua tahun gimana? Nggak kelamaan dan nggak kecepetan juga.” Veren kelihatan berpikir. “Oke deh, sepakat dua tahun, ya?” katanya setuju. Deo
“Nggak bakalan,” jawab Deo sambil menggelengkan kepalanya. “Gue bisa tidur di lantai.” Veren terdiam. “Ya udah, ini bantal buat lo.” Cewek itu mengulurkan satu buah bantal kepada Deo. “Lo ada selimut cadangan, kan?” “Ada. Entar biar gue ambil sendiri selimut sama bantalnya,” kata Deo. “Gue masih mau ngopi sambil nonton tivi.” “Kalo gitu gue tidur duluan, ya?” pamit Veren. “Gue ngantuk.” “Iya, duluan aja.” Deo mengangguk. Veren merebahkan tubuhnya ke kasur, sementara Deo membuka pintu kamarnya dan turun ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi. Deo sedang menuang sebungkus kopi instan ke dalam cangkirnya ketika seseorang mendadak masuk ke dapur. Dia nyaris menjatuhkan cangkirnya ketika orang itu menepuk bahunya keras-keras. “Mentang-mentang mau malam pertama, terus bikin kopi biar kuat begadang ...” kata Gennaro dengan suara pelan, namun menusuk sampai ke telinga Deo yang paling dalam. “Kak Aro, bikin jantungan aja!” Deo mengelus-elus dadanya. “Veren udah tidur duluan kok.” “La
“Buat apaan?” tanya Veren ingin tahu. “Buat gue tuker sama cendol seember, ya buat digandeng lah!” tukas Deo. “Gitu doang pake nanya.” “Lah, emang gue truk gandengan?” sahut Veren sambil membuntuti Deo keluar kamar. Saat mereka sampai di dapur, Freya sudah berada di meja makan bersama Gennaro dan mama. “Pagi, Ma!” Deo dan Veren memasang tampang cerah saat bergabung di meja makan. “Pagi, manten baru!” sahut mama ceria. “Veren, kenalin ini calon mantu mama juga. Namanya Freya.” Veren mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar ke arah Freya. “Halo Kak!” Freya menjabatnya sebentar sambil tersenyum singkat. “Lo mau bikin sarapan apa, Ver?” tanya Deo menyela. “Yo, sama istri sendiri kok ngomongnya kayak sama temen?” tegur mama. “Yang halus gitu kenapa?” “Nggak papa, Ma. Aku sama Veren nggak terbiasa halus-halusan,” sahut Deo
“Elo ngeluh mulu ya isinya?” komentar Deo. “Kalo sumpek kan masih bisa main, lo pergi cuci mata sama temen-temen cewek lo juga nggak masalah. Ke mal, bioskop, pasar, bonbin ...” “Elah, ngapain juga gue ke kebon binatang?” tukas Veren cepat-cepat. “Mau nyamain rupa?” “Itu elo yang ngomong lho, ya? Bukan gue,” sahut Deo. “Sabar dikit lah Ver, dua tahun itu nggak kerasa kalo nggak lo itung-itung. Gue aja juga nahan diri buat nyari gebetan baru setelah putus dari kakak ipar.” “Oh iya, ngomong-ngomong soal Kak Freya sama Kak Aro, entar mereka setelah nikah bakalan serumah sama nyokap lo atau pindah ke rumah sendiri, Yo?” tanya Veren penasaran. “Kalo lihat Kak Aro yang udah mapan sih keknya mereka bakal langsung misah deh,” jawab Deo. “Kenapa, lo mau ngikut?” “Ogah, ngapain juga gue ngintilin mereka. Kek kurang kerjaan aja ...” “Gue numpang tidur bentar, ya, Ver?”
Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit
Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren
“Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad
“Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu
“Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang
“Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta
“Masih ada waktu bagi kamu dan Veren untuk memikirkan baik-baik soal nasib pernikahan kalian,” kata mama seraya mengusap kepala Deo. “Mama nggak ngira kamu udah segede ini, Yo. Rasanya baru kemarin sore kamu lulus SMA, dan sekarang kamu udah jadi seorang suami ....”“Mama ngeledek,” dengus Deo sambil tertawa. “Tapi aku tetep nggak mau maksa Veren buat lanjut, Ma. Hidup aku belom mapan, aku juga masih harus kuliah. Mau aku kasih makan apa dia nanti? Nggak mungkin aku terus-terusan hidup nomaden di antara rumah mama sama rumah mertua. Mana harga diri aku sebagai suami, Ma?”Mama Deo tersenyum bijak.“Yo, kamu beruntung punya mertua yang pengertian. Mereka paham kondisi kamu kayak gimana, jadi kami semua sepakat akan membantu kalian sampai bisa hidup mandiri. Itu kalo kalian mau nerusin pernikahan ini. Kalo nggak, kami bisa apa?”Deo menggeleng.“Mana ada cewek yang mau hidup sama aku yang masih blangsak ini?” katanya sambil meneguk susu yang masih tersisa.***Veren memandang kalender
“Mana ada cewek yang bener-bener mau memulai hidup dari nol?” komentarnya. “Nggak ada juga ortu yang rela anaknya diajak hidup susah, kalo di rumah aja kebutuhannya serba tercukupi.” Veren sukses terdiam. “Kalo emang lo mau cerai, gue tunggu gugatan cerai lo di pengadilan agama.” Deo bangun dan memandang Veren yang masih berbaring. “Kita nggak usah ketemu lagi, biar keputusan lo nggak goyah. Gue tau lo lagi bingung Ver, dan gue nggak mau kehadiran gue bikin lo tambah bingung.” Deo menunduk dan mengecup kening Veren lembut. “Gue pergi ya? Kita ketemu lagi di pengadilan,” katanya seraya turun dari tempat tidur Veren. “Yo!” Veren ikut bangun dan menggenggam tangan Deo. “Lo tenang aja, gue akan jelasin ke ortu kita kalo ini adalah jalan paling baik yang harus diambil,” kata Deo tanpa menghentikan langkahnya, dengan tangan Veren masih menggenggamnya erat. Veren mengikuti Deo sampai ke pintu kamar. “Yo, kita masih punya waktu dua minggu ...” katanya. “Gue tau, lo bisa pake waktu du
“Halo, Tan? Oh, jadwal kontrol kamu ya pagi ini?” tanya Deo kepada seseorang di seberang sana, membuat Veren memasang telinganya baik-baik. “Gimana ya ... kalo aku izin dulu gimana, Tan?” lanjut Deo. “Ada Pak Muji kan di sana? Maaf ya kalo aku kurang profesional ... iya, Veren lagi sakit. Potong gaji aja nggak papa, Tan. Iya aku ngerti kok ... uang bisa dicari, tapi istri kan nggak bisa difotokopi.” Veren ingin sekali tertawa mendengar kalimat Deo barusan, tapi dia susah payah menahannya. Jika saja dia sedang tidak pura-pura tidur sekarang, tentu dia akan mengatakan bahwa Deo adalah mesin fotokopinya. “Makasih ya, Tan!” Deo mengakhiri percakapannya di ponsel, setelah itu dia kembali mendekap Veren erat sekali. Veren merasakan tubuhnya seakan mengecil ketika dekapan Deo menariknya semakin dalam dengan tubuhya sendiri. “Anak-anak, sarapan dulu!” Terdengar suara mama memanggil dari luar kamar Veren. “Iya, Ma!” sahut Deo. Pelan-pelan dia melepas Veren kemudian pergi ke toilet sebelum