POV Ramlan
"Assallamualaikum Mas," sebuah suara mengagetkanku dari arah pintu, gegas aku menoleh karena tahu siapa pemilik suara itu.
"Baru pulang? Bagaimana kabar temanmu, sudah sembuh?" ucapnya saat tangannya menyentuh jemariku.
"Sudah Mas, sudah lebih baik. Oya, Mas Ramlan sudah makan belum tadi?" sebuah pertanyaan yang selalu dilontarkannya padaku saat baru pulang dari luar rumah.
"Sudah tadi Bik Minah yang mengambilkan," jawabku sekenanya.
"Maafkan aku ya Mas, tak bisa merawatmu dengan baik," ujarnya sambil memeluk lenganku.
Aku hanya tersenyum mendengar kalimat manis yang diucapkan istriku itu, sejenak terlupakan apa yang Bagas ucapkan tentang dirinya.
"Pergi saja siapa tadi?" aku sengaja memancingnya agar jujur.
"Oh, aku tadi pergi saja Dewi temanku. Mas ingat sama Dewi?" Ratna mencoba mengimbangi obrolanku.
Sejenak aku pura pura mengingat Dewi yabg Ratna maksud, karena banyak nama Dewi yang aku kenal.
"Kenapa aku gak bisa mengingatnya ya, banyak sekali nama Dewi yang aku kenal," sanggahku.
Ratna tersenyum mendengar ucapanku, entah senyum sengaja atau senyum untuk menutupi rasa gundahnya.
"Masa lupa sih Mas, Dewi yang pernah menjenguk kamu itu lho!"
Aku pura pura mengingat sesuatu, hanya ingin melihat ekspresi wajahnya.
"Oh, Dewi itu to. Aku ingat sekarang, sepertinya aku juga punya nomor telponnya," ucapku memancing Ratna, dan kulihat ekspresi wajah itu memucat.
"Apa iya Mas? Aku kok lupa...." sahutnya sambil menatapku sedikit aneh.
Aku melihat perubahan itu, dan aku yakin jika Ratna tengah menutupi kebohongannya.
"Kan kamu sendiri yang memberinya padaku, bukan aku yang memintanya bukan? Jangan khawatir Ratna, sekalipun aku tak pernah menghubunginya kok," ujarku lirih karena aku tahu Ratna tengah menyembunyikan sesuatu dariku.
Terlihat wajah cantik istriku itu sumringah, menarik napas lega dengan apa yang aku katakan.
"Iya juga sih Mas, untuk apa coba aku memberi nomor dia padamu? Kan dia temanku?" jawabnya seperti tak pernah merasa bersalah.
Ratna mengangguk, senyum manis menghiasi bibirnya yang. merah karena lipstik.
"Aku mandi dulu ya Mas, gerah...." pamit Ratna padaku sambil mencium pipiku sekilas.
"Kamu sedikit berubah Ratna, apa benar yang dikatakan Bagas tentangmu? Aku memang curiga padamu dia tahun ini, namun aku pendam karena aku tak mau curiga pada istriku sendiri. Sebaiknya aku selidiki dulu, aku gak mau salah paham," gumamku lirih.
Kupandang punggung istriku yang berlalu masuk kamar kami, sikapnya memang tak berubah padaku hanya saja sering keluar rumah.
Kuambil ponselku, laku kutehan satu nomor yang tertera disana.
"Hallo," sapaku saat panggilanku tersambung.
"Hallo Mas, tumben meneleponku? Ada apa nih?" sahut seorang perempuan di seberang telepon.
"Gak ada apa apa, hanya ingin menanyakan satu hal padamu saja," sahutku dengan dada berdegup kencang.
"Katakan Mas, siapa tahu aku bisa bantu," jawabnya.
"Jika kamu ada waktu, mainlah kemari. Ada yang ingin aku tanyakan pada Mira," ujarku penuh harap.
"Oh tentu saja Mas Ramlan, besok atau lusa aku mengunjungimu. Kamu baik baik saja bukan?"
"Iya, aku baik baik saja. Oke, aku tunggu ya...."
"Baik Mas, aku janji akan datang!" ucap Mira meyakinkan Ramlan.
"Baiklah, terima kasih!"
"Sama sama!" dan panggilan telepon kututup, karena takut kedengaran oleh Ratna istriku.
Sebenarnya aku tak ingin melakukan ini semua, tapi aku ingin meyakinkan hatiku agar tak berprasangka buruk padanya.
"Jika yang dikatakan Bagas benar, tentu saja Mira lebih tahu tentang Ratna. Dan aku akan menunggu kejujuran darinya," ucapku lirih.
"Mas...." Ratna memanggilku dengan lembut.
"Iya, ada apa?"
"Besok aku kan arisan sana twan temanku, boleh gak aku minta uang tambahan? Uang yang kemarin Mas berikan sudah habis," rayu Ratna pada padaku.
"Habis? Padahal baru saja aku berikan untukmu sepuluh juta, baru satu Minggu sudah habis!?" tanya Ramlan penuh penekanan.
"Oh eh, itu Mas, kan aku menjenguk tenan yang sakit, terus isi bensin juga bayar listrik dan air, terus buat belanja juga. Boleh ya Mas? Kalau aku gak datang dan bayar arisan, pasti teman teman akan memperolokku nanti. Kan malu," sahutnya sambil menunduk.
Kuhema napas yang teras sangat berat, sesak di dada. Harus bagaimana aku jelaskan padanya jika keungan semakin menipis, tapi sepertinya Ratna tak mau itu. Tiap hari ada saja yang dimintanya, dan aku selalu saja memberikannya.
"Cobalah berhemat Ratna, keuangan kira semakin menipis," tuturku lembut padanya karena aku tak mau menyakitinya.
"Tapi Mas, bagaimana kata teman temanku nanti?" sahutnya sambil cemberut.
"Cobalah untuk mengurangi sesuatu yang gak penting Ratna, seperti belanja yang gak penting atau sekedar jalan jalan. Pemborosan namanya, kuharap kamu mengerti," ujarku lembut sambil menggenggam jemarinya.
"Ya sudahlah gak jadi! Biar saja mereka menghinaku sepuasnya, itukan. yang Mas Ramlan inginkan!?" ucapnya sambil melepaskan genggaman jemariku, lalu melangkah meninggalkanku sendirian dan masuk kamar.
"Ratna, bukan begitu maksudku...." ucapku sambil mencoba menghentikan langkahnya, namun tak digubrisnya.
Mira menepati janji untuk bertemu Mas Ramlan hari ini, dari pagi aku sudah bersiap untuk ke rumahnya.Mira melajukan motornya perlahan, menuju rumah kakak iparnya yang berjarak empat puluh lima menit dari rumahnya itu.Namun tak disangka, saat di traffic light Mira bertemu dengan Damar. "Hei mau kemana?" tanya Damar pada Mira.Sontak Mira menoleh, dan senyum menghiasi bibirnya saat tahu siapa yang menyapanya."Damar!? Mau kemana!?" sapa Mira pada teman sekolahnya itu."Mau survey job baru, kamu sendiri mau kemana sepagi ini?" sahut Damar sambil menepi ke trotoar agar tak mengganggu pengendara yang lain.Mira mengikuti apa yang Damar lakukan, lalu mereka berdiri sejenak di bawah pohon pinggir jalan."Kakak iparmu? Apa istrinya yang kita temui di mall itu?" sahut Damar mengerutkan dahi."Yap betul! Tapi ini suaminya, lebih tepatnya kakak suamiku Bagas," ucap Mira dengan suara sedikit keras karena bisingnya lalu lintas pagi itu."Oh begitu, aku kira mau kemana. Ada kepentingan pergi kes
"Sudah lama nunggunya?" sapa Mira pada Damar yang sedang duduk di sebuah cafe, seperti kesepakatan mereka kemarin."Gak juga, baru aja aku datang. Biasanya kamu yang lebih awal, tapi ternyata aku yang datang lebih dulu. Oya, mau minum apa buat aku panggil pelayan?" tanya Damar pada Mira."Apa saja boleh, orange jus aja deh! Sepertinya lebih segar, maklum cuacanya panas dan ingin minum yang segar segar," jawab Mira, dan tak lupa senyum manis menghiasi bibir wanita cantik itu.Damar setuju, lalu memanggil pelayan dan memesan apa yang Mira inginkan. Tak lama minuman yang dipesan Mirapun datang, wanita itu menyeruput sedikit jus orange dalam gelas besar itu."Segar sekali," gumam Mira lirih."Oya, tak seperti biasanya kamu terlambat. Ada kendala di jalan?" tanya Damar khawatir."Gak kok, hanya saja ban motorku sedikit kempes jadi berhenti dulu untuk menambah angin. Takut bocor," jawab Mira sambil kembali menyeruput jus orangenya."Oh, aku kira kenapa. Bagaimana kabar suamimu juga istrinya
"Kamu menuduhku ular, tapi justeru sebaliknya kamu sendiri yang ular Ratna!" ucap Mira, saat mengetahui perempuan itu tengah di gandeng seorang laki laki botak di sebuah pusat perbelanjaan.Perempuan yang dipanggil Ratna menoleh, namun tak terkejut dengan siapa berhadapan kini."Mira, lalu apa bedanya aku sama kamu!? Kamu juga sering bertemu dengan laki laki itu bukan!?" sahut Ratna."Kita berbeda Ratna! Kamu sengaja meninggalkan suamimu yang lumpuh demi kepuasan, sedang aku ditinggalkan suamiku demi sebuah keturunan. Jadi jangan samakan aku denganmu!" dengan kesal Mira menunjuk wajah Ratna."Siapa perempuan ini sayang?" tanya laki laki disamping Ratna."Oh dia, hanya perempuan yang menjadi gila karena ditinggal suaminya menikah lagi!" sahut Ratna sambil tersenyum mencibir."Pergi kau, jangan ganggu istriku!" hardik laki laki itu pada Mira.Mira yang mendengarnya tentu saja terkejut, tak menyangka dengan jawaban laki laki itu."Istri anda bilang!? Dengarkan ya, Ratna ini kakak iparku.
POV Bagas"Mas, ada acara tidak hari ini?" tanya dia saat aku bermain dengan Angel."Ada apa?" jawabku ingin tahu."Bisa tidak mengantarkan Angel periksa gigi? Beberapa hari ini Angel makannya sedikit sekali, itupun langsung di telan tanpa dikunyah," kata Dina sambil menyuapi Angel.Menang kulihat beberapa hari ini Angel makan bubur nasi, mungkin untuk memudahkannya mengunyah."Nanti aku antar, kamu buat janji dulu dengan dokter gigi jadi nanti kita tinggal berangkat saja," sahutku sambil menggendong Angel."Baik Mas, makasih," ucap Dina dan kembali menyuapi Angel.Bocah tiga tahun itu menelan bubur dalam mulutnya, mungkin benar yang dikatakan Dina ada masalah dengan gigi bocah itu.Aku masih menemani Angel makan saat ponselku berdering, kulirik sekilas ternyata dari Mira."Tak seperti biasanya Mira menelepon? Ada apa ya?" kataku dalam hati."Hallo Mira, ada apa?" tanyaku saat panggilan videonya aku angkat."Coba kamu lihat Mas, mungkin kamu mengenalnya," sahut Mira sambil memutar kam
"Ada waktu gak hari ini?" tanya Damar saat aku mengangkat teleponnya pagi ini."Sebentar, aku ingat ingat dulu," jawab Mira sambil berpikir sejenak."Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat jika kamu ada waktu," kembali terdengar suara Damar."Sepertinya aku longgar hari ini. Mau mengajakku kemana sih?" sahut Mira penasaran."Pokoknya itu aja, pasti kamu akan suka," imbuh Damar dan semakin membuat Mira penasaran."Oke deh, kita ketemu dimana?" "Aku jemput di rumah ya? Boleh?" pinta Damar."Jangan, biar aku tunggu kamu di taman saja ya? Bagaimana?""Boleh. Bersiaplah, jam sepuluh nanti aku menjemputmu!""Siap!" ucap Mira, dan Damar menutup panggilannya.Mira gegas ke kamar mandi, selesai dengan aktivitas mandinya wanita itu bersolek. Tak berani mencolok, natural saja takut jadi bahan omongan orang nanti.Jam dinding menunjuk angka sembilan pagi, Mira bersiap menuju taman setelah order mobil online.Sepuluh menit perjalanan menuju taman, akhirnya sampailah Mira di tempat yang sudah disepa
"Subhanallah!" pekik Mira saat pandangan matanya lurus ke depan.Sebuah view yang luar biasa! Pantai dengan pohon kelapanya yang melambai, dan ombak yang memutih di kejauhan. Terlihat anak anak bermain pasir pantai, dan beberapa wisatawan asing yang sedang berjemur."Indah bukan?""Sangat indah! Aku suka sekali! Sudah lama sekali aku tak mencium bau pantai," candaku pada Damar."Masa sih!? Suamimu tak pernah mengajakmu healing?" sahut Damar tak percaya, matanya menatap Mira tak berkedip."Masa aku bohong?" jawab Mira meyakinkan Damar."Aku sering ke pantai, istriku paling suka. Dan sekarang aku mengajakmu kemari, berharap kamu bisa melupakan sejenak semua bebanmu," kata Damar namun pandangannya jauh ke depan.Mira tak menyahut, hanya diam saja. Mungkin yang dikatakan Damar ada benarnya juga, membahagiakan diri sendiri itu nomor satu."Kita ke sana yuk! Aku melihat ada penjual souvenir, aku ingin membelikanmu sesuatu!" kata Damar sambil melangkah mendekati seorang bocah penjual sovenir
Bab 1"Apa yang kamu katakan Mas!? Jadi selama ini keluargamu hanya menganggapku sebagai pelengkap dirimu!?" ujar Mira emosi saat suaminya yang baru pulang kerja mengatakan kebenaran yang selama ini menjadi teka teki bagi Mira."Iya Mira, maafkan aku terlambat mengatakan semua ini sama kamu," jawab Bagas lirih."Apa pernikahan kita gak ada artinya hingga mereka mengganggapku seperti itu? Lalu untuk apa mereka menyetujui pernikahan ini!? Apa maksudnya!?" tanya Mira kesal, ditatap suaminya yang duduk terdiam tak berani melihat Mira."Maafkan aku Mira....""Kalian kejam Mas!" ucap Mira sambil berlari keluar kamar, meninggalkan suaminya seorang diri di kamar.Mira tak menyangka jika pernikahannya dengan Bagas hanya sebagai penutup rasa malu mereka. Malu? Ya! Karena Bagas perjaka tua, dan Mira menerima semua kekurangan itu dengan ikhlas. Tapi ternyata semua hanya untuk menutupi kehormatan mereka tanpa mempedulikan perasaan Mira.Mira melangkahkan kakinya menuju taman dekat tempat tinggalny
Apa yang dilihat Mira membuat mata wanita itu terbelalak, sulit dipercaya. Perlahan wanita itu melangkahkan kakinya, mendekati sosok yang dilihatnya."Mas, sedang apa disini!?" tanya Mira, ternyata yang dilihatnya adalah suaminya."A-ku....." tergagap Bagas melihat Mira ada di depannya.Mira melihat Bagas suaminya sedang memeluk gadis kecil yang dilihatnya tadi. Ada suatu rasa yang aneh saat melihat mereka, namun Mira mencoba menepis rasa itu jauh jauh."Siapa gadis kecil ini Mas!? Bukankah dia anak perempuan itu!? Lalu apa hubungannya denganmu, hingga kamu memeluknya sedemikian rupa!?" tanya Mira sambil menunjuk peroyan yang sedang berjalan membawa es krim."D-dia...." Bagas menjeda kalimatnya, lalu menatap bocah kecil dipelukannya."Bocah itu anaknya Mbak, dan aku istrinya," terdengar suara sahutan dari belakang Mira.Mira sudah menduga dengan jawaban itu, jadi tak terkejut lagi."Jadi selama ini kamu membohongiku Mas!? Padahal selama ini aku tak pernah berbohong sedikitpun sama kam