"Nanti saja Tari cerita ya, Pak. Tari mau tidur dulu," ucap Lestari lesu."Baiklah. Pikirkan semuanya baik-baik. Kalau pun toh pada akhirnya kamu memilih bercerai, Bapak mendukung apa pun keputusanmu. Begitu juga sebaliknya." Pak Samin menepuk-nepuk bahu sang putri yang mencelos. Ia memahami pergulatan batin putrinya."Kalau Ibu marah karena Tari memilih bercerai bagaimana, Pak?" pungkas Lestari kecut."Ya, tidak bagaimana-bagaimana. Nanti Bapak yang akan mengurus ibumu. Bapak keluar dulu ya? Biar kamu bisa beristirahat." Pak Samin beringsut dari ranjang dengan susah payah. Ia membutuhkan waktu sendiri, untuk memikirkan permasalahan sang putri. Tepat ketika Pak Samin memutar gagang pintu, Lestari memanggil ayahnya."Pak, jangan membicarakan masalah ini dengan siapa pun ya? Tari belum ingin orang-orang rumah tahu.""Baiklah. Bapak akan menyimpannya sendiri. Bapak keluar ya, Ri? Nanti beritahu Bapak, apa pun keputusanmu. Baru Bapak akan mencari Malik.""Baik, Pak." Lestari mengangguk."
"Jangan capek-capek, Ma. Kamu baru saja datang. Biar Bik Parni saja yang masak." Pak Manan menyidak dapur. Mengetahui sang putri yang baru saja tiba dan sudah berkutat di dapur, ia khawatir. Putrinya sedang hamil muda. Tidak baik kalau sang putri beraktivitas berlebihan."Padma cuma membantu Bik Parni memotong-motong bawang, Pak. Masa begitu saja capek sih? Lagi pula Padma sudah lama tidak memasak di dapur ini. Padma kangen dengan suasananya." Sambil tertawa, Padma menenangkan sang ayah."Mas terlalu berlebihan. Dulu saat aku mengandung Deddy dan Menik, setiap hari aku ke pasar. Aku juga memasak dan membersihkan rumah seorang diri. Toh aku tidak kenapa-kenapa. Deddy dan Menik lahir secara normal dan sehat," Bulik Fatimah yang tengah menggoreng ikan menimpali percakapan antara kakak dan keponakannya. Telinganya gatal mendengar kekhawatiran berlebihan kakaknya."Itu 'kan kamu. Fisik tiap orang berbeda-beda. Pula, waktu itu kamu hamilnya masih muda. Usiamu kalau tidak salah baru 22 dan 2
"Baik, Pak." Padma berlalu. Ia sempat melirik tajam sang bulik sebelum keluar dari ruangan. Setelah di dalam ruangan hanya tinggal dirinya dan sang adik, Pak Manan baru bersuara."Timah, aku mengatakan kalau aku tidak tahu kalau Marlina berpacaran dengan Irfan, karena kenyataannya mereka memang tidak pernah berpacaran. Aku ulangi, tidak pernah berpacaran.""Masa? Mas Irfan bilang kalau mereka pernah berpacaran. Mungkin Mbak Marlina bohong." Fatimah tetap dengan pendiriannya. "Tidak. Yang bohong itu Irfan. Irfan sudah lama menyukai Marlina. Ia memacarimu supaya bisa tetap dekat dengan Marlina. Ketika Marlina menikah denganku, Irfan mengamuk. Ia mengancam Marlina dan bilang bahwa dia akan mengotorimu, kemudian meninggalkanmu. Pada saat itulah Marlina memberitahuku semuanya. Ia takut kamu, yang tergila-gila pada Irfan, akan terluka," Pak Manan menjelaskan duduk persoalannya."Kejadian yang kamu lihat di hotel waktu itu, aku yang mengaturnya. Aku meminta Marlina mengundang Irfan ke hotel
Tirta dan Padma tengah memeriksa hasil- hasil design, saat mendengar suara ribut-ribut di luar ruangan."Ada apa itu ya, Mas?" Padma beringsut dari kursi. Ia bermaksud mencari sumber suara."Tetap di tempatmu, Ma. Biar aku yang mengecek," perintah Tirta. Padma urung beranjak. Namun pandangannya terus mengikuti Tirta yang membuka pintu ruangan. "Tirta! Mana atasan serakah tidak punya etika kalian? Di mana dia? Kalian jangan menghalang-halangiku. Pertemukan aku dengannya. Apa atasan kalian takut karena sudah berbuat curang hah!" Suara-suara itu semakin mendekati ruangan. "Istri atasan kalian juga tidak punya etika. Bisa-bisanya dia menikung client saya. Panggil juga si Padma itu keluar. Padma, keluar kamu!" Padma menajamkan pendengaran, hingga ia bisa mengenali suara itu."Itu suara Mas Dimas, Mas. Biar aku saja yang menemuinya. Mas Dimas kalau sedang kalut, suka kalap." Padma menyusul di belakang Tirta. Ia tidak mau Dimas merusuh di kantor suaminya ini. "Justru itu. Orang yang sedan
"Kamu juga menikungku soal Pak Arman Hadiwijaya, bukan? Sebelumnya, Pak Arman itu akan berinvestasi di perusahaanku. Namun, di saat-saat terakhir, ia berubah pikiran. Minggu lalu aku baru tahu kalau Pak Arman sudah berinvestasi di PT. Karya Graha Mandiri. Bukti sudah di depan mata, tapi kamu masih juga tidak mau mengaku, heh!"Teringat pada kesempatan terakhirnya untuk menyelamatkan perusahaan yang disabotase Tirta, emosi Dimas kembali memuncak. Sekonyong-konyong Dimas menghantamkan kepalan tangannya sekuat tenaga ke wajah Tirta.Akibatnya kepala Tirta terdorong ke belakang. Kuda-kudanya goyah. Tirta mundur beberapa langkah, hingga punggungnya menabrak tembok. Telinga Tirta berdenging. Pelipis dan tulang pipinya terasa perih dan berdenyut. Pelipisnya terluka oleh kepalan tangan Tirta yang menggunakan batu cincin. Tirta mengibas-ngibaskan kepala. Mencoba menghilangkan rasa pusing karena kerasnya pukulan Dimas.Ketika Dimas kembali mendekat dan kepalan tangan terangkat, Tirta dengan cep
"Farid, panggil ambulance! Kirim manusia tidak berguna ini ke rumah sakit. Saya tidak mau dia mati di kantor." Tirta menghempaskan tubuh Dimas ke samping agar tidak menghalangi jalan."Baik, Pak." Alih-alih Farid, Bermanlah yang menjawab perintah atasannya. Farid terlalu shock melihat kebrutalan atasannya. Pak Tirta yang biasanya rapi dan santun, saat ini seperti orang yang berbeda. Tatapan matanya beringas dengan pakaian penuh noda darah."Siap, Pak. Akan kami urus semuanya." Farid, yang sudah pulih dari keterkejutannya, langsung bersikap profesional. Dibantu oleh tiga orang staff kantor, Farid menggotong tubuh Dimas ke depan untuk memudahkan evakuasi saat ambulance datang."Kalian semua kembali bekerja. Dramanya sudah selesai," tegas Tirta. Perintahnya membuat kerumunan membelah. Para staff kembali ke meja masing-masing. Sekarang hanya tinggal Padma yang masih berdiri terpaku."Mengapa kamu melanggar perintahku, Padma? Bukankah aku memintamu menunggu di dalam ruangan?" Tirta mendeka
"Tidak bisa dibiarkan ini. Seenaknya saja mereka menganiaya orang. Kita lapor polisi saja, Pak!" Bu Nursyam mengamuk. Ia tidak terima anaknya dihajar hingga babak belur seperti ini. Ia mengelus-elus luka Dimas sejenak sebelum kembali ke kursi. Dimas baru siuman dan saat ini sedang tidur."Yang salah itu, Mas Dimas, Bu. Mas Dimas datang ke kantor Mas Tirta dan membuat rusuh di sana," Lestari menjelaskan duduk persoalannya."Dimas ke sana kan karena suami istri itu mencuranginya. Mana boleh mereka main hajar saja," bantah Bu Nursyam. "Apa ada bukti kalau Mbak Padma dan Mas Tirta mencurangi Mas Dimas, Bu?" sela Lestari."Dimas bilang mereka memang curang, kok. Mau bukti apa lagi?" tantang Bu Nursyam."Astaga, Ibu. Dalam hukum tidak bisa dengan katanya-katanya saja. Harus ada bukti yang otentik. Pun, misalnya ada, Mas Dimas hanya perlu membuat laporan ke kantor polisi agar laporan Mas Dimas bisa diproses sesuai hukum yang berlaku. Bukannya dengan merusuh dan menantang orang berduel. Mas
"Dari mana kamu tahu kalau Padma tidak mandul? Hasil test toh menyatakan kalau Padma yang mandul. Bukan Mas-mu," ucap Bu Nursyam heran."Ibu ingat tidak, lima tahun lalu keadaan Tari seperti apa?" Lestari mulai membuka cerita. "Lima tahun lalu?" Bu Nursyam menatap langit-langit, mencoba menghadirkan ingatan masa lalu."Enam tahun kalau dihitung dari sekarang, Bu. Semuanya dimulai saat Mas Malik dari perusahaan," Lestari memberi petunjuk."Malik dipecat... kalau tidak salah, kamu sedang kuliah S2," Bu Nursyam menggali ingatan."Betul, Bu. Mas Malik dipecat, Tari baru mulai kuliah, dan Chelsea baru berusia satu tahun. Masa-masa yang sangat sulit bagi Tari dan Mas Malik," tutur Lestari dengan pandangan menerawang. Ia mengingat masa lalu yang suram."Siang itu Mbak Padma menelepon Tari untuk mengambil hasil lab di rumah sakit. Mbak Padma sedang merawat Ibu di kampung. Ibu sedang sakit waktu itu. Ingat tidak, Bu?""Iya, Ibu ingat. Ibu terkena demam berdarah. Padma menginap seminggu di kamp