"Tidak bisa dibiarkan ini. Seenaknya saja mereka menganiaya orang. Kita lapor polisi saja, Pak!" Bu Nursyam mengamuk. Ia tidak terima anaknya dihajar hingga babak belur seperti ini. Ia mengelus-elus luka Dimas sejenak sebelum kembali ke kursi. Dimas baru siuman dan saat ini sedang tidur."Yang salah itu, Mas Dimas, Bu. Mas Dimas datang ke kantor Mas Tirta dan membuat rusuh di sana," Lestari menjelaskan duduk persoalannya."Dimas ke sana kan karena suami istri itu mencuranginya. Mana boleh mereka main hajar saja," bantah Bu Nursyam. "Apa ada bukti kalau Mbak Padma dan Mas Tirta mencurangi Mas Dimas, Bu?" sela Lestari."Dimas bilang mereka memang curang, kok. Mau bukti apa lagi?" tantang Bu Nursyam."Astaga, Ibu. Dalam hukum tidak bisa dengan katanya-katanya saja. Harus ada bukti yang otentik. Pun, misalnya ada, Mas Dimas hanya perlu membuat laporan ke kantor polisi agar laporan Mas Dimas bisa diproses sesuai hukum yang berlaku. Bukannya dengan merusuh dan menantang orang berduel. Mas
"Dari mana kamu tahu kalau Padma tidak mandul? Hasil test toh menyatakan kalau Padma yang mandul. Bukan Mas-mu," ucap Bu Nursyam heran."Ibu ingat tidak, lima tahun lalu keadaan Tari seperti apa?" Lestari mulai membuka cerita. "Lima tahun lalu?" Bu Nursyam menatap langit-langit, mencoba menghadirkan ingatan masa lalu."Enam tahun kalau dihitung dari sekarang, Bu. Semuanya dimulai saat Mas Malik dari perusahaan," Lestari memberi petunjuk."Malik dipecat... kalau tidak salah, kamu sedang kuliah S2," Bu Nursyam menggali ingatan."Betul, Bu. Mas Malik dipecat, Tari baru mulai kuliah, dan Chelsea baru berusia satu tahun. Masa-masa yang sangat sulit bagi Tari dan Mas Malik," tutur Lestari dengan pandangan menerawang. Ia mengingat masa lalu yang suram."Siang itu Mbak Padma menelepon Tari untuk mengambil hasil lab di rumah sakit. Mbak Padma sedang merawat Ibu di kampung. Ibu sedang sakit waktu itu. Ingat tidak, Bu?""Iya, Ibu ingat. Ibu terkena demam berdarah. Padma menginap seminggu di kamp
"Kamu duduk saja, Ma. Jangan mondar-mandir terus. Nanti kamu kecapekan." Bu Nani menarik lengan Padma. Hari ini, mereka mengadakan selamatan kecil-kecilan karena perusahaan Tirta mendapatkan penghargaan Bisnis Indonesia Awards. Oleh karenanya, keluarga besar mereka berkumpul bersama."Tidak capek kok, Bu. Padma cuma membantu menata peralatan makan," ujar Padma menenangkan."Tidak perlu, Ma. Bik Siti, Mbak Hanum, dan Dek Retno itu piawai sekali mengurus dapur. Mereka tidak memerlukan bantuanmu. Sebaiknya kamu duduk di depan saja. Ibu ingin memperkenalkan kamu dengan beberapa kerabat dari luar kota. Ayo, Ma."Bu Nani menggandeng lengan Padma. Sejurus kemudian terdengar pujian bertubi-tubi yang ditujukan untuk Padma. Para kerabat ikut senang karena Bu Nani memiliki menantu yang cantik dan cerdas. Apalagi saat mereka tahu bahwa Padma sedang mengandung. Segala puja dan puji kembali ditujukan untuk Padma.Erina, yang baru saja keluar dari toilet, menatap adegan penuh kasih sayang itu dengan
"Kamu bertengkar dengan Tirta, ya, Padma?" Padma menghentikan gerakannya yang akan mengambil minyak goreng. Bulik Fatimah mengajukan pertanyaannya secara tiba-tiba."Tidak bertengkar kok, Bulik. Hanya sedang berselisih paham saja," sahut Padma singkat."Bukannya Bulik ingin ikut campur urusanmu, tapi kalau Bulik boleh memberi nasihat: jangan suka kabur dari rumah setiap kamu dan pasangan bertengkar. Selesaikanlah berdua saja, tanpa ada telinga lain yang ikut mendengar. Nanti masalah kecil bisa melebar ke mana-mana. Karena apa? Karena pihak-pihak lain sudah ikut campur di dalamnya. Misalnya bapakmu dan juga kedua orang tua Tirta. Mengerti, Padma?""Mengerti, Bulik." Padma melanjutkan memasukkan minyak goreng ke dalam troli."Sampai hari ini, Bulik tidak bilang pada bapakmu kalau kamu menginap di sini karena berselisih paham dengan Tirta. Kalau bapakmu tahu, Bulik pasti dimarahi karena tidak bicara jujur," imbuh Bulik Fatimah lagi."Iya, Bulik. Terima kasih karena tidak mengadukan Padma
"Masuk," seru Padma saat pintu kamarnya diketuk tiga kali."Mbak, ada Mas Tirta di depan." Pintu terbuka, menghadirkan Nunik di ambang pintu."Bilang saja Mbak tidak ada, Nik, seperti kemarin." Padma menjawab sambil terus bermain game. Sudah tiga hari ini ia menginap di rumah orang tuanya, dan setiap kali Tirta berkunjung, Padma tidak mau menemuinya."Tidak bisa, Mbak. Sekarang kan ada Pakde. Pakde yang memintaku memanggil Mbak." Nunik meringis. Ia tidak bisa lagi memenuhi permintaan Padma karena sudah ada Pakdenya."Kalau begitu bilang saja Mbak sedang tidak enak badan," jawab Padma sekenanya. Ia masih belum mau bertemu dengan Tirta. Mentalnya belum kuat."Aku coba ya, Mbak. Tapi kalau tidak berhasil, jangan salahkan aku ya?" kata Nunik sambil menutup pintu. Padma pun melanjutkan game-nya, hanya saja pikirannya sudah tidak fokus seperti semula. Beberapa saat kemudian, pintu kamarnya dibuka begitu saja, tanpa ada suara ketukan."Bagaimana, Nik? Berhasil tidak kamu mengusir Mas Tirta?"
"Tidak usah membawa-bawa orang lain. Ngapain, Mas, menyuruh Herman ke sini?" Padma berkacak pinggang."Lho, kok ngapain? Ya, agar Herman menjelaskan semuanya, lah. Kamu mendengarnya dari Herman, bukan?" Tirta menjawab dengan sabar. Padahal, emosinya sudah sampai di ubun-ubun. Ia akan menghabisi Herman setelah semua kesalahpahaman ini terurai. Ia janji!"Bapak akan meninggalkan kalian berdua untuk menyelesaikan masalah ini. Ingat, gunakan akal sehat, bukan emosi. Mengerti, Padma, Tirta?" Pak Manan memberi nasihat sebelum berlalu."Baik, Pak," sahut Padma dan Tirta bersamaan."Aku bukan mendengarnya dari Herman," Padma menyambung pembicaraan. Setelah tidak ada telinga lain yang mendengar, Padma jadi lebih leluasa mengekspresikan diri."Bukan? Lantas dari mana?" tanya Tirta heran. Seingatnya, hanya dengan Herman ia pernah membuat janji karena emosi sesaat itu."Dari mulut Mas sendiri," Padma tersenyum pahit."Dari mulutku? Kapan kamu mendengarnya? Puluhan tahun yang lalu?" Tirta meminta
"Kamu tidak berhak mengukur perasaan orang lain dengan cara berhitungmu sendiri!"Bugh!Satu pukulan keras kembali dihadiahkan Tirta pada Herman. Ketika Tirta akan menghadiahkan pukulan lagi, Padma menahan kepalan tangannya."Biarkan Herman mengeluarkan isi hatinya. Karena setelah ini, aku yang akan mengeluarkan isi hatiku padanya." Padma yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. Tirta kembali duduk, walau hatinya berkecamuk oleh amarah."Ibu di rumah juga menyayangkan keputusan Mas. Kata Ibu, ia kasihan pada Bude. Bertahun-tahun ingin memiliki cucu, Mas malah, maaf, menikahi perempuan mandul. Makanya aku jadi makin benci pada Padma." Herman mengeluarkan semua isi hatinya."Walaupun begitu, aku tidak mungkin berani mendokumentasikan photo-photo dan video-video yang diedit-edit seperti ini. Aku tidak segila itu, Mas. Aku masih sayang nyawa." Herman mengatakan hal yang sebenarnya."Mas, sebelum satu lagi kesalahanku terungkap, aku akan mengakui satu hal." Herman bersiap-siap kembali men
"Bu, nanti biar aku saja yang menghidangkan makanan dan minuman kecilnya ya?" Erina keluar dari kamar dengan senyum semringah. Herman baru saja meneleponnya. Herman bilang, Tirta akan ikut dengan kedua orang tuanya ke sini. Tirta suntuk sendirian di apartemen. Sudah tiga hari ini Padma menginap di rumah orang tuanya. Mendapat kabar baik ini ia sangat bahagia. Ini adalah kesempatan baginya untuk mempengaruhi Tirta. Dulu Tirta pasti akan mencarinya jikalau ia sedang galau. Ternyata sekarang pun seperti itu. Tirta masih membutuhkannya rupanya."Tumben. Apa kamu tidak capek?" Bu Della melirik anak gadisnya. Tidak biasanya Erina rajin seperti ini. Biasanya setiap kali pulang praktek, Erina akan langsung beristirahat. "Capek, sih, Bu. Tapi tidak apa-apa. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Tirta.""Tirta? Yang mau ke sini itu Pak Yono dan Bu Nani, Rin. Bukan Tirta.""Tapi Tirta ikut kok, Bu. Herman yang bilang. Kayaknya Tirta ribut dengan Padma. Sudah tiga hari Padma menginap di rumah ora