"Masuk," seru Padma saat pintu kamarnya diketuk tiga kali."Mbak, ada Mas Tirta di depan." Pintu terbuka, menghadirkan Nunik di ambang pintu."Bilang saja Mbak tidak ada, Nik, seperti kemarin." Padma menjawab sambil terus bermain game. Sudah tiga hari ini ia menginap di rumah orang tuanya, dan setiap kali Tirta berkunjung, Padma tidak mau menemuinya."Tidak bisa, Mbak. Sekarang kan ada Pakde. Pakde yang memintaku memanggil Mbak." Nunik meringis. Ia tidak bisa lagi memenuhi permintaan Padma karena sudah ada Pakdenya."Kalau begitu bilang saja Mbak sedang tidak enak badan," jawab Padma sekenanya. Ia masih belum mau bertemu dengan Tirta. Mentalnya belum kuat."Aku coba ya, Mbak. Tapi kalau tidak berhasil, jangan salahkan aku ya?" kata Nunik sambil menutup pintu. Padma pun melanjutkan game-nya, hanya saja pikirannya sudah tidak fokus seperti semula. Beberapa saat kemudian, pintu kamarnya dibuka begitu saja, tanpa ada suara ketukan."Bagaimana, Nik? Berhasil tidak kamu mengusir Mas Tirta?"
"Tidak usah membawa-bawa orang lain. Ngapain, Mas, menyuruh Herman ke sini?" Padma berkacak pinggang."Lho, kok ngapain? Ya, agar Herman menjelaskan semuanya, lah. Kamu mendengarnya dari Herman, bukan?" Tirta menjawab dengan sabar. Padahal, emosinya sudah sampai di ubun-ubun. Ia akan menghabisi Herman setelah semua kesalahpahaman ini terurai. Ia janji!"Bapak akan meninggalkan kalian berdua untuk menyelesaikan masalah ini. Ingat, gunakan akal sehat, bukan emosi. Mengerti, Padma, Tirta?" Pak Manan memberi nasihat sebelum berlalu."Baik, Pak," sahut Padma dan Tirta bersamaan."Aku bukan mendengarnya dari Herman," Padma menyambung pembicaraan. Setelah tidak ada telinga lain yang mendengar, Padma jadi lebih leluasa mengekspresikan diri."Bukan? Lantas dari mana?" tanya Tirta heran. Seingatnya, hanya dengan Herman ia pernah membuat janji karena emosi sesaat itu."Dari mulut Mas sendiri," Padma tersenyum pahit."Dari mulutku? Kapan kamu mendengarnya? Puluhan tahun yang lalu?" Tirta meminta
"Kamu tidak berhak mengukur perasaan orang lain dengan cara berhitungmu sendiri!"Bugh!Satu pukulan keras kembali dihadiahkan Tirta pada Herman. Ketika Tirta akan menghadiahkan pukulan lagi, Padma menahan kepalan tangannya."Biarkan Herman mengeluarkan isi hatinya. Karena setelah ini, aku yang akan mengeluarkan isi hatiku padanya." Padma yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. Tirta kembali duduk, walau hatinya berkecamuk oleh amarah."Ibu di rumah juga menyayangkan keputusan Mas. Kata Ibu, ia kasihan pada Bude. Bertahun-tahun ingin memiliki cucu, Mas malah, maaf, menikahi perempuan mandul. Makanya aku jadi makin benci pada Padma." Herman mengeluarkan semua isi hatinya."Walaupun begitu, aku tidak mungkin berani mendokumentasikan photo-photo dan video-video yang diedit-edit seperti ini. Aku tidak segila itu, Mas. Aku masih sayang nyawa." Herman mengatakan hal yang sebenarnya."Mas, sebelum satu lagi kesalahanku terungkap, aku akan mengakui satu hal." Herman bersiap-siap kembali men
"Bu, nanti biar aku saja yang menghidangkan makanan dan minuman kecilnya ya?" Erina keluar dari kamar dengan senyum semringah. Herman baru saja meneleponnya. Herman bilang, Tirta akan ikut dengan kedua orang tuanya ke sini. Tirta suntuk sendirian di apartemen. Sudah tiga hari ini Padma menginap di rumah orang tuanya. Mendapat kabar baik ini ia sangat bahagia. Ini adalah kesempatan baginya untuk mempengaruhi Tirta. Dulu Tirta pasti akan mencarinya jikalau ia sedang galau. Ternyata sekarang pun seperti itu. Tirta masih membutuhkannya rupanya."Tumben. Apa kamu tidak capek?" Bu Della melirik anak gadisnya. Tidak biasanya Erina rajin seperti ini. Biasanya setiap kali pulang praktek, Erina akan langsung beristirahat. "Capek, sih, Bu. Tapi tidak apa-apa. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Tirta.""Tirta? Yang mau ke sini itu Pak Yono dan Bu Nani, Rin. Bukan Tirta.""Tapi Tirta ikut kok, Bu. Herman yang bilang. Kayaknya Tirta ribut dengan Padma. Sudah tiga hari Padma menginap di rumah ora
"Rin, kamu baru pulang praktek bukan? Sebaiknya kamu istirahat saja. Kamu tadi bilang kalau kamu tidak enak badan." Bu Della memberi kode pada Erina. Naluri keibuannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah dilakukan Erina di belakangnya. Naluri seorang ibu juga yang membuatnya ingin melindungi sang putri. "I... iya, Bu. Pasien ramai sekali hari ini. Energiku rasanya terserap habis." Erina menangkap kode yang diisyaratkan sang ibu."Tunggu sebentar, Rin. Temani kami dulu di sini. Ada bagian lain yang belum kamu lihat." Tirta menahan Erina yang sudah berdiri dari duduknya. "A... apa itu, Tir?" Erina kian nervous. Perasaannya tidak enak. Ia merasa akan terjadi sesuatu."Untungnya aku sudah mengetahui siapa orang yang telah melakukan kejahatan ini," ucap Tirta lamat-lamat. Kali ini lebar wajah Erina berubah pucat. Ia tidak bisa menyembunyikan ketakutannya lagi. "Siapa orangnya, Tir?" tanya Pak Ahmad penasaran. "Aku permisi dulu." Erina mencondongkan tubuhnya ke depan. Siap untuk mel
"Saya tidak bersalah, Pak Polisi. Semua itu terjadi karena ketidaksengajaan. Saya sama sekali tidak bermaksud melukai Ratna," jawab Erina sambil menangis tersedu-sedu.""Anda menusuk perut seseorang dengan pisau buah dan Anda menyebutnya sebuah kecelakaan?!" bentak sang juru periksa."Ya karena memang kecelakaan, Pak Polisi. Saya tidak menusuk Ratna. Dia sendiri yang menerjang ke arah saya," Erina kembali sesenggukan."Jangan menangis terus! Setelah petentengan berani melukai orang, jangan bersikap seperti ayam sayur. Sekarang jawab pertanyaan saya. Kalau Anda tidak bermaksud untuk menyerang, lantas untuk apa Anda menghunus pisau?" cecar sang juru periksa."Untuk menakut-nakuti Herman, Pak Polisi. Dia... sudah jahat pada saya. Saya hanya ingin menggertak Herman saja. Bukan benar-benar ingin membunuhnya. Percayalah Pak Polisi." Dengan ekspresi memelas, Erina merangkapkan kedua tangan di dada, berusaha meyakinkan sang juru periksa kalau dirinya tidak bersalah."Herman bilang ia tidak
"Kamu butuh uang untuk membawa Dika ke rumah sakit, Pita?" tanya Padma hati-hati."Iya, Bu. Dika sudah dua hari ini demam tinggi. Saya tidak bisa membawanya berobat karena tidak punya biaya." Dengan menebalkan muka Puspita berterus terang pada Padma. Demi anak, ia bersedia menjilat ludahnya sendiri, meski pernah sesumbar bahwa ia tidak akan pernah memohon lagi pada Padma.Padma bertukar pandang dengan Tirta. Ketika melihat anggukan samar sang suami, Padma pun melaksanakan niatnya. Ia membuka tas dan mengeluarkan ponsel."Nomor rekeningmu yang lama masih aktif tidak, Pita?""Masih, Bu," jawab Puspita sambil menunduk. Ia tidak punya keberanian untuk sekadar menatap wajah mantan majikannya. Padma memanglah sebenar-benarnya orang baik."Saya sudah mengirimkan sejumlah uang untukmu. Saya kira cukup untuk biaya pengobatan Dika. Saya permisi dulu ya, Pita. Semoga Dika segera sembuh." Padma mendekati Dika dan mengelus sayang pipi montok Dika dalam buaian Puspita, yang memang terasa panas."Eh
"Kalian silakan ke rumah sakit dulu. Kasihan Dika sedang sakit." Melihat keadaan Padma yang tidak stabil, Tirta mengalihkan pembicaraan. "Iya, kami permisi dulu, Pak Tirta, Bu Padma." Puspita dan Bik Painah buru-buru kembali ke rumah sakit."Antar aku ke rumah Dek Tari sekarang, Mas. Aku akan meminta penjelasannya. Anak itu sungguh tidak tahu diuntung!" Padma benar-benar tidak terima dibodohi oleh Lestari."Iya, nanti kita menemui Lestari bersama-sama. Setelah kita pulang, makan dan istirahat. Sekarang kita masuk ke mobil dulu," bujuk Tirta."Aku mau sekarang, tidak mau nanti!" Padma tidak bersedia menunggu. Tirta tidak mengatakan apa pun. Ia membuka pintu mobil dan membantu Padma masuk ke dalam. Sejurus kemudian mobil pun melaju membelah jalan. Sekitar sepuluh menit berkendara, Tirta membelokkan mobilnya. "Lho, kok belok? Rumah Lestari itu di Jalan Thamrin, Mas. Lurus saja." Padma memberitahu alamat rumah Lestari kepada Tirta."Padma, nanti saja kita ke rumah Lestari-nya ya? Kamu i