Selama menunggu Lestari tiba, Padma mengumpulkan tiga lembar hasil lab yang dulu ia terima dari petugas lab di rumah sakit. Ia juga melampirkan satu lembar hasil lab terakhir yang ia terima dari Lestari lima tahun yang lalu. Total ada empat lembar hasil lab di tangannya. Sebelum melakukan tes kesuburan, ia memang sudah lebih dulu melakukan tes hormon, uji ovarium dan ovulasi, serta histerosalpingografi.Hasil ketiga tes ini bagus sekali. Menurut dokter Nastiti, kesehatan reproduksinya normal-normal saja. Hanya hasil tes kesuburannya saja yang sangat buruk. Waktu itu ia putus asa melihat hasilnya, makanya ia tidak kembali lagi ke praktik dokter Nastiti untuk membicarakan soal hasil tes kesuburannya. Ia sudah pasrah menerima nasibnya."Aku tidak menyangka kalau kamu masih menyimpan hasil-hasil lab bertahun lalu, Ma." Tirta yang baru datang dari dapur mendekati Padma. Di tangannya ada segelas susu hangat yang sengaja ia siapkan untuk istri tercintanya. "Minum dulu susunya, Sayang. Supay
Lestari memegangi dadanya. Telinganya berdenging. Ia panik! Jangan-jangan Padma telah mengetahui kecurangannya."Saya... boleh meminta minum, tidak, Mbak?" pinta Lestari terengah. Ia harus berpikir tenang sebelum bertindak."Tentu saja. Mas, tolong ambilkan air dingin untuk Dek Tari. Ingat ya, Mas. Yang dingin, biar hati Dek Tari bisa adem," sindir Padma. Lestari makin pucat. Sepertinya Padma benar-benar telah mengetahui kecurangannya."Ini, silakan diminum." Tirta menuangkan segelas air dingin dari water jug. Sedari tadi ia diam sambil berjaga-jaga. Ia takut Padma membahayakan dirinya sendiri saat membalas dendam pada Lestari. Padma sedang hamil muda, dan untuk itu, ia harus siap siaga dalam segala situasi.Tanpa perlu disuruh dua kali, Lestari meneguk minumannya dengan rakus. Setelahnya, ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menstabilkan emosinya. Setelah merasa lebih tenang, barulah ia bersuara."Mengapa Mbak ingin mensomasi rumah sakit? Apa yang sudah mereka lakukan pada Mb
"Kalau Ibu selama ini punya salah padamu, Ibu minta maaf ya, Padma. Tapi tolong, jangan penjarakan Tari. Karena saat ini hanya dialah satu-satunya harapan kami. Tari adalah tulang punggung keluarga, karena Dimas... ya, begitulah." Bu Nursyam menghela napas berat. Masalah tidak ada henti-hentinya membombardir keluarganya akhir-akhir ini. Maka dari itu, hari ini ia menebalkan muka dan diam-diam menemui Padma di kediaman orang tuanya."Di penjara atau tidaknya Tari, itu bukan wewenang saya, Bu. Para penyidiklah yang memutuskannya," Padma memberi jawaban diplomatis."Betul. Memang bukan wewenangmu. Tapi kalau kamu mencabut laporan atas Tari, kasus akan dianggap selesai, bukan?" bujuk Bu Nursyam lagi."Ibu salah lagi. Bukan saya yang melaporkan Tari, tapi pihak rumah sakit. Jadi, yang berhak mencabut ataupun melanjutkan perkara adalah pihak rumah sakit, bukan saya," ucap Padma dingin."Ya, kalau begitu kamu tinggal minta pihak rumah sakit untuk mencabut gugatan. Kan yang mengadu pada pihak
Lima bulan kemudian."Gue heran lo tetap bisa cantik paripurna begini meski sedang hamil gede ya, Ma? Nggak kayak gue dulu. Hidung gue jadi cutbray dan pipi juga jadi baggy." Wilma mengamati Padma yang tengah makan empek-empek dengan lahap. Dari kemarin, sahabatnya ini mengidam empek-empek, makanya mereka membawa Padma ke gerai ini karena empek-empeknya terkenal enak."Bukan main istilah lo, Wil. Hidung cutbray, pipi baggy. Itu bentuk wajah atau model celana?" Padma terkekeh."Kalo gue sih, hidung dan pipi baik-baik aja. Mekar-mekar dikit lah. Yang parah cuma leher sama ketek gue. Kayak dakian parah euy. Gue gosok-gosok pake scrub, kagak ngaruh. Malu banget gue sama laki gue. Takut dipikir gue jorok." Ririn turut membagi pengalamannya."Kalo gue sih, semua aman sentosa sejahtera. Cuma, badan gue membengkak kayak gajah. Gue naik berat badan 24 kilogram, sodara-sodara. Berasa jadi Hulk setiap kali gue hamil." Yesi meringis mengingat masa-masa di kala hamil besar."Eh, lo tahu nggak kaba
"Surat cerainya sudah Bu Padma pegang, bukan? Jadi, mulai hari ini dan seterusnya, Ibu jangan mencari-cari alasan untuk bisa berhubungan dengan Pak Dimas lagi, ya."Padma yang tengah memeluk akta cerainya kala keluar dari pintu Pengadilan Agama Jakarta kelas 1A , sontak terkejut mendengar suara penuh kepuasan yang terdengar dari balik punggungnya.Dengan cepat, ia menghapus jejak-jejak air mata di pipi. Pemilik suara ini pasti Puspita! Remaja 18 tahun yang baru saja menamatkan Sekolah Menengah Atas-nya dan juga anak Bik Painah--mantan Asisten Rumah Tangga Padma. Dan juga, gadis yang telah mempupuskan mahligai rumah tangga Padma dan sang mantan.Setelah menarik napas panjang dua kali, Padma berbalik. "Memangnya kamu siapanya Mas Dimas sampai kamu berani mengultimatum saya?" balasnya dingin.Dipandanginya Puspita yang kini perutnya mulai membukit di samping Dimas. Pria itu tampak serba salah, karena digandeng erat oleh sang gadis remaja. Ya, mereka bercerai karena Dimas telah menghami
"Padma!" Dimas yang merasa malu, berteriak. "Aku bisa maju sampai taraf ini juga karena kemampuanku sendiri, Padma. Bukan melulu karena bantuanmu."Padma tersenyum sinis pada pria yang dulu sangat dicintainya itu. "Betul. Tapi tanpa semua support sistem dariku, apa kamu bisa menjadi seorang sarjana? Tanpa relasi-relasi bapak yang kukenalkan padamu, apa bisa kamu mendapat proyek-proyek raksasa? Coba jawab dengan jujur." Padma mengeluarkan taringnya. Sudah cukup sepuluh tahun ini ia bodoh karena cinta mati pada Dimas. Cinta telah membuatnya buta dan tuli atas semua perbuatan buruk suaminya."Jadi kamu menyesal telah membantuku dulu?" tuduh Dimas kesal. Tapi, sebenarnya ia gusar karena Padma telah membuka kartunya di hadapan Puspita. Wibawanya bisa hilang di mata gadis belia ini! "Tidak, Mas. Aku tidak pernah menyesal telah berbuat baik pada sesama manusia. Yang aku sesalkan adalah bahwa aku terlalu naif. Aku berpikir bahwa dengan seringnya aku membantu orang, maka orang yang kubantu mi
Pulang.Padma merasakan kerinduan yang sangat mendengar kata itu.Dulu, setiap kali Dimas menyakitinya, ia selalu ingin pulang. Tapi, Padma sadar bahwa ia telah membuat pilihan untuk bersama dengan Dimas dan meninggalkan ayahnya. Ia tidak mungkin menjilat ludahnya sendiri.Untungnya, kini semua berbeda.Semilir angin siang menjelang membelai wajah Padma yang duduk di dalam truk. Membuat kenangan masa kecilnya menyerbu bagai air bah.Dulu, dirinya kerap menemani ayahnya mengantar bahan-bahan material ke pelanggan, apabila Pak Samin tidak masuk kerja.Siapa sangka, Pak Samin pada akhirnya menjadi mertuanya. Ya, Pak Samin adalah ayah Dimas. "Dari mana--""Bapak--"Padma dan ayahnya berbicara pada saat yang bersamaan. Setelahnya keduanya tersenyum canggung. Hubungan mereka merenggang setelah perseteruan hebat sepuluh tahun yang lalu. "Kamu duluan berbicara, Nduk. Bapak akan mendengarkan." Pak Manan mengalah. Sesungguhnya tidak berbicara pun, baginya tidak mengapa. Bisa berlama-lama mema
Padma mendengar itu.Namun, ia memilih mengindahkan omelan Bulik Fatimah dan langsung melintasi jalan setapak.Di ujung jalan setapak itu, berdiri megah rumah masa kecilnya yang luas dan asri.Ayahnya dulu sengaja membangun rumah di belakang toko agar bisa mengawasinya selama bekerja. Ibunya sudah meninggal saat ia masih berusia dua belas tahun. Makanya ayahnya memiliki tugas ganda. Menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuknya."Lihat anakmu, Mas. Orang tua sedang bicara, tapi dia malah pergi begitu saja. Tidak ada sopan-santunnya sama sekali." Padma masih bisa mendengar omelan buliknya tatkala ia sudah sampai di teras rumah.Tapi, ia tak peduli!Pintu rumah sekonyong-konyong terbuka. Bik Parni berdiri di ambang pintu. "Oalah, Mbak Padma sudah pulang toh. Apa kabar, Mbak?" sambutnya, hangat.Padma tersenyum haru tatkala melihat pengasuhnya itu kini mengembangkan lengan. Bik Parni adalah ibu kedua baginya. "Baik, Bik." Padma menghambur memeluk Bik Parni. Seketika Padma menghidu aroma