Pulang.
Padma merasakan kerinduan yang sangat mendengar kata itu.
Dulu, setiap kali Dimas menyakitinya, ia selalu ingin pulang. Tapi, Padma sadar bahwa ia telah membuat pilihan untuk bersama dengan Dimas dan meninggalkan ayahnya. Ia tidak mungkin menjilat ludahnya sendiri.
Untungnya, kini semua berbeda.
Semilir angin siang menjelang membelai wajah Padma yang duduk di dalam truk. Membuat kenangan masa kecilnya menyerbu bagai air bah.
Dulu, dirinya kerap menemani ayahnya mengantar bahan-bahan material ke pelanggan, apabila Pak Samin tidak masuk kerja.
Siapa sangka, Pak Samin pada akhirnya menjadi mertuanya. Ya, Pak Samin adalah ayah Dimas.
"Dari mana--"
"Bapak--"
Padma dan ayahnya berbicara pada saat yang bersamaan. Setelahnya keduanya tersenyum canggung. Hubungan mereka merenggang setelah perseteruan hebat sepuluh tahun yang lalu.
"Kamu duluan berbicara, Nduk. Bapak akan mendengarkan." Pak Manan mengalah. Sesungguhnya tidak berbicara pun, baginya tidak mengapa. Bisa berlama-lama memandangi raut wajah putrinya yang hilang, sudah sangat membuatnya bahagia.
"Bapak tahu dari mana kalau Padma ada di Pengadilan Agama ini?" tanya Padma lirih.
"Tidak penting Bapak tahu dari mana. Yang penting, kamu sekarang sudah terbebas dari laki-laki tidak tahu diuntung itu. Lupakan semua masa lalumu. Mulai hari ini, kamu akan memulai hidup baru. Bapak tidak mau mendengar lagi soal laki-laki itu brengsek itu," gerutu Pak Manan kesal. Padma terdiam. Ayahnya pasti sangat marah pada Dimas. Makanya ayahnya tidak sudi menyebut namanya.
"Tapi semua barang-barang Padma masih di kontrakan, Pak."
"Tidak apa-apa. Besok Bapak dan Iwan akan ikut denganmu untuk mengangkutnya. Eh kamu mau bertanya apa tadi, Nduk?" Pak Manan teringat pada pertanyaan sang putri sebelumnya.
"Mengapa Bapak tidak memarahi Padma? Apa yang Bapak katakan dulu telah terbukti semuanya," jujur Padma. Ia sudah siap mendengarkan luahan amarah sang ayah.
Namun, Pak Manan malah mengelus puncak kepalanya. "Untuk apa Bapak marah? Kamu baru saja melalui neraka dunia yang begitu hebat. Bapak tidak perlu menambahi garam pada luka-lukamu? Bapak yakin. Setelah semua ini, kamu akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kebodohan yang sama."
Ya, pria itu berharap bahwa curahan kasihnya bisa sedikit mengobati luka hati sang putri.
"Terima kasih ya, Pak. Di dunia ini memang tidak ada orang yang mencintai Padma lebih dari Bapak." Padma memeluk lengan ayahnya. Ia sungguh-sungguh menyesal telah mengabaikan peringatan ayahnya dulu.
"Kamu tidak perlu berterima kasih. Bapak ini, bapakmu. Sudah seharusnya Bapak menyayangimu." Pak Manan tersenyum bahagia. Putri kesayangannya telah kembali.
"Kamu masih suka tidak ikut Bapak naik truk begini, Nduk?" Pak Manan mengalihkan pembicaraan. Ia tahu kalau sang putri tengah menahan kesedihan. Ia tidak mau membuat sang putri makin terpuruk.
"Senang sekali, Pak. Masalahnya Padma sekarang gemuk. Tempat duduknya jadi sempit. Lihat Iwan saja duduknya sampai mepet begitu." Padma mencoba bercanda.
"Tidak masalah, Mbak Padma. Saya ini cungkring. Anggap saja saya tidak ada." Iwan menimpali candaan anak sang majikan. Ia ikut bahagia melihat keluarga Pak Manan kembali berkumpul.
Setengah jam kemudian mobil memasuki pintu gerbang sebuah toko material besar. Tulisan dalam huruf kapital TB Berkah Sukses Jaya tampak mentereng di bagian depan toko. Usaha ayahnya sepertinya bertambah besar dalam sepuluh tahun belakangan ini. Terbukti dengan banyaknya pembeli di depan toko dan juga mobil pick up yang tengah diisi dengan bahan-bahan material.
"Akhirnya kita sampai juga. Ayo kita turun, Nduk. Kamu pasti capek. Sebaiknya kamu istirahat dulu di rumah. Bik Parni telah membersihkan kamar lamamu." Pak Manan bersiap-siap membuka pintu truk.
"Tunggu, Pak. Biar saya bantu Bapak turun." Iwan dengan cepat melompat dari mobil. Setelahnya ia mengitari mobil dan membantu Pak Manan turun dari truk yang tinggi.
"Saya bisa sendiri, Wan. Saya belum jompo. Jadi tidak usah dituntun-tuntun," kelakar Pak Manan. Setelah ayahnya turun, dengan hati-hati Padma menyusul. Tubuhnya tidak selangsing dulu. Ia harus hati-hati kalau tidak ingin jatuh terjerembab.
"Akhirnya kamu pulang juga ya, Padma. Sudah tidak tahan ya di luar sana?"
Suara Bulik Fatimah. Itu artinya buliknya masih tinggal di rumah ini.
"Sudah, Timah. Jangan membuat kegaduhan. Aku sudah bilang, jangan mengganggu Padma." Pak Manan memelototi adik bungsunya yang baru keluar dari jalan setapak. Dari dulu Fatimah memang tidak bisa akur dengan Padma.
"Inilah sifat Mas yang tidak aku sukai. Mas itu terlalu lembek sama anak. Makanya Padma jadi tidak bisa diatur. Kelakuannya sama persis dengan ibunya."
"Cukup, Timah! Sana, kembali saja ke dapur. Aku mau minum kopi dulu sebelum bekerja." Pak Manan memberi tatapan tidak ingin dibantah pada adik perempuannya.
"Ya sudah, aku siapkan. Mas istirahat dulu. Sudah tua kok ya masih kerja keras. Harusnya si Padma yang menggantikan Mas bekerja. Ini malah kawin muda. Dengan anak si Samin lagi. Aku benar-benar mengerti dengan jalan pikirannya."
Padma mendengar itu.Namun, ia memilih mengindahkan omelan Bulik Fatimah dan langsung melintasi jalan setapak.Di ujung jalan setapak itu, berdiri megah rumah masa kecilnya yang luas dan asri.Ayahnya dulu sengaja membangun rumah di belakang toko agar bisa mengawasinya selama bekerja. Ibunya sudah meninggal saat ia masih berusia dua belas tahun. Makanya ayahnya memiliki tugas ganda. Menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuknya."Lihat anakmu, Mas. Orang tua sedang bicara, tapi dia malah pergi begitu saja. Tidak ada sopan-santunnya sama sekali." Padma masih bisa mendengar omelan buliknya tatkala ia sudah sampai di teras rumah.Tapi, ia tak peduli!Pintu rumah sekonyong-konyong terbuka. Bik Parni berdiri di ambang pintu. "Oalah, Mbak Padma sudah pulang toh. Apa kabar, Mbak?" sambutnya, hangat.Padma tersenyum haru tatkala melihat pengasuhnya itu kini mengembangkan lengan. Bik Parni adalah ibu kedua baginya. "Baik, Bik." Padma menghambur memeluk Bik Parni. Seketika Padma menghidu aroma
"Aku Nunik, Mbak Ma." Mendengar itu, Padma lega.Sepupunya, rupanya. "Sebentar ya, Nik." Padma membuka pintu kamar dengan satu tangan melindungi area dadanya. Di ambang pintu Nunik tersenyum manis. Sepupunya ini memang memiliki ekspresi ramah sedari dulu. Kepulangannya semalam disambut hangat oleh Ninik. Berbanding terbalik dengan ibunya yang jelas-jelas tampak keberatan."Kenapa bajunya, Mbak?" Nunik menahan tawa. Penampakan Padma mirip dengan iklan minyak ikan zaman dulu. Kemejanya kesempitan."Tidak usah banyak basa-basi kamu. Tawamu sudah menjelaskan segalanya." Padma menjawil hidung bangir Nunik. "Maaf, Mbak. Saya cuma bercanda. Eh, salah juga. Tidak boleh membawa-bawa fisik dalam candaan ya? Maafkan diriku ya, Mbak?" Nunik merapatkan kedua tangannya ke dada. Meminta maaf dengan ekspresi sedih berlebihan."Heleh, lebay kamu." Padma menoyor kening Nunik pelan. Sedari kecil ia memang sayang pada sepupunya ini. Rentang usia mereka yang terpaut jauh, membuatnya menyayangi Nunik se
Pak Santo lagi-lagi mendecakkan lidah. "Masa sih, Pak?" "Iya, Mbak. Saya dan Iwan saja dimarahi minggu lalu karena terlambat. Soalnya Iwan ke rumah pacarnya dulu. Mau memberi surprise ulang tahun katanya. Akibatnya kami terlambat hampir satu jam lamanya. Habislah kami berdua dimarahi." Kali ini, Pak Nurdin ikut curhat. "Parah sekali Pak Tirta ini ya, Pak? Tidak ada pengertiannya sama sekali?" Padma berdecak.Sewaktu kecil, Tirta memang terkenal tepat waktu dan perfectionist. Dalam kerja kelompok saja, murid yang terlambat akan ia catat namanya dan dilaporkan pada guru. Belum lagi kalau ada tugas praktek prakarya. Semua karyanya harus presisi. Kalau melenceng sedikit saja, akan ia ulang dari awal. Ternyata sifat Tirta tidak berubah sedari dulu."Ya parah tidak parah sih, Mbak. Kalau alasan kita masuk akal dan jujur, Pak Tirta sih memaklumi. Terus tetap diberi tip juga. Terkadang dikasih makanan kalau kebetulan ada. Tapi kalau kita ketahuan bohong, beugh, tidak ada ampun. Pokoknya
"Kalau gitu, turun sekarang!" Bukannya takut, Tirta malah menghardiknya.Padma lantas berdecak. Sebenarnya ia malas sekali berurusan kembali dengan Tirta. Pengalaman mengajarkan bahwa mereka tidak boleh ada di tempat yang sama lebih dari lima menit. Karena ujung-ujangnya mereka pasti akan saling serang satu sama lain!"Masih belum mau turun? Apa perlu saya yang menurunkan Anda dari atas sana?""Tidak perlu, Pak. Berat soalnya," sahut Padma ketus. Ia memang mengumpulkan niat dulu sebelum bersilat lidah. Padma membuka pintu truk dan bersiap-siap untuk turun."Sok-sok-an mau menurunkanku. Yang ada ngejengkang kamunya." Padma menggerutu. Bobotnya sekarang 80 kilogram. Bukan 40 kilogram seperti sepuluh tahun yang lalu. "Susah banget kalau turunnya buru-buru begini." Padma gugup karena dipandangi oleh orang banyak. Akibatnya kakinya tergelincir saat menginjak undakan. Padma memekik ngeri. Bayangan dirinya tersungkur di hadapan Tirta membuatnya memejamkan mata. Ajaib! Alih-alih merasakan k
"Kamu mendesain rumah Pak Warsito itu sepuluh tahun yang lalu. Namun konsepmu sudah sangat modern dan matang. Dengan bantuan teknologi saat ini, aku yakin, ide-idemu akan lebih berkembang. Lagi pula kamu desainer yang belum terkenal, jadi lebih murah gajinya. Itu pertimbangan utama saya mengajakmu bekerjasama." Kembali, Tirta menjelaskan pertimbangannya merekrut Padma. "Masih terlalu aneh," Padma tidak percaya."Yang aneh itu kamu. Kenyataan terpampang di depan matamu, tapi tidak bisa kamu lihat. Sebaliknya ilusi yang di belakangmu, mati-matian kamu percayai. Bangun, Mpeng. Bangun. Mau berapa lama lagi kamu baru sadar?" Tirta bertepuk tangan tepat di depan wajah Padma."Sadar? Memangnya aku pingsan apa?" Padma membelalakkan mata."Pertanyaan itu hanya kamu sendiri yang bisa menjawabnya. Aku tanya sekali lagi. Kamu menerima tawaran saya atau tidak? Saya tidak akan bertanya dua kali."Terima... jangan... terima... jangan...?"Oke. Aku terima." Padma mengangguk mantap. Ia sudah sesu
Padma memilih tidak menjawab.Ia malu karena aibnya sudah diketahui Tirta. Namun tak urung ia mengikuti juga langkah-langkah ringan Tirta. Sepuluh menit berlalu. Mereka akhirnya tiba di perumahan yang Tirta maksud. Syukurlah. Kalau harus berjalan lebih jauh lagi, rasanya ia tidak sanggup. Kakinya sudah tidak mau bekerjasama untuk melangkah "Itu perumahannya. Kita jalan dari sini saja." Tirta membawa Padma ke jalan yang baru dibuat."Kamu tahu tidak, kalau kita berjalan kaki setidaknya 30 menit setiap hari, akan membuat jantung kita sehat. Lewat sini." Tirta membawa Padma masuk ke dalam rumah contoh."Nah, kalau kita menambahnya dengan aktivitas fisik selama 150 menit entah dengan jalan cepat, bersepeda, atau menari saja, itu akan lebih baik. Jika digabungkan dengan mengonsumsi lebih banyak sayur, buah dan makanan nabati, kamu pasti bisa menjadi langsing." "Mimpi. Mustahil aku bisa selangsing dulu," ucap Padma sedih. Ia tahu apa yang Tirta katakan mustahil bisa terwujud."Selangsing
"Mas Dimas pernah berselingkuh dengan teman kampusnya saat reuni, klien bahkan anak magang di kantornya. Waktu itu saya selalu memaafkan Mas Dimas, karena saya sangat mencintainya. Pula saya sudah tidak bisa pulang. Saya sudah terlanjur omong besar pada bapak saya, bahwa saya tidak akan pernah menginjakkan kaki ke rumahnya lagi. Makanya saya selalu bertahan dengan harapan, bahwa suatu saat Mas Dimas akan berubah kalau kami sudah punya anak. Hingga masalah ini terjadi. Puspita hamil dan minta dinikahi. Apa lagi yang harus saya lakukan selain meminta cerai bukan, Pak?" ucap Padma lirih. "Anak itu benar-benar keterlaluan." Pak Samin menarik napas panjang. Ia sudah tidak berhasrat untuk membujuk Padma untuk rujuk kembali. Putranya benar-benar tidak bisa dimaafkan lagi."Pak, ayo kita pulang. Mas Dimas bilang dia membawa Ibu ke sini." Lestari tergopoh-gopoh menyerbu ke dalam rumah. "Biar saja Ibu ke sini. Toh Ibu sudah lama juga tidak bertemu dengan Padma. Kamu juga, kan? Ayo mengobrolla
"Kabar Ibu sih sangat baik. Apalagi setelah tahu kalau Ibu akan mempunyai seorang cucu." See? Dugaan Padma tepat, bukan?"Jangan berbicara seperti itu, Bu." Pak Samin menatap tajam sang istri. Bu Nursyam melengos. Ia merasa tidak bersalah karena mengatakan hal yang sebenarnya. "Ya sudah. Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang. Rematik Bapak kambuh lagi 'kan? Cepetan, Pita sudah menunggu di mobil." Bu Nursyam beringsut dari sofa. "Untuk apa si Pita itu ikut?" Lestari protes. Ia sangat tidak menyukai abege tersebut. Usia Puspita memang nyaris separuh usianya. Tapi culasnya luar biasa. "Kenapa rupanya kalau Pita ikut? Pita bilang perutnya begah. Makanya Ibu bawa saja ke rumah sakit sekalian. Ibu takut calon cucu Ibu nanti kenapa-kenapa. Lagian kamu kenapa sih anti sekali dengan Pita. Ingat dia itu calon kakak iparmu." Bu Nursyam mengomeli anak perempuannya. "Astaga, Bu. Ibu tidak tahu saja betapa liciknya si Pita itu." Lestari menghembuskan napas kasar.Tin! Di luar rumah suara