Share

3. Aku Pulang

Pulang.

Padma merasakan kerinduan yang sangat mendengar kata itu.

Dulu, setiap kali Dimas menyakitinya, ia selalu ingin pulang. Tapi, Padma sadar bahwa ia telah membuat pilihan untuk bersama dengan Dimas dan meninggalkan ayahnya. Ia tidak mungkin menjilat ludahnya sendiri.

Untungnya, kini semua berbeda.

Semilir angin siang menjelang membelai wajah Padma yang duduk di dalam truk. Membuat kenangan masa kecilnya menyerbu bagai air bah.

Dulu, dirinya kerap menemani ayahnya mengantar bahan-bahan material ke pelanggan, apabila Pak Samin tidak masuk kerja.

Siapa sangka, Pak Samin pada akhirnya menjadi mertuanya. Ya, Pak Samin adalah ayah Dimas. 

"Dari mana--"

"Bapak--"

Padma dan ayahnya berbicara pada saat yang bersamaan. Setelahnya keduanya tersenyum canggung. Hubungan mereka merenggang setelah perseteruan hebat sepuluh tahun yang lalu. 

"Kamu duluan berbicara, Nduk. Bapak akan mendengarkan." Pak Manan mengalah. Sesungguhnya tidak berbicara pun, baginya tidak mengapa. Bisa berlama-lama memandangi raut wajah putrinya yang hilang, sudah sangat membuatnya bahagia. 

"Bapak tahu dari mana kalau Padma ada di Pengadilan Agama ini?" tanya Padma lirih.  

"Tidak penting Bapak tahu dari mana. Yang penting, kamu sekarang sudah terbebas dari laki-laki tidak tahu diuntung itu. Lupakan semua masa lalumu. Mulai hari ini, kamu akan memulai hidup baru. Bapak tidak mau mendengar lagi soal laki-laki itu brengsek itu," gerutu Pak Manan kesal. Padma terdiam. Ayahnya pasti sangat marah pada Dimas. Makanya ayahnya tidak sudi menyebut namanya.

"Tapi semua barang-barang Padma masih di kontrakan, Pak."

"Tidak apa-apa. Besok Bapak dan Iwan akan ikut denganmu untuk mengangkutnya. Eh kamu mau bertanya apa tadi, Nduk?" Pak Manan teringat pada pertanyaan sang putri sebelumnya. 

"Mengapa Bapak tidak memarahi Padma? Apa yang Bapak katakan dulu telah terbukti semuanya," jujur Padma. Ia sudah siap mendengarkan luahan amarah sang ayah.

Namun, Pak Manan malah mengelus puncak kepalanya. "Untuk apa Bapak marah? Kamu baru saja melalui neraka dunia yang begitu hebat. Bapak tidak perlu menambahi garam pada luka-lukamu? Bapak yakin. Setelah semua ini, kamu akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kebodohan yang sama." 

Ya, pria itu berharap bahwa curahan kasihnya bisa sedikit mengobati luka hati sang putri.

"Terima kasih ya, Pak. Di dunia ini memang tidak ada orang yang mencintai Padma lebih dari Bapak." Padma memeluk lengan ayahnya. Ia sungguh-sungguh menyesal telah mengabaikan peringatan ayahnya dulu. 

"Kamu tidak perlu berterima kasih. Bapak ini, bapakmu. Sudah seharusnya Bapak menyayangimu." Pak Manan tersenyum bahagia. Putri kesayangannya telah kembali. 

"Kamu masih suka tidak ikut Bapak naik truk begini, Nduk?" Pak Manan mengalihkan pembicaraan. Ia tahu kalau sang putri tengah menahan kesedihan. Ia tidak mau membuat sang putri makin terpuruk.

"Senang sekali, Pak. Masalahnya Padma sekarang gemuk. Tempat duduknya jadi sempit. Lihat Iwan saja duduknya sampai mepet begitu." Padma mencoba bercanda.

"Tidak masalah, Mbak Padma. Saya ini cungkring. Anggap saja saya tidak ada." Iwan menimpali candaan anak sang majikan. Ia ikut bahagia melihat keluarga Pak Manan kembali berkumpul. 

Setengah jam kemudian mobil memasuki pintu gerbang sebuah toko material besar. Tulisan dalam huruf kapital TB Berkah Sukses Jaya tampak mentereng di bagian depan toko. Usaha ayahnya sepertinya bertambah besar dalam sepuluh tahun belakangan ini. Terbukti dengan banyaknya pembeli di depan toko dan juga mobil pick up yang tengah diisi dengan bahan-bahan material. 

"Akhirnya kita sampai juga. Ayo kita turun, Nduk. Kamu pasti capek. Sebaiknya kamu istirahat dulu di rumah. Bik Parni telah membersihkan kamar lamamu." Pak Manan bersiap-siap membuka pintu truk. 

"Tunggu, Pak. Biar saya bantu Bapak turun." Iwan dengan cepat melompat dari mobil. Setelahnya ia mengitari mobil dan membantu Pak Manan turun dari truk yang tinggi. 

"Saya bisa sendiri, Wan. Saya belum jompo. Jadi tidak usah dituntun-tuntun," kelakar Pak Manan. Setelah ayahnya turun, dengan hati-hati Padma menyusul. Tubuhnya tidak selangsing dulu. Ia harus hati-hati kalau tidak ingin jatuh terjerembab. 

"Akhirnya kamu pulang juga ya, Padma. Sudah tidak tahan ya di luar sana?"

Suara Bulik Fatimah. Itu artinya buliknya masih tinggal di rumah ini. 

"Sudah, Timah. Jangan membuat kegaduhan. Aku sudah bilang, jangan mengganggu Padma." Pak Manan memelototi adik bungsunya yang baru keluar dari jalan setapak. Dari dulu Fatimah memang tidak bisa akur dengan Padma. 

"Inilah sifat Mas yang tidak aku sukai. Mas itu terlalu lembek sama anak. Makanya Padma jadi tidak bisa diatur. Kelakuannya sama persis dengan ibunya."

"Cukup, Timah! Sana, kembali saja ke dapur. Aku mau minum kopi dulu sebelum bekerja." Pak Manan memberi tatapan tidak ingin dibantah pada adik perempuannya.

"Ya sudah, aku siapkan. Mas istirahat dulu. Sudah tua kok ya masih kerja keras. Harusnya si Padma yang menggantikan Mas bekerja. Ini malah kawin muda. Dengan anak si Samin lagi. Aku benar-benar mengerti dengan jalan pikirannya." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status