"Kabar Ibu sih sangat baik. Apalagi setelah tahu kalau Ibu akan mempunyai seorang cucu." See? Dugaan Padma tepat, bukan?"Jangan berbicara seperti itu, Bu." Pak Samin menatap tajam sang istri. Bu Nursyam melengos. Ia merasa tidak bersalah karena mengatakan hal yang sebenarnya. "Ya sudah. Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang. Rematik Bapak kambuh lagi 'kan? Cepetan, Pita sudah menunggu di mobil." Bu Nursyam beringsut dari sofa. "Untuk apa si Pita itu ikut?" Lestari protes. Ia sangat tidak menyukai abege tersebut. Usia Puspita memang nyaris separuh usianya. Tapi culasnya luar biasa. "Kenapa rupanya kalau Pita ikut? Pita bilang perutnya begah. Makanya Ibu bawa saja ke rumah sakit sekalian. Ibu takut calon cucu Ibu nanti kenapa-kenapa. Lagian kamu kenapa sih anti sekali dengan Pita. Ingat dia itu calon kakak iparmu." Bu Nursyam mengomeli anak perempuannya. "Astaga, Bu. Ibu tidak tahu saja betapa liciknya si Pita itu." Lestari menghembuskan napas kasar.Tin! Di luar rumah suara
"Lho... lho... lho... kok kita jalan lurus? Mas sudah lupa alamat rumahku ya?" Padma protes saat Tirta terus melaju. Padahal seharusnya ia membelokkan kendaraan ke kanan."Kita singgah ke rumah makan depan sebentar." Tirta melajukan kanderaan beberapa meter lagi, sebelum parkir di tempat yang sudah disediakan."Ngapain kita ke sini? Aku tidak lapar, Mas." Padma lagi-lagi protes."Aku yang lapar. Ayo turun." Tirta mematikan mesin dan keluar dari mobil. Tanpa banyak bicara lagi, Padma mengekori langkah Tirta. Ia sadar. Dirinya ini hanya menumpang. Tidak seharusnya ia banyak protes."Kita duduk di meja sudut sana saja, supaya tidak terlalu berisik." Tirta mendahului Padma berjalan menuju meja nomor dua belas. Padma setuju dengan pilihan Tirta. Karena meja-meja yang mereka lewati rata-rata di isi oleh pengunjung yang duduk berkelompok. Suara riuh rendah yang berasal dari canda tawa mereka, membuat ruangan menjadi berisik. Seorang pelayan berseragam batik dengan sigap segera memberikan buk
"Iya, kamu memang Tirta," lanjut sang perempuan cantik setelah mengamati Tirta dari jarak dekat."Astaga, aku hampir tidak mengenalimu tadi." Si gadis cantik mendekati Tirta."Kok kamu diam saja sih, Tir? Aku ini Virliana Syamsir alias Anna. Masa sih kamu tidak mengenaliku?"Perempuan cantik nan langsing itu bernama Anna rupanya."Kamu bersikap acuh begini, jangan-jangan karena kamu masih marah padaku yang menolak cintamu dulu ya?" ujar Anna manja."Uhuk!"Padma terbatuk. Ternyata Anna dulu adalah gebetan Tirta. Wajar jika Tirta dulu menyukai Anna. Wajah cantik dan tubuh idealnya memang sedap dipandang mata.Padma kembali melirik Tirta. Sedari tadi, Tirta diam seribu bahasa. Namun Padma dapat melihat keringat yang mulai bermanik di dahinya. Walau tetap diam, rupanya Tirta nervous juga."Aku dulu masih terlalu muda untuk bisa melihat cinta sejati. Makanya aku menolakmu dan menerima cinta Hendry. Tapi sekarang keadaan sudah berbeda, Tir. Aku sudah bebas. Hendry menceraikanku dua tahun
Minggu pagi di stadion GBK. Bersama ratusan pengunjung stadiun GBK yang tengah berlari, Padma berlari sambil mengatur napasnya. Setelah seminggu kembali ke rumah orang tuanya, ia memang sedang semangat-semangatnya mengubah gaya hidup. Ia tidak mau lagi menangisi masa lalunya. "Satu putaran lagi, Ma. Ayo semangat. Kamu tidak mau dibully orang lagi bukan? Ayo kaki dan jantungku sayang, bantu aku menyehatkan kalian semua ya?" Padma menyemangati dirinya sendiri agar memenuhi target. Ia sudah memutari stadion sebanyak empat kali. Tinggal satu putaran lagi. "Ayo, Nduk. Satu putaran lagi. Bapak tunggu di sini." Suara ayahnya yang memanggil-manggil di ujung lintasan, membuat semangat Padma kembali bangkit. Bagaimana ia tidak semangat. Ayahnya melambai-lambaikan sebotol air mineral dan sekotak bekal di kejauhan. Memang sudah lima hari ini ayahnya selalu menyiapkan air mineral dan sarapan sehat untuknya. Hari pertama dan kedua tinggal di rumah, ayahnya tidak mengetahui kegiatan lari paginya.
Ekspresi meremehkan Ninis diamati oleh Tirta. Sungguh, kelakuan Ninis yang memuakkan seperti ini, bagaimana bisa meraih simpatinya? Hanya bocah laki-laki abege yang mungkin tertarik dengan perempuan cantik berotak kosong dan nir-empati seperti Ninis."Kalau mau berkenalan dengan seseorang, salami orangnya. Perkenalkan dirimu dengan layak. Bukannya cengar-cengir seperti kuda gila begini." Tajamnya kecaman Tirta pada Ninis, ibarat rasa gatal yang baru saja digaruk. Padma puas sekali mendengarnya."Iya deh. Aku akan memperkenalkan diri. Kenalin, Mbak. Namaku Annisa Sudrajat. Calon istri Mas Tirta." Ninis mengulurkan tangan dengan dagu terangkat tinggi. Angkuhnya luar biasa. Padma menjabat tangan Ninis tanpa menyebutkan namanya. Ia tahu Ninis pun tidak benar-benar ingin berkenalan dengannya. Ninis hanya ingin mengintip orang yang ia kira rivalnya."Jangan mimpi kamu. Aku tidak pernah menyetujui perjodohan ini!" Tirta membantah keras pernyataan Ninis."Bukan tidak pernah, Mas. Tapi belum,
Padma berteriak gembira tatkala angka di timbangan digitalnya menunjuk angka tujuh puluh satu koma nol lima. Alhamdullilah. Kerja kerasnya selama dua bulan ini berhasil menurunkan sembilan kilogram bobot tubuhnya. "Ada apa, Mbak? Kok Mbak Padma teriak-teriak?" Pintu kamarnya sekonyong-konyong terbuka. Menghadirkan Nunik yang tergopoh-gopoh masuk ke kamar."Nggak apa-apa, Nik. Mbak senang karena Mbak sudah turun sembilan kilogram dalam dua bulan ini." Padma tidak puas-puasnya memandangi angka di timbangan. "Selamat ya, Mbak. Akhirnya ada progress yang signifikan. Tapi Mbak jangan nangkring terus di atas timbangan juga kali, Mbak. Duduk sini. Kita bergosip." Nunik menghempaskan pinggul di sudut ranjang. Ia sekarang senang karena mempunyai teman bergossip."Namanya masih kemaruk, Nik. Mbak masih tidak percaya tadi." Padma turun dari timbangan dan ikut duduk di samping ranjang."Kamu kenapa, Nik? Kok wajahmu kusut sekali?" Padma menjawil sayang pipi Nunik."Aku patah hati, Mbak." Bahu N
Baru mencapai ruang tamu, telinga Padma panas mendengar celoteh Bulik Fatimah. Saat ini Bulik Fatimah tengah menonton televisi bersama Nunik."Ibu kok bicaranya begitu sih?" Nunik menegur keras sang ibu."Lho memangnya kenapa? Padma diet mati-matian dan berdandan habis-habisan begini pasti ada tujuannya bukan? Apalagi tujuannya kalau bukan ingin mencari pengganti Dimas." Bulik Fatimah mengejek Padma sinis. Ia tahu maksud dan tujuan Padma. Dirinya juga seorang perempuan."Bulik salah. Saya diet dan berdandan, tujuannya adalah untuk kesehatan dan kenyamanan diri saya sendiri. Bulik, tidak semua orang yang diet dan berdandan itu bertujuan untuk mencari perhatian laki-laki. Ada yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa percaya diri seperti Padma. Ada juga yang menjadi bahagia setiap kali ia melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Tidak semua orang mempunyai pikiran seperti Bulik. Yang setiap kali berdandan adalah untuk mencari perhatian laki-laki, seperti yang dulu Bulik lakukan terhadap
Padma memarkirkan kendaraan pada Djournal Cafe. Di kafe inilah dirinya dan Pak Arief, client-nya membuat janji temu. Rencananya mereka akan mematangkan konsep interior rumah yang baru Pak Arief beli. Setelahnya mereka akan melihat bahan-bahan material dan mebel yang serasi dengan konsep yang sudah disepakati. Menilik mobil-mobil di parkiran sepertinya kafe belum terlalu ramai pada pukul empat sore ini.Rasa sejuk pendingin udara menerpa kulit Padma tatkala ia mendorong pintu kaca. Dugaannya benar. Kafe hanya diisi oleh segelintir orang. Di meja tiga ada empat orang anak remaja yang duduk berkelompok sambil bersenda gurau. Beberapa meja lagi diisi oleh dua pasangan muda yang sedang makan sambil berbisik-bisik mesra.Padma lega karena suasana di kafe ini jadi tidak terlalu berisik. Untung saja jam kerjanya di kantor Tirta ini fleksibel. Tirta memperbolehkannya meninggalkan kantor sewaktu-waktu apabila dirinya harus menemui client. Padma langsung berjalan menuju meja nomor 16 yang telah
Lima bulan kemudian."Gue heran lo tetap bisa cantik paripurna begini meski sedang hamil gede ya, Ma? Nggak kayak gue dulu. Hidung gue jadi cutbray dan pipi juga jadi baggy." Wilma mengamati Padma yang tengah makan empek-empek dengan lahap. Dari kemarin, sahabatnya ini mengidam empek-empek, makanya mereka membawa Padma ke gerai ini karena empek-empeknya terkenal enak."Bukan main istilah lo, Wil. Hidung cutbray, pipi baggy. Itu bentuk wajah atau model celana?" Padma terkekeh."Kalo gue sih, hidung dan pipi baik-baik aja. Mekar-mekar dikit lah. Yang parah cuma leher sama ketek gue. Kayak dakian parah euy. Gue gosok-gosok pake scrub, kagak ngaruh. Malu banget gue sama laki gue. Takut dipikir gue jorok." Ririn turut membagi pengalamannya."Kalo gue sih, semua aman sentosa sejahtera. Cuma, badan gue membengkak kayak gajah. Gue naik berat badan 24 kilogram, sodara-sodara. Berasa jadi Hulk setiap kali gue hamil." Yesi meringis mengingat masa-masa di kala hamil besar."Eh, lo tahu nggak kaba
"Kalau Ibu selama ini punya salah padamu, Ibu minta maaf ya, Padma. Tapi tolong, jangan penjarakan Tari. Karena saat ini hanya dialah satu-satunya harapan kami. Tari adalah tulang punggung keluarga, karena Dimas... ya, begitulah." Bu Nursyam menghela napas berat. Masalah tidak ada henti-hentinya membombardir keluarganya akhir-akhir ini. Maka dari itu, hari ini ia menebalkan muka dan diam-diam menemui Padma di kediaman orang tuanya."Di penjara atau tidaknya Tari, itu bukan wewenang saya, Bu. Para penyidiklah yang memutuskannya," Padma memberi jawaban diplomatis."Betul. Memang bukan wewenangmu. Tapi kalau kamu mencabut laporan atas Tari, kasus akan dianggap selesai, bukan?" bujuk Bu Nursyam lagi."Ibu salah lagi. Bukan saya yang melaporkan Tari, tapi pihak rumah sakit. Jadi, yang berhak mencabut ataupun melanjutkan perkara adalah pihak rumah sakit, bukan saya," ucap Padma dingin."Ya, kalau begitu kamu tinggal minta pihak rumah sakit untuk mencabut gugatan. Kan yang mengadu pada pihak
Lestari memegangi dadanya. Telinganya berdenging. Ia panik! Jangan-jangan Padma telah mengetahui kecurangannya."Saya... boleh meminta minum, tidak, Mbak?" pinta Lestari terengah. Ia harus berpikir tenang sebelum bertindak."Tentu saja. Mas, tolong ambilkan air dingin untuk Dek Tari. Ingat ya, Mas. Yang dingin, biar hati Dek Tari bisa adem," sindir Padma. Lestari makin pucat. Sepertinya Padma benar-benar telah mengetahui kecurangannya."Ini, silakan diminum." Tirta menuangkan segelas air dingin dari water jug. Sedari tadi ia diam sambil berjaga-jaga. Ia takut Padma membahayakan dirinya sendiri saat membalas dendam pada Lestari. Padma sedang hamil muda, dan untuk itu, ia harus siap siaga dalam segala situasi.Tanpa perlu disuruh dua kali, Lestari meneguk minumannya dengan rakus. Setelahnya, ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menstabilkan emosinya. Setelah merasa lebih tenang, barulah ia bersuara."Mengapa Mbak ingin mensomasi rumah sakit? Apa yang sudah mereka lakukan pada Mb
Selama menunggu Lestari tiba, Padma mengumpulkan tiga lembar hasil lab yang dulu ia terima dari petugas lab di rumah sakit. Ia juga melampirkan satu lembar hasil lab terakhir yang ia terima dari Lestari lima tahun yang lalu. Total ada empat lembar hasil lab di tangannya. Sebelum melakukan tes kesuburan, ia memang sudah lebih dulu melakukan tes hormon, uji ovarium dan ovulasi, serta histerosalpingografi.Hasil ketiga tes ini bagus sekali. Menurut dokter Nastiti, kesehatan reproduksinya normal-normal saja. Hanya hasil tes kesuburannya saja yang sangat buruk. Waktu itu ia putus asa melihat hasilnya, makanya ia tidak kembali lagi ke praktik dokter Nastiti untuk membicarakan soal hasil tes kesuburannya. Ia sudah pasrah menerima nasibnya."Aku tidak menyangka kalau kamu masih menyimpan hasil-hasil lab bertahun lalu, Ma." Tirta yang baru datang dari dapur mendekati Padma. Di tangannya ada segelas susu hangat yang sengaja ia siapkan untuk istri tercintanya. "Minum dulu susunya, Sayang. Supay
"Kalian silakan ke rumah sakit dulu. Kasihan Dika sedang sakit." Melihat keadaan Padma yang tidak stabil, Tirta mengalihkan pembicaraan. "Iya, kami permisi dulu, Pak Tirta, Bu Padma." Puspita dan Bik Painah buru-buru kembali ke rumah sakit."Antar aku ke rumah Dek Tari sekarang, Mas. Aku akan meminta penjelasannya. Anak itu sungguh tidak tahu diuntung!" Padma benar-benar tidak terima dibodohi oleh Lestari."Iya, nanti kita menemui Lestari bersama-sama. Setelah kita pulang, makan dan istirahat. Sekarang kita masuk ke mobil dulu," bujuk Tirta."Aku mau sekarang, tidak mau nanti!" Padma tidak bersedia menunggu. Tirta tidak mengatakan apa pun. Ia membuka pintu mobil dan membantu Padma masuk ke dalam. Sejurus kemudian mobil pun melaju membelah jalan. Sekitar sepuluh menit berkendara, Tirta membelokkan mobilnya. "Lho, kok belok? Rumah Lestari itu di Jalan Thamrin, Mas. Lurus saja." Padma memberitahu alamat rumah Lestari kepada Tirta."Padma, nanti saja kita ke rumah Lestari-nya ya? Kamu i
"Kamu butuh uang untuk membawa Dika ke rumah sakit, Pita?" tanya Padma hati-hati."Iya, Bu. Dika sudah dua hari ini demam tinggi. Saya tidak bisa membawanya berobat karena tidak punya biaya." Dengan menebalkan muka Puspita berterus terang pada Padma. Demi anak, ia bersedia menjilat ludahnya sendiri, meski pernah sesumbar bahwa ia tidak akan pernah memohon lagi pada Padma.Padma bertukar pandang dengan Tirta. Ketika melihat anggukan samar sang suami, Padma pun melaksanakan niatnya. Ia membuka tas dan mengeluarkan ponsel."Nomor rekeningmu yang lama masih aktif tidak, Pita?""Masih, Bu," jawab Puspita sambil menunduk. Ia tidak punya keberanian untuk sekadar menatap wajah mantan majikannya. Padma memanglah sebenar-benarnya orang baik."Saya sudah mengirimkan sejumlah uang untukmu. Saya kira cukup untuk biaya pengobatan Dika. Saya permisi dulu ya, Pita. Semoga Dika segera sembuh." Padma mendekati Dika dan mengelus sayang pipi montok Dika dalam buaian Puspita, yang memang terasa panas."Eh
"Saya tidak bersalah, Pak Polisi. Semua itu terjadi karena ketidaksengajaan. Saya sama sekali tidak bermaksud melukai Ratna," jawab Erina sambil menangis tersedu-sedu.""Anda menusuk perut seseorang dengan pisau buah dan Anda menyebutnya sebuah kecelakaan?!" bentak sang juru periksa."Ya karena memang kecelakaan, Pak Polisi. Saya tidak menusuk Ratna. Dia sendiri yang menerjang ke arah saya," Erina kembali sesenggukan."Jangan menangis terus! Setelah petentengan berani melukai orang, jangan bersikap seperti ayam sayur. Sekarang jawab pertanyaan saya. Kalau Anda tidak bermaksud untuk menyerang, lantas untuk apa Anda menghunus pisau?" cecar sang juru periksa."Untuk menakut-nakuti Herman, Pak Polisi. Dia... sudah jahat pada saya. Saya hanya ingin menggertak Herman saja. Bukan benar-benar ingin membunuhnya. Percayalah Pak Polisi." Dengan ekspresi memelas, Erina merangkapkan kedua tangan di dada, berusaha meyakinkan sang juru periksa kalau dirinya tidak bersalah."Herman bilang ia tidak
"Rin, kamu baru pulang praktek bukan? Sebaiknya kamu istirahat saja. Kamu tadi bilang kalau kamu tidak enak badan." Bu Della memberi kode pada Erina. Naluri keibuannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah dilakukan Erina di belakangnya. Naluri seorang ibu juga yang membuatnya ingin melindungi sang putri. "I... iya, Bu. Pasien ramai sekali hari ini. Energiku rasanya terserap habis." Erina menangkap kode yang diisyaratkan sang ibu."Tunggu sebentar, Rin. Temani kami dulu di sini. Ada bagian lain yang belum kamu lihat." Tirta menahan Erina yang sudah berdiri dari duduknya. "A... apa itu, Tir?" Erina kian nervous. Perasaannya tidak enak. Ia merasa akan terjadi sesuatu."Untungnya aku sudah mengetahui siapa orang yang telah melakukan kejahatan ini," ucap Tirta lamat-lamat. Kali ini lebar wajah Erina berubah pucat. Ia tidak bisa menyembunyikan ketakutannya lagi. "Siapa orangnya, Tir?" tanya Pak Ahmad penasaran. "Aku permisi dulu." Erina mencondongkan tubuhnya ke depan. Siap untuk mel
"Bu, nanti biar aku saja yang menghidangkan makanan dan minuman kecilnya ya?" Erina keluar dari kamar dengan senyum semringah. Herman baru saja meneleponnya. Herman bilang, Tirta akan ikut dengan kedua orang tuanya ke sini. Tirta suntuk sendirian di apartemen. Sudah tiga hari ini Padma menginap di rumah orang tuanya. Mendapat kabar baik ini ia sangat bahagia. Ini adalah kesempatan baginya untuk mempengaruhi Tirta. Dulu Tirta pasti akan mencarinya jikalau ia sedang galau. Ternyata sekarang pun seperti itu. Tirta masih membutuhkannya rupanya."Tumben. Apa kamu tidak capek?" Bu Della melirik anak gadisnya. Tidak biasanya Erina rajin seperti ini. Biasanya setiap kali pulang praktek, Erina akan langsung beristirahat. "Capek, sih, Bu. Tapi tidak apa-apa. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Tirta.""Tirta? Yang mau ke sini itu Pak Yono dan Bu Nani, Rin. Bukan Tirta.""Tapi Tirta ikut kok, Bu. Herman yang bilang. Kayaknya Tirta ribut dengan Padma. Sudah tiga hari Padma menginap di rumah ora