Minggu pagi di stadion GBK. Bersama ratusan pengunjung stadiun GBK yang tengah berlari, Padma berlari sambil mengatur napasnya. Setelah seminggu kembali ke rumah orang tuanya, ia memang sedang semangat-semangatnya mengubah gaya hidup. Ia tidak mau lagi menangisi masa lalunya. "Satu putaran lagi, Ma. Ayo semangat. Kamu tidak mau dibully orang lagi bukan? Ayo kaki dan jantungku sayang, bantu aku menyehatkan kalian semua ya?" Padma menyemangati dirinya sendiri agar memenuhi target. Ia sudah memutari stadion sebanyak empat kali. Tinggal satu putaran lagi. "Ayo, Nduk. Satu putaran lagi. Bapak tunggu di sini." Suara ayahnya yang memanggil-manggil di ujung lintasan, membuat semangat Padma kembali bangkit. Bagaimana ia tidak semangat. Ayahnya melambai-lambaikan sebotol air mineral dan sekotak bekal di kejauhan. Memang sudah lima hari ini ayahnya selalu menyiapkan air mineral dan sarapan sehat untuknya. Hari pertama dan kedua tinggal di rumah, ayahnya tidak mengetahui kegiatan lari paginya.
Ekspresi meremehkan Ninis diamati oleh Tirta. Sungguh, kelakuan Ninis yang memuakkan seperti ini, bagaimana bisa meraih simpatinya? Hanya bocah laki-laki abege yang mungkin tertarik dengan perempuan cantik berotak kosong dan nir-empati seperti Ninis."Kalau mau berkenalan dengan seseorang, salami orangnya. Perkenalkan dirimu dengan layak. Bukannya cengar-cengir seperti kuda gila begini." Tajamnya kecaman Tirta pada Ninis, ibarat rasa gatal yang baru saja digaruk. Padma puas sekali mendengarnya."Iya deh. Aku akan memperkenalkan diri. Kenalin, Mbak. Namaku Annisa Sudrajat. Calon istri Mas Tirta." Ninis mengulurkan tangan dengan dagu terangkat tinggi. Angkuhnya luar biasa. Padma menjabat tangan Ninis tanpa menyebutkan namanya. Ia tahu Ninis pun tidak benar-benar ingin berkenalan dengannya. Ninis hanya ingin mengintip orang yang ia kira rivalnya."Jangan mimpi kamu. Aku tidak pernah menyetujui perjodohan ini!" Tirta membantah keras pernyataan Ninis."Bukan tidak pernah, Mas. Tapi belum,
Padma berteriak gembira tatkala angka di timbangan digitalnya menunjuk angka tujuh puluh satu koma nol lima. Alhamdullilah. Kerja kerasnya selama dua bulan ini berhasil menurunkan sembilan kilogram bobot tubuhnya. "Ada apa, Mbak? Kok Mbak Padma teriak-teriak?" Pintu kamarnya sekonyong-konyong terbuka. Menghadirkan Nunik yang tergopoh-gopoh masuk ke kamar."Nggak apa-apa, Nik. Mbak senang karena Mbak sudah turun sembilan kilogram dalam dua bulan ini." Padma tidak puas-puasnya memandangi angka di timbangan. "Selamat ya, Mbak. Akhirnya ada progress yang signifikan. Tapi Mbak jangan nangkring terus di atas timbangan juga kali, Mbak. Duduk sini. Kita bergosip." Nunik menghempaskan pinggul di sudut ranjang. Ia sekarang senang karena mempunyai teman bergossip."Namanya masih kemaruk, Nik. Mbak masih tidak percaya tadi." Padma turun dari timbangan dan ikut duduk di samping ranjang."Kamu kenapa, Nik? Kok wajahmu kusut sekali?" Padma menjawil sayang pipi Nunik."Aku patah hati, Mbak." Bahu N
Baru mencapai ruang tamu, telinga Padma panas mendengar celoteh Bulik Fatimah. Saat ini Bulik Fatimah tengah menonton televisi bersama Nunik."Ibu kok bicaranya begitu sih?" Nunik menegur keras sang ibu."Lho memangnya kenapa? Padma diet mati-matian dan berdandan habis-habisan begini pasti ada tujuannya bukan? Apalagi tujuannya kalau bukan ingin mencari pengganti Dimas." Bulik Fatimah mengejek Padma sinis. Ia tahu maksud dan tujuan Padma. Dirinya juga seorang perempuan."Bulik salah. Saya diet dan berdandan, tujuannya adalah untuk kesehatan dan kenyamanan diri saya sendiri. Bulik, tidak semua orang yang diet dan berdandan itu bertujuan untuk mencari perhatian laki-laki. Ada yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa percaya diri seperti Padma. Ada juga yang menjadi bahagia setiap kali ia melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Tidak semua orang mempunyai pikiran seperti Bulik. Yang setiap kali berdandan adalah untuk mencari perhatian laki-laki, seperti yang dulu Bulik lakukan terhadap
Padma memarkirkan kendaraan pada Djournal Cafe. Di kafe inilah dirinya dan Pak Arief, client-nya membuat janji temu. Rencananya mereka akan mematangkan konsep interior rumah yang baru Pak Arief beli. Setelahnya mereka akan melihat bahan-bahan material dan mebel yang serasi dengan konsep yang sudah disepakati. Menilik mobil-mobil di parkiran sepertinya kafe belum terlalu ramai pada pukul empat sore ini.Rasa sejuk pendingin udara menerpa kulit Padma tatkala ia mendorong pintu kaca. Dugaannya benar. Kafe hanya diisi oleh segelintir orang. Di meja tiga ada empat orang anak remaja yang duduk berkelompok sambil bersenda gurau. Beberapa meja lagi diisi oleh dua pasangan muda yang sedang makan sambil berbisik-bisik mesra.Padma lega karena suasana di kafe ini jadi tidak terlalu berisik. Untung saja jam kerjanya di kantor Tirta ini fleksibel. Tirta memperbolehkannya meninggalkan kantor sewaktu-waktu apabila dirinya harus menemui client. Padma langsung berjalan menuju meja nomor 16 yang telah
"Jaga sikap dong, Dim. Kalau kamu tidak cocok dengan desain Bu Padma, tidak masalah. Jangan bertingkah seperti oramg yang tidak punya etika ah." Pak Arief kelimpungan. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Dimas bisa bersikap sefrontal ini. Ia jadi menyesal membawa Dimas menemui Padma."Tidak apa-apa kalau Pak Dimas tidak menyukai selera saya. Saya mengerti, tidak semua orang memiliki selera yang bagus." Padma menanggapi kritikan Dimas dengan santai."Ngomong apa kamu? Kamu mengatai saya tidak memiliki selera yang bagus? Kamu lah yang seleranya rendahan!" Dimas menggebrak meja. Ia kesal luar biasa setelah melihat kenyataan di depan matanya. Sebenarnya sudah hampir dua bulan ini penjualan unit-unit clusternya mandek. Issue-issue yang beredar mengatakan hal ini terjadi karena sebagian besar customernya pindah ke developer lain. Mereka beramai-ramai menyerbu cluster-cluster milik P.T Graha Karya Mandiri, di mana developernya adalah perusahaan properti milik Tirta.Dan kabarnya pula, Padma
Padma yang duduk terkantuk-kantuk menegakkan kepala saat pintu ruangan terbuka. Sosok Bulik Fatimah muncul dengan tangan menenteng rantang empat susun berbahan stainless. Ayahnya dini hari kemarin mengeluh sakit dada. Setelah dibawa ke UGD, ayahnya harus menjalani rawat inap karena mengalami serangan jantung. Makanya semalaman ia ikut menginap di rumah sakit."Bulik datang dengan siapa?" tanya Padma dengan suara lirih. Ayahnya baru saja tertidur."Dengan, Iwan," bisik Bulik Fatimah sambil meletakkan rantang empat susun yang menguarkan aroma lezat di atas meja pasien. Setelahnya ia menghempaskan pinggul di samping Padma."Sudah jam tiga sore, Padma. Kamu tidak makan siang? Sana, makan dulu di kantin rumah sakit. Bapakmu biar Bulik saja yang menjaga," usul Bulik Fatimah.Tumben sekali buliknya perhatian padanya. Eh, tapi tidak juga. Buliknya membawa banyak makanan. Tapi malah menyuruhnya makan di kantin."Padma belum lapar, Bulik. Nanti saja." Padma kembali menguap. Alih-alih makan yang
"Kamu sudah dewasa. Usiamu bahkan di atas Mbak. Kamu pasti sudah tahu konsekuensi dari perbuatanmu. Yang Mbak kasihani itu, Tari. Dia sangat mencintai dan mempercayaimu. Dihianati oleh orang terdekat itu sakitnya sampai ke ulu hati, Lik. Pula yang Mbak takutkan, jikalau suatu saat Tari tahu bahwa Mbak mengetahui perihal keluarga barumu ini, Tari pasti akan menghujat Mbak.""Mbak tidak perlu takut. Mbak tidak ada hubungan dengan masalah ini. Mbak juga tidak perlu merasa bersalah. Tari itu juga tidak baik-baik amat kok pada Mbak Padma. Dia itu--" Malik menghentikan kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya. Terlalu riskan jikalau ia membeberkan semua kebenarannya. Pun sudah tidak ada gunanya juga bagi Padma, jikalau semua kebenaran itu ia sibak. Lebih baik ia tutup mulut saja. Jikalau pun suatu Saat kebenaran itu akan terkuak, setidaknya bukan dari mulutnya. "Dia itu apa, Lik?" Padma mengerutkan dahi. Ia penasaran karena Malik menghentikan pembicaraan di tengah-tengah kalimat."Dia itu.