"Jaga sikap dong, Dim. Kalau kamu tidak cocok dengan desain Bu Padma, tidak masalah. Jangan bertingkah seperti oramg yang tidak punya etika ah." Pak Arief kelimpungan. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Dimas bisa bersikap sefrontal ini. Ia jadi menyesal membawa Dimas menemui Padma."Tidak apa-apa kalau Pak Dimas tidak menyukai selera saya. Saya mengerti, tidak semua orang memiliki selera yang bagus." Padma menanggapi kritikan Dimas dengan santai."Ngomong apa kamu? Kamu mengatai saya tidak memiliki selera yang bagus? Kamu lah yang seleranya rendahan!" Dimas menggebrak meja. Ia kesal luar biasa setelah melihat kenyataan di depan matanya. Sebenarnya sudah hampir dua bulan ini penjualan unit-unit clusternya mandek. Issue-issue yang beredar mengatakan hal ini terjadi karena sebagian besar customernya pindah ke developer lain. Mereka beramai-ramai menyerbu cluster-cluster milik P.T Graha Karya Mandiri, di mana developernya adalah perusahaan properti milik Tirta.Dan kabarnya pula, Padma
Padma yang duduk terkantuk-kantuk menegakkan kepala saat pintu ruangan terbuka. Sosok Bulik Fatimah muncul dengan tangan menenteng rantang empat susun berbahan stainless. Ayahnya dini hari kemarin mengeluh sakit dada. Setelah dibawa ke UGD, ayahnya harus menjalani rawat inap karena mengalami serangan jantung. Makanya semalaman ia ikut menginap di rumah sakit."Bulik datang dengan siapa?" tanya Padma dengan suara lirih. Ayahnya baru saja tertidur."Dengan, Iwan," bisik Bulik Fatimah sambil meletakkan rantang empat susun yang menguarkan aroma lezat di atas meja pasien. Setelahnya ia menghempaskan pinggul di samping Padma."Sudah jam tiga sore, Padma. Kamu tidak makan siang? Sana, makan dulu di kantin rumah sakit. Bapakmu biar Bulik saja yang menjaga," usul Bulik Fatimah.Tumben sekali buliknya perhatian padanya. Eh, tapi tidak juga. Buliknya membawa banyak makanan. Tapi malah menyuruhnya makan di kantin."Padma belum lapar, Bulik. Nanti saja." Padma kembali menguap. Alih-alih makan yang
"Kamu sudah dewasa. Usiamu bahkan di atas Mbak. Kamu pasti sudah tahu konsekuensi dari perbuatanmu. Yang Mbak kasihani itu, Tari. Dia sangat mencintai dan mempercayaimu. Dihianati oleh orang terdekat itu sakitnya sampai ke ulu hati, Lik. Pula yang Mbak takutkan, jikalau suatu saat Tari tahu bahwa Mbak mengetahui perihal keluarga barumu ini, Tari pasti akan menghujat Mbak.""Mbak tidak perlu takut. Mbak tidak ada hubungan dengan masalah ini. Mbak juga tidak perlu merasa bersalah. Tari itu juga tidak baik-baik amat kok pada Mbak Padma. Dia itu--" Malik menghentikan kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya. Terlalu riskan jikalau ia membeberkan semua kebenarannya. Pun sudah tidak ada gunanya juga bagi Padma, jikalau semua kebenaran itu ia sibak. Lebih baik ia tutup mulut saja. Jikalau pun suatu Saat kebenaran itu akan terkuak, setidaknya bukan dari mulutnya. "Dia itu apa, Lik?" Padma mengerutkan dahi. Ia penasaran karena Malik menghentikan pembicaraan di tengah-tengah kalimat."Dia itu.
"Kita ini sudah tua, Nan. Jangan terlalu ngoyo lagi dalam bekerja." Bu Nani menasehati Pak Manan."Aku ini orangnya tidak bisa diam berpangku tangan, Nani. Kalau cuma malas-malasan di rumah, bisa-bisa aku malah tambah sakit-sakitan. Belum lagi jadi pikun, karena otakku tidak dipakai bekerja." Pak Manan menanggapi santai nasehat Bu Nani."Kamu itu sama persis dengan Mas Cahyono. Tidak bisa duduk diam di rumah. Padahal sudah ada Tirta dan banyak staff yang membantu di kantor. Kalian ini sudah aki-aki, tapi masih merasa sok muda." Bu Nani memberengut. Ternyata bukan hanya suaminya seorang aki-aki yang sok jago. Pak Manan pun mempunyai kelakuan yang kurang lebih sama."Lah kami memang benar kok. Menurut penelitian, orang-orang tua yang kebanyakan bengong di rumah itu lebih cepat pikun dan sakit-sakitan lho." Pak Manan bersikukuh dengan pendapatnya."Penelitian-penelitian apa itu?" Bu Nani mendengkus. Bukan hanya sifat sok jagonya Pak Manan yang sama dengan suaminya. Ternyata sifat keras
"Eh, kamu jangan bilang pada Tirta kalau Ibu menceritakan hal ini padamu ya, Ma?" kata Bu Nani."Tidak dong, Bu. Padma akan menyimpan cerita ini untuk kita berdua saja," janji Padma. Bertepatan dengan itu, perawat telah keluar dari ruangan sang ayah. Padma segera menghampiri sang perawat yang telah selesai memeriksa ayahnya."Bagaimana keadaan ayah saya, Suster?""Semuanya dalam keadaan baik, Mbak. Tensi dan gula darah bapak sudah mulai stabil angkanya. Pertahankan agar angka-angka ini tidak melonjak dengan minum obat teratur dan istirahat yang cukup ya, Mbak?""Baik, Sus. Kapan ayah saya bisa pulang ya?""Kalau soal itu nanti Mbak tanyakan saja saat visit sore-nya dokter Lukas." Sang perawat pun berlalu setelah tugasnya selesai. Melalui sudut mata, Padma memindai kalau Tirta dan Erina telah kembali dari apotik. Padma masuk ke dalam ruangan. Ayahnya memanggilnya."Bapak lapar, Ma. Bapak kepingin makan bubur ayam Mat Sani. Perawat tadi bilang Bapak sudah boleh makan makanan luar asalka
Padma memandangi kepadatan lalu lintas dengan tatapan kosong. Sungguh, ia masih merasa tidak enak dengan Erina apalagi Ninis. Tuduhan Ninis tadi mencuil harga dirinya."Kamu kenapa bengong melulu dari tadi? Tidak nyaman saya setiri?" Tirta melirik Padma yang duduk melamun di sampingnya. Perjalanan sudah hampir berjalan lima belas menit. Namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Padma. Ia terus membisu dengan tatapan lurus ke depan."Tidak kok, Mas. Aku hanya merasa tidak enak pada Ninis saja," aku Padma terus terang."Kamu ini kebanyakan tidak enaknya jadi orang. Tadi dengan Erina. Dan sekarang dengan Ninis. Berhenti terus memikirkan perasaan orang lain, Padma. Bisa sakit kuning nanti kamu lama-lama." Tirta melirik Padma sekilas, sebelum kembali berkonsentrasi berkendara."Bukan begitu, Mas. Aku takut nanti Ninis menduga hal yang tidak-tidak terhadapku," terang Padma."Hal yang tidak-tidak itu apa misalnya?""Yah... misalnya Ninis jadi menduga kalau Mas menolaknya karena
"Mas benar. Aku ini cuma perempuan bodoh yang dibutakan oleh cinta. Makanya aku jadi tidak bisa melihat kebenaran yang Mas pampangkan di depan mataku waktu itu. Oleh karenanya Mas tidak boleh lagi mengingat kata-kataku yang salah waktu itu. Semua yang kukatakan itu sama sekali tidak benar, Mas. Tidak benar."Padma mengeja kalimatnya persuku kata. Ia ingin menyakinkan Tirta dengan langsung menatap kedua bola matanya. Perlahan Padma membuka sabuk pengaman, agar ia bisa mendekatkan dirinya pada Tirta."Aku minta maaf ya, Mas?" Padma memberanikan diri menyentuh kedua tangan Tirta yang mengepal di atas kemudi. Ia merasa sangat bersalah saat menatap kedua mata kosong Tirta.Hening.Punggung Tirta menegang saat merasa ada tangan hangat yang menyentuhnya. Biasanya ia akan serta merta menarik tangannya. Ia tidak menyukai sentuhan. Namun kali ini ia mendiamkannya. Ada rasa aneh yang membuatnya enggan menyentaknya. Ia dengan sukarela menikmati rasa aneh yang menyenangkan ini.Karena tidak merasa
Padma menelusuri rak sayur mayur di supermaket. Semenjak sadar akan kesehatan dan ditambah program diet, sekarang ia memang lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah. Pada awalnya ia memang sangat tersiksa saat harus mengkonsumi makanan sehat tanpa cita rasa seperti itu. Namun demi menyukseskan misi dietnya, ia melakukan segala upaya agar tetap konsisten dengan tujuannya. Salah satunya adalah dengan cara memutar ingatan akan segala perudungan yang ia terima selama ini. Alhamdullilah cara itu sangat efektif untuk menguatkan kembali tekadnya."Ma... Padma. Lo Padma 'kan?" Padma menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya.Wilma, Ririn dan Yesi. Tiga serangkai teman-teman satu kompleksnya."Iya, lo Padma. Aje gile, lo kurusan sekarang ya, Ma?" Setelah mendekat, Wilma memutari Padma. Ia nyaris tidak mengenali sahabatnya ini tadi. "Bener 'kan tebakan gue? Gue udah bilang kalo itu Padma, tapi lo berdua kagak percaya." Ririn ikut-ikutan mengamati Padma dari atas ke bawah. "Lo cakep b