"Eh, kamu jangan bilang pada Tirta kalau Ibu menceritakan hal ini padamu ya, Ma?" kata Bu Nani."Tidak dong, Bu. Padma akan menyimpan cerita ini untuk kita berdua saja," janji Padma. Bertepatan dengan itu, perawat telah keluar dari ruangan sang ayah. Padma segera menghampiri sang perawat yang telah selesai memeriksa ayahnya."Bagaimana keadaan ayah saya, Suster?""Semuanya dalam keadaan baik, Mbak. Tensi dan gula darah bapak sudah mulai stabil angkanya. Pertahankan agar angka-angka ini tidak melonjak dengan minum obat teratur dan istirahat yang cukup ya, Mbak?""Baik, Sus. Kapan ayah saya bisa pulang ya?""Kalau soal itu nanti Mbak tanyakan saja saat visit sore-nya dokter Lukas." Sang perawat pun berlalu setelah tugasnya selesai. Melalui sudut mata, Padma memindai kalau Tirta dan Erina telah kembali dari apotik. Padma masuk ke dalam ruangan. Ayahnya memanggilnya."Bapak lapar, Ma. Bapak kepingin makan bubur ayam Mat Sani. Perawat tadi bilang Bapak sudah boleh makan makanan luar asalka
Padma memandangi kepadatan lalu lintas dengan tatapan kosong. Sungguh, ia masih merasa tidak enak dengan Erina apalagi Ninis. Tuduhan Ninis tadi mencuil harga dirinya."Kamu kenapa bengong melulu dari tadi? Tidak nyaman saya setiri?" Tirta melirik Padma yang duduk melamun di sampingnya. Perjalanan sudah hampir berjalan lima belas menit. Namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Padma. Ia terus membisu dengan tatapan lurus ke depan."Tidak kok, Mas. Aku hanya merasa tidak enak pada Ninis saja," aku Padma terus terang."Kamu ini kebanyakan tidak enaknya jadi orang. Tadi dengan Erina. Dan sekarang dengan Ninis. Berhenti terus memikirkan perasaan orang lain, Padma. Bisa sakit kuning nanti kamu lama-lama." Tirta melirik Padma sekilas, sebelum kembali berkonsentrasi berkendara."Bukan begitu, Mas. Aku takut nanti Ninis menduga hal yang tidak-tidak terhadapku," terang Padma."Hal yang tidak-tidak itu apa misalnya?""Yah... misalnya Ninis jadi menduga kalau Mas menolaknya karena
"Mas benar. Aku ini cuma perempuan bodoh yang dibutakan oleh cinta. Makanya aku jadi tidak bisa melihat kebenaran yang Mas pampangkan di depan mataku waktu itu. Oleh karenanya Mas tidak boleh lagi mengingat kata-kataku yang salah waktu itu. Semua yang kukatakan itu sama sekali tidak benar, Mas. Tidak benar."Padma mengeja kalimatnya persuku kata. Ia ingin menyakinkan Tirta dengan langsung menatap kedua bola matanya. Perlahan Padma membuka sabuk pengaman, agar ia bisa mendekatkan dirinya pada Tirta."Aku minta maaf ya, Mas?" Padma memberanikan diri menyentuh kedua tangan Tirta yang mengepal di atas kemudi. Ia merasa sangat bersalah saat menatap kedua mata kosong Tirta.Hening.Punggung Tirta menegang saat merasa ada tangan hangat yang menyentuhnya. Biasanya ia akan serta merta menarik tangannya. Ia tidak menyukai sentuhan. Namun kali ini ia mendiamkannya. Ada rasa aneh yang membuatnya enggan menyentaknya. Ia dengan sukarela menikmati rasa aneh yang menyenangkan ini.Karena tidak merasa
Padma menelusuri rak sayur mayur di supermaket. Semenjak sadar akan kesehatan dan ditambah program diet, sekarang ia memang lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah. Pada awalnya ia memang sangat tersiksa saat harus mengkonsumi makanan sehat tanpa cita rasa seperti itu. Namun demi menyukseskan misi dietnya, ia melakukan segala upaya agar tetap konsisten dengan tujuannya. Salah satunya adalah dengan cara memutar ingatan akan segala perudungan yang ia terima selama ini. Alhamdullilah cara itu sangat efektif untuk menguatkan kembali tekadnya."Ma... Padma. Lo Padma 'kan?" Padma menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya.Wilma, Ririn dan Yesi. Tiga serangkai teman-teman satu kompleksnya."Iya, lo Padma. Aje gile, lo kurusan sekarang ya, Ma?" Setelah mendekat, Wilma memutari Padma. Ia nyaris tidak mengenali sahabatnya ini tadi. "Bener 'kan tebakan gue? Gue udah bilang kalo itu Padma, tapi lo berdua kagak percaya." Ririn ikut-ikutan mengamati Padma dari atas ke bawah. "Lo cakep b
"Jangan menguping aib orang. Tadi kita baru aja berjanji mau menjadi orang bener 'kan? Lupa? Ayo kita cari minuman aja. Gue haus." Padma menarik lengan Ririn dan Wilma. Ia mencoba mengalihkan kekepoan teman-temannya. Sekarang ia memang mencoba untuk tidak memungut sampah orang lain lagi. Sampahnya sendiri sudah cukup banyak."Oh iya. Lupa gue. Ayo kita minum sambil ghibahin diri sendiri aja biar kagak nambah-nambahin dosa." Ririn nyengir. "Ayuk," Wilma dan Yesi setuju. Beriringan keempatnya segera ke meja kasir. Setelah membayar barang belanjaan, mereka pun keluar dari hypermat."Ternyata jadi orang bener itu nggak gampang ya, Ma? Butuh niat dan effort yang lebih. Sementara mulut gue kagak tahan pengen ngegibah kalau ngeliat ada sesuatu yang ganjil." Ririn terkekeh."Mengubah kebiasan memang nggak mudah, Rin. Tapi bukan berarti nggak bisa juga. Kayak gue lah kurang lebih. Awal gue hidup sehat itu juga rasanya susah banget. Mau lari pagi, kasur kayak terus manggil-manggil, nyuruh tidu
"Mau ke mana kamu, Nik?" Padma menyapa Nunik yang berjalan ke arah rak sepatu. Nunik tampak cantik dan rapi dengan kemeja berwarna fushia serta celana jeans yang membungkus kaki indahnya. Tas selempang berwarna hitam, melengkapi gayanya yang muda dan trendy. "Mau keluar," sahut Nunik singkat sambil mengenakan sepatu kets-nya."Keluarnya ke mana? Sudah izin ibumu belum? Nanti ibumu marah lagi lho." Padma ingat kalau dua hari lalu Bulik Fatimah mengamuk karena Nunik keluar rumah tanpa berpamitan padanya terlebih dahulu. "Suka-suka aku lah mau ke mana. Mbak tidak usah mengatur-atur aku. Urus saja urusan Mbak sendiri," sahut Nunik ketus. Padma terdiam. Akhir-akhir ini sikap Nunik memang berubah. Jika biasanya ia ceria dan ramah, sekarang menjadi ketus dan pelit bicara. "Mbak bukan ingin mengatur-aturmu. Mbak cuma tanya lho.""Aku juga cuma jawab kok. Dasar penghianat," gumam Nunik kesal.Padma berjengit. Kalimat dasar penghianat yang digumamkan Nunik memberi suatu clue. Pasti ini ada k
Tirta mengetuk-ngetuk jemari di meja bernomor 15. Saat ini dirinya dan Padma tengah menunggu Jennifer. Client yang ingin bekerjasama dengan PT. Karya Graha Mandiri. Jennifer memiliki tanah yang cukup luas untuk membangun sebuah perumahan. Untuk itu Jeniffer ingin bekerjasana dengan PT. Karya Graha Mandiri sebagai developernya. Namun sebelum mengukuhkan kerjasama, Jennifer ingin membahas beberapa hal dulu dengannya. Makanya ia mengajak Padma menemaninya. Ia tidak nyaman bertemu berduaan saja dengan Jennifer yang agresif. Traumanya berdekatan dengan perempuan, bisa kambuh kalau Jennifer mulai bergenit-genit ria seperti beberapa waktu lalu.Tirta memindai jam dinding di kafe. Pukul 18.40 WIB. Masih ada waktu sekitar 20 menit lagi dari janji temu yang disepakati. Tirta mengernyitkan alis saat melihat Padma terus bergerak-gerak di sampingnya. Sedari masuk ke dalam kafe tadi, Padma tampak gelisah. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."Kamu kenapa, Padma? Ambeien?" Tirta menegur
"Hallo, Pak Tirta." Jennifer mengulurkan tangan. Ia bermaksud menyalami Tirta."Hallo juga, Bu Jenni." Tirta berdiri dari kursi . Ia menjabat sekilas uluran tangan Jennifer dan buru-buru melepaskannya. Setelahnya ia mengelap telapak tangan ke sisi celana panjangnya. Kebiasaannya ini sudah terbentuk belasan tahun lalu, setiap kali ia bersalaman dengan perempuan-perempuan muda."Apa kabar, Mbak Padma?" Jennifer kini menyalami Padma yang ikut berdiri."Kabar baìk, Bu Jenni." Padma menyalami Jennifer sopan.Ketika giliran Anna menyalami Tirta, Anna menggelitik telapak tangan Tirta sambil tersenyum nakal. Tirta melepaskan jabat tangan Anna dengan sedikit menyentaknya. Ia kemudian mengelap telapak tangannya ke sisi celana berkali-kali sebelum kembali duduk.Tatkala akan menyalami Padma, Anna hanya menyentuh tangannya sekilas. Jelas sekali Anna tidak menganggapnya penting."Pak Tirta ini dulunya teman satu sekolah Anna ya? Tadi di jalan Anna sempat memberitahu saya." Jennifer membuka obrola