Padma menelusuri rak sayur mayur di supermaket. Semenjak sadar akan kesehatan dan ditambah program diet, sekarang ia memang lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah. Pada awalnya ia memang sangat tersiksa saat harus mengkonsumi makanan sehat tanpa cita rasa seperti itu. Namun demi menyukseskan misi dietnya, ia melakukan segala upaya agar tetap konsisten dengan tujuannya. Salah satunya adalah dengan cara memutar ingatan akan segala perudungan yang ia terima selama ini. Alhamdullilah cara itu sangat efektif untuk menguatkan kembali tekadnya."Ma... Padma. Lo Padma 'kan?" Padma menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya.Wilma, Ririn dan Yesi. Tiga serangkai teman-teman satu kompleksnya."Iya, lo Padma. Aje gile, lo kurusan sekarang ya, Ma?" Setelah mendekat, Wilma memutari Padma. Ia nyaris tidak mengenali sahabatnya ini tadi. "Bener 'kan tebakan gue? Gue udah bilang kalo itu Padma, tapi lo berdua kagak percaya." Ririn ikut-ikutan mengamati Padma dari atas ke bawah. "Lo cakep b
"Jangan menguping aib orang. Tadi kita baru aja berjanji mau menjadi orang bener 'kan? Lupa? Ayo kita cari minuman aja. Gue haus." Padma menarik lengan Ririn dan Wilma. Ia mencoba mengalihkan kekepoan teman-temannya. Sekarang ia memang mencoba untuk tidak memungut sampah orang lain lagi. Sampahnya sendiri sudah cukup banyak."Oh iya. Lupa gue. Ayo kita minum sambil ghibahin diri sendiri aja biar kagak nambah-nambahin dosa." Ririn nyengir. "Ayuk," Wilma dan Yesi setuju. Beriringan keempatnya segera ke meja kasir. Setelah membayar barang belanjaan, mereka pun keluar dari hypermat."Ternyata jadi orang bener itu nggak gampang ya, Ma? Butuh niat dan effort yang lebih. Sementara mulut gue kagak tahan pengen ngegibah kalau ngeliat ada sesuatu yang ganjil." Ririn terkekeh."Mengubah kebiasan memang nggak mudah, Rin. Tapi bukan berarti nggak bisa juga. Kayak gue lah kurang lebih. Awal gue hidup sehat itu juga rasanya susah banget. Mau lari pagi, kasur kayak terus manggil-manggil, nyuruh tidu
"Mau ke mana kamu, Nik?" Padma menyapa Nunik yang berjalan ke arah rak sepatu. Nunik tampak cantik dan rapi dengan kemeja berwarna fushia serta celana jeans yang membungkus kaki indahnya. Tas selempang berwarna hitam, melengkapi gayanya yang muda dan trendy. "Mau keluar," sahut Nunik singkat sambil mengenakan sepatu kets-nya."Keluarnya ke mana? Sudah izin ibumu belum? Nanti ibumu marah lagi lho." Padma ingat kalau dua hari lalu Bulik Fatimah mengamuk karena Nunik keluar rumah tanpa berpamitan padanya terlebih dahulu. "Suka-suka aku lah mau ke mana. Mbak tidak usah mengatur-atur aku. Urus saja urusan Mbak sendiri," sahut Nunik ketus. Padma terdiam. Akhir-akhir ini sikap Nunik memang berubah. Jika biasanya ia ceria dan ramah, sekarang menjadi ketus dan pelit bicara. "Mbak bukan ingin mengatur-aturmu. Mbak cuma tanya lho.""Aku juga cuma jawab kok. Dasar penghianat," gumam Nunik kesal.Padma berjengit. Kalimat dasar penghianat yang digumamkan Nunik memberi suatu clue. Pasti ini ada k
Tirta mengetuk-ngetuk jemari di meja bernomor 15. Saat ini dirinya dan Padma tengah menunggu Jennifer. Client yang ingin bekerjasama dengan PT. Karya Graha Mandiri. Jennifer memiliki tanah yang cukup luas untuk membangun sebuah perumahan. Untuk itu Jeniffer ingin bekerjasana dengan PT. Karya Graha Mandiri sebagai developernya. Namun sebelum mengukuhkan kerjasama, Jennifer ingin membahas beberapa hal dulu dengannya. Makanya ia mengajak Padma menemaninya. Ia tidak nyaman bertemu berduaan saja dengan Jennifer yang agresif. Traumanya berdekatan dengan perempuan, bisa kambuh kalau Jennifer mulai bergenit-genit ria seperti beberapa waktu lalu.Tirta memindai jam dinding di kafe. Pukul 18.40 WIB. Masih ada waktu sekitar 20 menit lagi dari janji temu yang disepakati. Tirta mengernyitkan alis saat melihat Padma terus bergerak-gerak di sampingnya. Sedari masuk ke dalam kafe tadi, Padma tampak gelisah. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."Kamu kenapa, Padma? Ambeien?" Tirta menegur
"Hallo, Pak Tirta." Jennifer mengulurkan tangan. Ia bermaksud menyalami Tirta."Hallo juga, Bu Jenni." Tirta berdiri dari kursi . Ia menjabat sekilas uluran tangan Jennifer dan buru-buru melepaskannya. Setelahnya ia mengelap telapak tangan ke sisi celana panjangnya. Kebiasaannya ini sudah terbentuk belasan tahun lalu, setiap kali ia bersalaman dengan perempuan-perempuan muda."Apa kabar, Mbak Padma?" Jennifer kini menyalami Padma yang ikut berdiri."Kabar baìk, Bu Jenni." Padma menyalami Jennifer sopan.Ketika giliran Anna menyalami Tirta, Anna menggelitik telapak tangan Tirta sambil tersenyum nakal. Tirta melepaskan jabat tangan Anna dengan sedikit menyentaknya. Ia kemudian mengelap telapak tangannya ke sisi celana berkali-kali sebelum kembali duduk.Tatkala akan menyalami Padma, Anna hanya menyentuh tangannya sekilas. Jelas sekali Anna tidak menganggapnya penting."Pak Tirta ini dulunya teman satu sekolah Anna ya? Tadi di jalan Anna sempat memberitahu saya." Jennifer membuka obrola
"Oh iya, saya hampir lupa. Untung kamu ingatkan." Tirta menyambar umpan Padma dengan segera."Saya akan menelepon Bu Ida dulu. Kamu jelaskan saja semua yang ditanyakan oleh Bu Jenni." Setelah mengambil ponselnya, Tirta pun berlalu. Ia akan mencari udara segar sebentar sebelum kembali menghadapi Jennifer."Jadi setelah mengantongi Izin-izin tersebut, baru kami sebagai pihak pengembang akan mendapat Nomor Induk Berusaha atau BIB. Gunanya adalah untuk-""Tidak usah menjelaskan detailnya lagi, Mbak Padma. Saya adalah seorang pebisnis. Saya paham sekali mengenai masalah birokrasi." Jennifer mengangkat tangannya. "Saya tadi hanya berbasa-basi demi mengakrabkan diri dengan atasanmu saja," timpal Jennifer lagi. Padma bungkam. Kata-kata Jennifer terdengar ambigu. Ia tidak tahu harus meresponnya seperti apa. Lebih aman kalau ia menunggu lanjutan kalimat Jennifer saja. "Eh, saya boleh menanyakan sesuatu di luar masalah pekerjaan tidak, Mbak Padma?""Boleh kok, Bu." Padma mengangguk sopan. Duga
"Anda kenapa? Pusing?" Sepasang lengan yang kuat menyanggah tubuh Padma yang oleng."Sedikit." Padma mengerjap-ngerjapkan mata untuk menghilangkan rasa pusingnya. Ia baru saja turun dari mesin treadmill. Makanya ia merasa jalannya mengambang."Padahal tadi saya baik-baik saja saat treatmill." Padma memegang lengan orang yang menolongnya erat-erat, saat rasa mengambang itu kembali melanda. Ruangan seperti berputar, sementara kakinya otomatis ingin terus melangkah. Padma memejamkan mata. Dengan demikian ia berharap rasa pusingnya sedikit berkurang."Oh, Anda baru siap treadmill ya? Mari kita duduk dulu. Anda anggota baru ya di sini?" Penolongnya yang bersuara bariton nan empuk, membantunya duduk di kursi panjang. "Sekarang buka mata Anda dan minum dulu." Padma merasa sesuatu yang dingin digenggamkan pada tangan kanannya. Perlahan Padma membuka mata. Seketika tatapannya membentur seraut wajah belia nan tampan yang balas menatapnya ramah. "Saya... baik-baik saja sekarang, Dek. Terima k
"Masalah kita tidak ada hubungannya dengan Mas Tirta. Aku mengusirmu karena aku memang tidak tertarik berbicara lebih lama denganmu. Tidak ada faedahnya."Padma yang sudah gerah dengan sikap Dimas, langsung menembak pada sasaran. Orang seperti Dimas ini memang harus ditegasi agar tidak kian semena-mena."Sok kecakepan kamu. Baru kurusan sedikit saja perasaan seperti princess," ejek Dimas geram. Ia tidak terima dicueki oleh Padma, padahal dulu dirinya adalah pusat dunia Padma."Biar otakmu terbuka, aku tunjukkan kamu satu hal. Tirta itu tidak sungguh-sungguh tertarik padamu. Dia cuma sedang menyuapi egonya. Dulu ia selalu kalah denganku dalam segala hal, kecuali soal uang. Sekarang dia mendekatimu, karena ia ingin membuktikan kalau dia juga bisa mendapatkanmu walaupun cuma bekasan. Ingatlah, Padma. Kelak si Tirta dan lelaki mana pun itu, pasti akan meninggalkanmu, jikalau kamu tidak bisa memberi mereka keturunan."Padma membalas pernyataan kurang ajar Dimas dengan dua tamparan keras. K