"Anda kenapa? Pusing?" Sepasang lengan yang kuat menyanggah tubuh Padma yang oleng."Sedikit." Padma mengerjap-ngerjapkan mata untuk menghilangkan rasa pusingnya. Ia baru saja turun dari mesin treadmill. Makanya ia merasa jalannya mengambang."Padahal tadi saya baik-baik saja saat treatmill." Padma memegang lengan orang yang menolongnya erat-erat, saat rasa mengambang itu kembali melanda. Ruangan seperti berputar, sementara kakinya otomatis ingin terus melangkah. Padma memejamkan mata. Dengan demikian ia berharap rasa pusingnya sedikit berkurang."Oh, Anda baru siap treadmill ya? Mari kita duduk dulu. Anda anggota baru ya di sini?" Penolongnya yang bersuara bariton nan empuk, membantunya duduk di kursi panjang. "Sekarang buka mata Anda dan minum dulu." Padma merasa sesuatu yang dingin digenggamkan pada tangan kanannya. Perlahan Padma membuka mata. Seketika tatapannya membentur seraut wajah belia nan tampan yang balas menatapnya ramah. "Saya... baik-baik saja sekarang, Dek. Terima k
"Masalah kita tidak ada hubungannya dengan Mas Tirta. Aku mengusirmu karena aku memang tidak tertarik berbicara lebih lama denganmu. Tidak ada faedahnya."Padma yang sudah gerah dengan sikap Dimas, langsung menembak pada sasaran. Orang seperti Dimas ini memang harus ditegasi agar tidak kian semena-mena."Sok kecakepan kamu. Baru kurusan sedikit saja perasaan seperti princess," ejek Dimas geram. Ia tidak terima dicueki oleh Padma, padahal dulu dirinya adalah pusat dunia Padma."Biar otakmu terbuka, aku tunjukkan kamu satu hal. Tirta itu tidak sungguh-sungguh tertarik padamu. Dia cuma sedang menyuapi egonya. Dulu ia selalu kalah denganku dalam segala hal, kecuali soal uang. Sekarang dia mendekatimu, karena ia ingin membuktikan kalau dia juga bisa mendapatkanmu walaupun cuma bekasan. Ingatlah, Padma. Kelak si Tirta dan lelaki mana pun itu, pasti akan meninggalkanmu, jikalau kamu tidak bisa memberi mereka keturunan."Padma membalas pernyataan kurang ajar Dimas dengan dua tamparan keras. K
"Tidak perlu kukatakan, Mas. Mengucapkannya kembali hanya akan membuatku kembali sakit hati." Dengan halus, Padma melepas tangan Tirta dari dagunya. "Mas tahu tidak, saat mendengar hinaan dari orang yang kita cintai itu sakitnya berkali-kali lipat lho. Rasanya langsung nyes gitu ke hati."Aku tahu. Karena aku dulu juga mengalaminya, batin Tirta."Setelah semua yang Dimas lakukan padamu, kamu masih mencintainya?" Tirta tersenyum pahit. Cinta memang buta. "Sekarang tentu tidak, Mas. Tapi kalau dulu, iya," aku Padma pahit."Sebelum dia menghamili Puspita, aku sering memergoki Mas Dimas berselingkuh tipis-tipis. Saat ketahuan, biasanya ia akan meminta maaf dan mengaku khilaf. Lantas ia berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Padma tersenyum pahit. Rasanya kejadian-kejadian itu baru terjadi kemarin. "Dan kamu percaya?" Tirta menaikkan satu alisnya."Mau tidak mau ya harus percaya, Mas." Padma tersenyum pahit. "Lha wong aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain Mas Dimas. M
"Apartemen-apartemen di sini bagus-bagus ya, Mas?" Padma mengamati lobby apartemen The Kanopolis dengan seksama. Lobby modern minimalis ini mengusung konsep seperti dinding pasir yang tertiup angin. Sehingga membentuk Gelombang-gelombang yang sangat cantik. Ditambah dengan indirect lighting yang mewah, kesannya menjadi sangat hangat dan romantis. "Kamu suka?" Tirta membawa Padma berjalan menuju lift."Suka sekali. Ideku langsung menyala melihat setiap detail-detail intetiornya," aku Padma jujur."Apartemen ini dulu kami developernya. Aku menyisakan satu unit untukku pribadi, tepat lima tahun yang lalu," imbuh Tirta seraya menekan tombol lift."Aku akui, hasil kerja PT. Karya Graha Mandiri memang bagus."Begitu juga dengan design interiornya. Sebenarnya tanpa dirinya bergabung menjadi desain interior exclusive PT. Karya Graha Mandiri pun, team desain interior yang lama sudah mumpuni secara skill. Bisa dikatakan Tirta hanya membuang-buang uang saat menghire-nya."Kita ke lantai 18 ya
"Tidak apa-apa, Mas. Aku hanya memperingatkan perempuan ini--""Namanya Padma, Man. Sebut namanya." Tirta memberi tatapan tidak mau dibantah pada Herman."Dan turunkan juga jari telunjukmu," lanjut Tirta lagi. Selama berbicara Herman memang terus menunjuk-nunjuk wajah Padma."Masuk, Ma." Tirta mendorong lembut bahu Padma ke dalam kamar mandi."Mas lupa dengan apa yang perempuan ini-- dia lakukan dulu? Apa Mas lupa juga dengan sumpah yang dulu Mas ikrarkan?" Herman melotot. Ia kesal kareka Tirta menghalanginya berbicara.Padma dengan cepat menutup pintu toilet. Ia tidak mau mendengar apa pun lagi. Sungguh, ia benar-benar menyesal pernah mengucapkan kata-kata jahat pada Tirta di masa lalu."Man, dengar. Mulai hari ini aku tidak mau membahas masalah itu. Aku punya rencana sendiri." Tirta menegaskan sikapnya pada Herman."Oke, aku percaya pada pada Mas. Semoga semua rencana Mas, berhasil. Semangat!" Herman mengepalkan tangannya. Ia akan mendukung penuh rencana Tirta. Sepupunya ini kalau s
"Hah, Erina menyukaiku?" Tirta menunjuk dadanya sendiri."Tidak mungkin. Selain kerabat, kami itu bersahabat sedari kecil. Tidak ada perasaan aneh-aneh di antara kami," bantah Tirta yakin. Bu Nani tersenyum maklum. Sampai berusia sematang ini pun, putranya tidak memiliki kepekaan terhadap lawan jenis."Nak, persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu tidak ada yang benar-benar tidak melibatkan perasaan yang aneh-aneh. Perasaan aneh-aneh itu sebenarnya ada dan nyata. Hanya saja di antara keduanya, ada yang kuat menahan rasa aneh-aneh itu, agar persahabatan keduanya terlihat baik-baik saja. Dalam persahabatanmu dan Erina, Erina lah yang memiliki rasa aneh-aneh itu terhadapmu." Bu Nani menggenggam tangan sang putra."Asal kamu tahu, Erina pagi-pagi buta tadi sudah menelepon Ibu. Meminta izin pada Ibu untuk membuat kejutan di hari ulang tahunmu.apa namanya itu kalau ia tidak suka kenapmu? Makanya sekalian saja ibu tanyakan, apakah dia mau Ibu jodohkan padamu.""Lantas, apa yang Erina
"Makan yang banyak ya, Ma. Jangan malu-malu." Bu Nani menambahkan lauk ke piring Padma yang sudah kosong. Saat ini mereka makan bersama di ruang makan."Sudah cukup, Bu. Jangan ditambah lagi." Padma menahan tangan Bu Nani yang ingin menambahkan lauk lagi ke piringnya."Iya, Ma. Makan saja. Menambah beberapa kilo kalori, tidak akan berpengaruh banyak padamu. Namanya juga sedang berpesta," celetuk Erina sambil tertawa.Padma terdiam. Erina menyindirnya dalam bentuk canda."Kalau kamu tidak bisa bicara yang baik-baik, mending kamu diam saja, Rin." Tirta menegur Erina. Setelah puluhan tahun bersama, baru kali inilah ia ilfeel pada sikap Erina."Astaga, Tir. Aku cuma bercanda lho. Serius amat. Iya 'kan, Mbak?" Erina melayangkan tatapan tidak mau dibantah pada Padma. Padma diam saja. Ia tidak mau mengiyakan karena merasa tidak enak, seperti sikapnya dulu ketika ia dibully. Dengan diamnya, ia sudah mengambil sikap kalau ia tidak setuju dengan ucapan Erina."Kamu tidak perlu bertanya pada Pad
"Duh, kalian berdua jadi repot ya? Sini, sisanya Ibu saja yang mengeringkan." Bu Nani ikut mengambil kain lap dari laci."Tidak usah, Bu. Biar aku saja yang mengerjakannya. Tanggung. Lagi pula mencuci piring adalah tugas sehari-hariku. Ibu duduk-duduk santai saja di depan," saran Erina. Ia segera mengambil kain lap dari tangan Bu Nani."Baiklah. Ibu ke depan dulu ya? Mau mengobrol-ngobrol lagi dengan Tirta. Nanti kalian menyusul ya? Sudah lama kita tidak bersenda gurau," tukas Bu Nani dengan senyum semringah."Silakan, Bu. Nanti kalau sudah selesai kami akan menyusul," ujar Erina. Padma dalam diam memperhatikan air muka Bu Nani. Bu Nani tampak sangat bahagia. Sedari tadi Bu Nani tidak henti-hentinya tersenyum. Sepertinya ada hal yang membuat hatinya berbunga-bunga."Mbak pulangnya barengan denganku saja. Sepertinya Bu Nani masih kepingin mengobrol dengan Tirta di sini." Erina mencoba membujuk Padma."Tidak usah repot-repot, Rin. Aku bisa naik taksi online kok... kalau aku mau." Padma
Lima bulan kemudian."Gue heran lo tetap bisa cantik paripurna begini meski sedang hamil gede ya, Ma? Nggak kayak gue dulu. Hidung gue jadi cutbray dan pipi juga jadi baggy." Wilma mengamati Padma yang tengah makan empek-empek dengan lahap. Dari kemarin, sahabatnya ini mengidam empek-empek, makanya mereka membawa Padma ke gerai ini karena empek-empeknya terkenal enak."Bukan main istilah lo, Wil. Hidung cutbray, pipi baggy. Itu bentuk wajah atau model celana?" Padma terkekeh."Kalo gue sih, hidung dan pipi baik-baik aja. Mekar-mekar dikit lah. Yang parah cuma leher sama ketek gue. Kayak dakian parah euy. Gue gosok-gosok pake scrub, kagak ngaruh. Malu banget gue sama laki gue. Takut dipikir gue jorok." Ririn turut membagi pengalamannya."Kalo gue sih, semua aman sentosa sejahtera. Cuma, badan gue membengkak kayak gajah. Gue naik berat badan 24 kilogram, sodara-sodara. Berasa jadi Hulk setiap kali gue hamil." Yesi meringis mengingat masa-masa di kala hamil besar."Eh, lo tahu nggak kaba
"Kalau Ibu selama ini punya salah padamu, Ibu minta maaf ya, Padma. Tapi tolong, jangan penjarakan Tari. Karena saat ini hanya dialah satu-satunya harapan kami. Tari adalah tulang punggung keluarga, karena Dimas... ya, begitulah." Bu Nursyam menghela napas berat. Masalah tidak ada henti-hentinya membombardir keluarganya akhir-akhir ini. Maka dari itu, hari ini ia menebalkan muka dan diam-diam menemui Padma di kediaman orang tuanya."Di penjara atau tidaknya Tari, itu bukan wewenang saya, Bu. Para penyidiklah yang memutuskannya," Padma memberi jawaban diplomatis."Betul. Memang bukan wewenangmu. Tapi kalau kamu mencabut laporan atas Tari, kasus akan dianggap selesai, bukan?" bujuk Bu Nursyam lagi."Ibu salah lagi. Bukan saya yang melaporkan Tari, tapi pihak rumah sakit. Jadi, yang berhak mencabut ataupun melanjutkan perkara adalah pihak rumah sakit, bukan saya," ucap Padma dingin."Ya, kalau begitu kamu tinggal minta pihak rumah sakit untuk mencabut gugatan. Kan yang mengadu pada pihak
Lestari memegangi dadanya. Telinganya berdenging. Ia panik! Jangan-jangan Padma telah mengetahui kecurangannya."Saya... boleh meminta minum, tidak, Mbak?" pinta Lestari terengah. Ia harus berpikir tenang sebelum bertindak."Tentu saja. Mas, tolong ambilkan air dingin untuk Dek Tari. Ingat ya, Mas. Yang dingin, biar hati Dek Tari bisa adem," sindir Padma. Lestari makin pucat. Sepertinya Padma benar-benar telah mengetahui kecurangannya."Ini, silakan diminum." Tirta menuangkan segelas air dingin dari water jug. Sedari tadi ia diam sambil berjaga-jaga. Ia takut Padma membahayakan dirinya sendiri saat membalas dendam pada Lestari. Padma sedang hamil muda, dan untuk itu, ia harus siap siaga dalam segala situasi.Tanpa perlu disuruh dua kali, Lestari meneguk minumannya dengan rakus. Setelahnya, ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menstabilkan emosinya. Setelah merasa lebih tenang, barulah ia bersuara."Mengapa Mbak ingin mensomasi rumah sakit? Apa yang sudah mereka lakukan pada Mb
Selama menunggu Lestari tiba, Padma mengumpulkan tiga lembar hasil lab yang dulu ia terima dari petugas lab di rumah sakit. Ia juga melampirkan satu lembar hasil lab terakhir yang ia terima dari Lestari lima tahun yang lalu. Total ada empat lembar hasil lab di tangannya. Sebelum melakukan tes kesuburan, ia memang sudah lebih dulu melakukan tes hormon, uji ovarium dan ovulasi, serta histerosalpingografi.Hasil ketiga tes ini bagus sekali. Menurut dokter Nastiti, kesehatan reproduksinya normal-normal saja. Hanya hasil tes kesuburannya saja yang sangat buruk. Waktu itu ia putus asa melihat hasilnya, makanya ia tidak kembali lagi ke praktik dokter Nastiti untuk membicarakan soal hasil tes kesuburannya. Ia sudah pasrah menerima nasibnya."Aku tidak menyangka kalau kamu masih menyimpan hasil-hasil lab bertahun lalu, Ma." Tirta yang baru datang dari dapur mendekati Padma. Di tangannya ada segelas susu hangat yang sengaja ia siapkan untuk istri tercintanya. "Minum dulu susunya, Sayang. Supay
"Kalian silakan ke rumah sakit dulu. Kasihan Dika sedang sakit." Melihat keadaan Padma yang tidak stabil, Tirta mengalihkan pembicaraan. "Iya, kami permisi dulu, Pak Tirta, Bu Padma." Puspita dan Bik Painah buru-buru kembali ke rumah sakit."Antar aku ke rumah Dek Tari sekarang, Mas. Aku akan meminta penjelasannya. Anak itu sungguh tidak tahu diuntung!" Padma benar-benar tidak terima dibodohi oleh Lestari."Iya, nanti kita menemui Lestari bersama-sama. Setelah kita pulang, makan dan istirahat. Sekarang kita masuk ke mobil dulu," bujuk Tirta."Aku mau sekarang, tidak mau nanti!" Padma tidak bersedia menunggu. Tirta tidak mengatakan apa pun. Ia membuka pintu mobil dan membantu Padma masuk ke dalam. Sejurus kemudian mobil pun melaju membelah jalan. Sekitar sepuluh menit berkendara, Tirta membelokkan mobilnya. "Lho, kok belok? Rumah Lestari itu di Jalan Thamrin, Mas. Lurus saja." Padma memberitahu alamat rumah Lestari kepada Tirta."Padma, nanti saja kita ke rumah Lestari-nya ya? Kamu i
"Kamu butuh uang untuk membawa Dika ke rumah sakit, Pita?" tanya Padma hati-hati."Iya, Bu. Dika sudah dua hari ini demam tinggi. Saya tidak bisa membawanya berobat karena tidak punya biaya." Dengan menebalkan muka Puspita berterus terang pada Padma. Demi anak, ia bersedia menjilat ludahnya sendiri, meski pernah sesumbar bahwa ia tidak akan pernah memohon lagi pada Padma.Padma bertukar pandang dengan Tirta. Ketika melihat anggukan samar sang suami, Padma pun melaksanakan niatnya. Ia membuka tas dan mengeluarkan ponsel."Nomor rekeningmu yang lama masih aktif tidak, Pita?""Masih, Bu," jawab Puspita sambil menunduk. Ia tidak punya keberanian untuk sekadar menatap wajah mantan majikannya. Padma memanglah sebenar-benarnya orang baik."Saya sudah mengirimkan sejumlah uang untukmu. Saya kira cukup untuk biaya pengobatan Dika. Saya permisi dulu ya, Pita. Semoga Dika segera sembuh." Padma mendekati Dika dan mengelus sayang pipi montok Dika dalam buaian Puspita, yang memang terasa panas."Eh
"Saya tidak bersalah, Pak Polisi. Semua itu terjadi karena ketidaksengajaan. Saya sama sekali tidak bermaksud melukai Ratna," jawab Erina sambil menangis tersedu-sedu.""Anda menusuk perut seseorang dengan pisau buah dan Anda menyebutnya sebuah kecelakaan?!" bentak sang juru periksa."Ya karena memang kecelakaan, Pak Polisi. Saya tidak menusuk Ratna. Dia sendiri yang menerjang ke arah saya," Erina kembali sesenggukan."Jangan menangis terus! Setelah petentengan berani melukai orang, jangan bersikap seperti ayam sayur. Sekarang jawab pertanyaan saya. Kalau Anda tidak bermaksud untuk menyerang, lantas untuk apa Anda menghunus pisau?" cecar sang juru periksa."Untuk menakut-nakuti Herman, Pak Polisi. Dia... sudah jahat pada saya. Saya hanya ingin menggertak Herman saja. Bukan benar-benar ingin membunuhnya. Percayalah Pak Polisi." Dengan ekspresi memelas, Erina merangkapkan kedua tangan di dada, berusaha meyakinkan sang juru periksa kalau dirinya tidak bersalah."Herman bilang ia tidak
"Rin, kamu baru pulang praktek bukan? Sebaiknya kamu istirahat saja. Kamu tadi bilang kalau kamu tidak enak badan." Bu Della memberi kode pada Erina. Naluri keibuannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah dilakukan Erina di belakangnya. Naluri seorang ibu juga yang membuatnya ingin melindungi sang putri. "I... iya, Bu. Pasien ramai sekali hari ini. Energiku rasanya terserap habis." Erina menangkap kode yang diisyaratkan sang ibu."Tunggu sebentar, Rin. Temani kami dulu di sini. Ada bagian lain yang belum kamu lihat." Tirta menahan Erina yang sudah berdiri dari duduknya. "A... apa itu, Tir?" Erina kian nervous. Perasaannya tidak enak. Ia merasa akan terjadi sesuatu."Untungnya aku sudah mengetahui siapa orang yang telah melakukan kejahatan ini," ucap Tirta lamat-lamat. Kali ini lebar wajah Erina berubah pucat. Ia tidak bisa menyembunyikan ketakutannya lagi. "Siapa orangnya, Tir?" tanya Pak Ahmad penasaran. "Aku permisi dulu." Erina mencondongkan tubuhnya ke depan. Siap untuk mel
"Bu, nanti biar aku saja yang menghidangkan makanan dan minuman kecilnya ya?" Erina keluar dari kamar dengan senyum semringah. Herman baru saja meneleponnya. Herman bilang, Tirta akan ikut dengan kedua orang tuanya ke sini. Tirta suntuk sendirian di apartemen. Sudah tiga hari ini Padma menginap di rumah orang tuanya. Mendapat kabar baik ini ia sangat bahagia. Ini adalah kesempatan baginya untuk mempengaruhi Tirta. Dulu Tirta pasti akan mencarinya jikalau ia sedang galau. Ternyata sekarang pun seperti itu. Tirta masih membutuhkannya rupanya."Tumben. Apa kamu tidak capek?" Bu Della melirik anak gadisnya. Tidak biasanya Erina rajin seperti ini. Biasanya setiap kali pulang praktek, Erina akan langsung beristirahat. "Capek, sih, Bu. Tapi tidak apa-apa. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Tirta.""Tirta? Yang mau ke sini itu Pak Yono dan Bu Nani, Rin. Bukan Tirta.""Tapi Tirta ikut kok, Bu. Herman yang bilang. Kayaknya Tirta ribut dengan Padma. Sudah tiga hari Padma menginap di rumah ora